“Ke mana?” Arjuna bertanya pada Jelita. Ia melihat gadis itu telah rapi dengan celana kulot dan kemeja putih serta jilbab warna senada.
“Kerja.” Jelita menjawab singkat.
Arjuna mengerutkan keningnya. Selama ini, ia tahu Jelita bekerja di perusahaan yang sama dengan Kevin. Arjuna sempat beberapa kali melihat mereka jalan berdua, di sebuah mall terbesar di Jakarta. Saat itu Arjuna sedang membeli suatu keperluan, seketika merasa ada yang mengiris di dalam sana, di hatinya. Arjuna merasa sakit setiap kali melihat Jelita dengan lelaki lain.
Lelaki yang telah memakai jas berwarna putih khas dokter itu masih bingung dengan sikap Jelita. Kevin jelas sudah mempermainkan dirinya, tapi masih saja ingin bertahan di perusahaan itu.
Setelah menjawab singkat, Jelita melangkah keluar dari rumah. Ia telah memesan taksi online untuk sampai di perusahaan ia bekerja. Gadis itu bahkan sengaja tak peduli pada panggilan Arjuna yang menawarkan untuk mengantar.
Kembali Arjuna menarik napas kasar menghadapi sikap Jelita. Terkadang ia berpikir bahwa cinta yang ia miliki bukan menguatkan, tapi melemahkan. Terkadang ia berpikir bahwa orang-orang terlalu jumawa saat tahu perasaan orang lain untuknya begitu dalam, sementara ia tak berniat membalasnya. Itu menyiksa.
Namun, di sisi lain, Arjuna merasa tak ingin menyerah pada apa yang baru saja ia mulai.
Arjuna mengeluarkan mobil dari garasi dan mulai memanaskan mesinnya. Ia telah rapi dengan jas putih, dengan kemeja biru laut di dalamnya, serta celana hitam berbahan kain.
“Kamu kuliah di manajemen aja, biar bisa bantu bisnis mama.”
Saat itu Arjuna baru saja lulus SMA. Melisa menyarankan agar lelaki itu bisa melanjutkan perjalanan bisnis perhotelan yang ia warisi dari keluarganya. Bisnis perhotelan yang semakin meluas dari Makassar, Jakarta, hingga Bali. Selama ini, Melisa menghandle bisnis itu bersama adiknya, juga beberapa orang kepercayaan dan tentu karyawan-karyawan yang sangat membantu.
“Nggak, Ma.” Arjuna menggeleng. Ia masih memegang ijazah yang baru saja diambil dari sekolah. Ia menatap daftar nilai yang tertera di sana.
“Juna tau harus jadi apa. Aku pengen jadi dokter.” Arjuna memutuskan.
Melisa menghela napas pelan. Ia memang berharap Arjuna bisa membantunya. Sudah lama perempuan itu menunggu Arjuna tumbuh dewasa dan berkecimpung di bidang bisnis. Namun, ia lebih menghargai jika Arjuna melakukan sesuatu yang ia sukai. Melisa membebaskan lelaki itu untuk memilih masa depannya.
“Oke,” ucap Melisa mendukung keputusan Arjuna. Perempuan yang masih terlihat muda itu mengambil ijazah di tangan putranya, ia melihat nilai-nilai yang memuaskan tertulis rapi di sana. Menandakan bahwa selama ini, Arjuna memang belajar giat untuk bisa menggapai apa yang ia inginkan.
Kini Arjuna bekerja sebagai dokter di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta. Lelaki itu berhasil meraih gelar kedokteran dan bekerja di usia yang terbilang masih muda, dua puluh lima tahun.
Arjuna merapikan rambutnya yang sedikit gondrong itu melalui cermin yang ada di dalam mobil. Setelah memastikan penampilannya benar-benar rapi, ia melajukan mobilnya menuju rumah sakit.
*
Jelita turun dari taksi setelah membayar beberapa uang untuk pengemudi. Gadis itu memandangi bangunan tinggi yang ada tepat di depannya. Ia berpikir untuk mundur dan pulang saja, tapi yang ingin ia lakukan sekarang adalah salah satu tujuan menerima pernikahan mendadak dengan Arjuna.
Tujuan untuk sedikit memberi pelajaran pada seorang Kevin Leonard yang telah mempermainkan hatinya. Menjatuhkan harga dirinya di depan banyak orang, meskipun terselamatkan dari title gadis yang gagal menikah, tapi tetap saja ia tak menginginkan hal itu. Jelita tak pernah membayangkan takdirnya akan seburuk itu. Kevin yang membuatnya merasakan tekanan setiap hari, sebab itu setidaknya Jelita harus memberi pelajaran untuk lelaki itu.
Dengan langkah pasti, Jelita mengayunkan langkahnya memasuki lobi yang luas dan terlihat indah. Beberapa orang yang melewati itu tersenyum ke arahnya, entah tersenyum untuk apa. Karena, Jelita merasa seperti sedang mempermalukan diri di sini, tapi ia harus menyelesaikan misinya.
Gadis itu menempelkan ID pengenal untuk bisa melewati pintu detektor. Gedung perkantoran itu termasuk ketat, tak boleh dimasuki siapa saja tanpa kartu pengenal. Jelita menempelkan sekali karena ia hanya datang seorang diri.
Setelah pintu terbuka, Jelita melangkah beberapa langkah di mana lift akan turun, dan gadis itu akan memasukinya.
Pintu lift tertutup setelah Jelita menekan angka empat pada tombol di sisi pintu. Gadis yang mengenakan kemeja putih itu akan menuju ke lantai empat, di mana selama beberapa tahun ia bekerja di sana sebagai karyawan tetap di perusahaan itu.
Jelita keluar saat pintu lift terbuka. Persetan dengan pandangan orang nanti, ia harus sampai di ruang itu dalam keadaan hati yang baik. Meskipun sebenarnya ia tak sekuat itu. Gadis itu setidaknya harus menampar Kevin, atau melakukan apa pun yang membuat lelaki itu malu dan sedikit tahu diri. Agar lelaki pengecut itu tahu bagaimana rasanya dipermalukan.
Jelita berjalan lurus menyusuri lorong yang tertulis berbagai divisi perusahaan. Ia hanya fokus pada satu ruangan yang akan ia tuju. Ruang HRD yang bertuliskan nama Kevin Leonard.
Baru saja kaki itu berhenti di depan ruangan Kevin, Jelita dikejutkan oleh beberapa rekan yang menyambutnya dengan aneka kejutan. Sarah, teman kerja Jelita memengangi kue berukuran lumayan besar yang bertuliskan ucapan selamat untuk pernikahannya dengan Kevin.
Kapan masuk kerja? tanya Sarah melalui sebuah chat W******p.
Jelita membaca pesan itu dengan rasa yang entah bagaimana dijelaskan. Menyedihkan, karena gadis itu tak tahu harus menjawab apa.
Besok
Jelita membalas asal. Ia memang tak yakin akan kembali bekerja di sana. Namun, ia sangat yakin untuk resign kerja.
Jelita menatap teman-temannya yang sekaligus teman Kevin denga tatapan kosong. Dari kue di tangan Sarah beralih pada kado di tangan teman-teman lainnya.
“Happy wedding, Lita.” Seru mereka ramai-ramai. Sarah yang paling bersemangat.
“Maaf ya, gak bisa datang. Jauh banget sih beda pulau.” Reno berkata. Disambut teman-teman lain yang terlihat menyesal dan meminta maaf karena tak bisa menghadiri pernikahan Jelita dan Kevin.
Jelita menggigit bibir bawahnya. Berusaha menahan air mata yang ingin berjatuhan tanpa malu itu. Gadis itu menoleh ke arah lain, karena setetes air meluncur dari sudut matanya. Rupanya ia tak sekuat yang ia bayangkan beberapa menit lalu.
Tangan itu terkepal. Ada rasa panas yang menguasai hatinya. Andai saja Kevin ada di depan mata, mungkin ia bisa melampiaskan kemarahannya.
“Bajingan!” teriak Jelita di depan semua temannya. Lalu, lari secepat mungkin sambil menyeka air matanya.
Sarah meletakkan kue yang tadi dipegang ke tangan teman di sampingnya. Ia mengejar Jelita yang sepertinya sedang menyembunyikan sesuatu darinya.
Semua temannya saling menatap. Bingung. Lalu, baru menyadari bahwa Jelita tak datang bersama Kevin yang harusnya sedang menghabiskan waktu istimewa berdua.
“Kevin sialan!” umpat Jelita sambil menyeka air matanya dengan gerakan kasar. “Mental pengecut!” Gadis itu berlari menuju pintu lift, lalu memasukinya ketika pintu terbuka. Jelita menekan tombol satu untuk menuju ke lantai bawah. Ia ingin menghindari kejaran Sarah, ia ingin pulang atau ke mana saja. Sampai di lantai lobi, Jelita segera keluar dan menuju taman yang terletak di samping gedung perkantoran. Ia duduk di bangku besi panjang di taman itu. Tak ada orang di sana, hanya Jelita yang mulai menangis sendirian. Di sana ia tumpahkan semua rasa sakitnya. Ia menangisi rasa kecewa yang belum sembuh, dan itu semua karena ulah Kevin. Gadis itu tak menyangka Kevin yang selalu bersikap baik, tega meninggalkannya di hari pernikahan. “Dia lelaki pengecut, Lita. Kamu harus bersyukur Allah menunjukkan dia yang sebenarnya sebelum kalian menikah. Seandainya nanti sudah menikah baru ketahuan, itu akan lebih sulit.” Ibu Jelita mengungkapkan kalimat yang menenangkan putrinya saat itu. Namun, te
“Masih kerja di sana?” Arjuna bertanya di sela menyantap sarapannya. Pagi ini, Jelita memasak nasi goreng telur ceplok, sarapan simpel yang bisa dengan mudah ia masak. Sepasang suami istri itu makan bersama, di meja yang sama. Namun, beberapa menit berlalu, hanya denting suara sendok yang beradu dengan piring yang terdengar. Tak ada yang berbicara. Jelita masih tetap dengan sikap dinginnya. Sikap yang masih tak menerima Arjuna dalam hidupnya. Meskipun Jelita tak menerima Arjuna sepenuhnya, tapi gadis itu melakukan tanggung jawabnya sebagai seorang istri, kecuali menyerahkan hati dan dirinya untuk suami dadakan yang menikahinya beberapa waktu lalu. Itu komitmen Jelita dengan dirinya sendiri. “Aku resign.” Singkat. Sejak menikah dengan Arjuna, Jelita seolah banyak kehilangan kata. Gadis itu sangat irit bicara, atau memang hanya malas bicara dengan Arjuna. Arjuna mengangguk mengerti. Ada sedikit kelegaan dalam hatinya, karena dengan resign, itu artinya Jelita tak lagi bertemu dengan K
Jelita membuka pintu taksi yang ia tumpangi. Hari ini entah kantor ke berapa yang ia datangi untuk memohon sebuah posisi pekerjaan. Sejak memutuskan resign dari kantor lama, Jelita pergi dari satu perusahaan ke perusahaan lain untuk menyambung nasib karirnya. Ah, jika Jelita mau, ia bisa menempati posisi yang tinggi di perusahaan ayahnya bekerja. Sebagai pemegang saham di salah satu perusahaan besar, tentu mudah untuk menjembatani Jelita menjadi bagian dari perusahaan itu. Namun, Jelita tak ingin seperti itu. Gadis itu lebih suka menikmati proses ia membangun karir, daripada harus bergantung di bawah ketiak orang tuanya. “Papa bisa memberikan posisi penting untuk kamu di sana, Lita.” Saat itu Jelita baru selesai wisuda. Raihan menawarkan untuk bekerja di kantornya. Namun, Jelita menolak. Ia sudah punya kantor tujuan tempat ia bekerja. Ya, satu kantor dengan Kevin, agar keduanya bisa saling bertemu setiap saat. Matahari terlihat menantang di bawah langit ibu kota, Jelita ingin pulang
Arjuna menutup pintu ruangan kerjanya. Setelah menunaikan isya di ruang kerja, ia bergegas ingin pulang. Meskipun Jelita tak menunggunya di rumah, tapi Arjuna takut meninggalkan gadis itu seorang diri. Arjuna selalu pulang untuk gadis yang tak pernah menunggunya. Lelaki dengan setelan jas putih itu memakai ransel di punggungnya, ia berjalan dari koridor rumah sakit, melewati ruang demi ruang untuk sampai di pintu keluar. Baru saja Arjuna berjalan beberapa langkah, ia mendengar sirine ambulans yang terdengar di luar sana. Arjuna mengambil ponselnya kembali dari saku jas, setelah mengirimkan pesan untuk Jelita. Pesan bahwa ia akan segera pulang. Ya, hanya untuk memberitahu, meski yang diberitahu tak pernah mengharapkannya. Lalu, kembali mengetikkan sebuah pesan bahwa ada keadaan mendadak di rumah sakit. Arjuna mengerti sinyal darurat saat tiba-tiba sebuah ranjang pasien didorong dengan cepat. Beberapa tetes darah mengotori lantai putih yang ia pijak. Arjuna berpikir bahwa itu adalah k
Part 12 * Pagi. Jelita terbangun dengan aktivitas yang sama. Menyiapkan sarapan, makan dalam keheningan, membersihkan rumah, dan kembali ke kamar jika bosan menonton. Tak ada yang spesial dalam hidupnya, bahkan pernikahan yang bagi orang lain terasa indah, baginya adalah masalah. Ya, semua berawal dari masalah, berlanjut berlarut dalam suasana yang tak diinginkan. Satu-satunya orang yang menyebabkan penderitaan panjang itu adalah Kevin. Lusanya, setelah hari itu Jelita mendatangi rumah Kevin, gadis itu datang lagi untuk memastikan. Hingga beberapa kali ia berdiri di depan pagar kokoh itu, kenyataannya tetap sama. Tak ada tanda-tanda orang muncul di dalam sana. Kevin pergi, menghilang dari luka dan masalah yang ia tinggalkan. Untuk sebagian orang, mencari alasan kenapa seseorang pergi, tidaklah penting. Berbeda dengan Jelita, ia harus tahu kenapa, ia harus mencari tahu alasannya. Jelita menghela napas pelan. Terlalu bosan menjalani hidup yang sama sekali tak punya warna, hanya ada
Bab 13*Jelita berdiri di depan pintu rumah. Ia bahkan terlalu malas melangkahkan kaki untuk masuk ke sana, terlalu malas untuk melihat wajah yang sama sekali tak ingin dilihatnya. Gadis itu selalu sibuk berperang dengan perasaan sendiri, perasaan enggan menerima, tapi nyatanya takdir memaksa. Memaksa tinggal dalam satu atap, memaksa bersama dalam tak bersamaan. Jelita membuka pintu, ia disambut dengan suasana gelap dari dalam rumah. Gadis itu pulang saat senja sedang merah-merahnya, terjebak macet hampir satu jam, hingga saat ia menghidupkan ponselnya, angka tujuh terpampang jelas di sana. Ia merasa lega, karena Arjuna mungkin saja belum pulang, dan ia bisa langsung tidur tanpa melihat wajah itu. Atau ia bisa mengurung diri di kamar sampai mata ia bisa terpejam. Jelita menekan sakelar di dinding untuk menghidupkan penerangan rumah. Lalu, gadis itu sedikit berjingkat terkejut saat melihat Arjuna muncul dari balik tirai dapur, perlahan ia berjalan mendekat di mana Jelita kini masih
Bab 14 *Arjuna masih duduk di balik pintu kamar Jelita. Ia masih mendengar Isak tangis di dalam sana. Malam ini ia harus mengatakan semuanya, didengarkan atau tidak, ia harus akhiri kesimpulan salah dari Jelita. “Maaf untuk semua kekecewaan yang pernah kulakukan. Salahku karena menuruti keinginan Aldi, bukan yang memulai mengajaknya balapan. Dia yang punya ide gila itu.” Arjuna berkata pelan, ia tahu di dalam sana Jelita pasti bisa mendengarnya. Kembali ingatan itu hadir di memori Arjuna. Melintasi slide demi slide seperti sebuah drama yang diputar ulang. Seandainya ia tahu Aldi pergi dengan cara seperti itu, ia tak akan bersikap egois dan kekanakan, bahkan berniat pun tak akan. “Kamu suka sama Jelita, kan?” Pertanyaan Aldi sukses membuat Arjuna terdiam. Pertanyaan yang ingin ia sembunyikan jawabannya, tapi kadang ada sisi hati ingin memiliki gadis itu seutuhnya. Ada saat di mana hatinya ingin berteriak dan mengatakan bahwa benar ia menyukai Jelita. Sejak dulu, dari dulu. Lalu,
Part 15 * Aldi mengangguk pada Arjuna, menandakan mereka akan memulai balapan di jalanan hitam yang tak berujung. Arjuna membalas anggukan, lalu menutup kaca helmnya sebelum menancap gas menyusul Aldi yang telah lebih dulu menarik gas. Dua anak lelaki berseragam putih abu-abu itu melintasi jalan raya, saling beradu kecepatan hingga beberapa kali mendapat cacian dari para pengguna jalan. Keduanya sama keras kepala, sama tak peduli pada umpatan yang dilontarkan mereka yang merasa terganggu. Untung saja, Aldi tak memilih jalan utama, karena tahu mungkin satu menit saja mereka akan berakhir di kantor polisi. Dua motor itu saling mengejar, kadang Aldi di depan, kadang Arjuna berhasil mengalahkan jarak. Kini, Aldi yang tertinggal di belakang, membuatnya kembali manancap gas secara brutal hingga bisa menyeimbangi posisi Arjuna. “Aku yang lebih dulu sampai di finish.” Aldi berkata setengah berteriak, saat ia bisa menyajarkan posisinya di samping Arjuna. Sementara Arjuna menoleh, ia bisa