Penyakit KirimanSiapa pengirim pesan ini? siapa pengirim surat ini? Rasanya aku nggak perlu berpikir lama. Cerdas kamu, Nem. Langsung mengintimidasiku dengan surat ini. Dadaku bergemuruh. Jadi dia mau menunjukkan bahwa anak ini adalah anak Mas Hangga. Terus dia mau minta pertanggung jawaban lagi karena sekarang siapa Ayah bayi ini menjadi terang benderang. Nggak segampang itu, Nem. Mas Hangga juga sudah nggak mau.Tapi kalaupun iya. Aku nggak pernah memaksa. Toh aku masih menunggu panggilan sidang pengadilan.Sepertinya benar saran Mama. Aku harus mengambil sikap. Memperjuangkan harga diri. Kalau Mama saja sudah menyimpulkan seperti itu. Pasti Mama sudah mempertimbangkan banyak hal. Mama tidak pernah bercerai dengan Papa. Tapi Mama menginginkan aku bercerai dengan Mas Hangga. Berarti memang ada alasan kuat yang baik buatku kedepan menurut Mama daripada aku harus bertahan pada sebuah pernikahan yang sudah ternoda kessuciannya.Nggak masalah kalau sekarang rumah tanggaku bercerai berai,
-Penjarakan Saja-‘Seketika aku merasa sekujur tubuh berat berat. Rasa nyeri dan ngilu menelisik sendi dan tulang-tulang tubuhku. Ah, rasanya nggak enak sekali. Aku mencoba membuka mata, tapi berat. Sekuat tenaga aku terus mencoba membuka tetap saja tak bisa. Tapi aku bisa mendengar suara-suara. Seperti suara desir angin di malam yang sepi. Suara-suara burung hantu dan binatang malam yang sedang mencari mangsa. Lalu tiba-tiba aku merasakan dingin, semilir angin yang lewat seperti membawa uap es. Lalu seperti ada makhluk mengendus-endus wajahku. Ah, apa itu? Aku ingin berteriak, ingin bangkit mengelak tapi tak bisa. Tubuhku tetap berat seperti dihimpit dan ditimpah beban, aku terpasung.Kurasakan tanganku seperti terikat kencang pada sebuah tiang yang basah di sisi kiri dan kananku. Aku hanya mampu merasakan, tak bisa melihat sama sekali. Ah, kakiku juga, seperti ada tali yang mengikat kuat di sana. Tubuhku terpasung ditempat yang asing. Dimana aku? Kupaksa lagi membuka mata, tapi tak
Mas Hangga lekas mengambil gawainya dengan wajah sedikit kikuk.“Itu suara Inem, Mas? Jadi dia kirim voice note sama kamu? Ngancem kamu?”“Ehhm, Iya, makanya, dia nggak kapok, masih aja minta dinikahin. Padahal nomor lama dia sudah Mas blokir.”“Dia keliatannya cinta banget sam kamu, Mas. Kalau kamu yakin anak yang dikandungnya itu anakmu. Nikahin ajalah, Mas. Biar semuanya beres. Kita juga kan cepat atau lambat akan pisah.”“Mas nggak yakin, sich. Itu akal-akalan dia mungkin. Ya, besok Mas mau pastikan ke RSIA.” “Itu terserah Hangga aja, Rin. Yang penting kita penjarakan dia dulu. Kalau dia sudah dalam penjara, kita tenang. Bukannya apa-apa. Selama dia masih di luar, dia akan berkeliaran dan terus ganggu hdupmu, Rin.”“Iya, sich, Ma.”“Mama kira, Inem itu cerdik. Dia masih banyak akal untuk terus menghantui hidup kamu. Karena kamu dianggap penghalang keinginannya. Dia masih berjuang untuk dapetin Hangga. Belum berenti berusaha itu, masih mbulet aja akan gitu terus. Yang Mama ngeri di
Inem Ditahan!Mama ditabrak sebuah mobil!“Wooiii!” “Woooiii berentiii!”Orang-orang langsung berteriak meneriaki penabrak. Gegas aku turun dari mobil juga meneriaki penabrak sembari berlari ke arah Mama.Tubuh Mama terkulai lemah, darah mengalir dari paha dan kaki. “Ya Allah, Ma. Ya Allah, Astaghfirullah. Biadab!”“Pak Yanto, kejar mobil itu, Pakkk!” teriakku menyadari mobil itu masih bergerak zigzag mencari celah jalan setelah menabrak.B1545 SZS, kurapal plat nomor mobil itu.Sepersekian detik mobil itu sudah berlari melaju kencang.“Kejarrr Pakkk.” Pak Yanto sudah berlari mengejar mobil itu. Biadab, ini bukan kecelakaan, ini perencanaan penabrakan! Siapapun pelakunya nggak akan kuampuni!Tubuhku bergetar hebat melihat Mama diam tak berdaya. Kuangkat tubuh lemah Mama ke tepian jalan dibantu orang-orang. Emosiku naik luar biasa. Aku sempat melihat pengendara mobil yang menabrak, berkaca mata hitam dan bertopi. Seorang laki2 berkulit sawo matang, berusia sekitar tiga puluh lima t
-Tunggu Pengadilanmu. “Pak, nggak bisa begitu, tolong jelaskan salah saya apa?”“Nem, Inem, pake minta dijelasin. Kamu kok sekarang wanter bener! Ya, kamu mesum barusan aja udah bisa ditahan? Kamu ngancem minta dikontrakin rumah, uang bulanan itu aja udah bisa dilaporin sebagai pemerasan. Ditangkep ya manut! Inget ya, satu lagi, aku belum laporin kamu soal video seks juga penabrakan Mama Uti. “Nabrak? Nabrak apa, Bu? Saya nggak tahu menahu. Jangan asal tuduh. Saya juga bisa laporin Ibu ,loch, atas pencemaran nama baik, waktu video itu Ibu unjukin di depan umum! ucapnya dengan mata mendelik.Ya Allah, nggak ada takutnya dia sekarang. Nggak ada sedikitpun hormat atau rasa terima kasih terhadap orang yang pernah membantunya, bahkan mungkin aku adalah satu-satunya orang yang paling dia sakiti dengan sangat.Dari sekarang aku mulai sadar, dengan siapa aku berhadapan.“Silahkan aja kamu membela diri, Nem. Tunggu aja kamu di penjara sampai busuk!”Aku meluapkan rasa emosiku.“Ya silahkan pe
-AKP Aksa-“Beneran Aksa?”Lelaki berperawakan kekar dengan senyum menawan itu tersenyum.“Iya, lupa-lupa ingat, ya? Ya maklum sekarang sudah sering kejemur matahari, kena asep knalpot jadi ya gini, udah kaya zebra cross wajahnya.”“Ha ha ha ha.” Aku tergelak. Dia masih kocak ternyata.“Enggak, sich kalau lupa. Cuma mau mastiin aja. Soalnya beda sekarang. Dulu ketemuan ingetnya kaos oblong putih celana jeans. Sekarang jadi pangling lah, makin keren.” Aku berusaha mengimbangi candaannya.Kini giliran ia yang tergelak kecil.“Bisa aja, kamu, Rin. Ngomong-ngomong ada urusan apa di sini?”“Biasa, ada kerikil kehidupan, yang cuma polisi yang bisa bantu.”“Owh, bener, Rin. Harus dilaporin, kami menuntaskan masalah tanpa masalah, Insya Allah.”Lelaki di hadapanku ini tidak jadi masuk ke ruangannya, ia justru memilih duduk dan mengobrol. Aku canggung karena disebelahku ada Mas Hangga. ‘Mas, seandainya saja hubungan kita masih baik-baik saja, belum ada berkas cerai yang kulaporkan ke pengadila
-Godaan Masa Lalu-“Eh, Aksa.” Aku melambaikan tangan ke arahnya.“Nunggu jemputan?”“Oh, enggak, aku lagi nunggu taksi.”“Taksi, udah sepi, Rin. Mau pulang ke arah mana?”“Owh, Eee, ke Hang Jebat, Sa.” Wah dia menawarkan bantuannya. Kurasa harus menolaknya. Baru pertama kali bertemu, lalu merepotkan, tentu tak akan enak rasanya. Lagian pasti berbeda arah.“Hang Jebat? Ayok sekalian?”“Oh, emang kamu ke arah mana, Sa? Beda ‘kan?”“Enggak, kok, aku melewati Hang Jebat, juga.”Aku ragu.“Dah, nggak apa-apa. Bahaya, loch, perempuan sendirian di jalan. Belum tentu ada taksi yang jalan ke arah sini. Bisa-bisa sampai pagi, Rin.”Ya Allah, aku sebenernya ingin menolak. Tapi sekali lagi mendengarkan apa yang Aksa katakan seperti yang Mas Hangga katakan juga, tak ada taksi yang akan melintas di sini, membuatku harus berpikir ulang jika menolak. “Maaf, Rin, bukan aku nggak sopan ngajak pulang bareng. Tapi daerah sini rawan kejahatan, jangan nolak, ya.”“Maaf, Sa. Kamu pulang saja. Nich kelihat
-Godaan Masa Lalu- (33)“Eh, Aksa.” Aku melambaikan tangan ke arahnya.“Nunggu jemputan?”“Oh, enggak, aku lagi nunggu taksi.”“Taksi, udah sepi, Rin. Mau pulang ke arah mana?”“Owh, Eee, ke Hang Jebat, Sa.” Wah dia menawarkan bantuannya. Kurasa harus menolaknya. Baru pertama kali bertemu, lalu merepotkan, tentu tak akan enak rasanya. Lagian pasti berbeda arah.“Hang Jebat? Ayok sekalian?”“Oh, emang kamu ke arah mana, Sa? Beda ‘kan?”“Enggak, kok, aku melewati Hang Jebat, juga.”Aku ragu.“Dah, nggak apa-apa. Bahaya, loch, perempuan sendirian di jalan. Belum tentu ada taksi yang jalan ke arah sini. Bisa-bisa sampai pagi, Rin.”Ya Allah, aku sebenernya ingin menolak. Tapi sekali lagi mendengarkan apa yang Aksa katakan seperti yang Mas Hangga katakan juga, tak ada taksi yang akan melintas di sini, membuatku harus berpikir ulang jika menolak. “Maaf, Rin, bukan aku nggak sopan ngajak pulang bareng. Tapi daerah sini rawan kejahatan, jangan nolak, ya.”“Maaf, Sa. Kamu pulang saja. Nich k