Share

RAHASIA TOGONG OLOYOMATE : PAMALI

Pagi itu Ella menginjakkan kaki kembali di desa neneknya, desa yang sudah tidak pernah dikunjunginya kurang lebih selama 16 tahun. Tak begitu banyak perubahan yang berarti. Semua masih tampak sama, kecuali jalanan desa yang sudah di labur aspal.

Sepeda motornya di masukkan ke halaman rumah sang nenek. Perempuan tua itu muncul di ambang pintu. Matanya menyipit, berusaha mengenali siapa adanya yang datang.

Gadis itu menyeret tasnya dan mengucap salam. Neneknya masih terpaku bingung. "Ella?" desisnya, ragu ragu.

"Iya, Nek." Balasnya cucunya sambil meraih tangan keriput itu dan menciumnya.

"Sendirian kemari?" tanya sang nenek dengan raut wajah berubah sumringah.

"Iya, Nek. Ibu dan Ayah belum sempat kemari."

"Baru dua minggu lalu orangtuamu berkunjung, Sayang." sahut neneknya sambil menuntun cucunya masuk ke dalam.

"Kamu mau menginap? Aku senang sekali," sambungnya melihat tas pakaian yang ditenteng cucunya.

Ela mengangguk sambil mengedarkan pandang, mendapati ruang tamu yang sama klasiknya seperti dulu, namun terlihat lebih rapuh dan kusam. Kursi kursi rotan masih pada tempatnya, seperti saat ia terakhir berkunjung. Gadis itu sedikit merasa bersalah karna tidak datang di hari kematian kakeknya. Saat itu dia sedang berada di luar kota, dalam rangka urusan pekerjaan. Pekerjaannya memang menuntut loyalitas sebagai prioritas utama. Dan Ella telah siap dengan resiko itu jauh sebelum ia terjun di bidang ini.

"Nenek bagaimana? Sehat?" Ella meletakkan tasnya, berputar kesamping dan memeluk orang yang dikasihinya itu lembut.

"Baik sekali, sayang. Lebih baik lagi setelah bisa melihatmu...Nenek penasaran dengan pekerjaanmu itu. Waktumu banyak sekali tersita sehingga sangat jarang bisa bertemu dengan nenek."

"Yang penting sekarang aku datang kan? Lagipula sepertinya aku akan lama tinggal disini. Boleh ?"

"Tentu saja sayang. Engkau adalah satu satunya cucuku. Rumah inipun kelak akan diwariskan padamu. Jangan bersikap canggung," tanggap neneknya lembut.

Ella tertawa. Diciumnya pipi perempuan tua itu, membuat sang nenek ikut tertawa lebar. Kemudian dia pun menunjukkan kamar Ella dan menyuruhnya beristrahat.

***

Ella hanya berbaring sebentar, dia kemudian berpamitan pada neneknya, ingin berjalan melihat lihat desa.

Tujuan gadis itu sebenarnya adalah rumah kepala desa, sekedar bersilahturahmi dan berkenalan. Namun sebagai orang baru, dia tentu buta arah dan kebingungan. Untunglah saat dia sedang bingung dilihatnya ada seorang pemuda yang sedang asyik memperbaiki pagar rumahnya.

"Maaf, permisi." sapa si gadis.

Pemuda itu menoleh, wajahnya terkesan maskulin, sepasang alisnya tebal sekali. Kulitnya cokelat gelap, singkatnya, dia tampan.

"Ya?"

"Boleh tanya, Rumah Kades dimana ya?"

Pemuda itu berdiri. Ella adalah seorang gadis berpostur tinggi. Dia bahkan lebih tinggi diatas tinggi rata2 laki laki. Namun pemuda berkulit sawo matang dengan mata gelap dihadapannya lebih unggul beberapa senti darinya.

"Siapa ya?" tanyanya sambil mengelap keringat didahinya.

"Debriella." gadis itu mengulurkan tangan.

"Juan." sambut si pemuda. "Sepertinya aku pernah mengenalmu, tapi dimana ya?" sambung Juan sambil mengamati wajah gadis dihadapannya.

"Saya cucunya, Nenek Erlina. Saya pernah kemari waktu masih kecil..."

"Astaga! Ela, sudah lama sekali. Apa kau masih mengingatku?"

"Hmm...siapa?"

"Aku teman bermainmu dulu. Ingat waktu kita sering bermain di pesisir pantai? Aku sering menakutimu dengan bintang laut, dan kau selalu terbirit birit ketakutan karna itu!"

Ela tersenyum. Sesaat kemudian senyuman itu berubah menjadi tawa lepas. " Juan! Apa kabar?"

"Baik. Kau sendiri, bagaimana? Kenapa baru berkunjung sekarang?"

"Biasalah. Aku sibuk bekerja."

Mereka berbasa basi sebentar. Juan mengajak Ella singgah sebentar di rumahnya.

Ibunda Juan menyambut ramah dan menjamu sang tamu dengan teh manis hangat dan pisang goreng.

Saat mereka sedang bercakap cakap, seseorang mengucap salam. Rupanya itu adalah Ayah Juan.

"Eh ada tamu rupanya." sapa pria separuh baya itu.

"Cucunya Nek Erlina, Pak." jelas istrinya.

"Oh ya. Maaf tidak salaman ya, soalnya tangan saya masih kotor, dari rumah duka..."

"Sudah rampung tendanya, Pak?" tanya istrinya pula.

"Iya." sahut suaminya sambil melangkah kedapur dan mencuci tangan. Sesaat kemudian dia sudah kembali ke ruang tamu, duduk diatas kursi kayu dan ikut nimbrung dengan istri anaknya yang sedang mengobrol dengan Ella.

" Memangnya ada acara apa, Pak? Sampai buat tenda?" Ela bertanya.

"Hari ke tiganya almarhum Pak Ken."

"Oh ya. Saya dengar beritanya. Katanya kematiannya tidak wajar ya?"

Lelaki separuh abad itu menghela nafas. "Iya. Dia ditemukan meninggal dunia di tepi pantai. Kulit tubuhnya sangat pucat, sepertinya dia mati tenggelam."

Ella mengangguk angguk. Lalu dengan hati hati namun terkesan santai dia bertanya lagi. "Saya dengar beberapa tahun lalu ada juga orang yang ditemukan mati mengambang... Apa itu benar?"

"Iya." Yang menyahut Juan. " Namanya Pak Nurfan. Dia itu pendatang. Dari daerah Balantak. Baru beberapa bulan dia dan anak istrinya menetap di desa ini. Pria yang malang..."

"Lebih malang lagi istrinya, ditinggal mati dengan empat orang anak yang masih kecil kecil." timpal Ibu Juan dengan prihatin.

"Kira kira mengapa mereka bisa mati mengenaskan begitu rupa?" Ella unjukkan wajah bingung.

Wajah Ayah Juan tampak memberat. Seperti ada yang hendak diucapnya, namun dipendamnya.

"Barangkali Pak Nurfan maupun Pak Ken kena kutukan..." Ibu Juan berucap.

"Kutukan apa maksudnya?" Alis Ela bertaut, dipandangnya Juan yang hanya balas menatapnya tenang tanpa bicara.

"Kutukan dari Surya Rembana...." Ibu Juan menggantung.

"Bu! Jangan sebut! Pamali!" potong suaminya. Wajah istrinya langsung berubah pias.

"Maafkan Ibunya Juan, Nak Ela. Ada beberapa hal sakral di desa ini yang tidak boleh di ekspos sembarangan. Kami juga tidak mau pendatang seperti Nona merasa kurang nyaman dengan cerita cerita tidak mengenakan."

Ela terdiam beberapa saat. "Tak apa, Pak. Saya justru penasaran. Sebagai pendatang, bukankah justru saya harus mengetahui hal hal sakral atau tabu di desa ini? Supaya saya tahu bagaimana bersikap dan tidak salah bertindak."

"Nak Ella benar. Tapi saya rasa belum pada tempatnya membicarakan itu. Oh ya, kata Juan Nona mau ke rumah Kades? Sebaiknya Juan segera mengantar Nak Ela kesana...." tukas ayah Juan.

Ella menyadari dirinya di usir secara halus. Namun gadis itu tidak berani menggali lebih dalam lagi. Dia mengangguk dan lantas beranjak dari bangkunya diikuti Juan.

Mereka berpamitan dan berjalan kaki menyusuri jalanan desa.

Sepanjang jalan pikiran gadis itu mengembara kemana mana. Surya Rembana. Dia sudah mengantongi nama itu. Entah itu nama seseorang, atau mungkin nama tempat.

Gadis ini memijit keningnya pelan. Apakah dia akan melibatkan hal mistis dalam penyelidikannya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status