Serigala itu tidak sendiri. Ada lima ekor lain yang mengintainya dari balik pepohonan.
Thomas tahu bahwa ia harus bertarung.
Ia mengambil tongkat besar yang terbakar di ujungnya dan mengayunkannya ke arah serigala pertama. Hewan itu mundur, tetapi lima lainnya bergerak mendekat. Ia tidak bisa melawan mereka semua.
Pilihannya hanya satu "Lariiiii."
Dengan cepat, ia berbalik dan berlari melewati hutan, napasnya tersengal. Ia melompati akar pohon, menerobos semak-semak, sementara suara cakar-cakar tajam mendekatinya dari belakang. Ia tidak bisa berhenti.
Setelah hampir satu menit penuh berlari, ia melihat celah sempit di antara dua batu besar. Tanpa berpikir panjang, ia meluncur masuk dan menekan tubuhnya ke dalam ruang kecil itu. Serigala-serigala itu berhenti di luar, menggeram marah, tetapi tak bisa menjangkaunya.
Ia menunggu, menahan napas, hingga akhirnya suara mereka menghilang.
Malam itu, ia tidak bisa tidur. Ia menyadari satu hal: tempat ini tidak akan memberinya belas kasihan. Jika ia ingin bertahan, ia harus menjadi lebih kejam daripada lingkungan ini.
Thomas mulai mengerti harus berbuat apa untuk dapat bertahan hidup dialam liar seperti ini.
4 bulan berlaluLangit kelam menyelimuti pulau terpencil yang tak memiliki nama. Pepohonan liar tumbuh tanpa aturan, angin laut menerpa tubuh kurus namun kokoh milik Thomas yang kini telah beradaptasi dengan kerasnya alam. Tubuhnya penuh luka, namun matanya tajam seperti pisau yang baru diasah. Setelah empat bulan berjuang sendiri, ia telah berubah menjadi sesuatu yang lebih tanggung dari sebelumnya.
Thomas tengah mengunyah daging hasil buruannya ketika suara deru helikopter terdengar di kejauhan. Ia mengangkat kepalanya, menatap benda logam yang turun perlahan di area berpasir hitam ditengah hutan pulau terpencil. Debu dan daun kering berhamburan ke udara saat baling-baling helikopter berhenti berputar. Pintu terbuka, dan dari dalamnya, muncullah George dengan tatapan sinis khasnya.
"Kukira kau sudah mati," ucap George, melangkah turun sambil menghisap cerutu ditangannya matanya menyapu tubuh Thomas yang penuh bekas luka.
Thomas menelan sisa daging di mulutnya dan berdiri tanpa berkata-kata. Pakaiannya telah usang, hanya celana lusuh yang diikat dengan tali kasar. Kulitnya menghitam terbakar matahari, rambutnya lebih panjang dan acak-acakan, tetapi tatapannya tetap fokus dan tak tergoyahkan.
"Kukira kau akan datang lebih cepat." jawab Thomas akhirnya, suaranya lebih dalam dari sebelumnya, lebih dingin.
George mengangkat alis, terkekeh kecil. "Bukan buruk, kau masih bisa berbicara. Jadi, kau menikmati waktu sendirian di surga ini?"
Thomas menggeleng. "Aku tidak menikmatinya, aku hanya bertahan agar tidak mati."
George memandang sekeliling, melihat bekas api unggun, tulang-tulang hewan yang berserakan, serta gubuk kayu sederhana yang dibangun dari dedaunan dan ranting. "Jadi kau berburu sendiri? Membangun tempat tinggal sendiri? Bahkan tidak terlihat seperti orang yang mati kelaparan."
"Aku tidak bisa menunggu orang lain menyelamatkanku." Thomas berjalan mendekat, otot-ototnya menegang setiap kali ia melangkah. "Jika aku ingin bertahan, aku harus memastikan aku tidak membutuhkan siapa pun."
George mengangguk setuju. "Bagus. Tapi bertahan hidup hanyalah langkah pertama. Sekarang, kita akan melihat apakah kau benar-benar siap menjadi sesuatu yang lebih dari manusia biasa."
Latihan Ala George
Hari pertama pelatihan langsung dimulai tanpa ada waktu istirahat. George tidak datang untuk menilai Thomas, dia datang untuk menghancurkannya dan membangunnya kembali.
Setiap hari, Thomas dipaksa untuk:
Lari sejauh 20 km di medan berbatu dengan beban di punggungnya, yang akan meningkat seiring jalannya pelatihan, 30 kg, 50kg, 100kg, 150kg. Menahan rasa sakit dengan metode penyiksaan psikologis dan fisik yang ekstrim.
Dalam satu waktu George memaksa Thomas berendam di air es selama tiga jam penuh, membuat tubuhnya hampir membeku.
Ketika Thomas lemah, ia dipaksa bertarung dalam kondisi kelaparan, memaksanya bertahan hanya dengan insting.
Jika gagal dalam latihan, hukumannya bukan sekadar teguran tetapi luka fisik yang nyata.
Pada akhir minggu pertama, tubuh Thomas penuh memar, kakinya hampir tidak bisa digerakkan, dan pikirannya mulai goyah. Namun, ia tidak boleh menyerah.
Suatu malam setelah sesi pelatihan brutal, Thomas terjatuh di tanah.
George berdiri di atasnya, melipat tangan, menatapnya tanpa ekspresi. "Kau bisa berhenti kapan saja."
Thomas mendongak, napasnya berat, tetapi matanya tetap menyala dengan api perlawanan. "Berhenti tidak akan membuatku lebih kuat."
George tersenyum tipis. "Kau mulai memahami pelajaran terpenting."
Tanpa kata tambahan, ia meninggalkan Thomas tergeletak di pasir, membiarkannya memutuskan sendiri apakah ia akan bangkit atau tidak. Malam itu, Thomas tetap di sana, menatap bintang-bintang di langit. Tubuhnya ingin menyerah, tetapi pikirannya menolak.
Ia tidak lagi bertanya apakah ia bisa bertahan ia tahu ia harus bertahan.
Keesokan paginya, saat fajar menyingsing, Thomas bangkit sendiri dan kembali ke tempat latihan. Ia sudah siap untuk lebih banyak penderitaan.
Thomas Vs George Simbian
Langit merah membara di atas pulau terpencil, angin laut berhembus membawa aroma garam dan tanah basah. Thomas berdiri dengan tubuh penuh luka, napasnya terengah-engah, namun matanya tetap terpaku pada sosok di hadapannya. George Simbian, mentor yang telah membentuknya dari manusia biasa menjadi alat perang, berdiri dengan tangan di pinggangnya, ekspresinya tetap dingin.
"Kau sudah kalah 99 kali, Thomas." George menyeringai, suaranya tenang namun tajam. "Kau tahu apa yang membedakan mereka yang bertahan hidup dan mereka yang mati?"
Thomas mengangkat tinjunya, meskipun seluruh tubuhnya menjerit kesakitan. "Kecepatan? Insting?"
George menggeleng. "Kesadaran. Sadar kapan harus menyerang, kapan harus bertahan, dan kapan harus mengakhiri lawan sebelum ia sempat berpikir untuk melawan."
Pertarungan ke-100: Keheningan Sebelum Badai
Angin membawa debu dan pasir, menciptakan atmosfer mencekam di antara dua sosok yang saling berhadapan. Thomas tahu ini bukan sekadar uji tanding biasa. Ini adalah penentuan apakah ia sudah siap atau masih jauh dari kata 'prajurit sejati'.
George memulai dengan langkah ringan, tubuhnya nyaris tak bersuara di atas tanah kasar. Thomas sudah mempelajari pola serangan George pergerakan yang tak terduga, kecepatan yang seperti bayangan, dan serangan yang selalu datang dengan perhitungan yang nyaris mustahil untuk dihindari.
George melesat maju dengan tendangan lurus ke dada. Thomas mengangkat tangannya untuk memblokir, tetapi pukulan balik dari George sudah siap menghantam sisi wajahnya. Thomas nyaris tidak melihat serangan itu datang, tetapi kali ini ia tidak hanya bereaksi ia mengantisipasi.
BRAK!
Thomas menghindar ke samping tepat saat pukulan George meleset beberapa inci dari rahangnya. Ini pertama kalinya ia berhasil menghindari serangan tanpa sepenuhnya tertabrak dampaknya. George sedikit mengangkat alis.
"Menarik. Kau mulai belajar."
George melancarkan kombinasi serangan brutal: tinju lurus, hook kanan, tendangan putar, lalu sikutan ke arah leher. Gerakannya seperti tarian kematian, tidak memberi celah sedikit pun bagi Thomas.
Namun, kali ini Thomas tidak hanya bertahan ia mulai melawan.
-----------------> Bersambung
Ia menghindari pukulan lurus dengan gerakan slipping, memiringkan kepala hanya beberapa inci dari tinju George.Hook kanan datang cepat, tetapi Thomas mengangkat sikunya untuk menangkis, merasakan benturan yang nyaris mematahkan tulangnya.Saat tendangan putar melesat, Thomas melompat mundur, menggunakan momentum George untuk memperhitungkan serangan balasan.Dan di situlah momen itu datang.Saat sikutan George mengarah ke lehernya, Thomas menurunkan tubuhnya, merendah, lalu meluncurkan uppercut langsung ke ulu hati George.DUG!Untuk pertama kalinya, George terdorong mundur.Thomas tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan kecepatan yang ia pelajari dari pertarungan ke-99, ia menyerang balik.Elbow strike ke rahang.Tendangan rendah ke lutut.Sebuah pukulan straight ke arah dada.Namun, George bukan lawan yang mudah. Saat serangan ketiga hampir mengenai, George tiba-tiba berbalik, menggunakan energi Thomas sendiri untuk menjatuhkannya dengan teknik grappling.Thomas terhuyung, teta
Serigala itu tidak sendiri. Ada lima ekor lain yang mengintainya dari balik pepohonan.Thomas tahu bahwa ia harus bertarung.Ia mengambil tongkat besar yang terbakar di ujungnya dan mengayunkannya ke arah serigala pertama. Hewan itu mundur, tetapi lima lainnya bergerak mendekat. Ia tidak bisa melawan mereka semua.Pilihannya hanya satu "Lariiiii."Dengan cepat, ia berbalik dan berlari melewati hutan, napasnya tersengal. Ia melompati akar pohon, menerobos semak-semak, sementara suara cakar-cakar tajam mendekatinya dari belakang. Ia tidak bisa berhenti.Setelah hampir satu menit penuh berlari, ia melihat celah sempit di antara dua batu besar. Tanpa berpikir panjang, ia meluncur masuk dan menekan tubuhnya ke dalam ruang kecil itu. Serigala-serigala itu berhenti di luar, menggeram marah, tetapi tak bisa menjangkaunya.Ia menunggu, menahan napas, hingga akhirnya suara mereka menghilang.Malam itu, ia tidak bisa tidur. Ia menyadari satu hal: tempat ini tidak akan memberinya belas kasihan. J
Ia menggoreskan bilahnya ke telapak tangannya sendiri. Darah segar menetes ke dalam gelas kosong di tengah mereka.Tanpa ragu, Flynn mengambil pisau itu dan mengikuti, menyayat telapak tangannya sendiri sebelum meneteskan darahnya ke dalam gelas. "Setiap misi, setiap pertempuran, setiap kejatuhan… kita tetap satu."Alex, dengan tatapan penuh tekad, mengulangi ritual yang sama. "Kita tidak akan pernah berdiri sendirian. Kita adalah satu jiwa dalam empat tubuh."Akhirnya, Thomas mengambil pisau itu, merasakan dinginnya baja di kulitnya sebelum menyayat telapak tangannya sendiri. Darahnya bercampur dengan darah saudara-saudaranya, mengukuhkan sumpah yang lebih kuat dari sekadar kata-kata.Ia mengambil gelas itu, memutarnya pelan sebelum meneguknya. Darah hangat mengalir di tenggorokannya, bukan sebagai simbol kelemahan, tetapi sebagai bukti tak terbantahkan bahwa mereka telah memilih jalan yang sama. Tanpa ragu, gelas itu berpindah ke Alex, lalu ke Diego, dan terakhir ke Flynn. Mereka me
Setelah berminggu-minggu menjalani latihan intensif di akademi, Thomas mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Ia menjadi lebih cepat, lebih kuat, dan lebih waspada. Namun, dalam setiap latihan, ia juga mulai menyadari batasannya. Meskipun telah melalui berbagai skenario pertempuran, Thomas tahu bahwa ia masih jauh dari kata siap untuk menghadapi ancaman Black Dawn yang sesungguhnya.Sebuah komunikasi rahasia terjadi di salah satu markas Heptagon. Mr. Ice, salah satu The Council, telah berbicara dengan George Simbian secara langsung."Anak itu punya potensi," kata Mr. Ice dengan suara dingin khasnya. "Tapi dia belum siap. Jika dia ingin bertahan dalam perang berikutnya, dia harus menjadi lebih dari sekadar prajurit biasa."George menyilangkan tangan. "Kau ingin aku melatihnya secara khusus?""Ya. Tapi aku tidak ingin kau menawarkan diri. Jika Thomas benar-benar siap, dia akan datang kepadamu sendiri."George mengangguk paham. "Baik. Jika dia cukup cerdas untuk menyadari kelemahannya,
Thomas tersenyum, tetapi ia tahu ada kebenaran dalam ucapan mereka. Ia memang berubah. Setelah melihat kematian, menyaksikan bagaimana Heptagon mengendalikan dunia kriminal, dan mengalami langsung pertarungan brutal, ia tidak bisa kembali menjadi siswa biasa yang hanya menjalani pelatihan tanpa memahami konsekuensinya.Keesokan harinya, Thomas kembali ke rutinitas akademi tetapi dengan nuansa yang berbeda. Di lapangan latihan, setiap tatapan yang diarahkan padanya terasa berat. Sebagian besar siswa lain melihatnya dengan rasa hormat, beberapa dengan iri, dan yang lain dengan waspada.Tidak seperti biasanya, Saat sesi Latihan kali ini, George Simbian adalah instruktur hari itu menggantikan Antonov, dan dia telah menanti terlebih dahulu dilapangan. "Hayooo….berkumpul lebih cepat, PARA BAJINGAN, kalian fikir kita sedang-piknik". Mendengar teriakan George. para siswa panik, berlari dan segera cepat membentuk barisan. Diego mendengar suara yang tidak asing baginya, spontan menepuk jidatn
Langit malam di Afrika Selatan terbentang luas, bertabur bintang yang bersinar di atas kota Johannesburg. Thomas berdiri di balkon kamar hotelnya, menghirup udara malam yang segar, tetapi pikirannya jauh dari ketenangan yang ditawarkan kota ini. Sudah dua minggu sejak operasi besar-besaran Heptagon menghancurkan Black Dawn di Afrika, tetapi jauh di dalam dirinya, ia tahu bahwa ini bukanlah akhir. Perang yang sebenarnya baru saja dimulai.Di belakangnya, suara langkah kaki mendekat. Thomas menoleh dan melihat Sebastian N'Dour berdiri dengan tangannya disilangkan di dada, ekspresi wajahnya tetap setenang biasanya."Kau seharusnya menikmati malam terakhir di Afrika sebelum kembali ke akademi," ujar Sebastian.Thomas mengangguk pelan. "Sulit untuk merasa lega ketika kita tahu bahwa ini belum selesai."Sebastian tersenyum tipis dan mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya sebuah pisau berbilah hitam dengan ukiran tribal khas Afrika. Ia menyerahkannya kepada Thomas."Ini sebagai kenang-kenan