Share

TRUE LOVE BEAST HUSBAND
TRUE LOVE BEAST HUSBAND
Author: Sari Yu

Perjodohan yang tidak terduga

“Siap-siap ya! Sepertinya bapak akan kehilangan toko besar ini." Penagih itu memukul-mukul tembok toko dengan tangannya. Wajahnya kaku tanpa senyuman.

“Bapak sudah tiga bulan belum membayar tagihan!” teriak penagih itu, matanya melotot. Semua orang di toko melihat ke arahnya.

“Sa-saya akan bayar secepatnya pak,” ucap Bapak ketakutan, tangannya gemetaran.

Penagih itu hanya memandang tajam mata Bapak tanpa menjawab, matanya dipercingkan seolah-olah mau menelan Bapak hidup-hidup, kemudian pergi begitu saja mengendarai motornya.

Setelah penagih pergi, Bapak memukul kepalanya pelan merasakan penat dengan situasi yang dialaminya. “Siapa yang mau meminjamkan uang 100 juta kepadaku untuk menutup hutangku di bank?” 

Kemudian datang seorang lelaki, membawa dua botol minuman yang dibeli dan menyodorkan uang pembayaran sambil berkata, “Datanglah ke rumah! Saya bisa meminjamkan uang sejumlah itu.” 

“Oh ... Pak Leo. Baiklah, saya akan ke sana,” jawab Bapak senang sambil menghembuskan nafas lega.

Di depan rumah Leo, Bapak merasa ragu untuk masuk. Dia berpikir keras tentang apa yang akan dilakukannya sebagai balasan kebaikan Leo. Namun, dia tetap memantapkan langkahnya hingga akhirnya bertatapan muka dengannya.

“Ini uangnya,” ucap Leo dengan tegas. Mata Bapak mendelik melihat uang yang berjejer rapi dan banyak di hadapannya. 

“Bagaimana kabar Mira? Anak Bapak yang manis itu. Dulu saat SMA saya sering memperhatikannya,” kata Leo sambil berjalan mendekati jendela, matanya menerawang jauh sambil tersenyum.

Bapak melihat perubahan wajah Leo dari tegas menjadi seperti orang yang sedang jatuh cinta ketika membicarakan Mira. Tanpa berpikir panjang Bapak langsung berkata, “Bagaimana kalau Mira saya jodohkan dengan Pak Leo? Apakah berkenan?” Bapak berpikir itulah solusi untuk membalas kebaikan sekaligus agar terbebas dari hutang.

Pak Leo langsung menunjukkan deretan giginya yang rapi, menyodorkan tangan kanannya kepada Bapak, setuju dengan perjodohan itu.

Bapak kemudian pulang ke rumah. Dia memanggil anak satu-satunya itu.

“Mir-Mira, kesini! Ada yang ingin Bapak bicarakan!” Teriakan Bapak cukup keras sehingga Ibu pun keluar kamar merasa penasaran. Ibu duduk disebelah Bapak di ruang tamu, ikut menunggu kedatangan anak semata wayangnya itu.

Mira berjalan perlahan, sambil mengusap air mata menguap merasakan kantuk. Maklum, waktu itu pukul satu siang.

“Ada apa, Pak? Mira mengantuk,” tanya Mira sambil mengusap matanya.

Bapak kemudian bercerita tentang hutangnya dan juga tentang tawarannya menjodohkan Mira dengan lelaki paling kaya di desanya yaitu Leo.

Mira diam seribu bahasa. Kantuknya seketika itu hilang, berubah menjadi rasa bimbang, bingung tidak menentu. Dia berusaha tenang menapaki bumi, setelah merasakan seolah-olah tubuhnya baru jatuh dari ketinggian sekian ribu meter.

“Te-terus bagaimana dengan Mas Noval? Kami sudah berpacaran selama 2 tahun. Itu bukan waktu yang singkat untuk memutuskan hubungan seketika.”

Mira kemudian berdiri dari dudukannya. ”Lagipula, siapa itu Pak Leo? Aku tidak pernah melihatnya, walaupun dia pria terkaya di desa ini. Bagaimana sifatnya? Begitu mudahnya Bapak menjodohkanku dengan lelaki yang tidak pernah kutemui!” Wajah Mira seketika berubah menjadi merah menahan marah.

“Maafkan Bapak Mira, kamu anak satu-satunya yang Bapak miliki. Bapak berharap banyak darimu, Nak. Bapak minta, kamu mengerti keadaan Bapak.” Suara Bapak terdengar memelas.

Mira bergegas masuk ke dalam kamar tanpa berkata apapun. Perasaannya sedang berkecambuk.

“Aku harus bilang apa kepada Mas Noval?” Mira duduk di tepi kasur sambil bergumam dalam hati.

“Bagaimana caraku menjelaskan kepada Mas Noval tentang semua ini?” Mira mengambil bantal dan memasukkan wajahnya dalam-dalam.

Kring!

Suara telepon menghentikan lamunan Mira. Dia meletakkan bantalnya dan mulai mencari asal suara berisik itu datang.

“Hallo!” sapa Mira di telepon sambil melemparkan tubuhnya ke tempat tidur.

“Hallo sayang,” jawab Noval di ujung sana.

“Biasanya masih tidur. Semangat sekali menjawab teleponnya, sedang bahagia, ya?” canda Noval.

Mira langsung duduk dari sikap tidurnya. “Mas, tadi Bapak bercerita kalau ... ” ucap Mira ingin segera mengeluarkan unek-uneknya, namun kemudian terhenti. Dia takut kalau pacarnya itu terkejut.

“Kalau apa?” tanya Noval penasaran. 

Keinginan Mira bercerita sangat kuat, namun ragu-ragu selalu menderanya. “Bapak ingin men ...”

“Kenapa, Sayang? Seperti lagi bingung” Noval mulai menyadari ada yang aneh dari Mira.

Mira menarik nafas panjang pelan, yang tidak terdengar oleh Noval. Setelah itu, dia berusaha menjawab pertanyaan Noval dengan tenang. ”Tidak ada apa-apa, tidak jadi.”

“Ya sudah. Bercerita besok saja, saat kita bertemu. Pukul empat sore seperti biasanya. Aku sangat merindukanmu, Sayang.” Nada manja Noval menutup pembicaraannya dengan Mira.

“Baiklah mas, sampai jumpa besok,” tutup Mira sambil menekan tombol off pada telepon selulernya.

Mira membanting tubuhnya di kasur, memandangi langit kamar dengan gusar. Dia berpikir tentang apa yang akan diceritakan besok kepada Noval. Berkata sejujurnya, atau menutup rapat-rapat, yang telah dikatakan bapaknya siang ini. Semua ini membuat kepalanya serasa berputar.

Akhirnya, dia memutuskan untuk menutup mata, memulai tidur siangnya yang sudah tertunda.

Mira merasakan tidur siangnya lebih singkat dari biasa. Dia membuka mata sambil mengingat kembali apa yang baru saja terjadi. “Ya Tuhan, kuharap Cuma mimpi.” Batin Mira mulai gusar.

Dia kemudian berjalan ke luar rumah untuk menjernihkan pikiran. Kakinya dilangkahkan pelan, sambil menghirup udara segar. Pikirannya menerawang, hingga dia tidak menyadari sosok Leo yang berjalan berlawanan arah dengannya.

“Selamat sore, nona,” sapa Leo ramah.

“Sore juga,” jawab Mira sekenanya tanpa melihat wajah yang menyapa, kakinya tetap melangkah mengikuti jalan beraspal.

Mira kemudian tersadar, dia segera membalikkan badan, mencari asal suara yang tadi menyapanya. Namun, tidak ada orang di sana. Setelah itu, dia melanjutkan perjalanannya, menelusuri jalan memutar yang akan kembali ke rumahnya.

Saat di rumah, Mira melihat ke arah jam dinding yang berada di depannya. “Pukul setengah empat sore, waktunya mandi. Mungkin setelah mandi, aku merasa lebih tenang,” gumam Mira.

Mira memulai langkah kakinya dengan Lunglai menuju ke tempat jemuran, untuk mengambil handuk. Ketika dia berada tepat di depan kamar mandi, Bapak memanggilnya sambil berjalan dengan langkah cepat mendekatinya.

“Mira, besok Pak Leo akan datang ke rumah kita. Bapak mengundangnya untuk makan malam bersama. Kamu berdandanlah yang cantik. Mungkin setelah bertemu dengannya, kamu akan lebih mengenal dan jatuh hati kepadanya.” Bapak menjelaskan dengan senyuman bahagia. Wajahnya berbinar-binar.

Mira terkejut mendengar perkataan Bapak hingga handuk yang dibawanya terjatuh ke lantai. Matanya sampai terbelalak dan mulutnya termenganga.

“Mira belum menerima perjodohan ini, Pak. Mengapa Bapak cepat sekali mengundangnya? Bagaimana kalau Mira marah-marah kepada Pak Leo, karena perjodohan yang tidak terduga ini?”

Mira terdiam sebentar, menahan perasaannya. “Berikan kesempatan kepada Mira untuk menenangkan pikiran dan berbicara dulu dengan Mas Noval. Ini bukan perkara yang mudah, Pak. Ini semua masalah hati, perasaan, Pak.”

Air mata Mira mulai pecah saat membicarakan tentang perasaan. Kedua tangannya ditempelkan ke dada, menunjukkan begitu tertusuk dan sakit hatinya saat itu.

Bapak terdiam mengamati wajah Mira yang meneteskan air mata tanpa bersuara. Bapak mengelus kepala anak satu-satunya itu dengan penuh kasih sayang. “Maaf, kalau Bapak bersikap egois. Semua ini bapak lakukan, juga demi kamu, agar tidak hidup susah.”

Bapak berjalan ke arah meja makan, menggeret kursi makan dengan pelan, dan duduk perlahan, mengambil segelas air untuk membasahi tenggorokannya. Setelah itu, menarik nafas panjang meneruskan penjelasannya. ”Pak Leo orangnya baik dari keluarga kaya. Kita juga dipandang orang berada, karena toko bapak paling besar di desa ini. Bapak tidak ingin kita jatuh miskin dan hidup susah, apa kata orang nanti?”

Glek, glek, glek!

Bapak meneguk air lagi, merasakan sejuk membasahi tenggorakannya, menciptakan aura tenang di wajahnya. 

“Bapak ingin, anak bapak satu-satunya merasakan hidup kaya dan bahagia. Bapak harap, kamu mengerti keadaan ini, dan menerima perjodohanmu dengan Pak Leo.” Bapak mengakhiri perkataannya, dengan memberikan senyuman harapan kepada Mira.

Namun pikiran dan perasaan Mira belum dapat sejalan. Pikirannya bisa memahami perkataan bapaknya, tapi hatinya tidak. Mira sesenggukan dalam tangisnya, tubuhnya terasa tidak bertenaga menahan tekanan di dada. Pelan-pelan dia terduduk dilantai sambil mengusap air mata yang tidak henti-hentinya mengalir.

***

“Ma, akhirnya dia kudapatkan juga,” ucap Leo.

“Siapa?” tanya Mama Leo sambil meyodorkan secangkir kopi kepada anak satu-satunya itu.

“Si Mira.”

“Aku menyukainya dari SMA. Dia gadis yang sangat manis, tidak mudah didekati.”

“Setiap hari, aku selalu mengawasinya.” Senyum Leo terurai ketika mengingat bertemu Mira di jalan, sore tadi.

Leo menyeruput kopinya pelan. “Akhirnya, aku punya cara untuk dijodohkan dengannya. Selama tiga bulan, aku memberikan uang kepada pelanggan-pelanggan bapaknya, untuk membeli barang di toko lain.” Leo tertawa keras, senang dengan keberhasilan rencananya.

“Besok, akan kutunjukkan pesonaku kepadamu, Mira!” teriak Leo penuh kemenangan.

“Kamu akan terkejut,” ucap Leo dengan tersenyum sinis.

                    

                              

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status