Share

3

Mataku mengerjap pelan saat sebuah cahaya yang masuk dari sela-sela jendela mengusik lelapnya tidurku. Udara pagi ini terasa dingin tapi menyejukan, menghipnotisku agar tak beranjak dari busa empuk ini. Aku melirik jam di samping kasur, menunjukan angka enam.

Sesekali aku menguap perlahan lalu merenggangkan otot tubuhku. Tak butuh waktu lama, aku bergegas bangkit dari tempat tidur dan beranjak pergi ke dalam kamar mandi. Guyuran air dingin dari shower berhasil menyadarkan tubuhku secara sempurna.

Selesai mandi, aku berjalan keluar dengan handuk yang masih melilit di tubuh, kemudian duduk di depan meja rias berkaca lebar. Lalu dengan cekatan memakaikan rangkaian produk kecantikan untuk menjaga kulitku. Setelah dirasa cukup, aku segera bergegas untuk memakai seragam sekolah.

Setelah rapi bersolek, aku segera turun ke bawah menuju meja makan. Pak Jonathan sudah menunggu dengan beberapa maid di belakangnya. "Selamat pagi, Nona!" Sapa mereka hampir bersamaan. Aku tersenyum menanggapi, lalu mengambil sepotong roti dan mengoleskan selai coklat, dengan lahap kumakan. Perut sudah terasa kenyang, tak lupa ku teguk segelas susu hangat yang sudah tertata rapi di atas meja.

"Pak jo, apa anda sudah sarapan?" tanyaku pelan.

Beliau tersenyum, "Sudah, Nona …."

Aku menatap lurus ke arah meja makan, rasa sepi kembali menyeruak ke relung hati. Bunda dan Ayah belum pulang, mereka terlalu sibuk mencari uang. Alasan yang seringkali kudengar begitu sederhana, 'kami bekerja hanya untuk membuatmu bahagia.' Aku tersenyum sinis kala mengingat perkataan mereka itu. Belum cukupkah harta sebanyak ini? Bahkan untuk sekedar sarapan bersama pun rasanya sulit. Entah kapan terakhir kali kita sarapan bersama. 

"Pak Jo, aku ingin berangkat ke sekolah sendiri, tolong siapkan aku sebuah kendaraan. Mungkin ... sebuah sepeda motor sudah cukup," ucapku sembari membersihkan mulut dengan tissue.

Lelaki dewasa itu terlihat kaget dengan apa yang kupinta, "Mo-motor? tapi …,"

Aku memutar bola mata malas, "Pak, tolonglah ... aku bosan jika harus di antar jemput."

"Baiklah, Nona. Tetapi anda harus tetap dalam pengawasan kami," ucapnya meyakinkanku.

Segera saja aku mengangguk patuh diiringi tawa lebar. Pak Jonathan bergegas menyiapkan apa yang kupinta. Tak perlu menunggu waktu yang lama, di halaman depan sudah terpajang rapi sebuah kendaraan beroda dua yang kupinta. Tanpa menunggu aba-aba, segera naik ke motor itu.

"Aduh, Nona. Hati-hati ... tolong jangan mengebut," ucap Pak Jo dengan nada khawatir.

Aku tersenyum licik, dengan cepat ku tarik pedal gas sepeda motor itu. Dari belakang, aku dapat mendengar teriakan para maid dan Pak Jonathan yang mampu membuatku tertawa renyah.

Jalanan di Ibukota negara ini cukup padat meskipun masih pagi hari. Tetapi untungnya jalan yang kupilih tak macet. Sesekali aku berhenti di pinggir jalan, aku menoleh ke belakang. Mobil yang dikendarai Pak Jonathan masih setia mengikutiku.

Setelah menempuh perjalanan cukup lama sekitar 30 menit. Aku sampai tepat di halaman luas sebuah sekolah elit di kota ini. Beberapa murid melihatku dengan tatapan heran dan kagum, mungkin baru pertama kali melihat seorang murid perempuan mengendarai motor yang sepantasnya dipakai oleh anak laki-laki.

Aku berjalan cepat menaiki tangga sebelum masuk ke gedung sekolah, kulihat banyak murid yang dihukum di depan sana. Salah satunya adalah Princess Rachel, aku tertawa melihatnya mengangkat kedua tangan dengan posisi tegap. Beruntunglah aku memakai seragam lengkap dengan aksesorisnya.

Saat melewati setiap tangga menuju lorong kelas, dapat kulihat gerombolan para murid mulai dari laki-laki ataupun perempuan. Tak heran, ada pula yang sedang berpacaran. Lantai kelasku berada di lantai dua. Sampai di depan pintu berwarna coklat tua, ku geser pintu itu. Serentak para murid yang tengah asyik dengan kegiatannya masing-masing ikut menoleh. Aku tersenyum menyapa mereka, Mila dan Loli lantas berlari menuju ke arahku, kemudian dengan cepat mengapit kedua lengan tanganku.

"Pagi, Vey!" sapa kedua orang itu.

"Ya ... selamat pagi juga," balasku sambil tersenyum.

Kami lantas segera duduk di bangku masing-masing, "Vey, lo masih berani berangkat ke sekolah?" bisik Loli.

Dengan cepat Mila mencubit tangan Loli, "Heh, lo itu ya ... dibilangin nggak usah bahas masalah itu!"

Loli terlihat kesakitan sambil mengusap tangannya yang dicubit, "Duh, sakit tau! gue cuma nanya kok!"

"Emangnya kenapa?" tanyaku heran.

Mila dan Loli segera mendekatiku lalu berbisik, "Lo belum ikut grup chat di kelas kita, ya?" 

Aku menggeleng dengan cepat. "Princess Rachel sudah menargetkan lo buat jadi Black Wanted," sambung Mila.

"Black Wanted? Apaan sih?" tanyaku masih belum mengerti.

"Aduh, pokoknya lo bakal di bully sama geng mereka, Vey!" jelas Mila diikuti anggukan dari Loli.

Aku hanya mengangguk tanda paham. 'Aku akan ikuti permainanmu.' Batinku.

"Vey, gue minta id line lo dong," ucap Mila sembari menyodorkan handphonenya.

"Oh ya, kok gue nggak liat si kacamata sih?" Mila celingukan.

"Iya, gue juga nggak liat tuh!" balas Loli sambil mengangguk.

Aku menyapu pandangan ke arah ruangan kelas, benar saja. Laras tak ada di dalam kelas ini, dimana dia?

Tak lama, bel bunyi tanda masuk berbunyi. Hampir semua murid sudah berada di dalam kelas, namun Laras masih tak terlihat.

***

Kringgg!

Bel tanda istirahat bergema di seluruh sekolah, semua murid bergegas membereskan alat tulisnya dan ada pula yang pergi menuju kantin maupun perpustakaan.

Drrtt! pintu kelas bergeser terbuka, di ambang pintu terlihat seorang gadis berkacamata dengan mata sembab dan seragam yang lusuh kotor. Dia menunduk, kemudian mendongak ke arahku dengan mata berkaca-kaca. Laras? Dia menghampiriku dengan keadaan yang sudah jelas tak baik-baik saja.

 "Vey ... itu laras kenapa ya?" bisik Mila membuyarkan lamunanku.

Aku menepis pelan tangan Mila lalu berjalan ke arah Laras, "Ras, kamu ..."

Ucapanku terpotong ketika Laras secara tiba-tiba merengkuh tanganku dengan cepat. Matanya menatapku dengan ekspresi mengiba. "Vey, tolong ... ikutlah denganku, sebentar …," pintanya dengan badan bergetar. 

Aku segera merengkuh tubuh kecil Laras, ku papah dia agar duduk. Awalnya dia menolak dan bersikeras agar aku mau mengikutinya. Tapi setelah dibujuk perlahan oleh Mila dan Loli, dia pun menurut.

"Vey, tolong aku ... tolong!" ucap Laras tergugu, matanya bergerak liar mengamati sekitar. Seakan tengah diawasi seseorang.

Aku berusaha menenangkannya dengan terus mengelus pelan pundaknya, "Ras ... Laras, kamu minta tolong kenapa?"

Sedetik kemudian, Laras tergugu. Air matanya jatuh berderai membasahi kedua pipinya. Mila dan Loli gelagapan, segera saja mereka menenangkannya. Laras menceritakan kejadian yang baru saja dia alami dan pelaku yang membuat laras ketakutan setengah mati ini sudah bisa ditebak. Ya, geng Princess Rachel.

"Lo lihat sendiri kan, Vey! ini akibatnya kalo kita berurusan sama geng Princess Rachel," seloroh Mila.

Aku mengepalkan tanganku geram mendengar penjelasan dari Laras. Tega sekali mereka membully Laras bahkan tak meminta maaf satu kali pun. Segera bergegas keluar dari dalam kelas. Mila dan Loli berusaha menahanku.

"Vey, jangan temui mereka! Bahaya!" bujuk Mila dan Loli bersamaan. 

Tak kuhiraukan nasehat mereka, lalu berjalan dengan cepat menuju lantai paling atas di sekolah ini, tempat di mana geng Princess Rachel sudah menunggu dengan persiapan sempurna. Saat melewati para murid, bisa kudengar mereka saling berbisik tentang 'Black Wanted'. 

Sampai di tangga lantai terakhir. Di depan sana, tepatnya di depan pintu menuju atap, geng Princess Rachel sudah menunggu dengan seringai liciknya. Tapi ada yang mengganjal, hanya ada tiga orang termasuk Rachel si ratu lampir itu. Aku menghampiri mereka bertiga dengan perasaan geram.

Tiba-tiba ...

Dug!

Aku merasakan suatu benda tumpul menghantam leher belakangku dengan keras, sedetik kemudian badanku limbung dan jatuh tepat di depan kaki Rachel. Pandanganku mulai kabur, suatu hal yang kulihat terakhir kali sebelum pingsan adalah seringai licik Rachel.

***

Mataku mulai terbuka perlahan akibat siraman sebuah air, rasa pening menjalar sempurna tepat di kepalaku. Di depanku saat ini tengah berdiri lima orang gadis gila yang dengan santainya tertawa renyah.

Plakkk!

Rachel menamparku hingga darah segar mengalir di sudut kanan bibirku. Perih. 

"Udah sadar lo cewek murahan!" ucap Rachel sembari menjambak rambutku dengan kasar disertai tawa keempat sahabatnya itu.

Aku mendesis perlahan, rasa perih di sudut bibir belum hilang tapi sekarang rasa pening di kepala kembali berdenyut. Rachel tertawa dengan mata nyalang penuh kebencian.

"Ini akibatnya kalo lo berani macem-macem sama gue!" bentak Rachel dengan pandangan nyalang bagai singa siap menerkam mangsanya.

"Bungkam mulut cewe murahan ini, cepet!" Rachel memerintah pada sahabatnya yang kutahu bernama Liz.

Liz menatapku iba tetapi dengan segera ia membungkam mulutku menggunakan kain. Aku meronta mencoba melepaskan diri, namun nihil. Tanganku terikat sempurna ke belakang sedangkan kedua kakiku diikat dengan lakban. Sial!

Rachel mengelus pelan rambutku, kemudian dengan cepat merengkuh daguku agar mendongak ke arah nya. "Nah, sekarang lo bisa menikmati kesendirian lo ini!"

"Nggak bakal ada yang bantuin lo disini! yuk kita pergi dari sini!" ucap Rachel seraya berjalan pergi meninggalkanku diikuti keempat sahabatnya. 

Sesekali Liz menengok ke belakang, pandangannya terlihat iba. Pintu terdengar tertutup dengan keras disertai suara gelak tawa Rachel dan sahabatnya itu. 

Aku berusaha memberontak, ingin melepaskan ikatan di tanganku. Langit terlihat begitu cerah, panas. Keringat mulai bercucuran di tubuhku. Aku berusaha melepaskan ikatan pada kakiku, tapi tiba-tiba badanku kehilangan keseimbangan dan ...

Brakkk!

Badanku jatuh ke samping kiri dalam keadaan masih terikat pada kursi. Aku mendengus kesal. Kulihat di depanku, Handphone ku jatuh tak jauh. Aku berusaha mengambilnya, badanku menggeliat pelan. Ah, rasanya aku ingin menghajar hidung bangir Rachel yang sudah jelas hasil remake itu!

Dari ekor mataku, aku melihat seorang murid laki-laki sedang duduk santai, ah tidak ... maksudku sedang tidur bersandar di dekat tumpukan kardus bekas di pojok pintu. Aku mencoba berteriak, namun yang keluar hanyalah suara lenguhan tertahan. Cukup lama aku mencoba berteriak hingga tenggorokanku terasa sakit.

Kesal! itu yang kurasa sebab anak lelaki itu tak menoleh sedikit pun. Langit terasa begitu cerah, cahaya matahari begitu menyilaukan bahkan mataku tak kuat menatapnya. Rasa haus dan gerah membuatku merasa ingin menyerah. 

Tiba-tiba … .

Next … .

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status