Share

Parkiran Sekolah

Selamat membaca ❀

πŸ’” πŸ’” πŸ’”

Banyak yang bertanya pada sang ketua OSIS ketika rombongan siswa baru jenjang SMP itu sampai di aula. Rata-rata dari mereka pastinya siswi-siswi yang ingin dekat dengan Vian, sang ketua OSIS manis di SMP Ibu Pertiwi. Namun tak seperti pagi tadi, layaknya kedua siswa yang bertanya aneh-aneh, pada Jesi. Kali ini, mereka murni mempertanyakan hal-hal yang berbau SMP Ibu Pertiwi. Dimulai dari sifat guru-gurunya, ekskul yang ada, sampai keingintahuan gadis-gadis itu tentang pencapaian dari sekolahnya. Dengan senag hati Vian membalas pertanyaan mereka, bahkan penuh kesopanan. Sesuai persis sama apa yang diharapkan bocah-bocah lulusan SD itu.

Seperti sekarang, Lia mencoba untuk bertanya dengan raut wajah was-was. Tangan kanannya yang terangkat ke atas membuat Vian mengangguk serta bertanya, "ya kamu. Namanya siapa?"

"Lia Kak," balasnya.

Vian yang tengah duduk di kursi depan lantas berdiri dan fokus menatap Lia. 

"Mau tanya Kak, kalau misal aku milih dua ekstrakurikuler yang minat itu, boleh atau enggak?" 

Pasalnya yang mengurus ekskul di sekolah itu adalah ketua OSIS dan anak buahnya. Guru hanya melayani ekstrakurikuler wajib. Sebelumnya Vian sudah menjelaskan bahwa '5 Ekskul Minat' diketuai para murid yang memang terlatih dan berbakat. Para guru benar-benar tidak turut campur tangan, mereka lebih fokus dengan ekstrakurikuler wajib yaitu pramuka. Baik anak kelas tujuh sampai sembilan harus mengikuti.

Vian mengangguk dengan pasti. "Boleh-boleh aja, sih, kalo kamu memang kuat. Tapi, jangan lupa kalo kita punya satu ekskul wajib, pramuka." Lia mengangguk-angguk. "Ada yang mau ditanyain lagi?" Lia menggeleng sambil menggumamkan kata terimakasih. "Kamu, sebelahnya Lia."

Diana yang sedari tadi memangku pipi dengan lima jari tangan kirinya yang terkepal, terperangah. Tangan kanan yang ia gunakan untuk mengetuk-ngetuk meja dengan bolpen pun lantas terhenti. Ia menelan ludah begitu tahu dirinya disinggung. 

Ditegakkannya punggung dari tubuh berisi itu dan menatap sang ketua sambil berkata, "eh, hem... iya, iya Kak Vi-an." 

"Nggak ada yang mau ditanyain?" tanya Vian ramah masih berdiri di tempatnya.

Secepat kilat Diana menggeleng dan menyahut dengan dada yang berdebar, "e... enggak."

"Oke." Seulas senyum terbit di wajah manisnya. 

Kini perhatian Vian mengarah ke seluruh adik kelasnya yang berada di dalam ruangan itu. "Mohon perhatiannya semua!" teriaknya hingga seluruh mata memusatkan objek yang berdiri di depan kelas itu. 

"Kalian boleh istirahat sebentar. Waktu istirahatnya setengah jam, dan... untuk kalian yang mau ke kantin juga dibolehin. Tapi tolong, jaga volume suara karena kakak-kakak kelas kalian masih mengikuti proses belajar. Bisa dipatuhi?!" sambung Vian yang diiyakan serempak adik-adik barunya itu. "Oke, selamat istirahat!"

Setelahnya, Vian duduk di bangku cokelat yang jaraknya beberapa langkah di depan meja Lia dan Diana. Siswa-siswi banyak yang berhamburan keluar, bahkan hampir 70% dari mereka memilih untuk meninggalkan aula. Kebanyakan dari mereka yang tinggal adalah anak-anak perempuan. Diantaranya lebih asik berbincang daripada mengisi perut.

Lia si gadis berkepang satu, yang ada di belakang itu berinisiatif mengajak Diana, "kamu nggak mau keluar, Na?" sambil menoleh ke kanan, di mana posisi Diana duduk. 

Sedangkan yang dipanggil masih asik-asiknya memainkan kuku. Eh, asik? Dia malah terlihat seperti orang yang kurang kerjaan. Bukannya menjawab, Diana malah menengok ke kanan-kiri-belakang. Kemudian tak sengaja memandang ke arah Vian. Buru-buru ia menoleh ke Lia karena si ketua OSIS sempat melirik. 

"O-oh... Iya-ya. Aku ngikut aja," pasrahnya. 

Karena bimbang memilih, antara di kelas tapi ada Vian, atau di kantin tapi ramai orang. Daripada ditatap terus oleh kakak kelas, lebih baik Diana pilih di tempat ramai karena masih ada Lia yang menemaninya.

"Ayok!" seru Lia lalu bangkit. Tangannya sudah menarik pelan pergelangan Diana. Sambil menghela napas panjang Diana mengangguk.

πŸ’”

Vian, Jesi, dan anggota OSIS lainnya sudah kembali ke aula untuk mendampingi murid baru itu. Tapi mereka tak sendirian, kini salah satu guru ikut masuk dan sekrang berdiri di depan kelas dengan senyum cerahnya dan memandangi anak didiknya satu-persatu. 

Bu Sukma yang rambutnya disanggul rapi dan berseragam biru muda dengan bawahan rok hitam itu mulai bersuara, "saya ucapkan sekali lagi untuk anak-anak baru yang memilih sekolah ini sebagai rumah kedua kalian. Sebelumnya saya mohom maaf karena yang seharusnya berdiri di sini adalah kepala sekolah SMP-SMA kita yaitu Pak Andre. Berhubung beliau tengah mendampingi murid baru SMA, jadi saya yang menggantikan beliau."

Ia menarik napas dan menghembuskannya pelan lalu melanjutkan penuturannya lagi, "berhubung saya masih ada kelas, saya pamit lebih dulu, anak-anak baru saya sekalian..." sambil menyunggingkan senyum lebarnya. 

Tanpa pikir panjang semua siswa mempersilakan. Vian, Jesi, dan teman-teman OSIS yang berdiri di belakang Bu Sukma lantas mengangguk dan mengiyakan begitu beliau menoleh ke mereka.

"Oke, saya minta perhatian kalian semua." 

Dirasa sudah fokus padanya, Vian melanjutkan, "jadi karena siang hari ini acara kita sudah selesai, juga semuanya berjalan dengan baik dan lancar, kalian boleh pulang sekarang. Saya, Vian, mengucapkan selamat datang di sekolah Ibu Pertiwi, dan selamat pulang." 

kedua sudut bibirnya membentuk senyuman manis. "Semoga besok kita bisa lebih semangat lagi dari hari ini...."

"AMIIIN...!" teriak beberapa siswi yang terlampau antusias, antara karena Vian atau besok sekolah dan bertemu ketua OSIS itu lagi. Ya, mungkin saja karena keduanya.

Kini gantian Jesi yang berbicara, "Oke... sebelum pulang, adek-adek sekalian diijinkan untuk berdoa menurut keyakinannya masing-masing seperti sekolah swasta umum kita ini. Berdoa, dimulai." Jesi mengambil sikap doa dengan mata terpejam dan kepala menunduk. 

Beberapa detik kemudian ia berujar, "berdoa, selesai. Selamat pulaaang...!" serunya dengan semangat penuh.

Diana yang sudah menggendong tas merahnya lantas bangkit sambil menunduduk kala melihat tatapan Vian yang mengarah padanya. 

"Kak Vian kenapa, sih? dari tadi liat-liat mulu. Tapi ini aku yang kepedean apa dia yang memang merhatiin, ya?" gumamnya dalam hati. Ia frustasi sambil meremas sisi tas yang menempel di pinggang, sisi kanan serta kiri.

"Kamu dijemput, Na?" tanya Lia setelah mereka keluar kelas dan Lia yang menyamai jalan Diana.

Lagi-lagi ia disadarkan. Gadis baru lulus sekolah dasar itu mau tak mau harus menguatkan diri. Tiba-tiba saja rasa takut di dadanya menyerang. "Enggak Li, aku pulang naik angkot," jawab Diana sembari tersenyum tipis. "Kalo kamu?" tanyanya kemudian.

"Aku dijemput. Tapi sampek lusa doang kok, abis itu aku naik angkot terus." 

Rasa takutnya sedikit ia singkirkan, sedikit binar di mata Diana muncul begitu saja. "Yakin besok kamu pulang naik angkot?" Lia dengan tampang jujurnya mengiyakan. "Waaah... aku ada temen pulang dong!" pekiknya sedikit lega. Meskipun tak bohong, rasa takut masih melekat di dirinya hingga lusa mendatang.

"Iya, akhirnya aku juga ada temennya, Na. Semoga besok Rabu kita satu kelas ya..." harap Lia yang diangguki Diana penuh keaminan di dalam batin. 

"Eh, Mami! yaaa... bentaaar...!" teriaknya saat melihat jauh di depan, tepatnya parkiran. Ibunya Lia tengah duduk di atas motor ---bersama anak SD yang memeluk si Ibu--- melambai ke arah mereka berdua. 

"Itu Mamiku udah dateng, aku pulang duluan ya, Na... kamu ati-ati di jalan!" teriaknya sambil berlari dengan kepala yang masih menoleh ke arah Diana.

"Iya... daaa...!" sahut perempuan kucir satu itu dengan senyum yang dipaksakan. 

Lambaian tangannya melemah ketika Lia naik ke atas motor matic. "Sampai ketemu besok, Li..." ucapnya teramat lirih hingga dirinya sendiri yang mampu mendengar lirihan penuh kegugupan itu.

"Hai...."

Diana menoleh cepat ke samping kirinya. Mendadak perasaan gugup hadir, menguasai dadanya. Membuat Diana kesusahan menelan ludah. "Ha--hai, Kak Vian..." balasnya kesusahan.

"Kenapa belum pulang? kamu nunggu jemputan?"

Diana menggeleng dengan kepala yang langsung menunduk. Demi apapun, dia tidak kuat menatap ketua OSIS tampan itu. "Aku... aku nunggu angkot. Aku... aku, aku pulang duluan ya, Kak!"

"Eh! tunggu, Na!"

Diana sudah berlari kencang. Di satu sisi dia grogi, di sisi lain dia harus pulang karena Mamanya pasti mencari. "Maaf, Kak! aku, aku duluan!"

Vian melambai tanda perpisahan. "Hati-hati!" pekiknya. Tapi sayang, sosok yang dipamiti itu tidak melihat. "Haha, lucu..." sambung sang ketua OSIS itu sembari tersenyum lebar.

πŸ’”πŸ’”πŸ’”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status