"Yah, hujan besar," gumamku pelan, masih berdiri di depan pintu rumah Pak Dosen, tepatnya Pak Aris.
Aku mendesah gusar. "Bagaimana ini? Masa iya aku harus pulang hujan-hujanan." DUAR!!! Suara petir yang menyambar membuatku sontak menutup telinga. Aku selalu memanggil nama tuhan beberapa kali, berharap hatiku yang takut ini bisa sedikit tenang. "Tuhan, tolong redain hujan ini..." batinku, sambil terus memandang jalanan yang mulai tergenang air. Lalu, suara berat dan tegas datang dari belakangku, membuatku sedikit melompat kaget. "Kamu belum pulang?" Aku menoleh perlahan. Pak Aris berdiri di sana, mengenakan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku. Dengan ekspresi datar khas dirinya, ia memandangku penuh tanda tanya. Aku hanya menggeleng cepat. Dalam hati, aku mengomel, Udah jelas-jelas belum pulang, masih aja ditanya. Dia ngak liat apa, nyawa dan jiwa raga masih di depan rumahnya. Tapi tentu saja aku tak berani mengatakannya. Ia menghela napas panjang, lalu tanpa basa-basi menyampirkan jaketnya ke punggungku. Aku membeku sejenak, jantungku tiba-tiba berdebar tak kembali dengan semula. Jantung yang dulu kuat seperti benteng Antartika ternyata bisa roboh karena jeket ini. "Gak boleh baper. Dosa. Ingat dosa," gumamku lirih, seolah sedang menasihati diri sendiri. Kita gak boleh baper ' sadar diri Clara kau miskin udah itu ngak punya apa -apa sadar diri Clara, sadar. "Masuk. Tunggu sampai hujan reda di dalam." Ia berbalik menuju pintu, tanpa menoleh lagi. Aku menatap punggungnya yang menjauh, bingung harus berbuat apa. "Tapi, Pak, bukan muhrim..." ucapku lirih, hampir seperti bisikan. "Dibanding mati kedinginan di depan rumah, lebih baik di dalam," jawabnya, tanpa memandang ke arahku. Suaranya datar, tapi entah kenapa terdengar tegas dan penuh keyakinan. Aku akhirnya pasrah. Kalau aku mati di sini, siapa yang akan menjaga Emak? Ya tuhan gusti. Dengan langkah ragu, aku mengikuti Pak Libra masuk ke dalam rumah. Di dalam, suasana terasa hening. Udara dingin dari luar seakan ikut merambat masuk, membuat tubuhku semakin menggigil. Waktu sudah menunjukkan hampir Magrib, tapi hujan justru semakin deras, diiringi kilatan petir yang membuatku merinding. Aku melirik ke arah Pak Aris yang duduk di sofa sambil menatap layar ponselnya. "Pak Aris, saya mau istirahat di sini. Boleh?" tanyaku ragu. Ia tak menjawab. Hanya mengangguk kecil dan menunjuk kamar di bawah tangga. "Kamu bisa pakai kamar itu. Setelah istirahat, kita makan malam." Bjirt...apaan nih, kayaknya Maut sudah dekat. Bisa-bisanya dia ngomong panjang begini, pikirku. Biasanya, bicara dua kata pun sudah hemat luar biasa. "Tapi, Pak... Saya boleh numpang mandi dulu?" tanyaku polos. Tubuhku sudah terasa lengket akibat hujan tadi. Ia mendongak dan menatapku tajam, sudut bibirnya sedikit terangkat. "Berani juga ngomong kayak gitu. Ini rumah cowok, tahu." Aku tersentak. Iya juga, sih .hehehe. Apa-apaan aku ini? Tanpa menjawab lagi, aku langsung bergegas masuk ke kamar, menutup pintu pelan-pelan. Setelah selesai istirahat, aku duduk di tepi kasur sambil memeluk lutut. Jantungku masih berdebar, entah karena takut, canggung, atau apa. Aku menatap hujan yang masih deras di luar jendela. Tidak mungkin aku pulang malam-malam begini, apalagi jalanan pasti sudah sepi. Ketukan pintu tiba-tiba mengagetkanku. "Iya, saya keluar, Pak," jawabku cepat. Begitu membuka pintu, Pak Aris sudah berdiri di sana dengan wajah datarnya. "Makan." Astaga!! Aku mengangguk patuh dan mengekorinya ke ruang makan. Di sana, seorang pemuda duduk santai sambil menyeringai melihat kedatanganku. "Hei, Kak Clara! Duduk sini, dong, dekat Abang Aris," ucapnya usil. Ini pasti Adit, adik bungsu Pak Aris yang terkenal suka bercanda. Lucu juga ya nama mereka Adit, Aris. Apalagi nanti ya Abis kayaknya, hahaha. Aku pura-pura tidak mendengar dan memilih duduk sejauh mungkin. Tak ada suara selain dentingan sendok dan garpu. Aku hanya mengambil sedikit nasi dan lauk, tak ingin terlihat rakus seperti tikus di depan mereka. "Lah, Kakak Clara lagi diet, ya? Makannya dikit banget," ujar Adit lagi sambil terkekeh. Aku mengabaikannya. Entah kenapa perutku tiba-tiba terasa sakit. Aku menunduk sambil memegang perut. "Aduh..." bisikku. Pak Aris melirik ke arahku. "Makannya jangan buru-buru terus langsung berdiri," ucapnya keras, meskipun suaranya terdengar khawatir. "Gak papa, Pak. Saya mau istirahat aja." Tanpa menunggu jawaban, aku bangkit dan kembali ke kamar. Sudah hampir tengah malam ketika hujan mulai mereda. Aku memberanikan diri keluar dari kamar untuk pamitan pulang. Namun, sosok Pak Aris sudah berdiri di ruang tengah. "Mau kemana?" tanyanya, kali ini dengan nada yang lebih lembut. Yah..,pulanglah anjay, ucapnya dihatinya. "Pulang, Pak. Udah reda hujannya." Dia menatapku lama, seolah mencari kepastian. Tanpa bicara, ia berbalik ke dapur, kembali dengan segelas air putih dan obat. "Minum ini dulu. Habis itu, saya antar pulang." Aku meminumnya patuh. Setelahnya, aku menunggu di halaman rumah sementara Pak Aris mengeluarkan mobilnya. "Masuk," ajaknya singkat. Aku membuka pintu mobil dan berniat duduk di belakang, tapi ia langsung menegur, "Kamu pikir saya ini sopir? Duduk di depan." Anjirt nih dosen galak amat sih...,pantesan nih dosen julukannya dosen maut. Ucapnya dihatinya. Dengan ogah-ogahan, aku duduk di sampingnya. Mobil melaju dalam keheningan. Hanya suara hujan rintik di atap mobil yang terdengar. Aku memalingkan wajah ke jendela, berusaha menghindari tatapannya. Setibanya di depan rumah, aku segera turun dan mengucapkan terima kasih. Namun, baru beberapa langkah, suara kakak sepupuku menghentikan langkahku. "Oh, ketauan! Habis ngelo.. nte, ya?" teriaknya. Bau alkohol menyengat dari tubuhnya. Aku mundur, jijik sekaligus takut. "Apaan sih, Kak? Jangan ngawur!" "Daripada kamu jual diri!" Ia mendorongku hingga aku menabrak pagar bambu rumahku. Pak Aris, yang melihat kejadian itu, segera turun dari mobil. "Siapa dia?" tanyanya dingin. Dengan suara lirih, aku menjawab, "Dia sepupuku, Pak.""Mas, kayaknya aku telat. ""Telat bayar hutang? " Tanya Aris sambil menatap mata Clara."Telat datang bulan."jawan Clara, Aris langsung memeluk Clara, Clara kaget'bukan main."Mas marah."tanya Clara,"Kenapa harus marah, mas seneng karna ada hasilnya juga." balas Aris sambil menyentil kening Clara."Hasil apa, di kira tanaman?" Clara ngomel, Aris mencium pipi jidat dan bibirnya."Hasil tanam cinta. "bisik Aris , Dan satu pukulan bantal mengenai wajah Aris, akibat Clara terlalu salting."Hahahaha. "Aris tertawakan renyah, kemudian dia menarik Clara kedalam pelukanya lagi."Tidurlah. "Ajak Aris, dia memejamkan mata, tapi pikirannya kemana-mana, banyak cabang yang iya pikirkan dan salah satu di antaranya adalah Clara." Mas mau nidurin aku gak? " "Omonganya Clara ambigu banget , bikin orang yang dengar salah paham." Nidurin gimana? "Tanya Aris sambil tersenyum geli." Iya bikin aku tidur, soalnya gak ngantuk. "Ucap Clara sambil ngedusel di perut bagian atas milik Aris.Aris berbisik p
"Bisa buatkan kopi. "Dia segera bangkit dan mengiyakan, raut wajahnya tidak kesal, kepaksa atau suka, dia datar-datar saja, gak bisa di tebak perasaannya seperti apa."Iya Pak. " Jawabannya dengan suara yang amat sangat lembut, tidak di lembut-lembutkan atau di manis-maniskan."Antarkan ke ruangan saya. Jangan lupa kopi hitam tidak manis dan tidak pahit"Dia berkata iya, setelah itu berjalan menuju pantry."Wei Aris, ngerjain anak baru eh. " Leo memang hobi nggetin orang."Sok tahu. "Lalu berjalan menjauhi Si leo menyebalkan yang tukang nyebarin rumor sembarangan."Atau jangan kau tertarik pada dia. "Tebaknya dengan nada alis yang di angkaat, raut wajahnya meledek" Berisik. "Ku lanjutkan perjalanan kakiku menuju ruangan ku, ku perhatikan semuanya, semua tingkah para mahasiswa dan mahasiswi itu, tapi tak ada yang seperti perempuan itu dalam segala hal.Kalau di bilang cinta pada pandangan pertama, ngak, bisa di bilang ke arah tertarik.Pas dia datang dan membawa kopi, ku Jaga image d
Sayaaangnya Clara, Clara menatap layar laptop itu dengan jenuh, pak Leo menjelaskan dengan payah batin Clara, baru jam 10 pagi, tapi hatinya Clara udah kangen sama Aris.Dia ngambil hpnya, HP pemberian Aris beberapa hari yang lalu, walaupun ngasihnya diam-diam, tapi seneng juga sih."Mas, kapan balik, " Clara tersenyum tipis dia ngirim juga foto selfie.Setelah itu Clara menutup hpnya, dan kembali menatap layar laptopnya, Clara memaki leo diam-diam."Kapan sih selesainya hadeh." Padahal dulu Leo adalah dosen kesayangannya, tapi sekarang kok melihat dia membosankan sama sekali. Yang ada di benaknya cuma Aris saja seorang tak ada yang lain, Clara niat nya mau berdiri kok tiba-tiba pusing keleyengan.Sementara itu di tempat Aris.Aris yang tengah mengajar dengan konsentrasi, di kagetkan oleh notifikasi hpnya sendiri.Hampir saja dia melemparkan hpnya, jika saja tak melihat notifikasi hpnya dari siap, Aris tersenyum kecil, ketika melihat Foto Clara mana pose manja, dia jadi pengen buru-bu
Clara merasakan hal aneh, kok bisa-bisanya dia mau mandi sama Aris, padahal biasanya dia anti banget mandi sama Aris."Kamu beneran mau mandi sama mas? " Tanya Aris meyakinkan Clara ."Iya mas, biar tidurnya nyenyak, tapi mandi doank." Clara mengingatkan Aris, agar dia tidak macam-macam padanya." Baiklah, masuk bath up duluan, mas atur dulu suhunya. " Ucap Aris, dia mengatur suhu air Bath up, serasa air hangatnya sudah nyaman untuk di pake mandi, Aris menyuruh Clara untuk mandi duluan."Masuk duluan. "Ucap Aris, tapi tiba-tiba Clara bilang ssuatu yang membuat Aris kaget, nada manjanya bikin hati Aris berdesir hebat."Gendong mas. "Ucap Clara ." Iya mas buka baju dulu. "..Ujar Aris, dia baru saja melepaskan baju atasannya. Clara sudah langsung nemplok di pinggangnya. Mau tak mau Aris tersenyum tipis, setipis benang woll."Gak sabaran, "komentar Aris, yang di balas Gombalan receh ala Clara ."Bau badan mas enak. "Balas Clara , dia malah mencium bau tubuh Aris dengan sengaja." Udah-u
Clara Pov."Sayangnya mas, " Dua kata itu terus terngiang-ngiang di otaku. Mana perjalanan panjang lagi, hampir seharian dari depok ke Malang, aduh ini kepala sudah puyeng bukan main."Kamu kenapa?" Tanya Mas Aris, mungkin dia melihatku yang sudah lemah tak berdaya mau muntah."Mau muntah Mas, " Ucapku, aku gak tahan lagi, bodo amat kalau mau di ledek. Tapi raut wajah Mas Aris terlihat biasa aja,Mas Aris memberhentikan mobil yang kami tumpangi di dekat warung jalanan."Kenapa gak ngomong, kalau mabuk naik mobil. " Ucap Mas Aris, setelah aku dan dia istirahat di tepi jalan."Memang kalau aku bilang, gak ada jaminan mas ngeledek. " Ucap ku, malah sedikit emosi, mual dan pusing, rasanya mau ngeluarin semua isi perut.Terdengar Mas Aris menghela nafas, dia mengambil sesuatu dari dalam mobil, yang ternyata botol minum, serta obat anti baper, eh bukan tapi anti muntah karna mabuk kendaraan"Trauma sekali sama mas ya, " Ucap mas Aris padaku, dia memberikan obat serta air putih."Gimanaa gak
Aku belum paham, dengan apa yang di omongin mas Aris tadi."Mas mau pergi, terus aku sama siapa?" Aku menatap nya dengan mata-mata berkaca-kaca.Mas Aris mengusap rambutku dan menyelipkan rambutku ke belakang telinga."Ada mas." Jawab Mas Aris,"Mas Aris kan mau pergii, terus aku di rumah sendiri. " Aku menatap mas Aris sedih."Enggak sendiri, ada Arieskan. "Ujar Mas Aris meyakinkan."Ya kalau sama Arieskan gak bisa ketekan mas. " Ucapku yang malah membuat Mas Aris tertawa, seumur aku kenal dia, baru kali ini aku melihat Mas Aris tertawa sampai giginya keliatan."Ketekan yang begini" Ucap Mas Aris, sambil memasukkan ku kedalam keteknya."Mas ketekmu bany-Belum selesai aku ngomong dia main cium aja, udahlah dia mah pasti mau minta jatah, ujung-ujungnya, untung dia ganteng, untung aku juga sayang.Clara Pov end.Aris mencium aroma tubuh Clara. Dia menarik selimut untuk menyembunyikan kegiatan mereka."Mau ngapain mas. " Tanya Clara pura-pura polos."Entah." Aris kembali mencium Clara, C