공유

part 5

작가: Fhifhie_Zaa
last update 최신 업데이트: 2024-01-28 15:10:53

Kampung Halaman

Perjalanan malam kian sunyi dan sepi. Anisa duduk di bangku belakang bersama sang Ibu, dirinya masih termenung dengan segala kesedihannya. Air mata terus meluncur tak dapat ia hentikan. Sedih, sakit dan perih kini ia rasakan, setelah sekian lama tinggal dirumah bersama Bagas baru kali ini ia pergi tanpa seijin Bagas.

Bu Utari merasa sedih melihat sang putri terus menangis sepanjang perjalanan ke kampung halamannya. Bu Utari selalu menggenggam erat tangan Anisa, memberikan kekuatan pada sang putri tercinta.

"Kita makan malam dahulu, dan beristirahat sejenak." Ucap Pak Andi yang memecah keheningan didalam mobil yang ia sewa, sedangkan untuk supir ia meminta tolong Abi keponakannya.

Perjalanan dari rumah Bagas menuju kampung halaman Anisa membutuhkan waktu kurang lebih 5 jam. Maka dari itu Pak Andi memilih untuk istirahat Sejenak dan menikmati makan malam disalah satu rumah makan yang ditemuinya. Anisa hanya bisa pasrah dan mengikuti apa kata kedua orangtuanya.

Tak ada kata apa pun yang keluar dari mulut Anisa. Bahkan Pak Andi juga membiarkan Anisa, bukan ia tak ingin namun lebih baik menunggu hingga sang putri tenang apalagi membahas di perjalanan teras kurang baik.

Tak terasa kini Anisa sudah tiba di tanah kelahirannya. Malam kian pekat bintang bahkan bulan terlihat indah di kampung halaman Anisa. Hawa dingin menyergap menusuk tulang. Apalagi di kampung Anisa masih dikelilingi oleh kebun dan sawah yang membentang luas.

"Tidurlah, Nis. Hari sudah larut. Bapak dan Ibu juga mai istirahat. Kamar kamu juga masih rapi karena selalu di bersihkan oleh Ibumu."

"Iya, Pak. Nisa ke kamar dahulu."

Segera Anisa menarik koper bajunya masuk kedalam kamar. Tubuhnya langsung luruh begitu saja. Rasa kehilangan begitu mendalam di hati Anisa saat ini. Ya, cinta yang dimiliki Anisa begitu besar dan dalam untuk Bagas.

"Apa aku sanggup untuk berpisah dengan Mas Bagas? Aku terlalu mencintainya." ucap Anisa dalam tangisnya.

Entah jam berapa Anisa tertidur semalam, saat ia membuka matanya dan melihat jam yang ada di dinding begitu kaget dan segera bangun. Anisa terbangun kala jam dinding menunjukan pukul 9 pagi. Ini bukan dirinya, biasanya ia akan bangun pukul 4 pagi dan beberes rumah.

Anisa keluar kamar dan seger menuju dapur, Disana telah terhidang berbagai menu masakan buatan sang Ibu.

"Udah bangun, Nak? Sarapan dahulu, sudah siang ini?" Ucap Bu Utari yang masuk dari pintu belakang.

"Kenapa Ibu gak bangunkan Anisa tadi. Anisa jadi bangun kesiangan"

"Gak pa-pa. Istirahatlah. Kamu pasti lelah." ucap Bu Utari yang mana tangganya mengusap lengan Anisa dengan hangat.

"Ibu mau nyusul Bapakmu dulu ya,. Buruan sarapan sudah siang, jangan lewatkan makan pagi, Nak."

"Baik, Bu."

Tak dapat dipungkiri, bahwa Anisa juga merindukan momen dimana kebersamaan kedua orangtuanya kehangatan dan kasih sayang selalu tercurahkan dari orang yang Anisa kasihi. Berbeda saat dirumah mertuanya. Semenjak kepergian ayah mertua, hidup Anisa mulai berubah. Tak ada yang menghargai bahkan menyayangi Anisa. Sang suami yang dahulu suka menggenggam tangan Anisa kini sudah tak pernah rasakan lagi.

Rindu? Anisa merindukan saat-saat dimana sang suami menggenggam tangannya, duduk dan makan disampingnya. Walau ia tahu bahwa Bagas tak mencintainya. Seiring berjalanya waktu perubahan demi perubahan kian terpancar jelas. Hinaan demi hinaan sellau ia terima didalam rumah itu. Sang suami juga bersikap dingin tak tersentuh.

"Apa kamu sudah sarapan, Mas? Siapa yang buatkan kopi susu pagi ini? Siapa yang menyiapkan pakaian kantor kamu? Apakah semalam kamu tidur nyenyak? Kamu akan kesusahan tidur nyenyak sebelum meminum teh herbal buatan ku, apalagi aroma terapi dikamar harus hidup, seingat ku dikamar sudah habis.." Tak terasa air mata Anisa kembali turun lagi. Mengingat kebiasaan sang suami. Apalagi Anisa tahu bagaimana keadaan rumah itu.

"Maafkan aku, Mas. Aku memilih untuk pulang dan menenangkan diri. Hati ini sakit kala kamu akan meminang Linda, kekasih kamu. Padahal kamu sudah menikahi_ku." Lagi dan lagi Anisa menangis sesengukan di dapur.

Walau dirinya sedang tak berselara, namun ia harus tetao makan. Ibunya akan tahu jika ia tak makan makanannya. Usia makam dan mencuci piring kotor segera ia mandi untuk menyegarkan pikiran yang tengah bersedih. Rasa dingin menyergap kulit saat guyuran air membasahi tubuhnya. Air di kampung Anisa akan tetap terasa dingin walau hari sudah siang karena air itu dari berasal dari mata air yang tersambung dari pegunungan.

Usai mandi Anisa memilih untuk duduk di teras rumahnya. Udara disini masih sejuk dan asri bahkan banyak warga yang berlalu kalang untuk sekedar ke ladang atau bahkan ke sungai untuk mencuci.

"Eh Mbak Anisa pulang kampung. Sejak kapan datang, Mbak?"

"Iya, Bu. Kangen sama Bapak dan Ibu. Baru semalam tiba."

"Ya ampun. Pak Andi dan Bu Utari pasti bahagia banget dihampiri sama anaknya. Lah suaminya kemana, Mbak? Gak diajak kah."

"Kebetulan Mas Bagas gak bisa ikut, Bu. Sedang ada pekerjaan yang gak bisa ditinggal." ucap Anisa sambil menampilkan senyumannya.

"Owalah... Ya sudah kalau begitu, ibu mau ke sawah dulu. Nanti mampir kerumah ibu ya, Nis."

"InsyaAllah Bu Endah."

Setelah kepergian Bu Endah, Anisa, kembali terdiam sesekali ia akan menjawab atau bahkan menyapa tetangganya yang lewat depan rumah. Ada rasa tenang dan nyaman setelah sekian lama tak mengunjungi kampung halamannya.

Bagas selalu melarang Anisa untuk pulang kampung. Ia hanya dapat menghubungi sang Ibu melalui sambungan telepon saja. Itupun harus menunggu Bagas pulang bekerja karena hanya ponsel milik Bagas yang berisi kouta bakan dengan tega Bagas juga tak memberi jatah sekedar mengisi pulsa ponsel Anisa.

Miris.... Ya itulah kehidupan Anisa selama berumahtangga dengan Bagas. Apalagi setelah kepergian sang Ayah mertua. Semua Keuangan disana diatur oleh sang Ibu mertua.

"Andai aku punya uang untuk mengisi data ponselku.." lirih Anisa yang kini memandangi ponselnya yang sudah lama kehabisan data.

Anisa memilih masuk lagi kedalam rumah, bingung juga ia mau apa lantaran semaunya sudah rapi. Biasanya jam segini dirinya baru bisa makan dan lanjut bekerja lagi hingga malam.

Adzan duhur berkumandang, Anisa memilih segera bangkit dan mencari mukenanya. Ia ingin sholat di Masjid saja. Sudah lama dirinya tak pernah sholat berjamaah di Masjid.

"Alhamdulillah, mukena_ku masi ada." gumam Anisa dan segera mengambil air wudhu. Jarak rumah dan Masjid tidak terlalu jauh hanya perlu berjalan melewati 5 rumah saja.

Di kampung Anisa warga masih banyak yang melakukan sholat berjamaah di Masjid daripada dirumah. Anisa terus berjalan dengan sesekali menyapa warga yang ia temui.

"Loh Anisa... Kamu Anisa Kamila, kan?"

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • TRANSFORMASI MANTAN ISTRI GENDUTKU   PART 67

    SEASON 2 Season 2 "Ayah, ayah kenapa kemari? Bukankah kalau butuh sesuatu ayah bisa telfon aku?" "Ck, kamu pikir ayah sudah setua itu. Ayah cuma masuk angin saja. Kebetulan ayah kangen makan lotek di pasar." "Ayah semalam demam tinggi, ya wajar aku khawatir dengan keadaan ayah. Apalagi ayah tiba- tiba kemari." "Ayah sudah baik- baik saja. Gimana hari ini ramai?" "Enggak begitu yah. Apalagi saat ini 'kan sudah modern, sudah banyak yang punya kendaraan pribadi juga jadi ya begitulah," jawab Rendra. Satria tersenyum dan duduk di warkop kecil yang tak jauh dari parkiran angkutan. Segelas susu hangat menemaninya duduk. "Kenapa kamu masih kukuh untuk meneruskan usaha angkutan ini, Nak. Usaha mendiang ibumu jelas lebih menjanjikan. Apa kamu tak lelah harus bolak balik mengurus semuanya? Masa muda mu masih panjang, Nak, jangan terlalu terforsir dengan bekerja. Nikmatilah masa muda mu ini," ujar Satria. "Yah, aku tahu usaha angkutan ini dirinya oleh almarhum kakek. Ayah juga merintisn

  • TRANSFORMASI MANTAN ISTRI GENDUTKU   Part 66

    Dibawah teduhnya pohon kamboja sesosok pria berpakain hitam terduduk lesu. Meratapi takdir yang begitu pedih. Kebahagiaan dan kesedihan datang secara bersamaan, entah bagaimana jalan dan takdir yang ia lalui. *"Mas, ingat gak dahulu kita pernah jalan-jalan ke sungai. Kita menulis nama di pohon, lucu sekali ya, Mas."**"Mas ingat gak kalau dahulu di pohon itu setiap berbuah kita akan mengumpulkan buat yang telah terjatuh, jika buat masih bagus maka kita akan makan bersama. Hanya kamu yang selalu dekat denganku dan berteman baik denganku."**"Pohon ini sudah begitu tua, Mas. Bahkan buah pun sudah tak lagi berbuah seperti dahulu. Ternyata perjalanan hidup kita makin berputar, aku beruntung memiliki kamu. Menjadi istrimu adalah hal yang terindah dalam hidupku, terima kasih telah menerima semua kekuranganku dan terima kasih sudah selalu ada untukku disaat terpurukku terdahulu. Aku harap anak dalam kandunganku akan selalu bahagia, ini adalah penantian yang aku

  • TRANSFORMASI MANTAN ISTRI GENDUTKU   Part 65

    Perjalanan yang cukup panjang dilalui oleh Anisa dan Satria, kini keduanya telah tiba di lokasi pertemuannya dengan Ibu Mutia. Anisa maupun Satria juga sempat bingung mengapa pertemuannya ditempat seperti ini. "Itu bukannya Bu Mutia," tunjuk Satria pada sosok wanita paruh paya yang tengah duduk di samping toko bunga. Pandangan Anisa beralih mengikuti arah telunjuk Satria. "Eh iya, Mas. Kita turun sekarang," ajak Anisa pada suaminya. Ia ingin lekas selesai dan lekas kembali ke desa. Dengan perlahan Satria mengandeng tangan Anisa. Bu Mutia yang melihat kedatangan Anisa segera berdiri dan tersenyum hangat menyambut orang yang ditunggunya. Ada kelegaan tersendiri saat melihat Anisa menempati janjinya. "Syukurlah kamu akhirnya datang. Terimakasih sudah mau menemui ibu, Nis," ucap Bu Mutia. "Sama-sama, Bu," jawab Anisa seraya tersenyum. "Hmm maaf kenapa Ibu meminta kita bertemu disini?" tanya Anisa kembali. "Ini yang ma

  • TRANSFORMASI MANTAN ISTRI GENDUTKU   Part 64

    Anisa cukup terkejut akan penjelasan dokter tentang kondisi Bagas. Bukan masih memiliki rasa namun lebih ke kasihan ,apalagi ia tadi menyelamatkannya dengan mendorong sehingga ia terbebas dari bahaya. Ada rasa bersalah didalam benaknya. "Dok, lakukan yang terbaik untuk kedua korban." pinta Satria. "Mas.." "Nanti kita bahas lebih lanjut." ucap Satria yang mengerti akan tatapan sang istri. Dokter segera melakukan tindakan yang tepat untuk kedua korban terutama Bagas yang lumayan parah. Sedangkan keluarga kedua belah pihak telah dihubungi dan akan segera datang kerumah sakit. "Sayang, maafkan Mas yang mengambil tindakan ini. Bukan tak mengetikan perasaan kamu, tapi secara tidak langsung Bagas telah menyelamatkan kamu juga. Mas sangat bersyukur karena kamu selamat, walau tindakan itu juga cukup membahayakan jika mas tak kuat menopang tubuh kamu, tapi kuasa Allah itu nyata, kamu dan calon bayi kita selamat. Mas juga sudah mendaftarkan kam

  • TRANSFORMASI MANTAN ISTRI GENDUTKU   Part 63

    Kecelakaan "Kenapa? Kaget? Biasa saja lah, Nis. Justru aku yang kaget melihat kamu." ujarnya seraya tersenyum kecil. "Mau apa lagi kamu, Mas?" Anisa sudah tak sanggup untuk basa-basi dengan Bagas. Ya, Bagas datang menghampiri Anisa yang tengah duduk di taman sendirian. Ia tadi tak sengaja berkeliling dan melihat Satria berada di taman dan matanya sekita langsung tertuju pada wanita yang duduk di bawah pohon rindang dengan gaun berwarna navy, sama seperti kaos milik Satria. Segera ia menepikan mobilnya dan berjalan mendekati Anisa. "Kamu bahagia sekarang, Nis?" "Ya. Aku sangat bahagia." jawab Anisa acuh tak acuh. "Ya, jelas terlihat dari diri kamu, Nis. Kami bahagia dan keluargaku menderita." ujar Bagas. "Itu karma, Mas." jawab Anisa cepat tanpa menoleh melihat Bagas yang duduk disampingnya. Anisa berharap sang suami lekas kembali. "Karma. Mungkin bisa disebut seperti itu. Asal kamu tahu, N

  • TRANSFORMASI MANTAN ISTRI GENDUTKU   Part 62

    Nana Meninggal "Na... Nana... Dokter anak saya kenapa? Ada apa dengan anak saya?" "Na, bangun, Na. Kamu dengar ucapku gak sih. Bangun, Na." Wulan terus menggoyangkan tubuh Nana yang sudah tak merespon sama sekali. Dokter telah berusaha semaksimal mungkin menolong Nana saat ini. "Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Maaf, Bu, kami sudah berusaha, semua telah kembali pada sang Pencipta." ujar Dokter yang merawat Nana. "Nana... Kamu tega tinggalin Ibu, Na. Kamu tega biarkan Ibu sendirian. Bangun, Na." Bu Mutia memeluk tubuh Nana dengan erat. Ia menangis menumpahkan rasa sedih sekaligus kehilangan yang sangat mendalam. "Na.... Kenapa kamu jadi wanita lemah, Na. Kenapa kamu lemah begini dan menyerah begitu saja? Mana Nana yang kuat, Nana yang angkuh. Kenapa kamu menyerah, Na." ujar Wulan yang tak kalah sedihnya. "Na, bangunlah, Na. Jangan prank kami, Na." Wulan menangis tak berdaya sambil mengguncang kaki, Nana.

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status