Antonov berhenti tepat di depan seorang siswa yang wajahnya pucat pasi. Tanpa peringatan, ia menampar wajah siswa itu dengan keras hingga tubuhnya terhuyung ke belakang.
"Aku bisa mencium bau ketakutan dari kalian," katanya dingin. "Di tempat ini, ketakutan adalah kelemahan. Kelemahan adalah kematian. Dan di The Heptagon, kematian bukan sesuatu yang kami sesali."
Seorang instruktur lain, Eleanor Weiss "The Enigma", wanita berambut pirang dengan tatapan tajam seperti elang, ikut maju. Ia memegang sebuah tablet dan membaca daftar nama. "Hari ini, pelatihan pertama kalian dimulai. Hanya ada satu aturan: Bertahan hidup. Jika kalian tidak totalitas, kalian mati. Jika kalian mengeluh, kalian mati, berjuanglah.
Tanpa membuang waktu, para instruktur mulai membagi siswa ke dalam beberapa kelompok. Thomas, Alex, Diego, dan Flynn tetap satu tim, tetapi mereka segera menyadari bahwa tidak ada tempat untuk kerja sama di sini setiap orang harus membuktikan diri mereka sendiri.
Pelatihan Fisik: Pemanasan di Neraka
Latihan pertama dimulai tanpa aba-aba. Mereka dipaksa untuk berlari sejauh 20 km di tengah medan berat yang penuh dengan pasir, lumpur, dan rintangan tajam.
Siswa yang jatuh tertinggal tidak diberikan kesempatan untuk bangkit Kembali (akan dihajar sampai pingsan). Jika ada yang terlalu lambat, mereka ditarik keluar oleh instruktur dan hajar sampai babak belur di depan semua orang.
Beberapa siswa mencoba menipu dengan berpura-pura kelelahan, tetapi langsung dihajar habis-habisan sampai terkapar oleh Antonov.
Thomas merasakan paru-parunya terbakar, tetapi ia menolak untuk menyerah. Diego dan Alex tetap di dekatnya, tetapi Flynn tertinggal sedikit di belakang, wajahnya menunjukkan tanda-tanda kelelahan parah.
"Jangan berhenti, terus bergerak!" teriak Alex dengan nada tajam.
Thomas menoleh sekilas dan melihat dua siswa lain roboh di tanah, tubuh mereka tidak bergerak. Tak ada belas kasihan para instruktur hanya melangkah melewati mereka seperti sampah yang tak berharga.
Setelah dua jam penuh siksaan tanpa henti hanya 15 orang dari siswa yang berhasil menyelesaikan lari pertama ini. Sisanya masuk keruang instalasi gawat darurat diunit Kesehatan Akademi.
Penyiksaan Mental
Setelah melewati neraka fisik, mereka segera diarahkan ke ruangan gelap bawah tanah yang disebut "The Abyss".
Aturan ruangan ini sederhana: Bertahan selama enam jam dalam kegelapan total, tanpa suara, tanpa komunikasi.
Pada sesi pelatihan ini terdapat 100 orang siswa, 15 orang merupakan seangkatan Thomas dan sisanya adalah para senior Thomas yang masih menempuh Pendidikan di Akademi.
Selanjutnya mereka dibawa dan dikunci di dalam ruangan gelap, tanpa tahu apa yang menanti mereka. Di dalam ruangan hanya ada kegelapan total, suara-suara aneh mulai terdengar.
Bisikan samar. Jeritan jauh di ujung lorong. Suara langkah kaki yang tidak terlihat.
Beberapa siswa kehilangan kewarasan dalam waktu kurang dari satu jam. Mereka mulai menjerit dan mencoba menghancurkan pintu keluar. Namun, setiap usaha untuk keluar hanya membuat mereka menerima sengatan listrik kejut yang brutal.
"Ini tidak nyata. Ini hanya ilusi," Thomas mencoba menenangkan dirinya, tetapi ketakutan mulai menyusup perlahan ke dalam pikirannya.
Ia bisa mendengar Flynn merintih di dekatnya, tubuhnya gemetar.
"Ini bukan ilusi..." gumam Flynn, suaranya putus asa. "Aku bisa merasakan... sesuatu di sini."
Thomas menggertakkan giginya, menolak untuk tunduk pada ketakutan. Jika ia menyerah, ia tahu nasibnya akan sama seperti mereka yang telah gagal.
Setelah enam jam yang terasa seperti seumur hidup, pintu akhirnya terbuka. Dari 100 siswa yang masuk, hanya 30 yang bertahan.
Salah satu siswa yang merupakan siswa seangkatan thomas keluar dengan tubuh bergetar mencoba berlari ke arah instruktur untuk meminta bantuan tetapi Antonov langsung menembak kepalanya tanpa ragu. "Kelemahan tidak akan ditoleransi."
Kehidupan Sehari-hari, Pendidikan, dan Pencurian Berisiko
Setelah beberapa minggu menjalani pelatihan intensif, rutinitas di The Heptagon Academy mulai terasa seperti sebuah siklus brutal yang tidak berkesudahan.
05.00 Pagi - Bangun dan Latihan Fisik
Alarm berbunyi kencang, memekakkan telinga. Thomas dan yang lainnya berhamburan keluar dari kamar seperti sekelompok prajurit yang baru saja dilempar ke medan perang.
Alex menggeliat di tempat tidurnya, "Thomas, kalau aku mati hari ini, beritahu ibuku kalau aku sangat menyesal karena tidak pernah mengembalikan uang belanja yang dia berikan."
Diego tertawa, "Ibuku bahkan tidak tahu aku ada di sini, jadi aku tidak perlu khawatir."
Mereka segera berlari menuju lapangan latihan. 100 push-up, 50 burpee, dan 5 km lari dalam waktu 20 menit itulah 'pemanasan' pagi mereka sebelum hari dimulai.
Thomas mengeluh, "Pemanasan? Ini penyiksaan, bukan pemanasan!"
Instruktur Antonov berjalan mendekati mereka dan tanpa basa-basi, menendang kaki Thomas hingga ia jatuh.
"Jangan banyak bicara. Di sini, kalian hanya punya satu pilihan: bertahan hidup."
08.00 Pagi - Kelas dan Pelajaran dari Profesor MIT
Setelah mandi cepat dan sarapan (yang terdiri dari roti kering dan segelas air), mereka bergegas ke ruang kelas utama. Di dalam kelas, mereka tidak diajarkan sejarah atau matematika biasa, tetapi cara membaca pola pikiran manusia dan sistem keamanan tingkat tinggi.
Profesor yang mengajar mereka adalah Dr. Richard Faulkner, mantan ilmuwan dan ahli keamanan cyber dari MIT.
Dr. Faulkner berdiri di depan kelas, mengenakan jas lab putih. "Hari ini, kita akan belajar bagaimana menembus sistem keamanan paling canggih tanpa menyentuh satu pun kabel."
Alex mengangkat tangan, "Jadi… kita tidak akan belajar tentang cara membobol mesin ATM?"
Kelas tertawa kecil. Namun, Dr. Faulkner hanya tersenyum tipis dan menjawab, "Kalau itu yang kau mau, ayo kita mulai dengan sesuatu yang lebih menantang: bagaimana membobol server bank nasional tanpa ketahuan."
Mereka pun terdiam. Kelas ini bukan sekadar teori, tetapi praktek langsung.
Dalam beberapa jam, mereka belajar:
Cara meretas server perusahaan tanpa meninggalkan jejak. Bagaimana membaca kode enkripsi dan melewati sistem keamanan berlapis. Mengidentifikasi kebiasaan manusia yang bisa dimanfaatkan untuk manipulasi psikologis.
Diego menoleh ke Thomas dan Alex, berbisik, "Astaga, aku merasa seperti sedang diajari cara jadi agen inteligen."
Alex menambahkan, "Atau mungkin penjahat kelas kakap."
Mereka bertiga tertawa kecil, meskipun di dalam hati, mereka tahu bahwa ini bukan lelucon. Mereka sedang dipersiapkan untuk menjadi senjata yang bisa menembus batas hukum.
Setelah kehabisan uang yang diberikan selama ujian kebebasan, Diego memiliki ide gila untuk membalaskan pukulan George Simbian pada thomas.
"Kita tidak bisa hidup tanpa uang. Dan aku ingin membalaskan pukulan George di ruang medis." Diego melirik Thomas.
Thomas menatapnya tajam. " bagaimana caranya…..bukan kah itu sama dengan mati…?", gumam thomas.
Diego menyeringai, "Aku pernah melewati kantornya. Di dalam ada brankas. Kita ambil isinya."
Flynn, yang duduk di sudut ruangan, menatap mereka serius. "Tahan sebentar" ucap Flynn " Flynn mengambil laptop lawasnya dan melakukan sesuatu..... " yupps, Aku telah menonaktifkan sistem keamanan akademi dikamar kita, ayo beraksi"
Mereka pun mulai menyusun rencana:
Alex menyusun strategi dan memastikan jalur aman. Thomas sebagai eksekutor utama yang masuk ke dalam ruangan dan mengambil uang. Diego sebagai eksekutor kedua untuk membantu membawa barang rampasan. Flynn bertugas sebagai peretas dan pengaman, mematikan kamera dan sensor alarm.
23.30 Malam - Eksekusi Pencurian
Mereka menyelinap keluar dari asrama dan menuju gedung utama tempat kantor George berada. Flynn mulai meretas sistem, menonaktifkan kamera dan alarm selama 10 menit.
Saat mereka masuk ke dalam kantor George, mereka langsung melihat brankas besar di sudut ruangan.
Thomas berbisik, "Kita hanya punya waktu sedikit. Ayo cepat."
Alex menarik alat pencetak sidik jari yang mereka curi dari kelas dan menempelkannya di pemindai. Brankas terbuka.
Namun, sebelum mereka bisa mengambil semua uang, mereka mendengar suara langkah kaki mendekat.
Flynn segera membisikkan peringatan, "Ada orang di luar. Cepat keluar!"
Thomas dan Diego langsung mengambil sebanyak mungkin uang dan kabur keluar ruangan. Mereka berlari menyusuri lorong dengan jantung berdetak kencang.
Saat mereka hampir mencapai pintu keluar, seorang penjaga muncul.
Dengan cepat, Alex melemparkan alat pengacau sinyal ke arah lampu ruangan, membuat lampu berkedip-kedip sesaat. Dalam kebingungan itu, mereka berhasil menyelinap keluar dan kembali ke asrama tanpa ketahuan. Mereka masuk ke kamar mereka, napas terengah-engah, tertawa kecil saat melihat hasil rampasan mereka 30.000 USD dalam uang tunai.
Flynn bersandar di dinding, "Itu tadi sangat dekat."
Diego menyeringai puas, "Setidaknya, George Simbian sekarang tahu kalau kita bukan anak-anak biasa."
Namun, mereka tidak menyadari bahwa George Simbian telah memantau mereka sejak awal melalui kamera tersembunyi yang tidak mereka matikan.
Di sebuah ruangan gelap, George duduk sambil menonton rekaman mereka dengan senyum kecil di wajahnya.
"Menarik… mereka punya nyali. Aku akan biarkan mereka hidup kali ini."
Langit mulai berubah menjadi warna jingga saat senja menjelang. Angin dingin berembus melewati lapangan akademi, membawa keheningan yang terasa semakin berat. Di tengah area terbuka itu, Thomas berdiri berhadapan dengan Alex, Diego, dan Flynn tiga sosok yang dulu ia kenal sebagai teman seperjuangan, tetapi kini telah menjadi sesuatu yang lebih. Thomas tidak segera berbicara. Matanya menyapu wajah mereka satu per satu, mencoba menemukan jejak masa lalu di balik perubahan besar yang kini terpampang di hadapannya. Namun, yang ia lihat adalah sesuatu yang lebih kuat, lebih tajam mereka bukan lagi hanya sekadar rekan, mereka adalah saudara dalam peperangan. Alexlah yang pertama melangkah maju, dengan ekspresi percaya diri yang tetap sama seperti dahulu. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam caranya menatap Thomas. Bukan hanya rasa hormat, tetapi juga kebanggaan. "Jadi, kau akhirnya kembali." Suara Alex terdengar mantap, tanpa keraguan sedikit pun. Thomas mengangguk pelan. "Aku tidak pe
Ia menghindari pukulan lurus dengan gerakan slipping, memiringkan kepala hanya beberapa inci dari tinju George.Hook kanan datang cepat, tetapi Thomas mengangkat sikunya untuk menangkis, merasakan benturan yang nyaris mematahkan tulangnya.Saat tendangan putar melesat, Thomas melompat mundur, menggunakan momentum George untuk memperhitungkan serangan balasan.Dan di situlah momen itu datang.Saat sikutan George mengarah ke lehernya, Thomas menurunkan tubuhnya, merendah, lalu meluncurkan uppercut langsung ke ulu hati George.DUG!Untuk pertama kalinya, George terdorong mundur.Thomas tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan kecepatan yang ia pelajari dari pertarungan ke-99, ia menyerang balik.Elbow strike ke rahang.Tendangan rendah ke lutut.Sebuah pukulan straight ke arah dada.Namun, George bukan lawan yang mudah. Saat serangan ketiga hampir mengenai, George tiba-tiba berbalik, menggunakan energi Thomas sendiri untuk menjatuhkannya dengan teknik grappling.Thomas terhuyung, teta
Serigala itu tidak sendiri. Ada lima ekor lain yang mengintainya dari balik pepohonan.Thomas tahu bahwa ia harus bertarung.Ia mengambil tongkat besar yang terbakar di ujungnya dan mengayunkannya ke arah serigala pertama. Hewan itu mundur, tetapi lima lainnya bergerak mendekat. Ia tidak bisa melawan mereka semua.Pilihannya hanya satu "Lariiiii."Dengan cepat, ia berbalik dan berlari melewati hutan, napasnya tersengal. Ia melompati akar pohon, menerobos semak-semak, sementara suara cakar-cakar tajam mendekatinya dari belakang. Ia tidak bisa berhenti.Setelah hampir satu menit penuh berlari, ia melihat celah sempit di antara dua batu besar. Tanpa berpikir panjang, ia meluncur masuk dan menekan tubuhnya ke dalam ruang kecil itu. Serigala-serigala itu berhenti di luar, menggeram marah, tetapi tak bisa menjangkaunya.Ia menunggu, menahan napas, hingga akhirnya suara mereka menghilang.Malam itu, ia tidak bisa tidur. Ia menyadari satu hal: tempat ini tidak akan memberinya belas kasihan. J
Ia menggoreskan bilahnya ke telapak tangannya sendiri. Darah segar menetes ke dalam gelas kosong di tengah mereka.Tanpa ragu, Flynn mengambil pisau itu dan mengikuti, menyayat telapak tangannya sendiri sebelum meneteskan darahnya ke dalam gelas. "Setiap misi, setiap pertempuran, setiap kejatuhan… kita tetap satu."Alex, dengan tatapan penuh tekad, mengulangi ritual yang sama. "Kita tidak akan pernah berdiri sendirian. Kita adalah satu jiwa dalam empat tubuh."Akhirnya, Thomas mengambil pisau itu, merasakan dinginnya baja di kulitnya sebelum menyayat telapak tangannya sendiri. Darahnya bercampur dengan darah saudara-saudaranya, mengukuhkan sumpah yang lebih kuat dari sekadar kata-kata.Ia mengambil gelas itu, memutarnya pelan sebelum meneguknya. Darah hangat mengalir di tenggorokannya, bukan sebagai simbol kelemahan, tetapi sebagai bukti tak terbantahkan bahwa mereka telah memilih jalan yang sama. Tanpa ragu, gelas itu berpindah ke Alex, lalu ke Diego, dan terakhir ke Flynn. Mereka me
Setelah berminggu-minggu menjalani latihan intensif di akademi, Thomas mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Ia menjadi lebih cepat, lebih kuat, dan lebih waspada. Namun, dalam setiap latihan, ia juga mulai menyadari batasannya. Meskipun telah melalui berbagai skenario pertempuran, Thomas tahu bahwa ia masih jauh dari kata siap untuk menghadapi ancaman Black Dawn yang sesungguhnya.Sebuah komunikasi rahasia terjadi di salah satu markas Heptagon. Mr. Ice, salah satu The Council, telah berbicara dengan George Simbian secara langsung."Anak itu punya potensi," kata Mr. Ice dengan suara dingin khasnya. "Tapi dia belum siap. Jika dia ingin bertahan dalam perang berikutnya, dia harus menjadi lebih dari sekadar prajurit biasa."George menyilangkan tangan. "Kau ingin aku melatihnya secara khusus?""Ya. Tapi aku tidak ingin kau menawarkan diri. Jika Thomas benar-benar siap, dia akan datang kepadamu sendiri."George mengangguk paham. "Baik. Jika dia cukup cerdas untuk menyadari kelemahannya,
Thomas tersenyum, tetapi ia tahu ada kebenaran dalam ucapan mereka. Ia memang berubah. Setelah melihat kematian, menyaksikan bagaimana Heptagon mengendalikan dunia kriminal, dan mengalami langsung pertarungan brutal, ia tidak bisa kembali menjadi siswa biasa yang hanya menjalani pelatihan tanpa memahami konsekuensinya.Keesokan harinya, Thomas kembali ke rutinitas akademi tetapi dengan nuansa yang berbeda. Di lapangan latihan, setiap tatapan yang diarahkan padanya terasa berat. Sebagian besar siswa lain melihatnya dengan rasa hormat, beberapa dengan iri, dan yang lain dengan waspada.Tidak seperti biasanya, Saat sesi Latihan kali ini, George Simbian adalah instruktur hari itu menggantikan Antonov, dan dia telah menanti terlebih dahulu dilapangan. "Hayooo….berkumpul lebih cepat, PARA BAJINGAN, kalian fikir kita sedang-piknik". Mendengar teriakan George. para siswa panik, berlari dan segera cepat membentuk barisan. Diego mendengar suara yang tidak asing baginya, spontan menepuk jidatn