Share

Pertemuan Pertama Dengan Leo

Hari ini adalah yang paling ditunggu dan mendebarkan bagi Mira. Seakan-akan lupa akan perjodohannya dengan Leo. Dia memang sangat merindukan Noval, sudah sebulan ini mereka tidak bertemu karena kesibukan masing-masing. 

Wajah Mira bahagia sekali mulai dari mandi. Dia bersenandung beberapa lagu cinta, sambil sesekali tersenyum sipu. “Tapi ... nanti cerita tidak ya, ke Mas Noval tentang perjodohanku? Ah, dipikir nanti saja,” gumam Mira sambil memilah pakaian terbaik yang akan dipakainya.

Mira memutuskan untuk memakai kaos polos berwarna putih berlengan panjang, dan bercelana jeans biru tua. Menaburkan sedikit bedak dan lipstik warna natural kesukaannya. Mira memang gadis yang sangat sederhana. Walaupun demikian, dia adalah gadis yang manis, bisa dikatakan gadis yang paling manis di desanya.

Sebenarnya, banyak pemuda desa yang jatuh hati kepadanya. Namun, satu persatu mundur karena predikat S1 yang disandang Mira. Maklum, tidak semua orang di desanya yang mampu berkuliah di kota besar.

Awal bertemu Noval ‘pun sangat unik. Waktu itu, dosen skripsi Mira meminta tolong untuk mengantarkan beberapa buku ke rumah Noval. Noval adalah sahabat dosennya. Gadis manis itu sebenarnya merasa sedikit tidak nyaman, karena dalam pikirannya, bagaimana mungkin seorang perempuan datang ke rumah laki-laki, tapi apa mau di kata, dosen skripsinya yang meminta. “Kalau tidak diiyakan, pasti skripsiku akan dipersulit,” batin Mira sambil memajukan ujung bibirnya.

Tok! Tok! Tok!

Saat pintu rumah Noval dibuka, saat itulah cinta keduanya bersemi. Bisa dikatakan, cinta pada pandangan pertama. Itu sangat romantis.

Mira mengambil tas cangklongnya. Berkaca, memutar sedikit, kekanan, kekiri, membenahi tatanan rambutnya yang terurai panjang. “Sempurna,” pekik Mira lirih sambil mengedipkan salah satu matanya ke cermin.

Langkah kaki Mira semakin mantap meninggalkan kamar, sampai di ruang tamu, tiba-tiba, “Oh, ini yang namanya Mira?” Suara berat laki-laki yang sama sekali belum Mira kenal membuatnya terperanjat. 

Mira terdiam mematung. Bapak Mira yang sejak dari tadi duduk di sebelah laki-laki itu segera menjawab, “Iya pak, ini anak saya satu-satunya, Mira.”

“Mira, ayo bersalaman!” pinta Bapak.

Mira mengangkat tangan kanannya untuk segera mencium punggung tangan laki-laki itu. “Astaga, ini yang namanya Leo.”

“Tua sekali, seumuran bapak. Walaupun masih tampan sih,” pikir Mira dalam hati, sambil menata duduknya dekat dengan Bapak.

Bapak sepertinya memahami betul pertanyaan dalam benak anak kesayangannya itu. “Ini papanya Leo, Mira,” ucap Bapak diikuti senyuman.

Mata Mira berusaha mencari sesosok laki-laki yang dianggapnya Leo di sekeliling rumahnya.

“Sebentar lagi Leo akan datang, sabar!” jawab Bapak membuat Mira sedikit berpikir jangan-jangan Bapaknya memiliki ilmu kebatinan.

“O ...!” jawab Mira malu.

“Astaga!” Mira memukul jidatnya sendiri, Bapak yang melihatnya sampai kaget dibuatnya. “Ada apa Mira?” tanya Bapak. 

Mira hampir lupa dengan acara bertemu dengan Noval. “Ti-tidak apa-apa pak,” jawab Mira terbata-bata sambil melihat jam dinding.

“Mati aku! Sudah terlambat lima belas menit, belum perjalanannya ke sana, paling tidak butuh setengah jam sampai.”

Mira baru mulai berdiri dari posisi duduknya, Bapak segera memegang tangannya. “Mau kemana? Sudah, duduk dulu! Sebentar lagi Leo pasti datang.”

“Anu pak, mau mengambil telepon di kamar.”

“Tidak usah, ada tamu malah main telepon,” jawab Bapak lirih membuat Mira tidak bisa bergerak dari tempat duduknya.

Tin!

Bunyi klakson mobil membuat semua yang berada di ruang tamu, serentak menolehkan kepala ke arah depan rumah.

“Leo sudah datang Mira,” ucap Papa Leo sambil menunjuk ke arah mobil yang parkir tepat di depan rumah Mira.

Seorang wanita cantik berumur 40-an keluar dari pintu mobil sebelah kiri depan. Dandanannya tebal, memakai pakaian panjang yang sangat modis, rambut disanggul ke atas dan berkacamata hitam. “Mungkin itu mamanya Leo,” batin Mira.

Kemudian, seorang laki-laki keluar dari pintu mobil sebelah kanan. Dari punggungnya tampak begitu tinggi dan sangat menawan. Rambutnya lurus sebahu.

Deg!

Jantung Mira serasa berdetak sangat cepat seperti kuda yang berkejar-kejaran di padang rumput. Hatinya seolah tak sabar ingin melihat Leo secara langsung.

“Leo kelihatannya tampan.” Tangannya saling meremas merasakan getaran di dadanya yang semakin cepat.

“Bagaimana kalau Leo lebih tampan dari Mas Noval? Bisa bimbang aku.”

“Hati, jangan bergetar ya, tenang-tenang.”

“Ah Mira, sebenarnya kamu ini senang tidak, kalau dijodohkan? Mengapa jadi tidak jelas begini.” Mira berbicara dengan dirinya sendiri.

“Tapi kalau tampan, kenapa tidak?” Mira sekilas menahan tawanya. Gadis ini memang belum dewasa dalam bercinta. Usianya sudah 23 tahun, namun Noval adalah pacar pertama baginya. Kata kesetiaan, cinta sejati masih jauh dalam kamus kehidupannya. Kalau boleh dikatakan, Mira dalam proses belajar memahami perasaannya.

Leo menolehkan kepalanya ke kanan, berjalan sampai batas akhir panjang mobilnya. Kemudian dengan perlahan namun pasti, akhirnya menolehkan kepalanya ke arah rumah Mira. Berjalan gagah bagai seorang model.

“Hah, apa itu? Yang menutupi hampir seluruh wajah Leo,” batin Mira penuh tanda tanya.

Mira mengamati wajah Leo sambil memercingkan matanya. “Tompel, iya tompel berwarna biru kehitaman.” Tanpa sengaja kedua tangan Mira terangkat, menutupi mulutnya yang termenganga.

Leo berjalan santai menuju ke dalam rumah Mira. Mengamati sekitar, dan menghentikan  pandangannya pada sosok langsing, berkulit kuning langsat, yang sangat manis, yaitu Mira. “Hmm ... Itu dia,” gumam Leo dalam hati.

Mira masih tetap dalam posisi menutup mulutnya. Leo mengamati respon Mira yang kaget saat melihatnya pertama kali. Lelaki gagah itu menghentikan langkahnya Tepat satu langkah di depan Mira. 

“Ada apa Mira, apa kamu tidak terima dengan wajahku?!” teriak Leo sambil mengarahkan telunjuk pada wajahnya.

"Ti-tidak ... aku hanya-" jawab Mira terbata-bata.

“Inilah aku, Leo. Lelaki yang akan kamu nikahi,” ucap Leo dengan lantang sambil membusungkan dada dengan sangat percaya diri.

Jantung Mira semakin dag dig dug tidak karuan mendengar perkataan Leo. Kedua tangannya meremas ujung dudukan kursi, namun bibirnya kaku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata ‘pun.

“Kamu seharusnya bersyukur, akan menikah dengan lelaki tampan kaya, seperti Leo,” ucap Mama Leo memecah keheningan. Mama Leo adalah orang yang sayang berlebihan kepada Leo sejak kecil.

“Bukan seperti orang yang baru melihat hantu,” sindir Mama Leo sinis.

“Ada apa ini Mira?” Ibu Mira yang sejak tadi sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam, akhirnya keluar karena suara keras di ruang tamu.

“Kami memang datang terlalu cepat, karena menyesuaikan jam kerja Leo. Bukan berarti kami terima disambut seperti ini, ya!” hardik Mama leo.

Leo merasakan emosi memuncak setelah mendengar perkataan mamanya. ”Perjodohan ini adalah permintaan Bapakmu Mira, saya yakin dengan tujuan agar hutangnya dianggap lunas ‘kan? Jadi jagalah sikapmu, jangan bertindak menghina seperti ini!” Leo membuang muka dan berjalan menuju ke mamanya.

“Maafkan atas sikap anak saya Pak Leo. Dia sama sekali tidak bermaksud menghina, hanya kaget saja,” bela Ibu.

“Mari sekarang kita mendinginkaan pikiran sambil makan bersama,” ajak ibu untuk memecah suasana agar tidak riuh.

“Ayo Ma, kita pergi dari sini!” Leo tetap kukuh dengan pendiriannya, hatinya telah dimakan emosi. Tangannya masih mengepal saat meninggalkan ruang tamu diikuti oleh mamanya. Dia pergi tanpa sempat berpamitan dengan keluarga Mira. Masuk ke mobil, melajukan mobilnya dengan kencang dan dalam sekejap sudah menghilang dari pandangan mata.

“Maafkan Leo, ya Mira? terburu-buru sampai lupa berpamitan denganmu.” Papa Leo berusaha mendinginkan suasana.

Mira diam.

“Mir, Mira ... dengar tidak Papa Leo tadi bicara apa?” tanya Ibu sambil menepuk bahu anak satu-satunya itu.

“I-iya Pak ... eh, Om,” jawab Mira gelagapan menyadari kesalahannya.

“Baiklah kalau begitu, saya pulang dulu, lain kali kami pasti akan datang lagi mengunjungimu. Boleh kan Mira?” goda Papa Leo berusaha menghilangkan kaget Mira.

“Boleh Pak ... eh, Om,” Mira belum juga tersadar dari kagetnya.

Mata Ibu melotot melihat jawaban Mira. Gadis manis itu malu sambil menundukkan kepalanya. Papa Leo hanya tersenyum melihat kelakuannya.

“Tidak sekalian makan malam di sini, ini sudah saya siapkan dari tadi makanannya,” ajak Ibu kepada Papa Leo.

“Lain waktu saja ya bu, saya permisi pamit dulu.” Papa Leo bergegas meninggalkan rumah Mira. Lelaki paruh baya ini memang terkesan lebih tenang dibandingkan anak dan istrinya.

Setelah pulangnya Papa leo, Mira memandangi Bapaknya dengan perasaan kesal. “Kenapa Bapak tidak bercerita kalau Leo memiliki tompel di wajahnya? Kenapa Bapak menutup-nutupinya?”

“Bapak tidak menutup-nutupi seperti perkiraanmu Mira. Bapak ingin kamu sendiri yang menilai seperti apa Leo itu.” 

Mira kemudian melempar pandangannya ke arah Ibu. “Ibu juga tahu keadaan Leo seperti itu? Mengapa tidak bercerita kepada Mira?”

“Mira ... jangan menilai orang dari luarnya saja. Pak Leo sudah sangat baik telah menolong kita. Kamu harus ingat itu!” tegas Ibu membuat Mira begidik mengingat perkataan Leo mengenai hutang bapaknya.

Mira kemudian masuk kamar dengan langkah cepat karena kesal yang tidak tertumpah. Kemudian,

Bruk!

Menutup pintu kamar dengan keras.

***

Noval sejak tadi mengamati jam tangannya. Melihat ke arah kanan kiri jalan berharap Mira segera datang dengan motor, menebar senyuman manis kepadanya.

“Pukul lima. Sudah satu jam aku berdiri di sini. Kemana Mira belum datang-datang? Semoga tidak terjadi apa-apa di jalan,” pikir Noval kawatir.

Letak desa Mira hanya berjarak satu jam saja dari kota besar. Noval dan Mira selalu bertemu di cafe yang terletak di tengah, antara desa Mira dan kota tempat tinggal Noval. Walaupun mereka sudah dua tahun berpacaran, namun Mira belum pernah sekali pun mengajak Noval untuk berkunjung ke rumahnya. Apalagi Selama ini Mira kos di kota. Setelah lulus kuliah, dia mencari kerja di kota selama enam bulan lamanya. Namun sayang, pekerjaan yang diharapkan tidak kunjung didapatkan. Akhirnya Mira pulang kembali ke desa.

Kekawatiran Noval semakin bertambah tatkala berusaha menghubungi Mira lewat telepon selulernya berkali-kali, namun tetap juga belum ada jawaban.

“Mira ... apa yang terjadi denganmu sayang, angkat teleponnya, cepat!” gumam Noval sambil menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal, merasakan emosi yang mulai memuncak.

Telepon Noval akhirnya diangkat. “Argh ... !“ teriak Mira menjawab telepon Noval di ujung sana.

Noval kaget dengan teriakan Mira. Dahi Noval mengernyit berusaha memahami situasi yang ada. Dadanya kembang kempis, merasakan pikiran yang penuh rasa curiga dan kawatir.

“Mira! Apa yang terjadi denganmu?! Mira ...?!” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status