Share

7. Tidak Akur

“Ke mana?” Arjuna bertanya pada Jelita. Ia melihat gadis itu telah rapi dengan celana kulot dan kemeja putih serta jilbab warna senada.

“Kerja.” Jelita menjawab singkat.

Arjuna mengerutkan keningnya. Selama ini, ia tahu Jelita bekerja di perusahaan yang sama dengan Kevin. Arjuna sempat beberapa kali melihat mereka jalan berdua, di sebuah mall terbesar di Jakarta. Saat itu Arjuna sedang membeli suatu keperluan, seketika merasa ada yang mengiris di dalam sana, di hatinya. Arjuna merasa sakit setiap kali melihat Jelita dengan lelaki lain.

Lelaki yang telah memakai jas berwarna putih khas dokter itu masih bingung dengan sikap Jelita. Kevin jelas sudah mempermainkan dirinya, tapi masih saja ingin bertahan di perusahaan itu.

Setelah menjawab singkat, Jelita melangkah keluar dari rumah. Ia telah memesan taksi online untuk sampai di perusahaan ia bekerja. Gadis itu bahkan sengaja tak peduli pada panggilan Arjuna yang menawarkan untuk mengantar.

Kembali Arjuna menarik napas kasar menghadapi sikap Jelita. Terkadang ia berpikir bahwa cinta yang ia miliki bukan menguatkan, tapi melemahkan. Terkadang ia berpikir bahwa orang-orang terlalu jumawa saat tahu perasaan orang lain untuknya begitu dalam, sementara ia tak berniat membalasnya. Itu menyiksa.

Namun, di sisi lain, Arjuna merasa tak ingin menyerah pada apa yang baru saja ia mulai.

Arjuna mengeluarkan mobil dari garasi dan mulai memanaskan mesinnya. Ia telah rapi dengan jas putih, dengan kemeja biru laut di dalamnya, serta celana hitam berbahan kain. 

“Kamu kuliah di manajemen aja, biar bisa bantu bisnis mama.”

Saat itu Arjuna baru saja lulus SMA. Melisa menyarankan agar lelaki itu bisa melanjutkan perjalanan bisnis perhotelan yang ia warisi dari keluarganya. Bisnis perhotelan yang semakin meluas dari Makassar, Jakarta, hingga Bali. Selama ini, Melisa menghandle bisnis itu bersama adiknya, juga beberapa orang kepercayaan dan tentu karyawan-karyawan yang sangat membantu. 

“Nggak, Ma.” Arjuna menggeleng. Ia masih memegang ijazah yang baru saja diambil dari sekolah. Ia menatap daftar nilai yang tertera di sana.

“Juna tau harus jadi apa. Aku pengen jadi dokter.” Arjuna memutuskan.

Melisa menghela napas pelan. Ia memang berharap Arjuna bisa membantunya. Sudah lama perempuan itu menunggu Arjuna tumbuh dewasa dan berkecimpung di bidang bisnis. Namun, ia lebih menghargai jika Arjuna melakukan sesuatu yang ia sukai. Melisa membebaskan lelaki itu untuk memilih masa depannya.

“Oke,” ucap Melisa mendukung keputusan Arjuna. Perempuan yang masih terlihat muda itu mengambil ijazah di tangan putranya, ia melihat nilai-nilai yang memuaskan tertulis rapi di sana. Menandakan bahwa selama ini, Arjuna memang belajar giat untuk bisa menggapai apa yang ia inginkan.

Kini Arjuna bekerja sebagai dokter di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta. Lelaki itu berhasil meraih gelar kedokteran dan bekerja di usia yang terbilang masih muda, dua puluh lima tahun.

Arjuna merapikan rambutnya yang sedikit gondrong itu melalui cermin yang ada di dalam mobil. Setelah memastikan penampilannya benar-benar rapi, ia melajukan mobilnya menuju rumah sakit.

*

Jelita turun dari taksi setelah membayar beberapa uang untuk pengemudi. Gadis itu memandangi bangunan tinggi yang ada tepat di depannya. Ia berpikir untuk mundur dan pulang saja, tapi yang ingin ia lakukan sekarang adalah salah satu tujuan menerima pernikahan mendadak dengan Arjuna.

Tujuan untuk sedikit memberi pelajaran pada seorang Kevin Leonard yang telah mempermainkan hatinya. Menjatuhkan harga dirinya di depan banyak orang, meskipun terselamatkan dari title gadis yang gagal menikah, tapi tetap saja ia tak menginginkan hal itu. Jelita tak pernah membayangkan takdirnya akan seburuk itu. Kevin yang membuatnya merasakan tekanan setiap hari, sebab itu setidaknya Jelita harus memberi pelajaran untuk lelaki itu.

Dengan langkah pasti, Jelita mengayunkan langkahnya memasuki lobi yang luas dan terlihat indah. Beberapa orang yang melewati itu tersenyum ke arahnya, entah tersenyum untuk apa. Karena, Jelita merasa seperti sedang mempermalukan diri di sini, tapi ia harus menyelesaikan misinya.

Gadis itu menempelkan ID pengenal untuk bisa melewati pintu detektor. Gedung perkantoran itu termasuk ketat, tak boleh dimasuki siapa saja tanpa kartu pengenal. Jelita menempelkan sekali karena ia hanya datang seorang diri.

Setelah pintu terbuka, Jelita melangkah beberapa langkah di mana lift akan turun, dan gadis itu akan memasukinya.

Pintu lift tertutup setelah Jelita menekan angka empat pada tombol di sisi pintu. Gadis yang mengenakan kemeja putih itu akan menuju ke lantai empat, di mana selama beberapa tahun ia bekerja di sana sebagai karyawan tetap di perusahaan itu.

Jelita keluar saat pintu lift terbuka. Persetan dengan pandangan orang nanti, ia harus sampai di ruang itu dalam keadaan hati yang baik. Meskipun sebenarnya ia tak sekuat itu. Gadis itu setidaknya harus menampar Kevin, atau melakukan apa pun yang membuat lelaki itu malu dan sedikit tahu diri. Agar lelaki pengecut itu tahu bagaimana rasanya dipermalukan.

Jelita berjalan lurus menyusuri lorong yang tertulis berbagai divisi perusahaan. Ia hanya fokus pada satu ruangan yang akan ia tuju. Ruang HRD yang bertuliskan nama Kevin Leonard.

Baru saja kaki itu berhenti di depan ruangan Kevin, Jelita dikejutkan oleh beberapa rekan yang menyambutnya dengan aneka kejutan. Sarah, teman kerja Jelita memengangi kue berukuran lumayan besar yang bertuliskan ucapan selamat untuk pernikahannya dengan Kevin.

Kapan masuk kerja? tanya Sarah melalui sebuah chat W******p.

Jelita membaca pesan itu dengan rasa yang entah bagaimana dijelaskan. Menyedihkan, karena gadis itu tak tahu harus menjawab apa.

Besok

Jelita membalas asal. Ia memang tak yakin akan kembali bekerja di sana. Namun, ia sangat yakin untuk resign kerja. 

Jelita menatap teman-temannya yang sekaligus teman Kevin denga tatapan kosong. Dari kue di tangan Sarah beralih pada kado di tangan teman-teman lainnya.

“Happy wedding, Lita.” Seru mereka ramai-ramai. Sarah yang paling bersemangat.

“Maaf ya, gak bisa datang. Jauh banget sih beda pulau.” Reno berkata. Disambut teman-teman lain yang terlihat menyesal dan meminta maaf karena tak bisa menghadiri pernikahan Jelita dan Kevin.

Jelita menggigit bibir bawahnya. Berusaha menahan air mata yang ingin berjatuhan tanpa malu itu. Gadis itu menoleh ke arah lain, karena setetes air meluncur dari sudut matanya. Rupanya ia tak sekuat yang ia bayangkan beberapa menit lalu.

Tangan itu terkepal. Ada rasa panas yang menguasai hatinya. Andai saja Kevin ada di depan mata, mungkin ia bisa melampiaskan kemarahannya.

“Bajingan!” teriak Jelita di depan semua temannya. Lalu, lari secepat mungkin sambil menyeka air matanya.

Sarah meletakkan kue yang tadi dipegang ke tangan teman di sampingnya. Ia mengejar Jelita yang sepertinya sedang menyembunyikan sesuatu darinya.

Semua temannya saling menatap. Bingung. Lalu, baru menyadari bahwa Jelita tak datang bersama Kevin yang harusnya sedang menghabiskan waktu istimewa berdua.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status