Di sebuah ruangan luas yang terletak di markas besar The Heptagon di Afrika Selatan, suasana tegang terasa. Layar besar yang menggantung di dinding menunjukkan peta benua Afrika, lengkap dengan titik-titik merah yang menandai markas dan jalur operasi Black Dawn.
Thomas duduk bersama timnya di deretan kursi belakang ruangan. Mereka diundang untuk menghadiri rapat online rahasia yang dipimpin langsung oleh Mr. Savanna. Ini pertama kalinya Thomas menyaksikan bagaimana The Heptagon menggerakkan mesin perangnya.
Eleanor berdiri di samping Thomas, matanya fokus pada layar. "Dengarkan baik-baik, Thomas. Kau akan melihat bagaimana sebuah organisasi global bekerja dengan presisi."
Thomas menelan ludahnya, merasa kecil di tengah skala operasi ini. Sebagian besar wajah yang hadir di layar adalah para The Line dari seluruh Afrika, pemimpin yang memegang kendali di wilayah mereka masing-masing. Sebastian duduk di meja utama, berjarak hanya beberapa kursi dari layar besar. Wajahnya serius, siap menerima perintah.
"Perhatian semua," suara berat namun penuh otoritas terdengar dari speaker. Mr. Savanna muncul di layar, mengenakan setelan putih dengan aura yang tak tergoyahkan.
Semua yang hadir, baik secara langsung maupun virtual, segera menegakkan tubuh mereka dan menundukkan kepala. Bahkan para The Line, yang dikenal sebagai individu paling kuat di wilayah mereka, menunjukkan penghormatan mutlak kepada Mr. Savanna.
"Kalian semua tahu kenapa kita ada di sini," Mr. Savanna memulai dengan nada dingin. "Black Dawn telah melangkah terlalu jauh. Selama bertahun-tahun, aku membiarkan mereka menjalankan operasi mereka di Afrika, selama mereka tidak menyentuh wilayah kita. Tapi kini mereka telah mengganggu Heptagon, dan itu adalah kesalahan terakhir mereka."
Thomas merasa bulu kuduknya meremang. Aura Mr. Savanna bukan hanya otoritas biasa itu adalah sesuatu yang menuntut ketaatan penuh tanpa kompromi.
Mr. Savanna menatap tajam ke layar, memastikan setiap The Line memahami perintahnya.
"Sebastian," ia memanggil, matanya beralih ke The Line 142. "Kau akan menjadi komandan utama operasi ini. Aku memberikanmu kendali penuh atas semua pasukan dan sumber daya di Afrika."
Sebastian berdiri, menundukkan kepalanya sedikit. "Saya tidak akan mengecewakan Anda, Mr. Savanna."
Mr. Savanna mengangguk, lalu melanjutkan. "Setiap The Line akan mengoordinasikan pembersihan di wilayah mereka masing-masing. Aku ingin laporan harian tentang kemajuan kalian. Black Dawn harus dihapuskan sepenuhnya dari Afrika dalam waktu seminggu."
Layar berubah, menunjukkan daftar wilayah dan tanggung jawab masing-masing The Line:
Afrika Selatan: The Line 142, Sebastian N'Dour. Algeria: The Line 143, Omar Ben Khalid. Republik Demokratik Kongo: The Line 144, Joseph Mumbasa. Sudan: The Line 145, Ahmed Al-Mutahir. Libya: The Line 146, Hassan Ghaddafi. Chad: The Line 147, Malik Bakri. Niger: The Line 148, Idris Toure. Angola: The Line 149, Ricardo De Costa. Mali: The Line 150, Mamadou Diarra. Nigeria: The Line 151, Victor Oladipo. Ethiopia: The Line 152, Solomon Abebe. Mauritania: The Line 153, Khadim Seck. Mesir: The Line 154, Karim El-Sayed. Tanzania: The Line 155, Emmanuel Kibwe. Namibia: The Line 156, Jacob Nujoma.
Setiap The Line memberikan laporan singkat tentang situasi wilayah mereka.
"Black Dawn memiliki dua markas besar di wilayah saya," Joseph Mumbasa melaporkan. "Mereka didukung oleh tentara bayaran, tetapi saya yakin kami bisa mengatasinya dalam waktu yang ditentukan."
"Di Libya," Hassan Ghaddafi menambahkan, "Black Dawn memiliki dukungan dari beberapa kelompok lokal. Namun, mereka tidak akan bisa menahan pasukan kita."
"Di Nigeria, mereka mencoba mendirikan basis baru," Victor Oladipo melaporkan. "Saya sudah menempatkan orang-orang saya di sekitar wilayah itu. Serangan kita akan menghancurkan mereka."
Thomas mendengarkan dengan kagum. Setiap laporan menunjukkan betapa terorganisirnya The Heptagon. Ini bukan sekadar organisasi kriminal biasa ini adalah mesin perang global.
Mr. Savanna mendengarkan setiap laporan dengan tenang, memberikan instruksi tambahan ketika diperlukan. Tidak ada keraguan atau kebingungan dalam rapat ini. Semua berjalan dengan efisiensi sempurna.
Setelah semua laporan selesai, Mr. Savanna berdiri dari kursinya di layar. "Dengarkan baik-baik."
"Ini bukan hanya tentang menghancurkan Black Dawn. Ini adalah pesan kepada dunia. Tidak ada yang boleh mengganggu The Heptagon tanpa menerima balasan yang sepadan. Operasi ini adalah peringatan bagi semua orang yang berpikir bahwa mereka bisa menantang kita."
Semua yang hadir mengangguk, termasuk para The Line yang dikenal sulit diatur. Thomas bisa melihat bahwa Mr. Savanna memiliki kendali penuh atas mereka, sesuatu yang hanya bisa dicapai oleh seorang pemimpin dengan kekuatan luar biasa.
Sebastian akhirnya berbicara. "Apa yang harus kita lakukan jika ada perlawanan besar?"
Mr. Savanna menatap langsung ke arah kamera, matanya penuh ketegasan. "Tidak ada kompromi. Hancurkan mereka sepenuhnya."
Layar berubah menjadi gelap, menandakan akhir rapat. Namun, dampaknya masih terasa di ruangan itu. Thomas duduk diam, mencoba mencerna apa yang baru saja ia saksikan.
"Luar biasa, bukan?" Eleanor berkata sambil melirik Thomas. "Inilah Heptagon yang sebenarnya."
Thomas mengangguk perlahan. "Aku tidak pernah membayangkan skala sebesar ini."
Setelah rapat, markas Heptagon di Afrika Selatan berubah menjadi pusat kendali operasi. Thomas dan timnya diberi tugas khusus untuk mendampingi Sebastian dalam memimpin serangan ke markas Black Dawn di wilayahnya.
Malam itu, saat mereka bersiap untuk berangkat, Thomas merenung. Ia tahu bahwa perang ini akan mengubah segalanya, bukan hanya untuk Black Dawn, tetapi juga untuk dirinya sendiri.
Dan di bawah cahaya bintang Afrika, mesin perang Heptagon mulai bergerak, siap untuk menghancurkan musuh mereka tanpa ampun.
Pembersihan Black Dawn : Malam Pertama Serangan
Langit malam di Republik Demokratik Kongo dipenuhi suara helikopter yang berputar di atas hutan lebat. Lampu sorot dari helikopter itu memecah kegelapan, menyoroti kendaraan lapis baja yang melaju perlahan di bawahnya. Operasi Heptagon telah dimulai, dan perintah dari Mr. Savanna sangat jelas: Black Dawn harus dihancurkan sepenuhnya.
Thomas dan timnya berada di salah satu kendaraan lapis baja, duduk bersebelahan dengan Sebastian N'Dour. Sebastian mengenakan rompi taktis hitam lengkap dengan senjata otomatis di pangkuannya. Wajahnya serius, matanya terus memindai peta digital yang menunjukkan lokasi target.
"Kita hampir sampai," kata Sebastian, memecah keheningan. "Black Dawn tidak tahu apa yang akan menimpa mereka malam ini."
Thomas menatap peta dengan penuh perhatian. Markas Black Dawn di Kongo adalah salah satu yang terbesar di Afrika. Informasi intelijen menunjukkan bahwa mereka memiliki gudang senjata besar dan ratusan tentara bayaran yang siap bertempur.
"Apa rencana kita?" tanya Dante, yang duduk di seberang Thomas.
Sebastian menghela napas panjang. "Tim kita akan memimpin serangan langsung ke pusat komando mereka. Tujuannya adalah melumpuhkan sistem komunikasi mereka dan memastikan tidak ada yang bisa lolos."
"Dan sisanya?" tanya Jamal.
Sebastian menunjuk peta. "Tim The Line 144 akan menangani perimeter luar. Mereka akan memastikan tidak ada bala bantuan yang masuk. Kita hanya punya satu malam untuk menyelesaikan ini."
Thomas merasa tekanan meningkat. Misi ini adalah misi terbesar yang pernah ia jalani, dan kegagalan bukanlah pilihan.
----------------->Bersambung
Langit mulai berubah menjadi warna jingga saat senja menjelang. Angin dingin berembus melewati lapangan akademi, membawa keheningan yang terasa semakin berat. Di tengah area terbuka itu, Thomas berdiri berhadapan dengan Alex, Diego, dan Flynn tiga sosok yang dulu ia kenal sebagai teman seperjuangan, tetapi kini telah menjadi sesuatu yang lebih. Thomas tidak segera berbicara. Matanya menyapu wajah mereka satu per satu, mencoba menemukan jejak masa lalu di balik perubahan besar yang kini terpampang di hadapannya. Namun, yang ia lihat adalah sesuatu yang lebih kuat, lebih tajam mereka bukan lagi hanya sekadar rekan, mereka adalah saudara dalam peperangan. Alexlah yang pertama melangkah maju, dengan ekspresi percaya diri yang tetap sama seperti dahulu. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam caranya menatap Thomas. Bukan hanya rasa hormat, tetapi juga kebanggaan. "Jadi, kau akhirnya kembali." Suara Alex terdengar mantap, tanpa keraguan sedikit pun. Thomas mengangguk pelan. "Aku tidak pe
Ia menghindari pukulan lurus dengan gerakan slipping, memiringkan kepala hanya beberapa inci dari tinju George.Hook kanan datang cepat, tetapi Thomas mengangkat sikunya untuk menangkis, merasakan benturan yang nyaris mematahkan tulangnya.Saat tendangan putar melesat, Thomas melompat mundur, menggunakan momentum George untuk memperhitungkan serangan balasan.Dan di situlah momen itu datang.Saat sikutan George mengarah ke lehernya, Thomas menurunkan tubuhnya, merendah, lalu meluncurkan uppercut langsung ke ulu hati George.DUG!Untuk pertama kalinya, George terdorong mundur.Thomas tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan kecepatan yang ia pelajari dari pertarungan ke-99, ia menyerang balik.Elbow strike ke rahang.Tendangan rendah ke lutut.Sebuah pukulan straight ke arah dada.Namun, George bukan lawan yang mudah. Saat serangan ketiga hampir mengenai, George tiba-tiba berbalik, menggunakan energi Thomas sendiri untuk menjatuhkannya dengan teknik grappling.Thomas terhuyung, teta
Serigala itu tidak sendiri. Ada lima ekor lain yang mengintainya dari balik pepohonan.Thomas tahu bahwa ia harus bertarung.Ia mengambil tongkat besar yang terbakar di ujungnya dan mengayunkannya ke arah serigala pertama. Hewan itu mundur, tetapi lima lainnya bergerak mendekat. Ia tidak bisa melawan mereka semua.Pilihannya hanya satu "Lariiiii."Dengan cepat, ia berbalik dan berlari melewati hutan, napasnya tersengal. Ia melompati akar pohon, menerobos semak-semak, sementara suara cakar-cakar tajam mendekatinya dari belakang. Ia tidak bisa berhenti.Setelah hampir satu menit penuh berlari, ia melihat celah sempit di antara dua batu besar. Tanpa berpikir panjang, ia meluncur masuk dan menekan tubuhnya ke dalam ruang kecil itu. Serigala-serigala itu berhenti di luar, menggeram marah, tetapi tak bisa menjangkaunya.Ia menunggu, menahan napas, hingga akhirnya suara mereka menghilang.Malam itu, ia tidak bisa tidur. Ia menyadari satu hal: tempat ini tidak akan memberinya belas kasihan. J
Ia menggoreskan bilahnya ke telapak tangannya sendiri. Darah segar menetes ke dalam gelas kosong di tengah mereka.Tanpa ragu, Flynn mengambil pisau itu dan mengikuti, menyayat telapak tangannya sendiri sebelum meneteskan darahnya ke dalam gelas. "Setiap misi, setiap pertempuran, setiap kejatuhan… kita tetap satu."Alex, dengan tatapan penuh tekad, mengulangi ritual yang sama. "Kita tidak akan pernah berdiri sendirian. Kita adalah satu jiwa dalam empat tubuh."Akhirnya, Thomas mengambil pisau itu, merasakan dinginnya baja di kulitnya sebelum menyayat telapak tangannya sendiri. Darahnya bercampur dengan darah saudara-saudaranya, mengukuhkan sumpah yang lebih kuat dari sekadar kata-kata.Ia mengambil gelas itu, memutarnya pelan sebelum meneguknya. Darah hangat mengalir di tenggorokannya, bukan sebagai simbol kelemahan, tetapi sebagai bukti tak terbantahkan bahwa mereka telah memilih jalan yang sama. Tanpa ragu, gelas itu berpindah ke Alex, lalu ke Diego, dan terakhir ke Flynn. Mereka me
Setelah berminggu-minggu menjalani latihan intensif di akademi, Thomas mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Ia menjadi lebih cepat, lebih kuat, dan lebih waspada. Namun, dalam setiap latihan, ia juga mulai menyadari batasannya. Meskipun telah melalui berbagai skenario pertempuran, Thomas tahu bahwa ia masih jauh dari kata siap untuk menghadapi ancaman Black Dawn yang sesungguhnya.Sebuah komunikasi rahasia terjadi di salah satu markas Heptagon. Mr. Ice, salah satu The Council, telah berbicara dengan George Simbian secara langsung."Anak itu punya potensi," kata Mr. Ice dengan suara dingin khasnya. "Tapi dia belum siap. Jika dia ingin bertahan dalam perang berikutnya, dia harus menjadi lebih dari sekadar prajurit biasa."George menyilangkan tangan. "Kau ingin aku melatihnya secara khusus?""Ya. Tapi aku tidak ingin kau menawarkan diri. Jika Thomas benar-benar siap, dia akan datang kepadamu sendiri."George mengangguk paham. "Baik. Jika dia cukup cerdas untuk menyadari kelemahannya,
Thomas tersenyum, tetapi ia tahu ada kebenaran dalam ucapan mereka. Ia memang berubah. Setelah melihat kematian, menyaksikan bagaimana Heptagon mengendalikan dunia kriminal, dan mengalami langsung pertarungan brutal, ia tidak bisa kembali menjadi siswa biasa yang hanya menjalani pelatihan tanpa memahami konsekuensinya.Keesokan harinya, Thomas kembali ke rutinitas akademi tetapi dengan nuansa yang berbeda. Di lapangan latihan, setiap tatapan yang diarahkan padanya terasa berat. Sebagian besar siswa lain melihatnya dengan rasa hormat, beberapa dengan iri, dan yang lain dengan waspada.Tidak seperti biasanya, Saat sesi Latihan kali ini, George Simbian adalah instruktur hari itu menggantikan Antonov, dan dia telah menanti terlebih dahulu dilapangan. "Hayooo….berkumpul lebih cepat, PARA BAJINGAN, kalian fikir kita sedang-piknik". Mendengar teriakan George. para siswa panik, berlari dan segera cepat membentuk barisan. Diego mendengar suara yang tidak asing baginya, spontan menepuk jidatn