Share

12. I'm Fine

Seumur hidup, Jooin belum pernah merasakan dirinya sepanik pagi ini. Ketika ia menemukan unit apartement milik Sara kosong tidak berpenghuni, lengkap dengan barang-barangnya yang sudah raib hilang entah kemana.

Beberapa saat lalu saat Jooin baru saja sampai di Korea dan kembali ke rumah orang tuanya, Jooin tidak menemukan keberadaan Sara disana mengingat Sara sangat tidak suka berada satu atap bersama kedua orang tuanya. Dan Kini apartemen yang belakangan ini ditinggali Sara pun kosong.

Sara berubah, dia tidak seterbuka dulu lagi pada Jooin. Dan Jooin benci kenyataan itu, bukan karena Sara yang tidak memedulikannya lagi, atau kemungkinan Sara tidak membutuhkannya lagi. Tetapi karena itu Sara, Jooin tahu Sara hanya mencoba menanggung segalanya sendiri, menyembunyikan lukanya dari semua orang termasuk Jooin.

Ada kalanya Jooin begitu membenci Sara, seperti saat ini, ketika sang adik memilih bungkam seribu bahasa. Enggan membagi rasa sakitnya barang secuilpun. Sara tahu jika Jooin akan menjadi pihak paling terluka jika ia mengatakan semuanya pada Jooin, dia memilih diam. Jooin tahu itu dengan baik, bahwa Sara tengah mencoba melindungi Jooin. 

Agar kakaknya tidak terluka ketika Jooin harus melihat bagaimana menyedihkannya diri Sara.

Sungguh, Jooin tak apa dengan semua itu. Ketika Sara berbagi rasa sakitnya, Jooin merasa begitu berarti bagi Sara. Persetan dengan semua itu, tak apa jika Jooin terluka jika itu untuk Sara. Tak apa jika Jooin menangis jika itu untuk Kim Sara.

"Tuan, saya menemukan lokasi keberdaan Nona Sara."

"Di mana?"

"Jungnag-gu*, Tuan."

*sebuah daerah di dekat Seoul

...

Semalaman Sara benar-benar langsung tertidur sesaat setelah selesai mandi, dan mengabaikan suara Ethan yang terus berteriak di balik pintu kamar. Sara segera merebahkan dirinya di atas ranjang, lalu terlelap. Ia tidak mengingat apapun lagi selain suara berisik Ethan yang tengah mencoba masuk dari arah luar kamar.

Untuk kali ini, sepertinya Ethan sedang dalam mode jinak. Lelaki itu ternyata tidak berani masuk ke dalam kamar, padahal Sara yakin Ethan pastinya memiliki kunci cadangan agar dia bisa masuk, mengingat kamar yang Sara tempati merupakan kamar utama. 

Bahkan, ketika jam menunjukkan sekitar pukul setengah Tujuh pagi, Sara tidak menemukan keberadaan Ethan dimanapun termasuk di meja makan. Setidaknya itu lebih baik, penglihatan Sara mendadak jernih jika lelaki berengsek itu menghilang dari jarak pandangnya.

Mengabaikan tubuhnya yang terasa lemas bukan main, Sara berjalan menuju dapur. Padahal Sara baru saja merasa lega ketika pening di kepalanya tidak separah sebelum-sebelumnya, seolah belum cukup rasa sakit yang terus mendera tubuhnya, kini Sara harus merasakan lemas yang hampir membuatnya kesulitan untuk sekedar melangkah.

Dalam setiap hembusan napas yang terasa berat, Sara melangkahkan kedua kakinya menuruni tangga, satu tangannya memegang erat proposal penting yang harus ia berikan pada Jiran, sedang satu tangan lainnya memegang erat pegangan tangga.

Butuh sedikit perjuangan untuk sampai di ujung bawah tangga, penuh hati-hati takut jika kakinya salah mendarat lalu terpeleset, dan terjadi hal buruk. Jika saja berkas yang harus ia berikan pada Jiran tidak teramat penting, mungkin Sara lebih memilih bermalas-malasan di atas ranjang seharian.

Ketika Sara sudah benar-benar menjauhi tangga, suara pintu utama yang terbuka lebar dengan sosok Ethan yang menampakkan dirinya di sana. Sialan, kedamaian Sara lenyap sudah.

Satu kerutan samar menghiasi kening Sara, menemukan bahwa Ethan datang tidak sendirian. Dia datang dengan seorang wanita berpakaian minim, bibir merah menyala dan rambutnya yang dipotong sebahu, berada dalam rangkualannya. Oh, jangan lupakan juga penampilan Ethan yang acak-acakan.

Untuk sesaat, Sara terpaku di tempatnnya. Ada sesuatu yang aneh saat irisnya menangkap pemandangan menjijikan seperti ini. Seperti ada yang salah dengan perasaannya, seharusnya Sara merasa lega. Ethan memiliki mainan lain, si berengsek itu tidak akan selalu membuat Sara menjadi pelampiasannya.

Tapi, Sara tidak merasakan kelegaan itu sama sekali. Tidak sama sekali.

Hanya beberapa detik, Sara segera mengalihkan pandangannya setelah tersadar, melengos ke arah dapur. Mengabaikan suara gelak tawa dari si wanita dan Ethan yang memenuhi ruang tamu besar pagi itu.

Sara tidak tahu apa yang salah dengan dirinya, mendadak ia tidak fokus dan juga kedua kakinya menjadi lemas seperti jelly, tidak kuat menopang beban tubuhnya dan berakhir terjatuh ketika sudah sampai di dapur.

Beberapa pelayan yang berada di dapur tengah menyiapkan sarapan pun menjadi ribut, saling menghampiri Sara dan berseru panik.

"Nyonya! Ya Tuhan, Anda baik-baik saja?!"

Ah, menyedihkan.

Sara menunduk, enggan memperlihatkan wajahnya yang menyedihkan kepada orang-orang, mengangguk lemah sambil mengucapkan kata baik-baik saja dengan setngah berbisik.

Segera tiga orang pelayan tersebut membantu Sara berdiri, mendudukan Sara di kursi meja makan. Salah satu pelayan yang terlihat sudah berumur, menatap Sara cemas.

"Apa harus saya panggilkan Dokter Nyonya?"

Sara menyimpan berkas yang masih ia pegang ke atas meja, menoleh singkat pada wanita paruh baya tersebut.

"Jangan, aku baik-baik saja," kata Sara mencoba meyakinkan, dengan seulas senyum tipis di bibirnya.

Sara semakin melebarkan senyumnya, kedua manik hitamnya menatap tiga orang wanita yang terus saja menatapnya cemas. Entah cemas pada keadaan Sara, atau cemas jika mereka akan mendapatkan cercaan karena tidak becus menjaga Sara dengan baik.

Mendapatkan kalimat bernada meyakinkan dari sang majikan, ketiganya pun perlahan menjauh dari jankauan Sara, satu per satu kembali pada pekerjaannya masing-masing.

"Aku baik-baik saja."

[]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status