Ketika Thomas dan teman-temannya melangkah keluar dari aula utama setelah upacara penerimaan, suasana terasa lebih ringan. Tidak ada instruksi lebih lanjut. Tidak ada perintah. Tidak ada tanda-tanda pelatihan brutal yang mereka bayangkan sebelumnya.
Namun, saat mereka memasuki kamar masing-masing di asrama dan mulai untuk beristirahat, kejutan lain telah menanti mereka. Mereka diperintahkan untuk segera berkemas dan meninggalkan tempat itu. Para instruktur mendadak muncul, memberikan perintah singkat tanpa menjelaskan apa pun.
Diego melirik Thomas dan berucap "Thom Ayo Ke Neraka" Thomas hanya terdiam dan tersenyum lemas. Thomas dan yang lainnya yakin mereka akan dipindahkan ke fasilitas pelatihan baru yang lebih keras.
Ketika mereka berjalan melewati lorong-lorong sempit dan melewati gerbang besar menuju kompleks lain, mereka mendapati sebuah gedung yang sangat jauh berbeda dari tempat tinggal mereka sebelumnya. Bangunan besar dengan arsitektur modern berdiri megah, tampak seperti hotel berbintang lima dari pada fasilitas akademi brutal yang mereka kenal.
Pintu otomatis terbuka, dan penjaga pintu menyambut hangat dengan senyuman sumringah, mempersilahkan mereka masuk ke dalam. Penjaga pintu juga mengarahkan mereka menuju meja resepsionist untuk mengambil kunci kamar sesuai dengan data yang telah tersusun rapih di meja tersebut. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, Thomas memandangi ruangan tersebut terlihat Interiornya sangat mencengangkan. Tidak ada tanda-tanda ketegangan atau kekerasan, hanya ruangan berkilauan dengan desain mewah, lampu gantung kristal, dan fasilitas yang lebih mirip rumah orang kaya dibandingkan akademi pelatihan.
Namun, saat mereka memasuki kamar masing-masing di asrama pribadi, kejutan lain telah menanti mereka. Di atas tempat tidur masing-masing, sudah disiapkan sebuah amplop berisi uang tunai 10.000 USD, dua kartu eksklusif, dan sebuah catatan yang berbunyi:
"Selamat atas kelulusan anda, gunakan sesukamu."
Thomas mengambil amplopnya dengan ragu dan membukanya. Selain uang tunai, ia juga menemukan sebuah kartu akses gratis ke semua klub dan bar mewah di Los Angeles, serta kartu kredit dengan saldo sebesar 50.000 USD yang bisa ia gunakan dengan bebas.
Lebih mengejutkan lagi, mereka diberikan kebebasan untuk memilih kendaraan mewah apa pun yang mereka mau untuk bermain keluar.
Suasana berubah seketika.
Teriakan beberapa siswa dari dalam kamar terdengar meriah, sementara Diego tampak tidak percaya. Thomas menatap kartu-kartu di tangannya, lalu melirik Alex dan Diego. Sesuatu terasa tidak benar.
"Santai sekali akademi ini….., Tidak ada jadwal pelatihan ya..?" tanya Diego bingung.
Flynn, memegang kartu eksklusifnya, mengangkat alis. "Kebebasan, hmmmm....., Menurutku Ini bukan hadiah melainkan ujian. Mereka sedang mengamati kita."
Alex menyilangkan tangan. "Ujian sebenarnya baru saja dimulai. Kita hanya belum tahu apa itu."
Asrama mereka tidak seperti yang mereka bayangkan sebelumnya. Tidak ada Kasur mirip dengan suasana penjara. Sebaliknya, mereka ditempatkan di kamar pribadi dengan interior modern, tempat tidur empuk, kamar mandi pribadi, akses ke berbagai fasilitas hiburan seperti TV layar lebar, bar, perpustakaan, bahkan kolam renang.
Beberapa siswa langsung beradaptasi, menganggap ini sebagai hadiah setelah melewati neraka sebelumnya. Mereka menghabiskan uang dengan membeli pakaian mahal, memesan makanan eksklusif, dan bersenang-senang.
Namun, Thomas dan kelompoknya tidak serta-merta terlena.
Keesokan harinya, langit akademi cerah seperti biasanya dan mereka memutuskan untuk keluar dan membeli kebutuhan pokok sekaligus menemani Flynn untuk membeli laptop barunya, setibanya di asrama mereka bersantai dan mendiskusikan perihal ujian hadiah ini.
"Ini tidak masuk akal," kata Thomas saat mereka duduk di lounge asrama. "Dari awal, Akademi ini penuh dengan kekejaman. Kenapa tiba-tiba mereka memberikan kenyamanan seperti ini?"
Flynn, yang tengah mengutak-atik laptop yang baru saja dia beli, mengangguk. "Aku sudah mencoba meretas sistem Akademi, dengan laptop terbaru ini aku telah berhasil meretasnya". Flynn melirik Thomas sambil tersenyum. "Aku menemukan bukti ini". Sambil menyodorkan laptopnya memperlihatkan bukti tersebut mereka. "Lihat ini!, Bahwa Ini lebih dari sekadar ujian mental. Benar dugaanku mereka sedang mengamati kita."
Alex menyilangkan tangan. "Ujian sebenarnya baru saja dimulai. Kita hanya belum tahu apa itu."
Hari-hari berlalu. Beberapa siswa mulai berubah. Sebagian besar menjadi terlalu nyaman dengan kemewahan. Mereka makan dengan rakus, berpesta, menyewa para pekerja seks wanita dan menggunakan uang mereka tanpa pikir panjang.
Beberapa mulai mengembangkan keserakahan. Mereka berjudi, mencoba memanipulasi sesama siswa untuk mendapatkan lebih banyak uang. Yang lain mulai kehilangan kewaspadaan, percaya bahwa mereka telah 'lolos' dari fase terburuk Akademi.
Namun, kelompok Thomas tetap berpegang teguh pada insting mereka. Mereka hanya menggunakan uang untuk kebutuhan dasar dan tidak berlebihan.
Suatu malam, seorang siswa bernama Mark mencoba mencuri dari salah satu kamar. Diego menangkapnya dan hampir menghajarnya sebelum Thomas menahannya.
"Mark, kenapa kau mencuri?" tanya Thomas dingin.
Mark tampak panik. "Aku... aku kehabisan uang. Aku menghabiskannya dalam tiga hari. Aku tidak tahu bagaimana bertahan selama sebulan."
Thomas merasakan sesuatu yang aneh dalam kata-kata itu. Seolah-olah Akademi telah menghitung semua ini sebelumnya.
Satu bulan berlalu lebih cepat dari yang mereka kira. Tanpa peringatan, semua siswa diperintahkan untuk berkumpul di aula utama. Thomas dan kelompoknya sudah menduga, inilah saatnya kebenaran terungkap.
Ketika mereka tiba, suasana berubah mencekam.
Di depan mereka berdiri George Simbian.
Semua siswa terdiam. Ada sesuatu yang mengancam dalam tatapan mereka.
"Selamat kepada kalian semua yang menikmati kebebasan selama sebulan ini," kata George Simbian. "Namun, aku ingin mengingatkan sesuatu. Di Akademi ini, tidak ada hal yang diberikan tanpa alasan."
Dia mengangkat tangannya, dan layar besar di belakangnya menyala, menampilkan rekaman dari setiap kamar, setiap transaksi, setiap interaksi siswa selama satu bulan terakhir.
Banyak yang tersentak. Mereka telah diawasi sejak awal.
"Ini adalah ujian pertama kalian. Ujian yang lebih sulit dari pada sekadar bertarung atau bertahan hidup. Kami ingin melihat siapa yang akan tetap fokus pada tujuan mereka, dan siapa yang akan tenggelam dalam keserakahan."
Dia berhenti, menatap ke sekeliling ruangan dengan dingin.
"Dan sayangnya, banyak dari kalian yang gagal." George seketika mengangkat tangannya.
Tiba-tiba, suara tembakan terdengar. Tiga siswa di barisan depan langsung tumbang dan tewas di tempat.
Suasana menjadi kacau. Beberapa siswa berteriak, yang lain terjatuh karena shock. Darah mengalir di lantai aula.
George tetap berdiri dengan tenang. "Diam… Tetap berdiri di tempat. Keserakahan adalah kelemahan. Mereka yang tidak bisa mengendalikan diri, tidak layak berada di sini."
George melangkah maju lagi, lalu mengangkat tangannya sekali lagi.
Tiga tembakan lain menggema di aula. Tiga siswa lainnya roboh, darah memercik ke wajah beberapa siswa lainnya.
"Ambisi tanpa kendali hanya akan membawa kehancuran. Kalian yang tidak mampu mengatur diri sendiri, tidak akan pernah pantas berada di antara kami."
George lalu menatap sisanya, mengangkat tangannya untuk ketiga kalinya. Tiga tembakan berikutnya menggema di aula.
Tiga siswa terakhir jatuh ke lantai salah satunya disamping thomas, yang membuat diego berbisik kecil kepada thomas Thomas "Saya kira kau sudah bersama bapa disurga sekarang, thom". Thomas berdecit kesal, darah menggenang dibawah mereka.
"Di dunia ini, hanya mereka yang mampu mengendalikan diri yang bisa bertahan."
Thomas dan teman-temannya berdiri diam, meskipun mereka juga merasa ngeri. Ujian ini tidak hanya tentang bertahan hidup secara fisik, tetapi juga secara mental.
George Simbian melangkah maju dan berbicara untuk terakhir kalinya malam itu. "Yang tersisa di ruangan ini adalah mereka yang telah lulus ujian. Selamat, kalian selangkah lebih dekat menuju puncak."
Mata Thomas bertemu dengan mata Simbian. Ia tahu, neraka yang sebenarnya baru saja dimulai.
Awal dari Pelatihan
Alarm meraung keras di seluruh asrama, membangunkan setiap siswa secara mendadak. Pintu kamar mereka terbuka secara otomatis, dan suara instruktur terdengar lantang melalui speaker.
"KELUAR DAN BERBARIS DALAM WAKTU 60 DETIK! KETERLAMBATAN TIDAK DITOLERANSI!"
Thomas melompat dari tempat tidurnya, tubuhnya masih terasa kaku setelah kejadian malam sebelumnya. Ia dan teman-temannya segera berlari keluar, melihat siswa lain yang juga tergesa-gesa menuju lapangan utama.
Di tengah lapangan yang luas dan dingin, berdiri beberapa instruktur dengan ekspresi tanpa ampun. Salah satunya, Sergei Antonov "The Executioner", berjalan perlahan di depan barisan, menatap satu per satu wajah mereka.
"Hari ini, kita mulai dari nol. Kalian bukan manusia biasa lagi. Kalian adalah proyek."
Sergei Antonov, pria bertubuh kekar dengan sorot mata tajam, berjalan perlahan di sepanjang barisan. Sepatu militernya menginjak tanah berpasir, menciptakan suara berderak yang menambah ketegangan di udara. Setiap langkahnya mengirimkan gelombang ketakutan ke dalam diri para siswa.
Thomas merasakan udara dingin menusuk kulitnya, meskipun tubuhnya sudah mulai berkeringat. Ia bisa mendengar napas berat dari siswa lain, beberapa dari mereka gemetar tanpa bisa menyembunyikan rasa takut.
-------------> Bersambung
Langit mulai berubah menjadi warna jingga saat senja menjelang. Angin dingin berembus melewati lapangan akademi, membawa keheningan yang terasa semakin berat. Di tengah area terbuka itu, Thomas berdiri berhadapan dengan Alex, Diego, dan Flynn tiga sosok yang dulu ia kenal sebagai teman seperjuangan, tetapi kini telah menjadi sesuatu yang lebih. Thomas tidak segera berbicara. Matanya menyapu wajah mereka satu per satu, mencoba menemukan jejak masa lalu di balik perubahan besar yang kini terpampang di hadapannya. Namun, yang ia lihat adalah sesuatu yang lebih kuat, lebih tajam mereka bukan lagi hanya sekadar rekan, mereka adalah saudara dalam peperangan. Alexlah yang pertama melangkah maju, dengan ekspresi percaya diri yang tetap sama seperti dahulu. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam caranya menatap Thomas. Bukan hanya rasa hormat, tetapi juga kebanggaan. "Jadi, kau akhirnya kembali." Suara Alex terdengar mantap, tanpa keraguan sedikit pun. Thomas mengangguk pelan. "Aku tidak pe
Ia menghindari pukulan lurus dengan gerakan slipping, memiringkan kepala hanya beberapa inci dari tinju George.Hook kanan datang cepat, tetapi Thomas mengangkat sikunya untuk menangkis, merasakan benturan yang nyaris mematahkan tulangnya.Saat tendangan putar melesat, Thomas melompat mundur, menggunakan momentum George untuk memperhitungkan serangan balasan.Dan di situlah momen itu datang.Saat sikutan George mengarah ke lehernya, Thomas menurunkan tubuhnya, merendah, lalu meluncurkan uppercut langsung ke ulu hati George.DUG!Untuk pertama kalinya, George terdorong mundur.Thomas tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan kecepatan yang ia pelajari dari pertarungan ke-99, ia menyerang balik.Elbow strike ke rahang.Tendangan rendah ke lutut.Sebuah pukulan straight ke arah dada.Namun, George bukan lawan yang mudah. Saat serangan ketiga hampir mengenai, George tiba-tiba berbalik, menggunakan energi Thomas sendiri untuk menjatuhkannya dengan teknik grappling.Thomas terhuyung, teta
Serigala itu tidak sendiri. Ada lima ekor lain yang mengintainya dari balik pepohonan.Thomas tahu bahwa ia harus bertarung.Ia mengambil tongkat besar yang terbakar di ujungnya dan mengayunkannya ke arah serigala pertama. Hewan itu mundur, tetapi lima lainnya bergerak mendekat. Ia tidak bisa melawan mereka semua.Pilihannya hanya satu "Lariiiii."Dengan cepat, ia berbalik dan berlari melewati hutan, napasnya tersengal. Ia melompati akar pohon, menerobos semak-semak, sementara suara cakar-cakar tajam mendekatinya dari belakang. Ia tidak bisa berhenti.Setelah hampir satu menit penuh berlari, ia melihat celah sempit di antara dua batu besar. Tanpa berpikir panjang, ia meluncur masuk dan menekan tubuhnya ke dalam ruang kecil itu. Serigala-serigala itu berhenti di luar, menggeram marah, tetapi tak bisa menjangkaunya.Ia menunggu, menahan napas, hingga akhirnya suara mereka menghilang.Malam itu, ia tidak bisa tidur. Ia menyadari satu hal: tempat ini tidak akan memberinya belas kasihan. J
Ia menggoreskan bilahnya ke telapak tangannya sendiri. Darah segar menetes ke dalam gelas kosong di tengah mereka.Tanpa ragu, Flynn mengambil pisau itu dan mengikuti, menyayat telapak tangannya sendiri sebelum meneteskan darahnya ke dalam gelas. "Setiap misi, setiap pertempuran, setiap kejatuhan… kita tetap satu."Alex, dengan tatapan penuh tekad, mengulangi ritual yang sama. "Kita tidak akan pernah berdiri sendirian. Kita adalah satu jiwa dalam empat tubuh."Akhirnya, Thomas mengambil pisau itu, merasakan dinginnya baja di kulitnya sebelum menyayat telapak tangannya sendiri. Darahnya bercampur dengan darah saudara-saudaranya, mengukuhkan sumpah yang lebih kuat dari sekadar kata-kata.Ia mengambil gelas itu, memutarnya pelan sebelum meneguknya. Darah hangat mengalir di tenggorokannya, bukan sebagai simbol kelemahan, tetapi sebagai bukti tak terbantahkan bahwa mereka telah memilih jalan yang sama. Tanpa ragu, gelas itu berpindah ke Alex, lalu ke Diego, dan terakhir ke Flynn. Mereka me
Setelah berminggu-minggu menjalani latihan intensif di akademi, Thomas mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Ia menjadi lebih cepat, lebih kuat, dan lebih waspada. Namun, dalam setiap latihan, ia juga mulai menyadari batasannya. Meskipun telah melalui berbagai skenario pertempuran, Thomas tahu bahwa ia masih jauh dari kata siap untuk menghadapi ancaman Black Dawn yang sesungguhnya.Sebuah komunikasi rahasia terjadi di salah satu markas Heptagon. Mr. Ice, salah satu The Council, telah berbicara dengan George Simbian secara langsung."Anak itu punya potensi," kata Mr. Ice dengan suara dingin khasnya. "Tapi dia belum siap. Jika dia ingin bertahan dalam perang berikutnya, dia harus menjadi lebih dari sekadar prajurit biasa."George menyilangkan tangan. "Kau ingin aku melatihnya secara khusus?""Ya. Tapi aku tidak ingin kau menawarkan diri. Jika Thomas benar-benar siap, dia akan datang kepadamu sendiri."George mengangguk paham. "Baik. Jika dia cukup cerdas untuk menyadari kelemahannya,
Thomas tersenyum, tetapi ia tahu ada kebenaran dalam ucapan mereka. Ia memang berubah. Setelah melihat kematian, menyaksikan bagaimana Heptagon mengendalikan dunia kriminal, dan mengalami langsung pertarungan brutal, ia tidak bisa kembali menjadi siswa biasa yang hanya menjalani pelatihan tanpa memahami konsekuensinya.Keesokan harinya, Thomas kembali ke rutinitas akademi tetapi dengan nuansa yang berbeda. Di lapangan latihan, setiap tatapan yang diarahkan padanya terasa berat. Sebagian besar siswa lain melihatnya dengan rasa hormat, beberapa dengan iri, dan yang lain dengan waspada.Tidak seperti biasanya, Saat sesi Latihan kali ini, George Simbian adalah instruktur hari itu menggantikan Antonov, dan dia telah menanti terlebih dahulu dilapangan. "Hayooo….berkumpul lebih cepat, PARA BAJINGAN, kalian fikir kita sedang-piknik". Mendengar teriakan George. para siswa panik, berlari dan segera cepat membentuk barisan. Diego mendengar suara yang tidak asing baginya, spontan menepuk jidatn