Share

6. Kembali ke Jakarta

Setelah seminggu di Makassar, kini Arjuna dan Jelita kembali ke Jakarta. Salah satu alasan Jelita menerima pernikahan mendadak dengan Arjuna, agar gadis itu bisa kembali lagi ke Jakarta, karena Arjuna pasti akan kembali bekerja dan tentu membawanya ikut serta. Mungkin jika Jelita tak jadi menikah saat itu, orangtuanya tak lagi mengizinkan gadis itu untuk kembali ke ibu kota. Jelita pasti akan berakhir di kantor papanya bekerja. Membosankan, karena gadis itu ingin memulai karirnya dari nol.

Jelita dan Arjuna baru turun dari taksi yang ditumpanginya. Udara terasa dingin ketika tubuh itu diterpa angin malam. Keduanya memasuki pagar rumah yang kini akan ditinggali. Rumah yang sejak beberapa hari ditinggalkan Arjuna, demi kembali ke Makassar dan memenuhi undangan orangtua Jelita. Namun, yang terjadi malah Arjuna yang menikahinya.

Gadis yang memakai kulot denim dipadu blues dan jilbab senada itu memandangi rumah di depannya. Rumah dua tingkat dengan halaman yang tak luas, hanya ada beberapa bonsai dan kolam renang di samping rumah.

Arjuna membuka pintu, mengisyaratkan agar Jelita segera masuk ke dalam. Keduanya masuk, lalu Arjuna kembali menutup pintu.

“Tunjukkan di mana kamarku,” pinta Jelita saat ia telah berhasil memindai seisi rumah itu. Setidaknya ia melihat ada beberapa kamar di sana, yang tentu tak membuat dirinya harus tidur satu kamar dengan Arjuna.

Sejenak Arjuna merasa ada yang menghantam keras sisi hatinya. Ia menoleh pada Jelita seiring dengan pertanyaan itu meluncur dari bibir gadis yang ia cintai. Terlampau sakit, menyadari bahwa Jelita sama sekali tak bisa menerimanya.

Sementara gadis itu merasa bahagia, karena mulai hari ini ia tak perlu lagi berpura-pura baik-baik saja dengan pernikahan yang tak diharapkan itu. Jelita tak lagi harus memeluk tangan itu, tak lagi harus tersenyum dan bermanja dengan lelaki yang ia benci seumur hidupnya. Semua akan berjalan bagaimana semestinya. Arjuna dengan kehidupannya, Jelita dengan kehidupannya.

“Lita, aku tau kamu tak pernah mengharapkan pernikahan ini.” Saat itu Arjuna memulai percakapan.

“Tapi, tolong bersikap layak di depan orangtua kita.” Arjuna meminta. Ia tak sanggup melihat kekecewaan dari kedua orangtua Jelita, juga raut khawatir dari wajah ibunya, Melisa.

Jelita bergeming. Tatapannya kosong menghantam dinding kamar yang berhadapan dengannya. Tangan itu mengepal, lalu meninju sisi sofa yang ia duduki.

“Aku tahu kamu marah. Tapi, cobalah berdamai dengan takdir ini.”

Takdir? 

Jelita tersenyum miring, menatap tajam pada Arjuna yang duduk di sampingnya. Lalu, pergi entah ke mana. Karena, melihat wajah Arjuna, membuat gadis itu mengingat Kevin. Lelaki yang telah menghancurkan sebagian hidupnya, lalu takdir menyerahkannya pada lelaki yang tak ia cintai.

Kini, Jelita di sini. Di rumah Arjuna dan akan tinggal bersama. Sakit, ketika harus melakukan hal-hal yang tak ingin dilakukan. Jelita mengurangi rasa sakit itu dengan caranya sendiri, salah satunya meminimalkan melihat wajah Arjuna setiap hari dengan cara memilih kamar yang berbeda.

“Jelita ....” Suara Arjuna melemah. Entah, ia tak tahu harus melanjutkan dengan kalimat apa. Nyatanya saat semakin banyak ia bicara, Jelita semakin tak peduli.

Kadang ada hal-hal yang lelaki itu pertanyakan dalam diri sendiri. Namun, jawabannya tetap yakin bahwa menikahi Jelita adalah jalan yang terbaik untuk mengembalikan hati gadis itu untuknya.

“Aku hanya meminta kamar, bukan meminta diceraikan.” Jelita menatap Arjuna yang masih memegangi kopernya. Sebenarnya gadis itu sudah tak peduli jika menjadi janda sekalipun, tapi ia berpikir Arjuna benar. Orangtuanya akan menanggung malu seumur hidup, karena kecewa pada putrinya.

Lelaki itu menghembuskan napas pelan. Mencoba mengontrol diri agar tidak memperburuk situasi.

“Di atas ada dua kamar, di bawah dua. Terserah kamu mau yang mana.” Arjuna memutuskan akhirnya. Ia tak ingin berdebat panjang dengan Jelita, karena akan membuat suasana lebih sulit.

Tak lagi menjawab, Jelita mendorong kopernya menuju salah satu kamar yang ada di lantai bawah. Ia berpikir, itu akan lebih baik daripada harus menaikkan koper ke atas sana.

Arjuna juga melakukan hal yang sama. Menarik kopernya untuk masuk ke kamar yang bersebelahan dengan Jelita. Mulai hari ini, ia akan menempati kamar bawah agar bisa dekat dengan gadis itu.

*

Pagi.

Jelita membuka mata saat matahari mengganggu penglihatannya yang menembus melalui jendela kaca. Gadis itu menggeliat, lalu duduk sambil merenggangkan ototnya. Setelah subuh, Jelita kembali tertidur karena perjalanan jauh yang terlalu melelahkan.

Gadis itu beringsut dari ranjang. Lalu, membuka tirai jendela agar cahaya matahari menyinari kamarnya. Setelah itu Jelita keluar, karena perutnya terasa lapar.

Jelita tak melihat Arjuna di rumah. Lelaki itu mungkin sudah sedari tadi pergi bekerja. Ia memasuki dapur, lalu membuka kulkas untuk melihat apa yang bisa dimasak agar bisa memberikan hak untuk perutnya.

Sial!

Kulkas terlihat kosong. Tak ada satu bahan pun yang bisa diolah Jelita untuk sekadar mengganjal perutnya pagi ini. Hanya dua kotak susu yang tertinggal di sana. Mungkin Arjuna sengaja mengosongkan kulkasnya, atau memang lelaki itu selama ini selalu makan di luar.

Jelita menutup pintu kulkas dengan sedikit kesal. Ia ingin kembali ke kamar dan memesan go food untuk mengisi perutnya pagi ini. 

Langkah itu terhenti saat dilihatnya sesuatu di meja makan. Jelita mendekat, lalu menarik satu kursi untuk duduk di sana. Ia mengambil kotak di depannya dan membuka. Wangi khas lontong sayur begitu menggugah selera saat kotak itu terbuka sepenuhnya.

Sepertinya Arjuna memang membeli untuknya, pikir Jelita. 

*

Setelah merasa kenyang, Jelita kembali ke kamar. Gadis itu ingin mandi agar tubuhnya segar. Namun, sebelum itu Jelita mengecek ponselnya. 

Kulkas kosong, makan apa yang ada dulu. Siang pesan aja go food. Nanti kalau aku udah pulang, kita belanja. Sorean.

Sebuah pesan dari Arjuna terbaca. Jelita hanya memahami, tanpa berniat membalasnya. Ia mencampakkan ponsel itu di ranjang, lalu kembali ke sisi jendela. Kembali memandangi pemandangan di belakang rumah Arjuna sembari merenungi nasib sialnya. 

Jelita memicingkan mata saat melihat sebuah pohon di belakang sana. Sejenis pohon Karsen yang diatasnya dibangun sebuah tempat duduk menyerupai rumah pohon. Gadis itu baru melihatnya, padahal sejak tadi ia berdiri di depan jendela.

Gadis yang masih mengenakan piyama tidur itu keluar dari kamar, untuk melihat tempat unik itu. Jelita masih ingat bagaimana Arjuna kecil sering menceritakan tentang rumahnya di Jakarta.

“Suatu hari kamu harus main ke sana, Lita.” Arjuna sering mengulang kalimat itu setelah ia liburan dari Jakarta.

Ingatan Jelita kembali pada saat ia dan Arjuna masih mengenakan seragam sekolah dasar. 

“Kenapa gak sekolah?” tanya Jelita melalui sambungan telepon, saat itu mereka masih berusia sembilan tahun.

“Kamu pasti gak punya temen ya.” Arjuna kecil terlalu percaya diri. “Aku lagi di Jakarta, mama papa udah izin.”

“Kapan pulang?” tanya Jelita.

“Kangen ya.” 

Jelita menutup teleponnya, kesal pada Arjuna yang terlalu percaya diri. Padahal memang benar, Jelita merasa sendiri. Karena setiap pagi, jika bukan Arjuna yang berteriak memanggil Jelita, maka sebaliknya. Lalu, mereka akan berangkat ke sekolah bersama-sama.

Jelita menaiki tangga yang terbuat dari kayu untuk sampai ke atas. Terhitung sepuluh tangga yang dinaiki Jelita, hingga ia bisa duduk di lantai kayu yang dibangun di atas pohon. Menyerupai rumah setengah jadi, karena hanya atap dan setengah dinding yang melengkapi.

Gadis cantik itu duduk di sana, menjulurkan kakinya ke bawah. 

“Suatu hari kamu harus ke sana.” Kalimat Arjuna kembali memenuhi pikirannya. Hal itu benar terjadi, Jelita kini bahkan duduk di tempat yang paling Arjuna sukai. Namun, harusnya keadaan hatinya tak seperti ini. Bukan dalam keadaan benci setengah mati.

Jelita memandangi ke bawah, terlihat rumput hijau memenuhi halaman belakang rumah.

“Papa membuatkannya khusus untukku.” Arjuna terus bercerita. Sementara Jelita mendengarnya dengan bahagia.

Rumah yang ia tinggali kini, dibeli ibu Arjuna untuk tempat tinggal jika mereka harus datang ke Jakarta karena pekerjaan. Melisa, selain cantik, ia juga lahir dari keluarga yang kaya. Ada hal yang bisa ia dapatkan dengan mudah, ada juga yang tak bisa ia genggam meskipun ia berusaha. Cinta sang suami. Melisa tak mendapatkan itu dalam hidupnya. Makin Arjuna tumbuh, cinta dari ayahnya untuk Melisa semakin berkurang, hingga yang tersisa hanya surat cerai sebagai bukti sudah tak ada yang tertinggal di hati itu.

Jelita kembali terlempar pada cerita-cerita Arjuna. Wajah itu terlihat sangat bahagia ketika ia berbagi pengalamannya. Bahkan ketika Arjuna mengatakan bahwa ayahnya adalah ayah terbaik di dunia. Namun, saat usia Arjuna memasuki SMP, lelaki itu malu pada kalimatnya. Malu pada Jelita karena pernah mengatakan itu padanya. Karena nyatanya, ayahnya hanyalah lelaki terburuk yang pernah ia temui.

Membayangkan itu, ada setitik rasa iba pada lelaki yang kini berstatus sebagai suaminya. 

Jelita memandangi seluruh bangunan kecil yang kini ia duduki. Gadis itu ingat, Arjuna menyuruh ayahnya untuk membuat rumah seperti dalam serial kartun yang sering ia tonton. Serial kartun binatang loreng yang membangun rumah di atas pohon, agar tak diganggu binatang lain. Mereka tinggal bersama anaknya. Seperti Arjuna, ayah, dan ibunya. Namun, mimpi Arjuna dicundangi takdir. Kadang Jelita ingin bertanya, bagaimana kondisi hati lelaki itu, tapi kebenciannya lebih mendominasi, hingga tak tersisa ruang untuk kembali pada keadaan yang sama seperti dulu.

“Kayak gini loh.” Arjuna menunjukkan sebuah foto. Gambar dirinya yang dipeluk erat oleh orang tua saat berada di atas rumah pohon. Terlihat senyum manis dari ketiganya. Senyum indah layaknya keluarga bahagia.

Jelita bangun, ingin turun ke bawah. Namun, gerakannya terhenti saat ia melihat dua nama yang terpahat di permukaan pohon yang menaungi tempat unik itu.

Arjuna dan Jelita.

Terpahat dengan tulisan sedikit dalam, seperti tulisan tangan Arjuna. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status