Lima bulan kemudian ...
“Iya, iya. Ini aku lagi makan, kok! Kamu juga jangan lupa makan, ya!”
Zia sibuk menuangkan bubuk oat ke dalam mangkuk, kemudian menyeduhnya dengan segelas air susu hangat. Ia mengaduk perlahan isi dalam mangkuk tersebut, sementara ia mengapitkan ponselnya di antara bahu kanan dan telinganya.
Ponsel Zia terus berdering sepanjang dia mengerjakan tugas Aljabar Linear Elementar.“Angkat dulu ponselmu Zi, kayaknya bordering terus itu. Siapa tau penting?” ujar Elang kepada Zia.Merasa apa yang diusulkan oleh Elang benar, Zia menganggukkan kepalanya dan menarik ponsel dari atas mejanya. “Aku angkat dulu y
“Zi ... maaf, Zi. A-aku khilaf, Zi. Maaf, Zi ....”Jejak air mata masih belum kering, kini kembali ditimpa oleh air mata yang terus mengalir di kedua kelopak mata perempuan itu. Di hadapannya—yang enggan untuk dilihatnya, bersimpuh seorang pria yang juga sedang menangis sembari menggenggam jemarinya.
Di dalam kamar miliknya, Zia menangis. Menumpahkan rasa sakit akibat perkataan kedua sahabatnya.Sebenarnya ... tidak ada yang salah dari perkataan Naya dan Gwen. Zia hanya tidak bisa terima bahwa semua yang dikatakan mereka adalah kebenaran.Zia masih ingin terus percaya kepada pemikiran idealisnya bahwa Eza pasti bisa berubah. Dia masih ingin percaya bahwa Eza pasti akan berubah suatu hari
“Jadi ... Zia diselametin sama itu cowok, gitu?” tanya Gwen usai Naya bercerita panjang lebar tentang apa yang terjadi hari ini di ospek.Naya mengangguk-anggukkan kepalanya keras. “Bener! Bener banget! Gwen, pernah ga sih kamu nemuin cowok pemberani yang membelamu di hadapan para senior? Aaaaa! Pokoknya gila deh, heroik paraah!” puji Naya tak habis-habis.“Jadi
“Zia masih waras, kan?” tanya Gwen kepada Naya.Naya mengendikkan kedua bahunya bersamaan. “Entahlah. Kurasa tidak,” jawabnya sekenanya.“Sejak kapan dia jadi seperti itu?”
“Zi? Kok bisa bareng sama si Tapai Busuk?” Naya memincingkan matanya, berusaha untuk mencari tahu.Bukannya menjawab, Zia malah menarik sebelah alisnya. “Kamu ninggalin aku tadi pagi, kenapa?” tanyanya.“Ya maaf, Zi. Tadi kan aku kebelet pipis.” Naya berkilah.
“Zi, hape kamu ada notifnya, tuh!” Gwen yang sedang menonton televisi merasa terusik dengan notifikasi ponsel Zia.“Bentar, lagi sakit perut, nih!” Zia mengerang dari kamar mandi. Hari ini perutnya mules sekali, padahal rasanya Zia tidak ada makan makanan yang aneh selain bekal dari rumah dan es kopyor dari kantin. Saat akan membersihkan, Zia melihat jejak darah di closet.
“Dipanggil ama Eza tuh, Zi.” Dengan malas, Zia menoleh ke belakang. “Ada apa?” tanya Zia.Eza berjalan ke arah Zia, kemudian bernegosiasi dengan perempuan yang duduk di sebelah kanan Zia. Setelah perempuan itu pergi, Eza langsung mendaratkan bokongnya ke kursi tersebut. “Semalam aku chat lagi lho, kok ga dibales?” tanya Zia.