Share

4

Tiba-tiba … .

Di depanku kulihat sepasang kaki berdiri. Mataku mengerjap pelan mencoba memastikan. Pandanganku menangkap sepasang kaki menggunakan sepatu tepat di samping handphone ku yang jatuh, seseorang itu berjongkok lalu mengambil benda pipih itu. Aku serasa mengenalnya, dia ... anak lelaki yang duduk di sebelah kiriku, tepat di samping jendela.

Aku berusaha meminta tolong dengan berteriak. Anak lelaki itu menatapku sebentar kemudian menguap. Sialan! 

"Lo lagi ngapain sih?" pertanyaan polos darinya berhasil membuatku tersulut emosi, apakah dia bodoh? Rasanya ingin aku memukulnya saat ini juga.

Anak lelaki itu berusaha menarik kursi dan mendudukanku seperti posisi semula. Nafasku naik turun tak beraturan akibat rasa gerah dan emosi yang memuncak. Aku menggelengkan kepala seraya memberi isyarat agar dia membuka bungkaman di mulutku.

"Oh …, " ucapnya seraya membuka ikatan bungkaman di mulutku. Ah, lega sekali rasanya ketika bungkaman itu melemas. 

Bibirku terasa kebas, mungkin sudut bibirku telah berwarna biru keunguan sekarang. Sudah bisa dipastikan lebam. Sebuah tangan membelai pipiku, ku ikuti alur sebuah ibu jari yang berhenti tepat di sudut bibirku. Jari itu menghapus pelan noda darah yang hampir mengering itu. Dengan cepat aku menggigit jari itu.

"Aww!" teriak anak lelaki itu kesakitan.

Aku menyeringai puas, tangannya terlalu nakal dan berani untuk menyentuh sudut bibirku. 

"Udah ditolongin bukanya berterima kasih malah kurang ajar lo, ya!" pekik anak lelaki itu.

Aku melengos malas kemudian melirik bagian dada kanannya, terpampang tulisan sebuah nama Rayhan Malik Aburra, nama yang cukup indah namun tidak dengan sifatnya yang menyebalkan. Anak lelaki itu mengikuti arah pandanganku, tiba-tiba kedua tangannya menutupi bagian dada. "Dasar cewek mesum!" pekiknya.

Aku terperangah heran tak percaya, 'Aku? aku cewek mesum? Hah yang benar saja!' batinku tak terima. 

"Nggak usah geer lo! cepet bukain tali di tangan gue!" pintaku setengah memerintah.

Anak lelaki itu berdecak kesal lalu dengan cekatan membuka ikatan tali di tanganku. Saat tali sudah terbuka, segera merenggangkan otot-otot tanganku. Anak lelaki itu kembali jongkok, lalu berusaha membuka lakban yang mengikat pergelangan kakiku.

Cukup lama ia berusaha membuka lakban itu, tapi tunggu ... dia ternyata sedang melihat ke arah rokku. Dasar mesum! kutendang wajah mesumnya menggunakan lututku hingga ia terjerembab ke belakang.

"Dasar cewek sinting!" pekiknya sambil memegang pipi kanannya.

Aku mendengus pelan seraya berdiri dan membersihkan seragamku yang telah kotor terkena debu. "Mana hp gue!" tanyaku sambil mengulurkan tangan, anak lelaki itu menyerahkan benda pipih milikku dengan wajah kesal.

Terik matahari begitu menyengat, aku segera berjalan ke arah pintu keluar. Dan ... ternyata terkunci! Aku tak menyerah, segera ku ketuk pintu itu dengan tidak sabar.

"Halo ... apakah ada orang?" namun nihil, tak ada siapapun yang menjawab. Geram. Akhirnya ku tendang pintu berbahan besi itu.

"Ck! percuma ya cewe sinting! Nggak bakal ada yang denger, ini lantai tiga!" seloroh anak lelaki mesum itu sembari berjalan ke arahku.

Ia mengulurkan tangannya, "Gue Ray ... lo?" sambil memiringkan kepala.

"Vey," jawabku ketus tanpa menjabat tangannya. Mataku melengos tajam.

Anak lelaki itu, maksudku Ray ... tersenyum sambil menurunkan tangannya hampa. Lantas duduk tepat di samping pintu. Ia menatapku tajam, "Lo nggak mau duduk?"

Aku mendengus pelan sembari duduk tepat di sampingnya. Ia bersiul dengan santai seakan menikmati kejadian yang tengah terjadi ini, tak lama ia mengambil benda pipih di saku bajunya. Ah, ya ... aku segera mengambil benda pipih di saku bajuku dan perlahan mengusap layarnya perlahan. Segera hubungi Pak Jonathan agar tak khawatir.

***

Ray menyenggol pelan bahu Vey, membuat si pemilik bahu itu tersadar akan lamunannya, sedetik kemudian melirik malas ke arah Ray. 

"Apa?" ketus Vey seketika dengan raut wajah sinisnya.

Namun, Ray malah tertawa kecil. "Diem aja dari tadi, lo haus nggak?" 

Seketika Vey mengangguk, memang sedari tadi rasa haus menyeruak di tenggorokannya begitu menyiksa. Ray tersenyum kemudian membuka salah satu kardus bekas yang ternyata berisi beberapa camilan dan minuman. 

Tangan Vey dengan cepat merebut sebungkus camilan beserta sekaleng minuman. "Santai … rakus banget lock!" Ujar Ray sambil menggelengkan kepalanya.

Vey diam saja tak membalas ejekan dari Ray, ia fokus melahap camilan membuat Ray tersenyum gemas.

Tak lama terdengar pintu terbuka. Seorang penjaga sekolah masuk sambil berkacak pinggang. "Loh, kenapa kalian di sini? Cepat keluar dari sini! Dasar anak muda, bukannya belajar malah pacaran!"

Vey mendongak dan berdiri seketika sambil tersenyum kecut. Segera saja Vey melangkah pergi meskipun tubuhnya benar-benar terasa sangat lemas bahkan sesekali tubuhnya terasa limbung.

"Ck! Jalan yang bener aja nggak bisa … sini!" ujar Rey sambil berjongkok.

Vey diam saja bahkan melengos. Namun Ray menarik tangan Vey hingga terpaksa dia naik dalam gendongan Ray.

"Aduh … berat banget lo!"

"Ck! Diem deh lo! Bikin gue tambah pusing aja!" Ujar Vey sambil memukul pundak Ray. Yang dipukul malah tertawa.

'Gara-gara si nenek lampir sialan. Awas aja kalo ketemu bakal gue hajar!' Maki Vey dalam hati sambil mengepalkan tangan.

Tak lama mereka sampai di lantai satu. "Turun lo, gue masih ada urusan." Ujar Ray sambil menurunkan Vey perlahan.

"Thank's …," ujar Vey tulus namun Ray sudah terlanjur pergi, ia hanya mengangkat tangannya sebagai isyarat.

POV VEY.

Sampai di tempat parkir, kulihat Mila dan Loli terduduk tepat di samping sepeda motorku terparkir. Aku terseok berjalan menuju ke arahnya. Sedetik kemudian Mila dan Loli mendongak diiringi teriakan mereka yang khas.

"Vey …!"

Tanpa menunggu aba-aba, mereka berdua berlari ke arahku dan mengapit kedua lenganku. 

"Vey, lo nggak kenapa-kenapa, kan?" cerca Mila seketika.

Aku meringis pelan menahan rasa sakit di tengkuk leherku. "I'm fine," balasku singkat mencoba tersenyum menahan rasa sakit yang makin terasa.

Mila dan Loli memandangku dengan iba. Mereka memapahku perlahan.

Aku duduk di bangku sekitar tempat parkir. Tak lama Mila berlari entah kemana. Sedangkan Loli sesekali terlihat seperti akan menangis.

Tak lama Mila kembali sambil membawa sebuah kresek hitam yang tak ku tahu apa isinya.

Ia merogoh kantong kresek itu segera, lalu diraihnya sebotol air mineral. "Minumlah, Vey." ujarnya sembari menyodorkannya.

Segera saja aku minum, tenggorokanku yang tadinya kering terasa sangat segar.

Mila dan Loli memandangku iba, "Vey, itu …," ucap Loli dengan tangan yang menunjuk ke arah keningku.

Aku meraba keningku dan terasa sakit. Tapi untunglah tak berdarah. Mungkin hanya lebam membiru.

"Vey, gue udah bilang sama lo. Tapi lo tuh terlalu ikut campur sama urusan Princess Rachel. Ya beginilah jadinya," 

"Apalagi sekarang lo udah jadi 'Black Wanted' itu bahaya, Vey."

"Ini baru awalnya aja, dan lo udah sampe babak belur kaya gini,"

"Dan … kita nggak bisa bantuin lo, Vey. Gue takut …." Mila menghentikan ucapannya, lalu memandang Loli dan aku secara bergantian.

Ia menghembuskan nafas dengan kasar. "Lo tau maksud gue."

Aku tersenyum kecut mendengar ucapan Mila. Memang benar. Rachel dan Geng-nya tak segan berani melakukan kekerasan secara fisik di sekolah. Sebenarnya siapa dia? Tak mungkin dia berani melakukan hal berbahaya kecuali ada seseorang di belakangnya. Jelas orang itu punya kekuasaan.

"Gue mau tanya, memangnya siapa sih dia?" selidikku pada Mila dan Loli.

Mereka saling beradu mata. "Dia bukan anak sembarangan, Vey. Papanya itu kepala sekolah di sini."

"Sekolah ini terpandang, meskipun ada tindak bully pasti akan selalu tertutupi dari media. Bahkan sudah menjadi tontonan biasa." 

Menarik. Itu yang bisa kusimpulkan dari penjelasan Mila.

Aku berdiri bersiap untuk pulang. Mila dan Loli memandangku heran.

"Lo mau kemana?" 

"Mau pulang," balasku singkat.

"Ayo gue anterin, gue yakin lo nggak bisa pulang sendiri dalam keadaan kayak gini," pinta Mila diikuti anggukan patuh dari Loli.

"Nggak usah, gue bisa sendiri. Gue juga bawa motor."

Mila dan Loli saling berpandangan. "Jadi motor itu punya lo?"

Aku hanya mengangguk tanda mengiyakan pertanyaan mereka berdua. Seketika air muka Mila dan Loli terlihat kaget bercampur kagum.

"Wah, Daebak! Omo-omo!" teriak Mila dan Loli bersamaan.

Aku hanya terkekeh pelan seraya berjalan perlahan menuju kendaraanku, Si Hitam. Aku berkendara pelan setelah mengucap salam perpisahan pada Mila dan Loli yang masih terkagum-kagum melihatku.

Aku mengendarai motor dengan santai. Rasa sakit di tengkuk masih terasa. Untunglah rasa pening sudah berkurang dan jalanan terasa lenggang.

Tak butuh waktu lama aku sampai di depan gerbang tinggi berwarna hitam. Seorang satpam bergegas membukakan gerbang, aku mengklakson pelan diiringi anggukan dari Pak Satpam itu.

Tepat di depan pintu berdiri seseorang yang kukenal. Ya, dia adalah Pak Jo. Saat memarkirkan motor, kulihat air mukanya terlihat cemas. Setelah aku membuka helm, air muka Pak Jo berubah. Ia terlihat marah.

"Nona! Wajahmu …," ujarnya sambil menelisik wajahku.

"Apa yang terjadi dengan anda? Apakah seseorang telah mengganggu? Kenapa anda sampai pulang telat? Si …"

Sebelum ia banyak bertanya. Aku segera memotong ucapannya. "Aku jatuh dari tangga,"

Kulirik ia sebentar, raut wajahnya menunjukkan rasa tak percaya akan alasanku. Biarlah. Aku pening mendengar ocehan pria ini.

Aku masuk ke dalam rumah diiringi Pak Jo dan beberapa maid yang setia mengikuti. Ku Hempaskan diri ini duduk di sofa. Rasanya tubuhku sangat lelah.

Seorang maid datang membawa kotak P3K. "Luka anda harus segera diobati, Nona." Pak Jo berjongkok di depanku seraya mencoba membersihkan luka lebam di kakiku.

Reflek aku pun menangkis tangannya. Beliau terlihat terkejut.

"Tak usah, biar aku saja Pak Jo,"

Pria dewasa itu tersenyum seraya kembali berdiri ke tempatnya semula. Sedangkan aku mulai membersihkan luka dan mengobatinya, tak lupa luka lebam di kening ku obati juga.

Setelah selesai bergulat di kegiatanku tadi. Perutku terasa sangat lapar. Pak Jo segera meminta salah seorang maid untuk mengambilkan makanan untukku. Tak butuh waktu lama, sepiring steak sudah tersaji di hadapanku.

Aku memakan dengan lahap, Pak Jo terkekeh pelan namun segera diam setelah aku meliriknya. Mungkin merasa aneh dengan cara makanku yang seakan tak pernah makan. Entahlah, aku merasa sangat lapar.

Selesai makan, aku bergegas ingin pergi ke kamar tidur. Berencana untuk mandi dan beristirahat sejenak untuk memulihkan tenaga.

Saat berjalan, beberapa maid berusaha untuk memapahku. Namun kutolak secara halus. Aku tak ingin terlalu merepotkan mereka.

Sampai di pintu kamar, Pak Jo membukakan pintu kamar. Aku masuk lalu duduk di tempat tidur. Tak lama pintu tertutup.

Segera aku membuka seluruh bajuku dan berjalan tertatih menuju kamar mandi. Kunyalakan shower dan seketika pula tubuhku terasa segar terkena air. 

Selesai mandi dan berpakaian, aku bergegas naik ke tempat tidur. Perlahan aku terlelap dengan keadaan rambut yang masih setengah kering.

Next … .

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status