Share

Part 5: Zia Panda

“Zi? Kok bisa bareng sama si Tapai Busuk?” Naya memincingkan matanya, berusaha untuk mencari tahu.

Bukannya menjawab, Zia malah menarik sebelah alisnya. “Kamu ninggalin aku tadi pagi, kenapa?” tanyanya.

“Ya maaf, Zi. Tadi kan aku kebelet pipis.” Naya berkilah.

“Hah ... tau kok kamu pasti ngehindarin senior yang kemarin, kan?” Zia menodong Naya. “Kamu ga tau aku tadi pagi hampir dilabrak sama senior menor kemarin!”

Pupil mata Naya membesar. “Eh, kok bisa?!”

Zia mengendikkan bahunya. “Kamu sih, bukannya nemenin malah ninggalin. Untung ada Eza, kalau ngga mungkin aku bakal mati kutu tadi pagi.”

Plok.  Plok. Plok.

“Super sekali dia, emang pangeran berkuda putih yang menyelamatkan sang putri setiap badai menghampiri.” Naya bertepuk tangan dramatis. “Oke, balik ke topik. Kok bisa kamu sama dia ke kantin barengan?”

“Yaaaa ....” Zia menghentikan ucapannya, membuat Naya menunggu-nunggu jawabannya.

“Apaan, Zi?” Naya mendesak tak sabaran.

“Kayaknya ada yang liatin kamu deh, Nay. Kalo aku jam dua belas, dia ada di jam tujuh.”

Naya menoleh ke belakang, mendapati gerombolan senior kemarin. Tepat ketika pandangan Naya menjejali satu per satu senior di sana, pandangannya malah bertubrukan dengan mata senior yang kemarin. “Oh my God, oh my God! God, please save me! Zi! Kamu nipu aku ya!”

Zia tertawa melihat gelagat Naya yang buru-buru memalingkan wajahnya. “Hahahah ... keseringan ngejekin aku, ternyata Naya sebenarnya yang lagi jatuh cinta, hahahah ....”

“Ziiii!” Naya berdesis malu. Ia masih menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Masih ada ga?”

“Udah pergi tuh.”

Naya kembali menoleh, namun lagi-lagi sosok senior itu masih ada. “Ziii! Ih parah ga lucu tau!” Naya bersemu merah karena dua kali matanya kepergok oleh senior itu.

“Hahahah ... kali ini serius deh, udah ga ada lagi seniornya, hahahah ....” Zi masih tidak bisa menghentikan tawanya.

Eza yang baru datang dengan nampan berisi pesanan mereka lantas bertanya, “Pada ngomongin apa, sih? Kok kayaknya asik banget?”

Zia menggeleng. “Ga, ga ada kok,” tutupnya sambil mengambil es kopyor yang disodorkan oleh Eza ke arah. “Thanks, btw.”

Alrite. Ladies and their own privacy talk.” Eza tertawa.

Sure, Sir. You don’t have to know that.” Zia menyambung, ikut tertawa.

“Ih, ga usah pake inggris-inggrisan segala, napa? TOEFL aku belum tuntas!” gerutu Naya sambil menyeruput es jeruk miliknya.

“Prodi apa sih, kamu ....”

“Naya.” Sadar kalau Eza tidak mengetahui namanya, Naya menyebutkan namanya sendiri. “Aku prodi kimia.”

Eza mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bakal banyak ketemu literatur bahasa inggris, dong.”

Naya menutup telinganya. “Au ah, gelap! Aku pake google translate!”

“Dia anti banget sama bahasa Inggris,” terang Zia di sela-sela tawanya.

“Hahahah ... it’s okay. Just talk, Nay. You’ll be enjoy.” Eza memberi tips.

... -toxic- ...

Mata kuliah kedua hari ini ... kimia kontekstual.

Meskipun Zia prodi biologi, mereka masih perlu mempelajari materi dasar kemipaan yang meliputi fisika, kimia, dan biologi. Dari tiga mata kuliah tersebut, untuknya hanya fisika yang mewajibkan mereka untuk praktikum sehingga Zia bisa bernapas lega tidak perlu praktikum dengan serangkaian hewan pada makul biologi atau serangkaian zat yang tidak ia mengerti di kimia.

Eza datang lebih lambat, namun lelaki itu segera mengambil tempat duduk tepat di sebelah Zia. “Hai,” sapanya.

“Hai.” Zia membalas sapaan Eza dengan seulas senyum seperti biasa. Aroma perpaduan antara buah pir dan sensasi fresh aquatic dengan sedikit sentuhan kayu manis di ujungnya menguar, memenuhi indra penciuman Zia.

Eza benar-benar pandai memilih aroma parfum yang cocok dengannya. Zia tidak bisa berpaling dibuatnya.

“Kenapa merem ke arahku gitu?” tanya Eza saat dia sadar wajah Zia masih menoleh ke arahnya.

“E-eh!” Zia buru-buru berpaling. Lagi-lagi wajahnya memerah. Berada di dekat Eza memang nyaman, tapi tidak nyamannya untuk Zia adalah pipinya semudah itu bersemu merah. “Ma-maaf, tadi tiba-tiba ngantuk.” Zia mengarang alasan.

“Hahahah ... Zia suka laut?” tanya Eza.

Zia segera mengangguk keras. “Bangeeet!” jawabnya dengan vokal ‘e’ terasa panjang.

“Pantesan, hahahah.”

“Pantesan kenapa?” Zia penasaran.

“Gapapa.” Eza enggan menjawab pertanyaan Zia, mana mungkin dia bilang ke Zia kalau parfumnya beraroma laut alias fresh aquatic?

“Eza ngeselin,” rajuk Zia.

“Gapapa, yang penting ganteng.”

Zia enggan menoleh, enggan mengakui kalau Eza memang memiliki paras tampan. “Ga, kalah banget sama Lee Min Ho.” Zia berseru.

“Ah, padahal udah ahjussi kok masih banyak yang demen.”

“Eh, Eza nonton Lee Min Ho emangnya?”

“Ga nonton, tapi bosen liat Lee Min Ho dari kecil ada aja tayang di tv.”

“Reza Mangkubumi. Zia Anastasya. Sudah selesai ngobrolnya?” suara dingin dan khas dari Ibu Farah membuat keduanya terdiam. “Kalau mau ngobrol, nanti dulu ya, nak. Ibumu ini masih menerangkan materi. Ga kasian kalo Ibumu ini sakit tenggorokan tapi kamu ga paham materinya?”

Eza dan Zia masih diam. “Sejak kapan Ibu masuk, Za?” tanya Zia dengan nada berbisik yang hanya dibalas dengan isyarat ‘tidak tahu’ dari Eza.

Keduanya lantas tertawa. Bagaimana bisa mereka tidak sadar?

... -toxic- ...

“Zi, pendataan nomor hape nih.” Gea, ketua angkatan Zia menyodorkan kertas berisi daftar nomor ponsel anak-anak di kelasnya. “Pastiin tersambung ke WA ya, soalnya nanti kita bakal bikin grup kelas di WA aja.”

Zia mengangguk. “Ok, Ge.” Zia mengambil kertas tersebut dan langsung menulis data miliknya.

“Oper ke Eza, yah, sekalian. Kayaknya kalian deket banget deh.”

Pernyataan Gea membuat Zia malu. “Apaan sih, ga sedeket itu, kok,” elaknya.

“Hahahah, Zia, Zia. Tahu ga sih, anak-anak cewek pada ngomongin kamu lho. Mereka berandai-andai orang yang dibela Eza waktu itu mereka, hahah. Btw tangan kamu udah sembuh?” Gea mengingatkan Zia pada keseleo yang dialami olehnya saat ospek kemarin.

“Udah kok,” jawab Zia. “Thanks for asking.”

Nope. Kalo udah diisi nanti kasih ke Zahra aja, ya,” intruksi Gea.

“Ok.”

Gea segera berlalu, sementara Eza yang baru saja kembali dari toilet melihat ke arah Zia. “Abis ngobrolin apa?” tanyanya.

“Data nomor telepon. Pastiin nomor telepon-nya ada WA-nya yah, mau dibikinin grup kelas soalnya.”

Eza manggut-manggut mendengar penjelasan Zia. Ia langsung mengisi data tersebut dan segera mengembalikan kertasnya ke Zia. “Kamu ... ga minta nomor WA aku?” tanya Eza.

“Lha, buat apa?” Alis Zia mengerut bingung.

“Ya buat kabar-kabaran. Kalau kamu ga mau minta nomor WA aku, biar aku aja deh yang minta nomor WA kamu.” Eza menyodorkan ponselnya segera kepada Zia.

Zai menggeleng-geleng heran, namun jemarinya lantas menulis dengan lancar nomor WA yang dihapalnya di luar kepala itu. “Udah.” Zia mengembalikan ponselnya Eza.

“Oke. Aku kasih nama Zia Panda, ya?”

“Kenapa?”

“Abis Zia kayak panda, lemot banget padahal udah dikasih kode.”

Zia benar-benar tidak mengerti, sementara Eza berlalu pergi. Kode apa yang dilemparkan oleh Eza kepadanya?

-To be Continue-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status