Share

Bab 5

 Dafa mengacak rambutnya kesal, jujur dia malu, takut jika gadis yang sudah menjadi sahabatnya sejak kecil itu akan marah, tapi tidak dapat dipungkiri kalau dia juga senang. Kucing mana yang tidak akan senang bila dikasih ikan, meskipun secara tidak sengaja, namun ia bisa menyentuh benda empuk milik sahabatnya itu.

  Tak jauh berbeda dengan di lapangan tadi, Caca yang telah pulang kini menelungkupkan badannya di ranjangnya  dan membenamkan kepalanya di bantal.

"Huaa... aku malu," ucapnya dengan tangan kanan memukul-mukul kepala menggunakan bantal, sedangkan tangan kirinya ia tindih untuk melindungi bagian tubuhnya yang tadi disentuh sahabatnya.

"Aku harus gimana ini, nanti gak berani ketemu dong," ucapnya lagi, wajahnya masih merah dengan air mata hampir keluar.

"Kenapa aku gampang nangis kalau sama dia sih, kenapa tadi disentuh juga, hiks..." Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya luruh juga, padahal jika bersama orang lain dia tidak seperti ini, bahkan tidak pernah menangis, dia juga lebih sering melindungi teman-temannya.

"Laper ...." Tangisnya kian deras kala cacing di perutnya mulai berdemo, kamar yang kedap suara membuat ia bebas saat menangis.

Caca menelfon ke lantai bawah, meminta bibi membawakan nasi goreng untuknya. Selesai menelfon ia segera ke kamar mandi untuk mencuci muka.

"Keliatan banget lagi, kalau bibi tau terus dilaporin bang Dev bisa bahaya ini," ucapnya saat melihat matanya yang bengkak di pantulan cermin. 

Gadis itu lalu mengambil concealer dan mengaplikasikan di wajahnya agar mata sembabnya tidak terlalu terlihat. Setelah menunggu beberapa menit akhirnya nasi gorengnya datang, Caca segera mengambilnya dan buru-buru menutup pintu agar bibi tidak melihat matanya.

  Dafa pulang ke rumah langsung masuk kamarnya. Bingung harus bereaksi seperti apa saat bertemu Caca nanti. Tidak mungkin jika harus pura-pura tidak mengenal atau pura-pura tidak melihat. Huh, sungguh mustahil.

Dafa menghempaskan tubuhnya ke ranjang, menghembuskan napas kasar dan memeluk gulingnya.

"Gue harus gimana dong? Masa di rumah aja gak gangguin Caca, gak mungkin kan. Mana betah," ucapnya bermonolog.

"Dafa waktunya makan!" 

 

Lelaki yang kini mengenakan kaos hitam dengan tulisan berbahasa Jepang di dadanya itu bergegas ke lantai satu ketika mendengar suara sang bunda. Rumahnya hanya ada dua lantai dan tidak semewah seperti rumah Caca, meskipun gaji ayahnya sebagai pilot lebih dari cukup untuk membangun rumah mewah, namun jika sang bunda yang meminta, ayahnya bisa apa.

"Kenapa muka kamu?" tanya Fenti saat melihat wajah kusut anaknya.

"Gak papa bun, cuma ngantuk."

Fenti duduk dihadapan putranya yang kini tengah menyuapkan nasi ke mulut dengan lemas, dia semakin curiga namun tidak akan bertanya lagi karena saat sudah siap nanti Dafa pasti akan bercerita sendiri.

"Kamu besok jadi jenguk temenmu yang habis kecelakaan itu, siapa sih namanya kok bunda lupa?" Ucap Fenti sembari mencoba mengingat.

"Rian?" 

"Nah iya."

"Jadi, tapi ke rumahnya soalnya udah dipindah ke rumah."

"Loh, udah dibawa pulang?"

Dafa mengangguk, "Abis ini mau dibawa ke Singapore soalnya lukanya parah, sekarang juga masih koma."

"Astaghfirullah, tuh udah ada contohnya!makanya kamu kalo naik motor itu pelan gak usah kebut-kebutan!" Kata Fenti.

"Iya bun," jawab Dafa setengah malas, dia yakin sebentar lagi bundanya akan meneruskan ceramahnya sampai dia selesai makan.

"Kamu itu kalo di bilangin jawabnya iya-iya tapi gak bener-bener dilakuin."

"Terus aku harus gimana?"

"Ya beneran jangan ngebutlah, kok masih nanya gimana."

"Iya bun, iya. Kalo gak lupa," jawab Dafa memelankan suaranya saat di akhir kalimat.

"Tuh kan!"

Fenti meletakkan sendok kasar hingga menimbulkan suara nyaring, Dafa meringis mendengarnya.

"Kamu minta bunda jewer ya?" Tanya Fenti dengan mata melotot ke arah anaknya.

Dafa menggeleng, badannya merinding. Sungguh, dia tidak ingin merasakan jeweran sang bunda yang begitu menyakitkan.

"Rumahnya Rian itu dimana?" Tanya Fenti masih dengan nada galak.

"Depok."

"Berapa hari mau disana?"

"Tiga hari."

Sekarang sedang libur kuliah membuat dia bebas saat akan bepergian.

"Kalo gitu jangan lupa pamitan sama Caca."

"Ukhukk...." Sial, sudah dua kali ia tersedak dalam sehari dan itu semua karena ucapan bunda.

"Kalo minum pelan-pelan dong Daf," ucap Fenti menepuk punggung anaknya yang masih terbatuk-batuk.

"Gak usah pamitan deh bun, cuma tiga hari ini," ujar Dafa saat sudah merasa baikan.

"Loh kenapa, biasanya pergi sehari juga pamitan?" Tanya Fenti heran.

"Ya gak papa," jawab Dafa mengalihkan pandangan dari sang bunda.

Dafa sudah kembali ke kamarnya. Merebahkan tubuhnya dan memutar-mutar ponsel bingung. 

"Pamit gak ya?" Tanyanya pada diri sendiri. Padahal rumah Caca berhadapan langsung dengan rumahnya, tapi tidak mungkin ia pergi kesana dan memberitahukan langsung. Dia masih merasa malu karena kejadian tadi.

Dafa mengetikkan sesuatu di ponselnya kemudian menghapusnya lagi hingga berkali-kali. 

"Udahlah gak usah," ucapnya berniat meletakkan ponselnya.

"Tapi...," Ucapnya sembari melirik ponsel yang masih berada di genggamannya.

"What?!" Ucapnya dengan mata melotot kaget.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status