Prang!
Bersamaan itu lantai kamar telah penuh dengan semua alat rias Reyna. Barang-barang yang ada di atas nakas telah berpindah tempat dan hancur tak berbentuk.
"Brengsek!'
Reyna terkejut, wanita itu menatap Aldi dengan gamang. Sedih dan kecewa terhadap reaksi tadi. Tidak terbersit di benak akan dibentak dengan kasar.
Selama tiga tahun pernikahan, baru kali ini Mas Aldi berkata kasar padaku, batin Reyna dalam benak. Benar-benar menyakitkan, lanjut Reyna dalam hati.
Tanpa sadar air mata menetes dan membanjiri pipi. Tidak terbayangkan suami yang sangat dicinta telah melontarkan kata kasar.
"Tidak perlu melakukan itu untuk membuatku percaya dengan apa yang kau katakan, Mas," ucap Reyna terisak sedih.
Aldi terdiam dan tersadar saat itu juga. Emosi di hati tiba-tiba luruh begitu saja ketika melihat Reyna menangis . Hati pun ikut merasa sakit melihat ada air mata di wajah cantik memenuhi pipi wanitanya. Baru kali ini dia membuat sang istri mengeluarkan air mata. Dan, semua itu karena sebuah kesalah-pahaman dan ketidak-jujuran.
Tidak! Bukan ini yang kuinginkan. Aku tak pernah ingin membuat dia kecewa, sesal Aldi dalam hati.
"Maafkan aku, Sayang," bisik Aldi kemudian merengkuh tubuh Reyna.
Tubuh indah sang istri dibawa ke dalam dekapan, menempelkan dagu di kepala wanita itu seraya membelai lembut rambut panjang Reyna penuh perasaan. Air mata yang bercucuran membasahi dada Aldi. Laki-laki itu merasa terpukul dengan yang baru saja dilakukan terhadap wanita lembut itu.
"Jangan pernah menduakan aku, Mas," bisik Reyna dengan suara bergetar.
Aldi memejamkan mata seraya tetap membelai kepala sang istri penuh kasih. Dia tahu saat ini Reyna mencurahkan isi hati, tentang rasa takut kehilangan dan begitu pun dia yang merasakan hal yang sama.
"Tidak akan. Aku tidak akan pernah bisa menduakanmu dengan wanita mana pun. Hanya kau satu-satunya wanita dalam hidupku, tidak akan pernah terganti," jawab Aldi tegas.
Reyna melepaskan pelukan Aldi, wanita itu mendongak menatap manik mata Aldi, seakan ingin masuk ke dalam dan mencari kejujuran di sana. Air mata yang belum mengering membuat wajah cantik itu terlihat sembab.
"Benarkah?" tanya Reyna menatap suaminya.
Aldi menarik bibirnya membentuk sebuah lengkungan kecil yang menciptakan senyuman manis untuk Reyna untuk meberikan kepastian jawaban atas pertanyaan.
"Iya, Sayang. Tidak akan ada yang bisa memisahkan kita, percayalah padaku," ucap Aldi kembali tersenyum dan mencium puncak kepala Reyna.
Wanita cantik dengan mata bulat indah itu kembali menyeka air matanya, dia terlihat lebih tenang, bibir merah muda yang selalu menjadi candu untuk Aldi akhirnya mengembangkan senyum yang teramat manis untuk Aldi.
"Sekarang, izinkan suamimu ini mandi. Apakah Tuan Putri sudah bisa mengijinkan aku pergi sebentar untuk membersihkan diri?" goda Aldi kepada Reyna.
Reyna menutup bibir dengan tangan seraya terkekeh kecil, mata bulat indahnya seakan ikut tersenyum membuat Aldi teramat lega dan bahagia.
"Maaf, aku lupa, Mas," ucap Reyna.
"Kumaafkan. Asal ...," jawab Aldi dengan senyum iblis penuh makna.
Reyna memicingkan mata menatap Aldi curiga. Bulu mata lentik milik wanita itu ikut bergoyang akibat gerakan mata membelalak. Dia tahu, jika Aldi mengeluarkan kata-kata seperti itu artinya, akan ada syarat yang harus Reyna lakukan dan penuhi dari keinginan sang suami.
"Mas, jangan bilang kalau ...," jawab Reyna menggantung kalimat seraya mengerucutkan bibir.
Aldi tergelak mendapati respon mata Reyna, dia gemas jika sang wanita sudah memasang wajah kesal dengan memainkan bibirnya seperti yang baru saja Reyna lakukan.
"Nanti malam tiga ronde, oke?" kerling Aldi nakal.
Reyna menggeleng cepat dengan membulatkan mata indahnya yang memang sudah bulat.
"Banyak banget, Mas! Ah, Mas Aldi curang, satu ronde saja! Hari ini aku lelah," tawar Reyna.
Aldi kembali tergelak geli seraya melangkah berjalan ke kamar mandi.
"Deal dua ronde!" serunya sambil terus melangkah dan tetap terkekeh menuju ke kamar mandi.
"Massssss ...," jerit Reyna gemas dengan keisengan suaminya.
Masih terdengar gelak tawa Aldi yang telah meninggalkan Reyna yang hanya bisa membelalakkan mata, membayangkan pertempuran panas malam itu bersama Aldi.
***
Seminggu kemudian ....
Tak butuh waktu lama, Aldi dan Nadia menikah disaksikan oleh orang tua Nadia, serta beberapa orang saksi dan bapak penghulu. Saat melakukan pernikahan ini, Aldi merahasiakan pernikahan siri itu dari Reyna dan orang tua Aldi.
"Malam ini Pak Aldi menginap di sini, bukan?" tanya Nadia pelan ketika ijab kabul telah usai mereka lakukan.
"Hm, aku sudah izin dinas luar sehari pada Reyna."
Nadia mengangguk. Dia melangkah menuju lemari pakaian, mengganti pakaian dengan gaun tidur, lalu menyiapkan pakaian ganti untuk Aldi, terlihat sekali perasaan lega di raut wajah wanita itu. Nadia menoleh melihat bayangan Aldi yang berdiri di balkon kamar seraya memunggunginya. Nadia membiarkan laki-laki itu menyendiri, dia tahu saat ini laki-laki itu butuh waktu untuk sendiri.
Aldi mendongak menatap langit yang malam ini bertaburan bintang. Kerlap-kerlip sinarnya membuat dia mengingat Reyna yang sangat suka saat langit penuh bintang.
“Ah … aku merindukan Reyna,” gumam Aldi yang seketika merindukan Reyna. “Aku telepon saja.”
Dia tidak bisa menahan untuk tidak menghubungi wanita yang sangat dicintai. Mengambil ponsel dan mencoba mengobati rasa rindu sekaligus rasa bersalah.
“Sayang, sudah tidur?” tanya Aldi pada Reyna ketika panggilan telepon langsung dijawab.
“Belum. Entah kenapa hari ini aku merasa kurang nyaman, Mas. Mataku tidak bisa terpejam. Apakah suamiku baik-baik saja di sana? Mas jadi pulang besok, bukan?”
Aldi sejenak terdiam, dia diserang rasa gugup yang tiba-tiba saja datang. “I-ya, Sayang, aku baik-baik saja. Aku usahakan besok sudah pulang. Dan selamat tidur ya, sayang. I love you,” ucap Aldi mengakhiri percakapan.
“Aku tak sanggup berbicara terlalu lama. Rindu ini semakin membuat rasa tersiksa. Rasa bersalah ini benar-benar menyakitkan,” kata Aldi pelan setelah menyadari kesalahan besar dan sudah dia lakukan. “Aku benar-benar merindukanmu.” Menarik dan membuang napas begitu berat pertanda rasa sakit yang teramat sangat.
Mata mengarah ke arah langit yang sudah berwarna hitam gelap, sama seperti keadaannya saat ini. Merasa curam dan takut jika sang kesayangan mengetahui peristiwa hari ini. Sungguh sangat menakutkan jika suatu saat Reyna tahu suaminya sudah menikah lagi.
“Aku memang pengecut. Tidak berani berkata jujur dan mengakui kelalaian dan kesalahanku.” Aldi berbicara sendiri dan mengacak-acak rambut dengan kasar. “Hal yang sangat kutakutkan di dunia ini adalah kehilangan Reyna. Aku sangat mencintai dia.”
Kembali bayangan wajah kecewa Reyna terbersit dalam benak ketika tahu apa yang terjadi, belum lagi jika Reyna tidak terima dan kemudian meninggalkan dia dengan alasan pernikahan ini.
"Tidak, Reyna tidak boleh meninggalkan aku karena alasan aku menikah lagi. Aku tidak mencintai wanita ini, aku hanya bertanggungjawab pada bayi yang dia kandung. Reyna tidak boleh tahu tentang pernikahan ini. Sampai nanti, waktu aku bisa mengambil hak asuh anakku pelan-pelan," lirih Aldi merencanakan sesuatu agar dia tetap bersama Reyna selamanya.
***
Aldi terbangun saat dia merasakan ada seseorang yang menyentuh tangannya dengan lembut. Mata Aldi terbuka dan menatap wanita cantik di hadapannya. Wanita cantik dengan gaun putih tipis yang menampakkan semua lekuk tubuh. Sesaat Aldi terpana melihat Nadia yang berada di hadapannya.
"Kenapa kau ada di sini?" tanya Aldi bingung.
"Bukankah kita sudah menikah, Pak?" jawab wanita itu santai.
"Oh, aku lupa. Maaf," ucap Aldi tidak merasa bersalah.
Beranjak dari sofa yang dia gunakan sebagai pengganti ranjang walau masih di kamar yang sama dengan Nadia. Bersiap mandi dan memutuskan untuk pulang.
Ketika Aldi baru akan melangkahkan kaki ke kamar mandi, tiba-tiba Nadia berlari kecil mendahului Aldi menuju kamar mandi. Aldi mengikuti langkah Nadia dan melihat wanita itu mengeluarkan isi perutnya di closet.
"Apa setiap hari seperti ini?" tanya Aldi menghampiri.
"Sudah dua minggu terakhir," ucap Nadia lemas setelah mencuci mulut.
"Apa kau juga selalu menginginkan sesuatu seperti wanita hamil yang lain?"
"Ngidam maksud Pak Aldi? Sudah mulai seperti itu, hanya yang sulit ketika sudah larut malam, tiba-tiba si baby menginginkan sesuatu. Dan aku terpaksa memendam saja."
"Jangan dibiasakan. Aku dengar itu tidak baik untuk tumbuh kembang bayi. Aku tidak ingin karena alasan itu anakku tidak tumbuh sehat di perutmu."
Nadia terkesiap, ada rasa bahagia, walau Aldi hanya peduli dengan anak yang dia kandung, namun tetap saja dia merasa senang. Dia berharap kelak Aldi benar-benar bisa mencintai dia karena alasan anak itu. Harapan seorang istri siri yang bermimpi bisa menjadi satu-satunya wanita istimewa bagi sang suami.
"Aku akan pulang. Katakan saja saat jadwal pemeriksaanmu tiba dan juga beritahu aku jika ada sesuatu yang kau butuhkan untuk si baby," ucap Aldi mengingatkan.
Nadia mengangguk senang. Wajah wanita itu berseri-seri, melepas kepergian Aldi dengan seribu harapan di hatinya. Tangan Nadia mengelus dan menelusuri perut yang mulai membuncit dengan gerakan naik turun.
"Sabar, My Baby. Kelak, dia pasti akan menjadi papamu seutuhnya," gumam Nadia yakin seraya mengelus perutnya.
****
AN :
Nadia sepertinya mulai berpikir untuk menguasai Aldi. Berhasil tidak?
Kuy lanjut ya sayang-sayangkuh. Jangan lupa tinggalkan jejak dengan komen di tiap bab dan kirim 5 bintang buat Author biar semnagat up.
Love u sekebon.
"Mas Aldi?" tanya Reyna dengan wajah bingung. Abi mengangguk yakin. Dia mengamati reaksi Reyna yang terlihat masih tidak percaya. "Kau tidak percaya?" tanya Abi. Reyna mengangguk, dia yakin Aldi tidak akan mungkin berbuat jahat padanya dan Evan, anak kandungnya sendiri. Abi membuka ponselnya, lalu menekan rekaman suara seseorang. "Jangan sampai Reyna tahu aku yang mengatur semua nya. Pastikan semua tersusun rapi sampai waktunya tiba. Aku punya alasan sendiri untuk melakukan ini," suara Aldi terdengar jelas dari ponsel Abi. "Masih tidak percaya padaku?" tanya Abi pada Reyna yang diam mematung. Sungguh dia tidak mau percaya dengan apa yang dia dengar. Tapi rekaman itu menyatakan Aldi yang seolah-olah mengatur semua nya. Reyna menggeleng sekali lagi. Dia sungguh tidak ingin percaya dengan apa yang dikata
"Jadi kemana kau akan pergi setelah ini Reyna?" Sosok pria tampan itu maaih menatap Reyna dengan pandangan rumit. Reyna tidak menjawab, dia justru asyik membantu menyuapi Evan. Beberapa saat kemudian wanita itu mendongak menatap pria itu seraya tersenyum. "Aku akan ke suatu tempat yang menbuat Aldi tidak bisa menemukan aku. Bukankah aku sudah menceritakan semuanya padamu tentang masalahku dan alasanku pergi?" Pria itu menghampiri Evan dan membelai puncak kepala bocah itu. Evan melirik tidak suka. "Jangan pegang-pegang kepala, Evan!" protesnya membuat pria itu tertawa. Reyna menggeleng lalu membersihkan mulut Evan setelah menghabiskan suapan nya. Dia mengerti sifat Evan yang tidak bisa cepat akrab pada orang yang baru dia kenal. Untuk itu Reyna heran saat Evan cepat akrab dengan Aldi ketika pertama kali mereka bertemu. Mungkin ikatan anak dan ayah membuat Evan mera
Aldi membuka matanya perlahan, dia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang ia tempati. "Tuan, sudah sadar?" Andre yang melihat pergerakan atasan nya segera beranjak dari sofa tempatnya duduk. "Mana Reyna?" Andre terdiam, ada keraguan untuk menjawab pertanyaan Aldi. Pria itu takut Aldi mengambil tindakan yang salah, padahal dia masih harus menjalankan perawatan. "Emm, itu Tuan, Nyonya harus mengunjungi perusahaan nya di luar kota. Ada yang dia harus selesaikan," ucap Andre tanpa berani menatap atasan nya. Aldi mengernyit, diantidka menyangka Reyna pergi di saat dia sedang tidak baik-baik saja. "Kau sudah menemukan sesuatu yang mencurigakan tentang kejadian yang menimpaku ini?" tanya Aldi mengalihkan topik. Andre menyodorkan amplop coklat tertutup pada atasan nya. Dia memperlihatkan kepada Aldi data
"Apalagi ini Tuhan, kenapa cobaan untuk hidupku tidak pernah berhenti?" Reyna menaltap nanar isi tulisan dalam kertas itu. Dia segera meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Dengan tubuh yang masih gemetar Reyna melangkahkan kakinya mendekati Aldi. Langkahnya gontai seraya menatap Aldi yang saat ini kembali tertidur. Tangannya terangkat dan menyentuh wajah pria itu, setelah itu tangan Reyna mengusap kepala Aldi lembut. "Maafkan aku, Mas. Aku kembali harus menyusahkanmu. Semoga setelah ini semua akan baik-baik saja. Kau harus selalu bahagia, aku tidak ingin ada yang menyakitimu karena aku," bisik Reyna dengan air mata yang menetes. Reyna mengecup kening Aldi lalu bergegas keluar ruangan dengan menarik tas nya. Wanita itu berlari melewati koridor rumah sakit. Dia menuju ke arah pintu gerbang rumah sakit. Reyna menoleh ketika dia merasa ada langkah
Aldi telah dipindah ke ruang rawat inap setelah selesai melakukan operasi untuk membuang peluru yang bersarang di punggung kiri nya. Menurut dokter yang menangani, jarak peluru tidak terlalu dalam namun, Aldi kehilangan banyak darah. Untuk itu laki-laki itu harus dirawat untuk memulihkan bekas operasi dan kondisinya. Keesokan harinya, kondisi Aldi sudah mulai membaik. Reyna menatap nanar ke arah sosok pria yang sedang terbaring di tempat tidur kamar perawatan. Wanita cantik yang matanya masih terlihat sembab itu menggenggam tangan Aldi. "Mas, beneran tidak apa-apa?" tanya Reyna lembut. Aldi baru saja tersadar dari pengaruh obat bius. Pria itu berusaha tersenyum untuk menenangkan hati Reyna. "Aku tidak apa-apa, tidak perlu cemas, ya," jawab Aldi mengusap punggung tangan Reyna. Reyna memperhatikan pria yang masih terbaring lemah. Dia tahu Aldi belum pulih walau seny
Seminggu ini Reyna kembali di teror oleh orang yang sama. Laki-laki bertopi yang acap.kali tiba-tiba hadir entah mengikutinya, atau sekedar lewat di depan kantor nya. Pernah Reyna merasa pria asing itu mondar mandir di depan rumahnya dengan menggunakan sepeda motor. Yang membuat Reyna heran saat Aldi ada di sampingnya atau berada di dekatnya, gangguan teror itu tidak pernah hadir, kecuali saat mereka ada di taman beberapa waktu lalu. Reyna sungguh merasa hidupnya tidak tenang. Beberapa kali dia berpikir akan pergi membawa Evan ke tempat yang lebih aman, tetapi wanita itu memikirkan kandungannya yang tambah besar. "Apakah pergi solusi terbaik untuk kami? apakah akan menjamin keselamatan kami?" Benak Reyna bermonolog. Kegelisahan menyelimuti hati wanita itu untuk mengambil keputusan, namun dia juga tidak ingin membicarakan keinginannya dengan Aldi.
"Apa itu, Bunda?" tanya Aldi pada Reyna. Reyna menaikkan bahunya dan kemudian mengambil sesuatu yang di pegang Evan. Miniatur robot yang tangan nya tidak lengkap. Hilang sebelah. "Evan di kasih om yang tadi, Bunda. Katanya buat Evan main, tapi kata Om nya tangan robot nya harus Evan sembuhkan dulu, karena lepas sebelah. Evan bilang, nanti Evan aja yang bawa ke dokter," ucap bocah itu lucu. Reyna dan Aldi berpandangan. Mereka menerka-nerka maksud pria bertopi tadi. "Evan tidak apa-apa kan,Nak? Om tadi tidak menyakiti Evan?" Bocah tampan itu menggeleng seraya melingkarkan tangan nya di leher Aldi. Dia tidak mengerti jika kedua orang tua nya sangat cemas pada nya. Keduanya terlihat lega. Reyna mencium pipi Evan dengan rasa syukur dan lega yang luar biasa. Kecemasan masih terlihat di wajahnya tapi wanita itu sudah bisa tersenyum sera
"Daddy, Evan mau ke taman," pinta bocah kecil memeluk kaki Aldi dengan wajah membujuk. Aldi menunduk memperhatikan tatapan Evan, mengelus puncak kepala bocah itu dengan penuh kasih. "Evan mau ke taman sama Daddy?" Aldi balik bertanya. Evan mengangguk penuh harap. Membiarkan Aldi memainkan pipi gembul nya. "Bunda gimana dong? Tega neinggalin bundanya di rumah?" "Bunda mau kok, tadi bunda bilang ke Evan, asal Daddy nemenin, bunda pasti ikut." Aldi tersenyum lalu menggendong Evan dan memeluknya erat. Hatinya bahagia, momen untuk bersama putranya dan Reyna tidak akan di sia-siakan. "Yuk, ganti baju dulu ya, Tuan muda," ajak Aldi menemani Evan ke kamarnya. Aldi tidak bisa melepaskan pandangan nya pada wanita cantik di depan nya. Wali pun perut wanita itu sudah terlihat membuncit, namun kec
Hari ini akhir pekan, Aldi tidak ingin menyia-nyiakan waktu untuk bersama putranya dan Reyna. Namun kesehatan Reyna masih belum pulih. Beda dengan Evan yang sekarang sudah mulai bermain kembali. Aldi mengetuk kamar Reyna lalu membukanya perlahan saat suara Reyna mempersilahkan dia masuk. Aldi menghampiri Reyna lalu meraba kening wanita itu. "Udah minum obat?" tanya Aldi. Reyna menggeleng. Wajahnya masih terlihat pucat. Akibat teror yang dia alami membuatnya malas makan dan stress, untuk itu dokter Mario menyuruh Reyna untuk bedrest, apalagi kehamilannya masih masuk tri semester pertama. "Pasti belum sarapan? Kau harus makan dulu sebelum minum obat." Reyna kembali menggeleng lemah. Entah kenapa dia tidak nafsu makan. Tubuh nya masih terasa lemah. Aldi keluar kamar sebentar lalu masuk k