Share

5. Keresahan Seorang Ibu

Arjuna menapaki langkahnya di tangga. Sejenak, ia berdiri di depan pintu kamar. Di mana di dalam sana telah menunggu seorang gadis yang ia tahu belum bisa menerima takdir sepenuhnya. Ah, Jelita tak menunggunya. Gadis itu mungkin hanya menunggu esok hari ajar bisa segera pulang ke rumahnya.

“Bagaimana, Juna?” tanya Melisa saat Arjuna sedang duduk di depan televisi.

“Apanya, Ma?” Arjuna balik bertanya. Sebenarnya ia mengerti arah pembicaraan sang mama.

“Pernikahanmu.”

Sejenak Arjuna terdiam mendengar pertanyaan sang ibu. Matanya memandangi wanita yang telah melahirkannya sedikit lama, ada sorot harapan juga khawatir di manik mata itu.

Arjuna berpikir jawaban yang tepat untuk melegakan hati ibunya. Ia tak bisa melihat wanita itu terus-menerus merasa khawatir akan pernikahannya.

“Baru beberapa hari, Ma. Jelita butuh pembiasaan dari semua yang terjadi.” Arjuna menjawab akhirnya. Memberi pengertian pada ibunya tentang sebuah kekhawatiran yang mungkin saja dirasakan semua ibu di dunia.

Ibu mana yang sanggup melihat anaknya terluka?

Melisa mengangguk. Lalu, menepuk pundak lelaki yang tumbuh lebih tinggi darinya. Lelaki yang mewarisi fisik ayahnya, tapi mewarisi kelembutan sifat keibuan Melisa di hatinya.

“Mama selalu doakan yang terbaik untukmu.” Melisa menatap Arjuna lekat. Lalu, setetes air meluncur dari sana.

Tangan Arjuna terulur, menghapus jejak air mata di pipi lembut ibunya.

“Mama hanya tidak mau kamu mewariskan nasib mama.” Melisa menahan tangan Arjuna, membuatnya menangkupkan dua tangan itu di wajahnya. Wajah yang amat Arjuna cintai, dan tak pernah bisa tertukar posisinya.

Arjuna menggeleng. Mengisyaratkan ibunya agar tidak pernah membahas itu lagi. Karena setiap kali ia mendengar tentang ayah, ada sisi hatinya yang teriris, luka itu kembali terbuka pelan dan rasanya perih. Arjuna terbayang bagaimana lelaki itu pergi. Lelaki yang harusnya menjadi panutan, memilih memberikan hatinya untuk wanita lain. Sementara Arjuna dan ibunya dibiarkan menangisinya setiap malam. Tanpa kabar, tanpa sapa, karena setelah itu hanya surat cerai yang dikirimkan untuk Melisa.

Sejak itu, Arjuna berjanji akan membahagiakan ibunya dengan cara apa pun. Lelaki itu akan menjadi penjaga untuk ibunya dalam kondisi apa pun. Arjuna tak akan membiarkan ibunya menangis terlalu banyak lagi.

“Arjuna baru mencoba, Ma. Hati Jelita hanya sedang tersesat. Aku janji akan membawa kembali hati itu pelan-pelan.”

Arjuna masih berdiri di depan pintu. Teringat olehnya percakapan dengan sang ibu beberapa menit lalu. Bagaimana pun, ia tak bisa melihat raut khawatir di wajah itu. Kekhawatiran yang sewaktu-waktu bisa menjadi kekecewaan yang mendalam jika saja Melisa tahu bagaimana hubungan Jelita dan Arjuna yang sebenarnya.

Arjuna menekan handel pintu. Lalu memasukinya. Terlihat di ranjang sana Jelita sedang duduk, dan tangannya tergesa saat meletakkan sebuah foto yang mungkin baru saja ia lihat.

Arjuna menatap Jelita, terlihat gadis itu buru-buru menyeka air mata.

“Lah, barang belanjaannya belum diberesin?” Arjuna mengalihkan keadaan dari apa yang ia tebak baru saja terjadi di kamar ini. Ia mengalihkan pandangan ke meja di dekat lemari.

Ya, Jelita mungkin baru saja menangisi sebuah kenangan, pikir Arjuna.

“Ah, iya. Tadi mau beresin.” Jelita bangkit dari duduknya. Ia menuju sebuah meja di depan sofa yang terletak di sisi dinding.

Gadis itu duduk bersila di hambal yang terhampar. Ia mulai mengeluarkan isi dari paper bag yang ia beli dengan ibu mertuanya. Gadis itu merapikannya dengan memasukkannya ke lemari.

Jelita kembali membuka paper bag yang lainnya, lalu berteriak saat melihat sesuatu di dalamnya dengan perasaan ngeri.

“Apa ini?” teriak Jelita memperlihatkan sebuah baju pada Arjuna, dengan wajah pias karena malu. Baju dengan bahan tipis dan jika dipakai akan membelok seluruh bentuk tubuh beserta isinya.

“Cari aja di internet fungsinya untuk apa?” Arjuna tertawa.

Jelita melemparkan baju tipis itu ke arah Arjuna, di mana lelaki itu baru saja duduk memainkan ponselnya di atas kasur.

“Jangan terlalu berfantasi!” ucap Jelita memperingatkan.

Arjuna tak menghiraukan. Ia masih saja tertawa menggoda Jelita,  sembari membalas beberapa pesan dari teman-teman kerjanya.

Lelaki itu meletakkan ponsel, lalu mengambil lingerie yang tersangkut di ujung ranjang.

“Cantik sih,” ucap Arjuna sembari mengangkat baju berbahan tipis itu ke udara.

“Butuh perjuangan juga buat dapetinnya.” Arjuna melanjutkan.

Sejenak Jelita bergeming, ia baru akan duduk kembali di tumpukan paper bag yang ada di dekat meja. Seingatnya ia dan mama tak pernah membeli baju itu. Pantas saja Arjuna menghilang setelah mengantarkan Jelita dan Melisa ke mall. Tenryata lelaki itu berburu lingerie.

Ish! Menggelikan sekali kelakuannya.

Jelita berlari menuju ranjang, di mana Arjuna masih memegang lingeri di tangannya. Gadis itu ingin merebut baju itu dari tangan Arjuna, ingin membuangnya atau mengguntingnya mungkin. Bahkan Jelita merinding membayangkan dirinya memakai baju tipis itu di depan Arjuna. 

Arjuna menggeser tangannya, hingga lompatan Jelita melesat. Ingin meraih tangan Arjuna, malah jatuh ke pelukannya tanpa sengaja. Jelita jatuh dalam dekatapan Arjuna dalam kondisi setengah terbaring. Posisi Jelita di atas Arjuna. Sementara tangan Arjuna menggenggam erat baju dinas itu.

Harum maskulin tubuh Arjuna terhidu lembut di hidung Jelita. Dalam posisi seperti itu, membuat otaknya sedikit bergeser. Keduanya saling menikmati debaran yang mengencang. Lalu tatapan itu beradu beberapa detik, hingga Jelita menarik diri dari dada bidang Arjuna yang membuat kewarasannya sedikit berkurang. 

Jelita mendumel entah apa. Malu, salah tingkah sekaligus kesal. Sementara Arjuna masih merasakan sisa debar halus di jantungnya. Andai waktu bisa dihentikan, ia ingin tetap dalam posisi seperti tadi.

Arjuna tersenyum melihat Jelita. Setidaknya gadis itu kembali. Kembali bersikap seperti biasanya, tak lagi bersedih seperti beberapa saat lalu Arjuna melihatnya menyeka air mata.

Beberapa menit gadis itu merapikan belanjaannya. Sementara Arjuna sambil menunggu Jelita, ia kembali memainkan ponselnya. 

“Malam ini kan jadwal aku yang tidur di ranjang,” ucap Jelita mendekat ke arah Arjuna. Gadis itu melihat Arjuna telah siap menarik selimut tebalnya.

Arjuna tersenyum menggoda. Lalu, menepuk bantal di sampingnya. Lelaki itu mengisyaratkan agar Jelita tidur di sampingnya.

“Ogah!” ucap Jelita dengan ketus.

“Yaudah.” Arjuna menarik satu bantal di sampingnya, lalu menyerahkan pada Jelita sembari menunjuk dengan dagunya. Menunjuk ke arah sofa panjang yang terletak di sisi dinding.

“Oh, balas dendam?” tanya Jelita menantang.

“Fine,” lanjut gadis itu. Jekiat melangkah dengan kakak yang dihentikan di lantai, kesal. Ia menuju sofa yang ada di sisi dinding, posisinya tepat di depan ranjang king size yang kini ditiduri Arjuna.

Shit!

Gadis itu mengumpat dalam hati. Andai saja tak ada mama di rumah, mungkin Arjuna yang harus mengaku kalah.

Jelita merebahkan tubuhnya di sofa. Lumayan. Untung saja gadis itu bisa nyenyak tidur di mana saja, meskipun diakui tetap kasur dan ranjang tempat paling nyaman. Gadis itu beringsut, duduk dan menatap Arjuna yang sepertinya terlalu nyaman di atas sana. Jelita melangkahkan kaki, mendekat pada Arjuna, lalu ditariknya selimut yang menutupi tubuh itu.

“Selimutnya aku yang pakai.” Gadis itu berkata setelah mendapat tatapan bertanya dari Arjuna yang tiba-tiba membuka mata.

Arjuna mengendikkan bahunya. Kali ini ia mengalah.

Jelita kembali ke sofa. Ia mulai memejamkan mata, berharap segera bisa tidur malam itu, karena hatinya terlalu melelahkan.

Tak butuh waktu lama, mata Jelita terpejam, dan mulai terdengar dengkuran halus dan teratur dari gadis itu.

Sementara di atas ranjang sana, Arjuna masih terjaga. Tepatnya menunggu gadis yang ia cinta terlelap.

Arjuna turun dari ranjang, ia mendekat ke sofa, di mana tubuh Jelita terbaring tidur dengan pulas. Lelaki itu melayangkan tangannya di depan wajah Jelita, memastikan gadis itu benar-benar sudah terlelap.

Lalu, Arjuna mulai mengangkat tubuh ramping itu. Dengan debar yang sedikit mengencang dalam hatinya. Melihat Jelita dari jarak dekat slalu membuat debar berbeda dalam hatinya. Lelaki itu meletakkan tubuh Jelita di kasur yang empuk, lalu menyelimutinya hingga sedada.

Arjuna menatap wajah itu. Wajah yang hanya dibiarkan dipandangi saat ia terlelap. Lelaki berambut sedikit gondrong itu masih berjongkok di lantai, memandangi pipi mulus Jelita, hidungnya juga kedua mata indahnya yang tertutup. Arjuna mencinta seluruh bagian yang ada pada Jelita. Hinga saat tatapan mata itu beralih ke bibir Jelita, Arjuna kembali merasakan debar di dadanya. 

Jekita menggeliat, membuat Arjuna sedikit menjauh dari posisi semula. Khawatir jika  sewaktu-waktu Jelita akan bangun dan mendapati dirinya sedang memandang wajah itu. Setelah menggeliat sebentar, tubuh itu kembali diam.

Arjuna tersenyum sembari meletakkan dua jarinya di bibirnya, mengecupnya pelan, lalu ditempelkan jari itu di bibir ranum milik Jelita. 

“Selamat malam, Bidadariku.” Arjuna berbisik di telinga Jelita.

Setelah itu langkah Arjuna lurus menuju sofa. Ia rebahkan tubuh kekarnya di sana. Menghadap ranjang, agar bisa meilhat Jelita sebelum mata itu benar-benar terpejam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status