Share

Part 6: Jealous

“Zi, hape kamu ada notifnya, tuh!” Gwen yang sedang menonton televisi merasa terusik dengan notifikasi ponsel Zia.

“Bentar, lagi sakit perut, nih!” Zia mengerang dari kamar mandi. Hari ini perutnya mules sekali, padahal rasanya Zia tidak ada makan makanan yang aneh selain bekal dari rumah dan es kopyor dari kantin. Saat akan membersihkan, Zia melihat jejak darah di closet.

Zia menghela napas. “Pantes aja sakit perut,” ujarnya. Usai menunaikan hajatnya, Zia segera berjalan menuju kamarnya.

“Zi ... notif hape kamu bunyi lagi, tuh!” teriak Gwen lagi.

“Bentar, Gwen! Aku lagi nyari pembalut!” Zia mengabaikan Gwen dan terus memeriksa lemarinya.

Nihil.

“Ziii, hape kamu tuh ada no—”

“Gwen! Kamu ada pembalut, ga? Pembalut aku abis!” potong Zia dengan wajah panik.

Gwen menggeleng. “Udah abis. Satu-satunya stok terakhir lagi aku pake,” jawab Gwen.

“Duhhh! Naya mana lagi?” Zia langsung mondar-mandir karena khawatir. Di luar hujan deras, ia dipastikan tidak bisa keluar rumah untuk pergi ke minimarket.

“Ga usah diharapin mah si Naya. Kalau aku ga ada, dia pasti ga ada,” ucap Gwen yang lantas membuat Zia resah.

“Gimana dong, Gwen? Mana lagi deras-derasnya, nih!” Zia tidak bisa berpikir. Perutnya terasa sakit dan sensasi basah terasa di celananya. Zia pastikan tidak lama lagi pulau merah akan menghiasi celananya.

Lagi-lagi ponsel Zia berdering. “Ini siapa lagi, halo!” Zia yang langsung menggeser ponselnya ke layar hijau segera menyapa dengan kasar.

“Zi, ini aku, Eza.” Dari seberang, Eza menyahut.

“O-oh ....” Zia menjauhkan ponselnya dan melihat layar ponselnya. Sederet nomor yang masih belum terdaftar di ponselnya dengan display picture menampilkan sosok Eza setengah badan. “Ada apa, Za?” Suara Zia melunak.

“Gapapa. Kamu lagi apa?”

“Ziii! Celana kamu tembus!” celetuk Gwen tanpa menyadari situasi.

Zia buru-buru melotot ke arahnya meski Gwen tidak melihat tatapan Zia yang seperti ingin perang, lalu menutup lubang microphone di ponselnya yang sayangnya hal itu udah terlambat.

“Zi, kamu gapapa?” tanya Eza.

“Anu ... aku ga-papa, cuma ....”

“Kayaknya mau ga mau kamu harus nerobos hujan beli pembalut, deh!” Masih tidak sadar akan situasi Zia yang sedang menelepon, Gwen menyeletuk.

“Hujan, Zi! Ga usah keluar! Kamu butuh apa aja, biar aku beliin?” tawar Eza.

Hati Zia menghangat mendengar tawara Eza. “Err ... ga usah, Za. Hujannya lebat banget, nanti kamu ada apa-apa di jalan, gimana?” Zia berbalik mengkhawatirkan Eza.

“Kamu kirimin aku alamat kamu, ya! Dalam waktu lima belas menit aku sampai!” ucap Eza terakhir kali sebelum sambungan telepon terputus.

Eza : Zi, share location dong. Aku otw nih.

Bimbang, Zia akhirnya mengirimkan lokasinya. Perutnya terasa sakit, Zia buru-buru kembali ke toilet untuk meminimalisir darahnya terus merembes ke celana. Usai dari toilet, Zia berbalik ke ruang tengah dan berjalan layaknya zombie.

“Gwen ... ada minyak kayu putih ga?” tanya Zia.

“Ya Tuhan! Minyak kayu putihnya dibawa sama Naya tadi pagi!”

“Oke.”

Zia berbalik ke kamarnya dan tidur dengan gaya serong ke samping kanan. Tidak berapa lama, ponselnya kembali berdering bersamaan dengan teriakan Gwen dari luar.

“Zi, ada yang datang! Katanya temen kamu!”

Buru-buru Zia berjalan keluar, mendapati Eza basah kuyup menyerahkan dua kantong kresek berlogo minimarket ke arahnya. “Ini ... buat kamu.”

Kali pertama Zia dibuat speechless oleh kaum adam. “Ma-masuk dulu Za, di luar hujan,” tawar Zia.

Eza memandang Gwen yang tampak sedang menilainya dan kembali memandang ke arah Zia. “Emm ... kayaknya ga usah, deh. Rumah aku dekat kok. Aku pulang dulu ya, kamu semoga cepat sehat!” tolak Eza sembari menampilkan senyum sungkan.

Eza berbalik dan meninggalkan rumah Zia. Zia masih melihat lelaki itu sampai jejaknya habis tertutup oleh rintik hujan.

“Jadi itu ... pangeran berkuda putihnya Zia?” goda Gwen. “Parah sih, hujan-hujan gini rela pake motor cuma untuk nganterin apa tuh ....”

Zia memeriksa kantong kresek yang diberikan Eza. Satu kantong kresek berisi beberapa jenis pembalut, koyo, dan minyak kayu putih sementara kantong kresek lainnya berisi es krim dan cemilan.

“Uhhh ... so sweet parah!” Gween lanjut menggoda.

“Apaan sih, Gwen. Paling juga kebetulan aja.” Zia masih terus mengelak godaan Gwen.

“Serendipity dong, kebetulan yang menyenangkan!”

Zia tidak menanggapi, ia segera ke toilet untuk memasang pembalut dan mengganti celananya sebelum ia kembali lagi ke kamarnya dengan kantong kresek tersebut. “Nih, buat Gwen!” Zia melempar sebungkus keripik ke arah Zia lalu kembali ke kamarnya.

Zia membuka ponselnya, mulai mengetik ponsel di gelembung pesan Whatsapp.

Zia Anastasya: Za ... makasih ya. Maaf banget ngerepotin kamu ):

Usai membalas pesan tersebut, Zia langsung menyimpan kontak Whatsapp Eza. Tentu saja dengan tiga huruf singkat, E Z A yang dipenggal menggunakan spasi.

E Z A: Sama-sama. Perut kamu masih sakit, ga?

Zia Anastasya: Udah ngga, nih. Kamu sampai repot-repot bawain snack pula. Besok aku ganti ya biayanya ...

E Z A: Ya ampun, Zi. Aku ikhlas kok. Udah biasa kok, aku kan juga punya kakak perempuan dan teman perempuan yang kalo haidnya ribet banget.

Membaca pesan Eza, Zia mendadak murung. Moodnya turun drastis, seperti roller coaster.

Bagi Zia ini spesial, tapi bagi Eza ini sudah biasa ia lakukan. Tidak hanya kepada Zia, tetapi juga kepada kakak perempuannya yang masih bisa diterima oleh Zia, namun juga teman perempuannya.

Kepala Zia langsung diisi oleh berbagai macam pertanyaan, ‘Teman perempuan yang mana? Berapa banyak perempuan yang dia perlakuin spesial kayak gini?’

Zia jadi menyesal karena baper sesaat. Zia tak lagi membalas pesan tersebut. Ia membiarkan ponselnya tergeletak di atas nakas dan lebih memilih untuk menghabiskan snack yang dibawa oleh Eza.

Emang kalo lagi haid enaknya ngemil meskipun mood lagi turun drastis.

... -toxic- ...

Zia masuk ke kelas dengan wajah murung. Ia memilih kursi yang kiri-kanannya sudah terisi oleh anak-anak kelas sehingga kecil kemungkinan pagi ini ia akan duduk bersebelahan dengan Eza.

“Zi, tumben cemberut gitu? Lagi ada masalah, ya?” tanya Gea yang tahu-tahu duduk di sebelah kiri Zia.

Zia menggeleng. “Ngga kok, cuma lagi pms aja jadi mood aku nge-swing mulu,” jawab Zia tak sepenuhnya berbohong.

“Zi!” Di belakang, Eza yang baru datang segera menyapa Zia.

“Dipanggil ama Eza tuh, Zi.”

-To be Continue-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status