TETANGGA BARU (3)
******Sudah jam tujuh pagi. Belum ada tanda-tanda Mas Adrian keluar dari kamar. Gegas mematikan kompor. Sop buntut yang dimasak pagi ini, sudah mendidih dan matang.Sop buntut yang bahan masakannya dapat kupesan dari Mang Rustam—tukang sayur keliling langganan di komplek ini. Mang Rustam bahkan telah mengirimkan pesananku ini pukul lima pagi tadi. Seperti isi pesanku. Sehingga aku menambahkan lebih, uang yang kubayarkan padanya.Klek!Kubuka pintu kamar utama. Kamar yang kutempati bersama suamiku. Kamar yang kembali hangat, setelah lima hari hanya aku sendirian yang mengisinya.Aku menyilangkan tangan di depan dada. Berdiri di tepi tempat tidur. Melihat Mas Adrian yang masih meringkuk terbungkus oleh selimut tebal. Menyisakan kepalanya saja."Mas bangun, Mas. Udah jam tujuh ini!" ujarku, sambil menepuk-nepuk lengannya.Tidak ada pergerakan dari Mas Adrian. Matanya bahkan masih terpejam."Mas, bangun!" ujarku sekali lagi. Kali ini, sambil mengguncangkan tubuhnya."Hmmmm …." Hanya itu yang keluar dari mulutnya."Bangun, Mas. Udah jam tujuh!" seruku.Mas Adrian nampak membuka matanya pelan-pelan. Hingga akhirnya, mata itu terbuka sempurna. Dia menoleh padaku. Lalu tersenyum manis.Lantas Mas Adrian mengubah posisinya, yang semula berbaring miring menjadi telentang. Dengan selimut sudah tersibak dan menampakkan dada kokohnya yang polos."Bangun, Mas, terus mandi! Ini udah jam tujuh!" ulangku lagi."Hari ini mas kayaknya di rumah aja, Dek. Gak akan ke mana-mana. Badan mas berasa remuk. Lemes bestie," paraunya berucap. Diikuti candaan.Aku tertawa kecil dibuatnya. "Iya. Biarpun di rumah aja, Mas bangun terus sana mandi. Biar badannya segeran!" timpalku."Adek udah cantik. Udah mandi?" tanyanya cepat. Serta merta aku mengangguk merespon pertanyaannya."Kok mandi duluan sih? Harusnya Adek nungguin mas!" ujarnya terdengar merajuk.Kusentak napas kasar. Di balik tubuh tegap serta wajah tegasnya. Sisi manjanya amat menjadi ketika bersamaku seperti ini.Ku singkirkan selimut yang menutupi dari pinggang Mas Adrian. Hingga terpampang boxernya yang hanya sebatas paha. "Udah cepetan mandi. Aku udah masakin sop buntut, Mas!" ujarku cepat. Bukannya bangun dan mendengarkan perkataanku. Mas Adrian dengan cepat justru menarik tanganku. Hingga tubuhku terjerambab di dadanya kali ini. Dia lalu mendekap dan menahanku yang hendak bangkit dengan kedua tangannya. "Mas!" pekikku kaget."Mas mau mandi. Asalkan kamu juga mandi, Dek!" ucapnya enteng."Ya ampun, Mas. Aku udah mandi. Masa' harus mandi lagi?" tanyaku tanpa sadar meninggikan suaraku."Suruh siapa ga bareng!" sahutnya."Mas mandi sendiri ajalah! Aku tunggu di ruang makan!"Mas Adrian menggeleng. "Mas ga menerima penolakan!" ucapnya tegas. Ditahannya tubuhku kuat-kuat saat dia bangkit dari posisinya. Hingga ia berhasil menggendongku sekarang.Aku coba berontak. Saat Mas Adrian melangkahkan kakinya menjauh dari tempat tidur menuju kamar mandi. Namun, sia-sia. Langkah kakinya yang lebar sehingga begitu cepat sampai di dalam kamar mandi, dan barulah menurunkan tubuhku setelah menutup pintu kamar mandi.Mas Adrian tersenyum penuh kemenangan. Kalau sudah begini. Aku tak bisa lagi menghindar.******Selesai mandi dan sarapan pagi bersama. Aku lanjut menyiram tanaman pada taman kecil di depan rumahku ini. Sementara Mas Adrian tengah menonton siaran televisi di dalam sana.Di sela-sela aktivitasku menyiram tanaman. Netraku tak sengaja menangkap sosok Mba Yolan tengah berjalan di jalanan komplek ini ."Mba Yolan!" Sontak aku berteriak. Membuat Mba Yolan menghentikan langkahnya.Kumatikan kran air. Kemudian membuka pintu pagar dan keluar menghampiri Mba Yolan yang mematung."Mba mau ke mana?" tanyaku setelah ada di hadapannya. Digendongnya Arsen. Namun wajahnya ia tutupi dengan kain yang dipakainya menggendong. Mungkin, Arsen tengah tertidur. Tapi, kenapa harus dibawa juga?"Ke depan komplek, Mba. Mau beli bubur ayam. Buat sarapan," jawabnya.Kulihat arloji di pergelangan tanganku. "Udah jam sembilan, Mba belum sarapan?" tanyaku heran. Karena, ini sudah cukup siang untuk sarapan. Terlihat Mba Yolan hanya menggeleng."Mba sarapan di rumahku aja yuk. Kebetulan aku udah masak sop buntut. Aku sama suamiku udah sarapan, kok," ajakku pada Mba Yolan."Makasih, Mba Jihan. Tapi, nggak usah. Biar aku ke depan aja beli bubur," tolaknya."Tapi ini udah siang lho, Mba. Biasanya bubur ayam yang di depan itu udah abis kalo agak siang begini," ucapku memberitahu."Gak papa, Mba. Kalo abis, biar aku beli yang lain aja," sahut Mba Yolan."Arsen kenapa dibawa, Mba?" tanyaku melirik kain yang menutupi wajahnya."Iya. Soalnya Arsen masih tidur. Jadi aku bawa, Mba," jelasnya.Seketika keningku mengernyit. "Kenapa dibawa? Kan kasian lagi tidur.""Di rumah ga ada siapa-siapa. Jadi ya aku bawa aja.""Mmm … suami Mba, ke mana?" tanyaku hati-hati. Aku sendiri belum tahu status Mba Yolanda ini.Mba Yolan menghindari matanya berpandangan denganku. Ia melempar pandangan ke sembarang arah. "Suamiku kerjanya di luar kota, Mba. Kerja proyekan, gitu. Pulangnya paling satu atau dua bulan sekali. Waktu pindahan ke sini aja, aku pindahan sendiri, Mba."Aku manggut-manggut mendengar penjelasan Mba Yolan. Jadi, di rumah itu memang tidak ada suaminya. Pantas saat aku ke rumahnya pertama kali. Aku tidak menemui suaminya. Rupanya suami Mba Yolan sedang bekerja di luar kota. Makanya dia harus membawa Arsen meski dalam keadaan tertidur seperti itu."Owh gitu. Jadi Mba cuma berdua di rumah? Keluarga Mba ada di deket-deket sini?""Huum. Ga ada, Mba. Keluargaku tinggal di kampung. Aku benar-benar berdua sama anakku di sini.""Terus, kalo Arsen sakit misalnya, apa Mba ngga kerepotan?""Nggak sama sekali. Selama ini, Arsen anaknya anteng kok, Mba. Nggak pernah yang rewel banget. Paling ada rewel kalo abis diimunisasi kayak kemarin aja, Mba. Kemarin aku sampai susah buat mandi," jelasnya diikui kekehan kecil.Ah. Aku terenyuh. Mba Yolanda benar-benar mandiri. Perempuan tangguh yang mampu mengurusi anaknya sendiri saat suaminya bekerja di luar kota."Ya udah mendingan Mba Yolan makan di rumah aku aja yuk. Kasian Arsen lagi tidur Mba bawa bawa begitu. Mba makan di rumahku, biar Arsen juga ditidurin di kamar. Sekalian aku kenalin Mba sama suamiku. Ayok!" ajakku lagi.Mba Yolanda menggeleng cepat. "Nggak usah, Mba Jihan. Terima kasih sebelumnya. Tapi aku beneran mau ke depan aja!" tolaknya lagi"Nggak repot, Mba. Beneran. Udah, yuklah!" Aku setengah memaksa. Kuraih tangan Mba Yolan lalu menariknya agar mengikuti langkahku."Ng—gak usah, Mba," sahutnya di belakangku. Tetapi tidak aku gubris. Aku tetap membawanya melewati pagar rumahku hingga tiba di halaman.Pegangan tanganku pada Mba Yolan, perlahan kulepaskan setelah tiba di halaman. Aku menangkap sosok suamiku tengah berdiri di samping mobil dalam garasi yang terbuka lebar. Dia tengah berbicara di telepon. Pakaiannya sudah rapi seperti hendak pergi ke kantor toko pusat."Mba, tunggu sebentar," pintaku pada Mba Yolan. Ku langkahkan kaki meninggalkan Mba Yolan dan berjalan pada Mas Adrian, yang telah menyelesaikan pembicaraannya di telepon. Kini, benda pipih itu ada di tangannya. Namun, Mas Adrian masih mengutak-atik layar ponselnya."Mas, mau pergi?" tanyaku langsung.Mas Adrian menyentak napasnya. "Iya, Dek. Tadinya mas mau di rumah aja kayak kemarin. Tapi Willy nelpon. Mas harus ke kantor pusat," jawabnya. Pandangannya pun masih pada layar ponsel."Oh, ya udah, gak papa. Nanti agak siangan, biar aku ke toko cabang. Tapi sebelum pergi, Mas biar kenalan dulu yuk sama tetangga baru kita," ajakku. Sambil meraih tangan suamiku ini dan menariknya agar keluar dari garasi."E … eh … nanti ajalah, Dek. Mas harus ke kantor kan. Lama kalo harus ke tetangga sebelah dulu," sahutnya seraya menahan tanganku.Karena Mas Adrian menahanku, maka kami masih berada di dalam garasi. Kuhela napas panjang. "Nggak perlu ke sebelah, Mas. Orangnya udah ada di depan. Ayok!" jelas serta ajakku kembali.Kali ini, Mas Adrian tak lagi menahan. Matanya masih fokus pada ponsel di tangannya. Sehingga aku leluasa menarik tangannya untuk mengikuti langkahku. Kami keluar dari dalam garasi. Mas Adrian di belakang ku, sama-sama melangkah menuju halaman depan. Aku menggeser tubuhku. Dari yang semula di depan Mas Adrian, kini aku berdiri di sisinya. Sambil menggamit lengannya."Mba Yolan, kenalin ini suamiku. Nah Mas, ini Mba Yolan tetangga baru kita!" jelasku setelah berhadapan kembali dengan Mba Yolan.Saat Mas Adrian mengalihkan pandangan dari layar ponselnya pada Mba Yolan. Ponsel di tangannya tiba-tiba saja terlepas dan hampir saja terhempas ke tanah.Aku dengan sigap, menangkap benda pipih nan canggih miliknya itu."Mas! Hati-hati!" sentakku pada Mas Adrian."A—a— i—iya—iya. Maap, Dek. Eu … tangan mas kayak kena gigitan semut," ungkapnya sambil menggaruk punggung tangannya.Aku menggeleng pelan. Lalu menyerahkan ponsel miliknya itu. Mas Adrian menerima dan memasukkan ke dalam saku celananya."Mas, ini kenalin, Mba Yolan!" ujarku lagi."I—iya—iya. A—Adrian!" Mas Adrian mengulurkan tangannya pada Mba Yolan dan memperkenalkan dirinya."Yolanda!" Mereka berjabat tangan. Kulihat Mas Adrian melepas jabatan tangannya dari Mba Yolan dengan cepat."Dek, mas berangkat dulu, ya! Willy udah nunggu!" Keningku seketika dikecup. Kuraih tangan Mas Adrian dan menciumnya."Oke. Hati-hati, Mas!" pesanku. Mas Adrian hanya menganggukkan kepala. Lalu meninggalkanku dan Mba Yolan menuju garasi kembali.Lekas aku mendorong gerbang pagar hingga terbuka lebar. Mobil yang dinaiki Mas Adrian mulai keluar dari garasi. Melaju pelan hingga melewati pagar. Aku melambaikan tangan padanya. Setelah mobilnya benar-benar sudah keluar dari halaman rumah. Aku kembali menarik gerbang pagar hingga tertutup lagi. Tak lupa, menutup pintunya sekalian. Agar Mba Yolan tidak keluar."Nah, Mba. Suamiku udah berangkat. Di rumah ga ada siapa-siapa jadinya. Udah yuk, Mba ikut ke rumahku. Jangan malu-malu!""Emm, tapi Mba—""Nggak ada tapi-tapian. Ayok!" Tanpa menunggu persetujuannya. Aku dengan cepat menarik tangan Mba Yolan agar segera masuk ke dalam rumahku. Aku tak sabar ingin menggendong bayinya lagi.TETANGGA BARU (4)*********Tiba di meja makan. Aku menyiapkan piring makan dengan segera. Bukan untukku tapi tentu saja untuk Mba Yolan. Kucentong nasi beserta sop buntut yang masih hangat dari dalam pancinya."Mba, sini Arsen biar aku tidurkan di dalam kamar tamu. Mba Yolan sarapan dulu aja, ini udah aku siapin!""Aduh, Mba. Gak papa, Arsen biar aku gendong aja kayak gini. Dia masih tidur, kok."Aku menggeleng pelan. "Gak boleh gitu, Mba. Ntar kebiasaan kalo apa-apa digendong. Udah, biar aku tidurin di kamar tamu. Nah Mba makan dulu!" Aku setengah memaksa. Mengulurkan tangan untuk segera menerima bayi mungil di gendongan Mba Yolan.Sang Ibu nampak ragu. Namun tak ayal, tetap memberikan bayinya ke tanganku. Akhirnya, Arsen berada dalam gendonganku saat ini. Tubuh mungilnya menggeliat pelan. Namun netranya masih rapat terpejam."Mba makan dulu, itu udah aku siapkan. Mba jangan sungkan. Anggap aja rumah sendiri ya! Arsen biar aku bawa ke kamar tamu. Aku temenin dia di sana," tukasku."
"Uhukk uhukk uhukk!" Fano belum berhenti terbatuk. Dia memegangi tenggorokannya. Sampai akhirnya dia meneguk segelas air untuk meredakan batuk. Menyisakan wajahnya yang masih memerah karena tersedak barusan."Hati-hati dong, Fan kamu makan. Sampai kesedak kayak gitu!" tukasku mengomel. Dibanding menolongnya, aku malah mengomelinya. Salah sendiri makan sampai tersedak seperti itu.Beberapakali Fano berdehem. Hingga batuknya benar-benar berhenti. Namun, belum menghilangkan kemerahan di wajahnya. Fano hanya manggut-manggut mendengar omelanku."Jadi dia tetangga baru kamu, Han?" tanya Fano lagi."Hu'um."Fano tak bertanya lebih banyak lagi. Dia hanya meneruskan memakan siomay di piringnya.Arsen masih anteng di pangkuanku. Hingga ibunya telah kembali dari kamar mandi. Lekas aku memberikan Arsen padanya. Sebelum menyantap makananku, lebih dulu aku mengenalkan Fano pada Mba Yolan. Barulah setelah mereka berkenalan, kami serempak menikmati pesanan kami masing-masing.Di sela-sela menikmati m
Sudah jam sebelas malam. Tapi rasa kantuk tak kunjung datang sedikit pun. Bergulang guling sendirian di atas spring bed super king size dalam kamar ini. Karena seperti yang siang tadi suamiku sampaikan. Bahwa dia harus lembur malam ini.Dalam posisi tengkurap. Kuraih ponsel di atas nakas. Lalu menggulir beranda media sosial milikku. Tidak ada yang menarik. Membuatku cepat-cepat menutupnya lagi dan menyimpan kembali benda pipih itu di atas nakas.Drrt Drrt DrrtBaru sedetik aku membalikkan tubuhku menjadi terlentang. Ponselku berbunyi diiringi vibrasi. Tanpa berniat bangkit, tanganku kembali terulur untuk mengambilnya."Fano?" gumamku saat melihat nama kontak yang menghubungiku.Cepat aku bangkit dan terduduk. Lalu menggeser layar ponsel untuk menerima panggilan video dari Fano."Malam Han …." sapa Fano di seberang sana. Setelah kini, kami bersitatap meski hanya lewat layar ponsel."Malam, Fan. Ada apa? Gak salah, kamu video call jam segini?" tanyaku cepat.Nampak Fano memasang senyuma
Membuka mata perlahan. Merasakan ada tangan yang melingkar di atas perut ini. Cepat aku menoleh. Seketika bibirku menyunggingkan senyum. Melihat suamiku yang masih tertidur di sampingku. Entah jam berapa dia pulang lembur. Aku sampai tidak tahu. Saking nyenyaknya tidur semalam, selepas mengobrol dengan Fano.Aku menggeliat pelan. Lalu menyingkirkan tangan Mas Adrian dari atas perutku. Beringsut turun dari tempat tidur dan segera ke kamar mandi. Membersihkan diri agar lebih segar.Keluar dari kamar mandi. Mas Adrian masih dalam posisinya seperti saat tadi aku meninggalkannya untuk mandi.Cepat aku berpakaian. Lalu keluar dari kamar dan menuju dapur. Berkutat di depan kitchen set dengan bahan masakan. Mengusahakan agar tanganku bergerak cepat. Karena ternyata, aku bangun terlambat dari biasanya.Satu jam berlalu. Masakanku akhirnya siap. Aku sudah menghidangkannya di atas meja makan. Namun, Mas Adrian belum menampakkan diri. Mungkin masih tertidur. Aku tak berniat membangunkannya. Kasih
POV ADRIAN*********Jam sebelas malam. Aku menyelinap melalui portal belakang perumahan. Portal yang membatasi perumahan dengan perkampungan di belakangnya. Setelah melewati portal besi. Aku pun berjalan cepat menuju rumah satu lantai yang baru kembali dihuni.Pintu pagar yang tidak digembok. Memudahkan untuk masuk. Melewati pagar dan menutup pintunya asal. Aku pun melangkah cepat menuju pintu rumah.Dalam satu tarikan hendel. Pintu terbuka seketika. Menandakan pemilik rumah benar-benar menunggu kedatanganku.Tanpa membuang waktu. Aku melesak masuk dan segera mengunci pintu rumah yang telah kututup.Aku masih berdiri di belakang pintu yang telah menutup sempurna. Kulepaskan masker yang menutupi hidung serta mulut. Serta melepas topi di kepala ini. Dengan ujung mata, aku menangkap sosok wanita yang berjalan ke arahku.Aku tak buru-buru menoleh. Melainkan menaruh paperbag yang kubawa. Lalu bergerak cepat melepas jaket kulit yang membungkus tubuh. Melemparkannya ke sembarang arah.Wanit
Selepas membersihkan diri. Aku pun segera berpakaian dengan pakaian dalam paperbag. Pakaian yang sama dengan yang tadi pagi kukenakan dari rumah. Sementara jaket dan pakaian yang kukenakan saat pulang dari kantor. Kubiarkan di rumah ini.Aku harus memastikan. Tidak ada setitik pun jejak yang tertinggal dalam diri ini ketika pulang."Mas, kamu pulang sekarang? Ini baru jam dua malam lho Mas!" tegur wanita yang masih terbalut selimut di atas tempat tidurnya.Sementara aku, langsung membersihkan diri usai pergulatan indah nan panjang dengannya sejak tadi."Pulanglah. Ga mungkin aku lebih lama di sini. Lagian jam segini sepi. Ga akan ada yang liat aku keluar dari sini. Jadi biar aman!" jawabku seraya berbalik. Setelah memakai pakaianku dengan rapi.Wanita itu masih duduk di tepi tempat tidurnya. Jika pakaianku sudah rapi, dan berbeda ketika aku datang ke mari. Itu artinya, dia tidak boleh lagi menyentuhku. Hanya aku yang boleh menyentuhnya sebagai tanda perpisahan.Aku berjalan mendekat p
POV JIHAN *********Jam sebelas siang. Aku baru keluar dari rumah. Setelah berada di luar rumah, aku kembali merapatkan pintu pagar. Berbarengan dengan Mba Yolan yang juga baru keluar dari rumahnya."Mba Jihan, jadi arisannya?" tanyanya setelah berdiri di hadapanku."Jadi, Mba. Mba Yolan jadi ikut?" tanyaku balik.Mba Yolan terlihat mengangguk. "Boleh, Mba.""Udah izin suami, Mba?" tanyaku memastikan.Mba Yolan tersenyum simpul. "Suamiku udah berangkat lagi, Mba."Alisku terangkat mendengarnya. "Lagi? Cepet banget, Mba.""Iya, gitulah, Mba kalo kerja proyekan. Ga bisa lama-lama di rumah," jelasnya."Owhh, ya udah, kita langsung berangkat kalo gitu Mba," ajakku.Mba Yolan tak banyak protes. Aku serta Mba Yolan bergegas meninggalkan pekarangan rumahku. Berjalan beriringan menuju rumah Mba Aini.Tadinya, aku hendak pergi sendiri tanpa mengajak Mba Yolan. Mengingat di rumahnya pasti ada suaminya. Tapi ternyata, suaminya sudah berangkat lagi katanya. Jadi ya baguslah kalau Mba Yolan tetap
Kupandangi lekat netra bayi mungil yang terpejam itu. Setelah diberikan krim pereda gatal, Arsen akhirnya tertidur di ranjang pasien.Beruntung dia segera ditangani. Sehingga bintik-bintik merah yang menyebabkan rasa gatal, tak lebih menyebar keseluruh tubuhnya. Hanya di pipi dan leher saja yang terdapat bintik merah.Di seberang ku duduk, Mba Yolan juga duduk sambil terus mencoba menghubungi suaminya. Aku memintanya memberitahukan keadaan Arsen. Syukur syukur Ayahnya Arsen bisa izin lalu pulang untuk melihat kondisi anaknya.Terdengar hembusan nafas berat dari Mba Yolan. Lalu dia menyimpan ponselnya di atas meja samping ranjang pasien."Kenapa Mba? Ga diangkat?" tanyaku pelan dan Mba Yolan mengangguk dengan raut wajah kecewa."Sabar, ya! Mungkin ayahnya Arsen lagi sibuk," ucapku coba menghibur.Mba Yolan tersenyum kecil. "Iya, Mba. Aku ngerti kok," sahutnya."Mba, aku tebus dulu resep di bagian farmasi ya. Titip Arsen sebentar, ga apa apa kan, Mba?" tanya Mba Yolan kemudian."Silahka