Dafa mengacak rambutnya kesal, jujur dia malu, takut jika gadis yang sudah menjadi sahabatnya sejak kecil itu akan marah, tapi tidak dapat dipungkiri kalau dia juga senang. Kucing mana yang tidak akan senang bila dikasih ikan, meskipun secara tidak sengaja, namun ia bisa menyentuh benda empuk milik sahabatnya itu.
Tak jauh berbeda dengan di lapangan tadi, Caca yang telah pulang kini menelungkupkan badannya di ranjangnya dan membenamkan kepalanya di bantal.
"Huaa... aku malu," ucapnya dengan tangan kanan memukul-mukul kepala menggunakan bantal, sedangkan tangan kirinya ia tindih untuk melindungi bagian tubuhnya yang tadi disentuh sahabatnya.
"Aku harus gimana ini, nanti gak berani ketemu dong," ucapnya lagi, wajahnya masih merah dengan air mata hampir keluar.
"Kenapa aku gampang nangis kalau sama dia sih, kenapa tadi disentuh juga, hiks..." Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya luruh juga, padahal jika bersama orang lain dia tidak seperti ini, bahkan tidak pernah menangis, dia juga lebih sering melindungi teman-temannya.
"Laper ...." Tangisnya kian deras kala cacing di perutnya mulai berdemo, kamar yang kedap suara membuat ia bebas saat menangis.
Caca menelfon ke lantai bawah, meminta bibi membawakan nasi goreng untuknya. Selesai menelfon ia segera ke kamar mandi untuk mencuci muka.
"Keliatan banget lagi, kalau bibi tau terus dilaporin bang Dev bisa bahaya ini," ucapnya saat melihat matanya yang bengkak di pantulan cermin.
Gadis itu lalu mengambil concealer dan mengaplikasikan di wajahnya agar mata sembabnya tidak terlalu terlihat. Setelah menunggu beberapa menit akhirnya nasi gorengnya datang, Caca segera mengambilnya dan buru-buru menutup pintu agar bibi tidak melihat matanya.
Dafa pulang ke rumah langsung masuk kamarnya. Bingung harus bereaksi seperti apa saat bertemu Caca nanti. Tidak mungkin jika harus pura-pura tidak mengenal atau pura-pura tidak melihat. Huh, sungguh mustahil.Dafa menghempaskan tubuhnya ke ranjang, menghembuskan napas kasar dan memeluk gulingnya.
"Gue harus gimana dong? Masa di rumah aja gak gangguin Caca, gak mungkin kan. Mana betah," ucapnya bermonolog.
"Dafa waktunya makan!"
Lelaki yang kini mengenakan kaos hitam dengan tulisan berbahasa Jepang di dadanya itu bergegas ke lantai satu ketika mendengar suara sang bunda. Rumahnya hanya ada dua lantai dan tidak semewah seperti rumah Caca, meskipun gaji ayahnya sebagai pilot lebih dari cukup untuk membangun rumah mewah, namun jika sang bunda yang meminta, ayahnya bisa apa."Kenapa muka kamu?" tanya Fenti saat melihat wajah kusut anaknya.
"Gak papa bun, cuma ngantuk."
Fenti duduk dihadapan putranya yang kini tengah menyuapkan nasi ke mulut dengan lemas, dia semakin curiga namun tidak akan bertanya lagi karena saat sudah siap nanti Dafa pasti akan bercerita sendiri.
"Kamu besok jadi jenguk temenmu yang habis kecelakaan itu, siapa sih namanya kok bunda lupa?" Ucap Fenti sembari mencoba mengingat.
"Rian?"
"Nah iya."
"Jadi, tapi ke rumahnya soalnya udah dipindah ke rumah."
"Loh, udah dibawa pulang?"
Dafa mengangguk, "Abis ini mau dibawa ke Singapore soalnya lukanya parah, sekarang juga masih koma."
"Astaghfirullah, tuh udah ada contohnya!makanya kamu kalo naik motor itu pelan gak usah kebut-kebutan!" Kata Fenti.
"Iya bun," jawab Dafa setengah malas, dia yakin sebentar lagi bundanya akan meneruskan ceramahnya sampai dia selesai makan.
"Kamu itu kalo di bilangin jawabnya iya-iya tapi gak bener-bener dilakuin."
"Terus aku harus gimana?"
"Ya beneran jangan ngebutlah, kok masih nanya gimana."
"Iya bun, iya. Kalo gak lupa," jawab Dafa memelankan suaranya saat di akhir kalimat.
"Tuh kan!"
Fenti meletakkan sendok kasar hingga menimbulkan suara nyaring, Dafa meringis mendengarnya.
"Kamu minta bunda jewer ya?" Tanya Fenti dengan mata melotot ke arah anaknya.
Dafa menggeleng, badannya merinding. Sungguh, dia tidak ingin merasakan jeweran sang bunda yang begitu menyakitkan.
"Rumahnya Rian itu dimana?" Tanya Fenti masih dengan nada galak.
"Depok."
"Berapa hari mau disana?"
"Tiga hari."
Sekarang sedang libur kuliah membuat dia bebas saat akan bepergian.
"Kalo gitu jangan lupa pamitan sama Caca."
"Ukhukk...." Sial, sudah dua kali ia tersedak dalam sehari dan itu semua karena ucapan bunda.
"Kalo minum pelan-pelan dong Daf," ucap Fenti menepuk punggung anaknya yang masih terbatuk-batuk.
"Gak usah pamitan deh bun, cuma tiga hari ini," ujar Dafa saat sudah merasa baikan.
"Loh kenapa, biasanya pergi sehari juga pamitan?" Tanya Fenti heran.
"Ya gak papa," jawab Dafa mengalihkan pandangan dari sang bunda.
Dafa sudah kembali ke kamarnya. Merebahkan tubuhnya dan memutar-mutar ponsel bingung.
"Pamit gak ya?" Tanyanya pada diri sendiri. Padahal rumah Caca berhadapan langsung dengan rumahnya, tapi tidak mungkin ia pergi kesana dan memberitahukan langsung. Dia masih merasa malu karena kejadian tadi.
Dafa mengetikkan sesuatu di ponselnya kemudian menghapusnya lagi hingga berkali-kali.
"Udahlah gak usah," ucapnya berniat meletakkan ponselnya.
"Tapi...," Ucapnya sembari melirik ponsel yang masih berada di genggamannya.
"What?!" Ucapnya dengan mata melotot kaget.
Dio berjalan tergesa bersama mantan calon besannya, yaitu Hansa dan Hesti.Setelah bertanya pada resepsionis, mereka langsung menuju ruangan dimana Dafa dan yang lain berada.Kriet ....Orang yang didalam seketika menoleh.Dio langsung mendekati anaknya. Pergelangan tangan Dafa yang tadi sempat tergores pisau kini sudah diperban, juga beberapa luka goresan lain sudah diobati. Disebelahnya ada Caca yang dahi dan tangannya yang sempat terluka tadi telah diobati."Maafin Ayah," ucap Dio dengan nada penyesalan.Dafa diam, rasanya dia masih kesal dengan laki-laki yang selama ini menjadi penutannya."Ayah lagi ngomong tuh lho, kok nggak dijawab sih," omel Caca membuat Dafa menjawab dengan malas-malasan."Iya.""Perjodohannya batal sesuai keinginan kamu," kata Dio lagi.Gara yang duduk disebelah Kiara menyimak semua omongan Dio dengan perasaan tak menentu. Senang karena akhirnya gadis pujaannya batal dijodohkan, bi
Tin ... tin ....Perempuan dengan kaos putih dipadukan rok span dan flat shoes yang hendak berlari menyeberang jalan segera menghindar, namun sayangnya terlambat. Meski tidak tertabrak, namun tubuhnya tetap terserempet mobil a*anza yang hendak melintas."Aww ...!" Pekik Caca."Woy! Hati-hati dong kalau nyeberang, gue nggak siap masuk penjara tau," ketus supir mobil yang ternyata seorang perempuan muda.Walau tubuhnya lecet-lecet dan sakit, perlahan Caca berdiri dan meminta maaf hingga pengendara tersebut kembali melajukan mobilnya menjauh.Sebenarnya jarak antara kafe dan rumahnya tidak terlalu jauh, namun entah kenapa kali ini rasanya berbeda. Caca berlari sudah cukup lama tapi tidak sampai juga.Dia terus berlari dengan tertatih-tatih, tanpa memperdulikan jidat dan tangan yang sempat tergores batu dan mengeluarkan darah.Sekitar 10 menit barulah perempuan itu sampai, dia segera menuju kamar Dafa."Daf!" Serunya sa
Hari ini Dafa kembali mengurung diri di dalam kamar. Berkali-kali Fenti memanggilnya namun tidak ada sahutan, wanita itu jelas khawatir dan berpikiran yang tidak-tidak. Bagaimana kalau anaknya nekat melakukan hal buruk?"Udahlah, Bun, biarin aja. Nanti juga keluar sendiri," ucap Dio yang jengah dengan sikap anaknya yang menurutnya sangat pembangkang dan gampang marah."Ini udah sore dan Dafa belum keluar juga, tapi kamu tenang-tenang aja!" Bentak Fenti yang tersulut emosi.Suaminya ini kenapa tidak khawatir sama sekali, padahal Dafa adalah anak tunggal mereka.Dio berdecak, bukannya tidak khawatir. Dia hanya tidak ingin memanjakan Dafa, apa salah kalau dia ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya itu?"Coba kamu diemin, nanti juga juga bakal keluar sendiri kalau udah lapar.""Kalau segampang itu aku nggak akan sekhawatir ini, tapi coba kamu ingat, kemarin-kemarin bahkan Dafa betah nggak keluar selama seminggu.""Daf, ayo buka
Berkali-kali Dafa melirik ayahnya yang duduk di depannya."Ayah tadi udah bicara sama Caca supaya menjauh dari kamu," celetuk Dio membuat anaknya seketika mengangkat wajah dengan netra melebar."Maksud Ayah?""Ayah minta kamu juga menjauh, jaga perasaan calon istrimu."Calon istri? Ketemu saja belum. Dafa benar-benar tak habis pikir kenapa ayahnya sekarang jadi suka mengatur seperti ini."Ayah bisa nggak sih kalau mau bikin keputusan tuh ngomong dulu? Apa yang Ayah putuskan belum tentu aku mau," balas Dafa dengan kesal.Dio melepas kaca mata bacanya lalu menatap sang anak."Pendapat kamu itu nggak penting. Kalau kamu nggak setuju maka siap-siap Ayah kirim ke Singapura untuk melanjutkan pendidikan."Dafa menggenggam sendok dengan erat."Aku bukan anak kecil lagi, aku bisa menentukan pilihanku sendiri. Yang akan menjalani rumah tangga itu aku, kalau kayak gini kenapa nggak Ayah aja yang nikahin dia!""Dafa!" S
[Ini terakhir, Ca. Aku bakalan dijodohin nggak tau sama siapa, mungkin setelah ini kita nggak bisa ketemu lagi]Caca kembali membaca pesan itu dengan tangan gemetar. Apa ini? Apa Dafa sudah lelah membujuknya hingga menerima saat dijodohkan dengan perempuan yang bahkan belum dikenal?Bergegas perempuan itu keluar dari kamar dan berlari menuju rumah pohon. Untung saja dia sudah berganti pakaian dan sempat mencepol asal rambutnya."Daf!" Serunya ketika baru masuk ke rumah pohon.Lelaki di pojok sana menoleh dengan pandangan sendu. Rambut gondrongnya acak-acakan, Caca menggeleng pelan, penampilan Dafa kali ini benar-benar tak terurus.Perempuan itu mendekat lalu duduk di samping Dafa yang sedari tadi menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Merasa tak tega, Caca langsung memeluknya."Ca ... aku nggak mau dijodohin, bertahun-tahun aku nunggu kamu. Aku cuma mau kamu ...," kata Dafa sambil terisak.Caca dapat merasakan kalau pundaknya pun
3 tahun telah berlalu.Banyak hal yang sudah terjadi, termasuk Devan yang menikah dengan Lily satu tahun setelah kedatangan Caca ke Korea.Kini, Caca kembali ke Indonesia untuk menghadiri pernikahan Arga. Apa kalian tau lelaki itu akan menikah dengan siapa?Yap, dengan Fey! Salah satu teman dekatnya.Tidak kaget sih, sejak dulu juga Caca sudah menebak hal ini akan terjadi. Naya sendiri sudah menikah paling awal, tepatnya 1 tahun yang lalu. Yang tidak disangka-sangka ternyata dia menikah dengan Rendi, laki-laki yang dulu perempuan itu anggap sebagai mantan paling menyebalkan."Duh, calon adik ipar cantik banget. Sayangnya masih jomblo," goda Fey yang duduk di depan meja rias.Perempuan itu tampak sangat menawan dalam balutan kebaya putih, sedangkan Caca pun terlihat tak kalah cantik dengan pakaian bridesmaid berwarna dusty blue.Daripada hadir bersama keluarganya, dia justru memilih menemani Fey."Yaelah, Kak. Masih