“Tidak sopan,” desisku pelan saat melihat wanita berbaju ketat itu memeluk leher suamiku.Bukan hanya Mas Arfan yang terperanjat dengan apa yang dilakukan wanita itu, tapi juga teman-teman Mas Arfan yang langsung berhenti mengunyah dan langsung melihat ke arahku yang mengepalkan tangan dengan wajah yang memanas.“Lisa, ngapain kamu?” tanya Mas Arfan seraya melepaskan tangan wanita itu.“Ih, Mas. Aku ‘kan kangen, Mas. Sudah lama, loh kita tidak berjumpa. Mas, sih diem di rumah orang tua Mas, terus. Jadinya kita jarang ketemu,” ujar wanita itu dengan manjanya.Aku masih diam di tempat mengawasi situasi yang semakin memanas. Satu persatu teman-teman Mas Arfan menyudahi acara makannya. Mungkin mereka merasa malu sendiri melihat tingkah wanita itu yang begitu berani.Sedangkan suamiku, ia berdiri seraya menoleh ke arahku. Entah apa maksudnya, tapi wajahnya begitu merah padam.“Maaf, semuanya, ini namanya Lisa. Dia ... adik dari Almarhumah istriku.”Semuanya manggut-manggut, kecuali aku.Ha
“Isna!” ujarku seraya berdiri.Keterkejutan pun terlihat dari wajah Mas Arfan dan Lisa. Suamiku sampai memegangi pipinya yang memerah akibat tamparan dari Isna.“Apa-apaan kamu ini?” ujar Mas Arfan menatap adikku dengan tajam.“Mas Arfan yang apa-apaan! Seenaknya saja mau nikah lagi! Dasar pria tidak tahu terima kasih!” semprot Isna dengan begitu murka.Aku menarik tangan Isna agar menjauh dari suamiku. Adikku itu bukan hanya marah kepada Mas Arfan, tapi juga kepada Lisa. Wanita itu hampir saja terkena amuk Isna kalau saja aku tidak menarik tangannya.“Is, kamu salah paham,” tuturku.“Salah paham bagaimana, Kak? Wanita itu jelas-jelas mengaku sebagai calon istri Mas Arfan. Kok, Kakak malah diam saja, sih? Mana, Kakakku yang selalu berani?” ujar Isna bersungut-sungut.Entah harus mulai dari mana aku menjelaskan kepada Isna. Rasanya sulit untuk aku menenangkan amarah adikku ini. Sudah aku coba untuk menenangkan dia, tapi gagal. Isna semakin brutal dan sampai mengambil gelas berisikan ai
“Kak Tari.”Usapan lembut dan suara merdu membuatku membuka mata dengan perlahan. Samar kulihat wajah adikku berada tepat di atasku.Semakin aku membuka mata, semakin jelas pula siapa dia. Dan ternyata, memang benar dialah adikku, Isna.“Masih pusing?” tanyanya mengusap keningku.Aku menggeleng pelan. Kulihat sekeliling ruangan yang tidak asing bagiku. Namun, ini bukanlah kamarku di rumah Mas Arfan.Kutajamkan penglihatan seraya mengingat-ingat ruangan ini. Kemudian mataku melebar saat aku sadar jika ini adalah kamarku di rumah Mama.“Isna, kenapa Kakak ada di sini?” tanyaku kaget.“Emm ....”“Jawab, Is! Siapa yang membawaku ke sini?” tanyaku lagi.Gadis dengan wajah yang mirip dengan Mama itu, memegangi tanganku yang ternyata terpasang jarum infus.“Kami yang membawa Kakak pulang. Aku, Mama dan juga Papa.”“Kok, bisa? Terus, Mas Arfan gimana?”“Kak, plis jangan pikirkan dia. Mas Arfan pun tidak sama sekali memikirkan Kakak. Jangankan untuk peduli, Kakak pingsan di rumahnya pun, dia t
“Papa, ini gimana? Kasihan Tari, Pah,” ujar Mama. Tangannya terus mengusap keningku yang berkeringat.“Bawa ke kamar saja, biarkan dia istirahat. Dia seperti itu karena syok. Nanti pun akan terbiasa. Lebih baik sakit sekali, daripada sakit berkali-kali.”Mama menuruti saran Papa. Dipapahnya aku hingga sampai di kamar Mama. Aku dibaringkan di ranjang, seraya terus terisak.Aku tidak pernah membayangkan akan sesakit ini rasanya berpisah. Terlebih, aku tidak mendengar langsung kata perpisahan itu keluar dari bibir suamiku.“Mah, kenapa Mas Arfan menceraikanku?” tanyaku tanpa melihat lawan bicara. Pandanganku lurus ke depan dengan tatapan kosong.“Papa yang minta, Kak. Papa tidak terima dengan perlakuan Arfan padamu. Namun, tidak ada penolakan sama sekali dari Arfan, saat Papa meminta kamu dikembalikan. Dia memang sudah tidak peduli lagi denganmu.”Aku menarik kaki yang tadinya memanjang, kini ditekuk hingga aku meringkuk seperti anak kecil.“Padahal, Mas Arfan masih menyimpan cinta untuk
Pria dengan badan tegap yang tak lain adalah Alvin, melambaikan tangan dan hanya dibalas senyum tipis olehku.Tidak ingin lama-lama melihat dia, aku masuk kembali ke dalam kamar. Memilih duduk di depan cermin menatap wajahku sendiri dari pantulan cermin.“Pucat sekali,” tuturku mengusap pipi dan bibir.Kualihkan pandangan pada jejeran make up di atas meja rias. Namun, aku tidak menemukan lipstik yang biasa aku pakai.“Apa aku tidak memiliki lipstik? Ah, tidak mungkin.” Aku terus berbicara sendiri seraya mencari benda kecil itu.Di meja tidak ada, tanganku beralih mencarinya ke laci. Saat laci terbuka, ternyata aku malah menemukan benda pipih yang aku cari-cari.“Oh, ternyata di sini ponselku,” ujarku seraya mengambil benda itu. Aku juga mengambil lipstik dari dalam sana, lalu mengoleskannya sedikit ke bibirku.Aku menghidupkan ponsel dan melihat ternyata banyak pesan di aplikasi hijau. Mataku memicing saat melihat siapa yang mengirimkan pesan tersebut.Mas Arfan. Dialah pengiriman pes
Aku terhenyak mendengar jawaban dari Alvin.“Apa Vin?” tanyaku untuk memperjelas jawaban yang dia berikan.“Cemburu. Aku cemburu melihatmu dengan Arfan.”Sangat jelas. Dan aku bisa mendengar semua kata perkata yang masuk ke telingaku.Diam, adalah caraku untuk mencerna jawaban yang diberikan Alvin. Aku paham, tapi aku tidak ingin mengambil kesimpulan.Kulihat Alvin begitu lekat menatapku. Tatapannya sangat beda dan tidak seperti biasanya. Aku menundukkan kepala untuk menghindari mata Alvin yang terus menyorotiku.“Maaf, Tari. Mungkin ini terlalu lancang. Tapi, kamu harus tahu satu hal, jika aku menyukaimu. Bahkan, bisa dikatakan aku mencintaimu.”Dadaku berdetak cepat saat Alvin kembali berucap. Aku meneguk ludahku dengan sulit, tidak menyangka dengan pengakuan yang dia lontarkan.“Kamu jangan bercanda, Vin. Tidak lucu. Aku sedang berduka,” ujarku seraya tertawa sumbang.“Tidak, Tari. Aku tidak sedang becanda. Ini serius. Kamu harus tahu, aku menyukaimu sejak dulu. Sejak pertama kamu
Di dalam kamar yang temaram, aku meringkuk di atas pembaringan yang luas. Namun, mataku enggan terpejam membuat pikiranku terus melayang jauh.Awal mula masalah dalam hidupku, keputusan menebus kesalahan, hingga pernikahan yang dilandasi kebohongan menari indah seperti potongan sebuh film.Rindu. Rasa itu tiba-tiba muncul tanpa aku undangan.Teringat dengan pesan yang tadi dia kirimkan, aku pun mengambil ponsel untuk melihat ada tidaknya pesan balasan dari dia.“Huft ....” Aku mengembuskan napas kasar.Ternyata tidak ada pesan darinya.Namun, mataku memicing saat melihat Mas Arfan mengunggah sebuah foto di story WhatsApp-nya.Sebuah buku kecil di atas meja yang tak lain adalah buku diary-ku. Catatan hatiku yang aku tulis di sana.Sebuah pesan tiba-tiba masuk membuatku cepat-cepat membukanya.[Tunggu. Aku tengah berjuang.]Lagi, Mas Arfan mengirimkan pesan yang tidak bisa aku mengerti.Apa yang sedang dia perjuangan?Aku?Senyumku tiba-tiba terukir seraya terus melihat pesan darinya. T
“Sembuh? Apa Mas Arfan sakit?” tanyaku penuh selidik.Hati kecilku masih begitu sangat peduli. Rasa khawatir tiba-tiba muncul membuatku semakin risau akan kesehatan ayah dari cabang bayi yang aku kandung.“Ah, tidak-tidak. Arfan hanya sedang berkonsultasi dengan psikolog, mengenai ... trauma yang dia derita,” jawab Alvin kemudian.“Trauma?” Kembali aku bertanya.“Iya. Kecelakaan yang dulu dialami Arfan, membuat dia trauma. Bukan karena benturan hebat, tapi kebencian dia terhadapmu yang tak wajar. Ya ... semacam pobia gitu.”Sekarang aku mendapatkan jawaban atas pesan yang dia kirim padaku, yang katanya dia bilang sedang berjuang. Jadi, itu perjuangan dia? Berjuang untuk sembuh dari traumanya terhadapku.Ada setitik rasa bahagia karena Mas Arfan mau berusaha memperbaiki hubungan kami. Jika ia memutuskan untuk berobat, itu artinya dia memang ingin kembali menjalin hubungan denganku.Tidak terasa kedua sudut bibir ini terangkat membayangkan jika nanti aku dan Mas Arfan bisa kembali tanpa