Share

Pertolongan Leo

Kedua orang tua Leo dan Mira diminta berkumpul di balai desa oleh Pak RT.

“Begini Pak, Bu, semalam kami memergoki Leo dan Mira sedang berciuman di depan rumah Mira. Demi kenyamanan bersama, akan lebih baik kalau keduanya segera dinikahkan,” ucap Pak RT.

Leo dan Mira menanggapi pernyataan Pak RT dengan cara yang berbeda. Leo menganggukkan kepala sedangkan Mira menggelengkan kepala.

Kedua orang tua mereka sama-sama menggelengkan kepala melihat kelakuan mereka.

“Saya harap dua keluarga ini, bisa saling berdiskusi untuk mencari penyelesaian masalah ini. Sekali lagi untuk kenyamanan bersama, tetap, pada akhirnya, mereka harus dinikahkan,” kata Pak RT berusaha menjadi penengah antara Leo dan Mira.

Leo dan Mira saling memandang mendengar perkataan Pak RT. Kemudian, bibir Leo mulai melebar menunjukkan senyuman kecil penuh misteri kepada Mira. Tiba-tiba saat itu, timbul rasa curiga di pikiran Mira.

“Oh ... ini semua pasti rencanamu ‘kan?!” Mira berdiri dari sikap duduknya sambil berkacak pinggang, matanya melotot mengamati Leo dari atas ke bawah.

“Buat apa aku melakukannya? Kamu tahu sendiri, kita berdua yang berada di tempat kejadian perkara.” Leo menjawabnya dengan santai.

“Tentu saja agar kita segera menikah ‘kan. Dasar licik!” 

“Kalau itu adalah hukuman yang pantas buat kita, kenapa tidak?”

“Kamu benar-benar-"

“Menggemaskan ... memang benar!” potong Leo.

Warga yang menyaksikannya merasa gemas dengan kelakuan mereka. Ada yang malah mendoakan mereka kelak menjadi pasangan yang serasi. Mira yang mendengarnya semakin merasa geregetan.

Dua keluarga ini belum juga mendapatkan jalan keluar. Akhirnya mereka memutuskan untuk memikirkan dulu penyelesaiannya di rumah masing-masing dan memberi kesempatan kepada Leo dan Mira untuk bisa saling iya menuju ke pernikahan.

“Kenapa tadi di balai desa, tidak mengiyakan untuk segera menikah dengan Leo? Bukankah kalian memang sudah dijodohkan?” tanya Bapak kepada anak satu-satunya itu.

“Aku masih kesal dengan kejadian semalam Pak. Kalau aku iyakan, nanti Leo memandangku gadis murahan.” Bibir Mira cemberut.

“Baiklah, terserah kamu saja. Daripada kamu memikirkan Leo terus, lebih baik bantu Bapak jualan di toko, ya? Sekarang.”

Setelah sedikit berpikir, Mira menjawab. “Benar juga ya Pak. Mira ikut Bapak kalau begitu.”

Mira akhirnya memilih untuk ikut bersama Bapaknya di toko. Saat dia sudah mulai terbiasa melayani pelanggan, datanglah seorang ibu bertubuh gemuk marah- marah membawa satu dos minuman botol jeruk. “Kemarin, saya membeli minuman di sini, setelah saya perhatikan, sudah kadaluwarsa semua. Saya minta pertanggungjawaban, sekarang!”

“Maaf bu, kami tidak pernah menjual barang kadaluwarsa, mungkin ibu salah toko,” ucap Mira.

Ibu itu tetap tidak mau disalahkah. Saat suasana semakin riuh, Mira dikejutkan oleh keberadaan Leo di sebelahnya, yang mendengarkan permasalahan mereka. Ibu gemuk itu sampai tersentak kaget melihat wajah Leo.

“Ya sudah, biar saya yang ganti rugi,” kata Leo membuat Mira melotot ke arahnya.

Setelah kejadian itu, Mira semakin geram dengan Leo. 

Pukul lima sore, waktu bagi Mira untuk mengunci dan menutup toko. Bapak sudah pulang lebih dahulu, sehingga hanya tinggal dia sendirian, berjalan kaki untuk bisa sampai ke rumahnya yang hanya memakan waktu lima menit dari toko. 

Sepanjang jalan, Mira bertemu dengan banyak pemuda. Ada teman SMA-nya dulu, ada yang baru kenal dijalan tapi berani menyapa Mira karena paras manisnya, ada tetangga yang naksir dengannya. Semua dibalas sapa oleh Mira dengan ramah dan penuh senyuman, bahkan ada yang berani menggodanya, tapi Mira hanya menundukkan kepala.

Keesokan harinya di waktu yang sama, saat Mira mulai melangkahkan kaki pulang dari toko menuju ke rumah. Seperti biasa, dia akan bertemu dengan banyak pemuda. Namun, pemuda-pemuda itu berubah. Mereka lebih banyak menundukkan kepala, bahkan yang menggodanya kemarin, juga hanya menundukkan kepala sambil memegang pipinya yang lebam.

“Apa yang sebenarnya terjadi? Ada apa dengan mereka semua?” pikir Mira dalam hati. 

Saat Mira berusaha berpikir di jalan sambil memandang ke bawah, dia tersentak kaget oleh sepatu yang berdiri tepat dihadapannya. Pelan-pelan dia mengangkat wajahnya. “Oh ternyata kamu.”

“Jangan-jangan mereka telah kamu ... apa yang telah kamu lakukan kepada mereka?!” teriak Mira dengan nafas naik turun karena emosi.

“Tenang! Mereka hanya kuberi sedikit batasan kalau tidak boleh macam-macam denganmu, karena kamu akan menikah denganku.” Wajah Leo berubah cerah saat mengatakannya.

Mira tidak mau menanggapi Leo, dia terus saja berjalan melewatinya, sampai ke depan rumahnya dengan wajah merah menahan marah.

Tiba-tiba teleponnya berdering. Saat melihat nama yang menelepon, wajah marah Mira langsung menghilang seketika. “Iya ... hallo Mas Noval,” sapa Mira sambil terus berjalan.

“Hallo Mir, bisakah kita bertemu sebentar? Ada hal penting yang mau kubicarakan,” kata Noval di ujung sana.

Mata Mira memutar, mengingat-ingat waktu yang tepat dengan berbagai pertimbangan. “Sepertinya tidak bisa untuk sekarang, Mas.”

“Tolong beritahu kalau sudah punya waktu yang tepat, ya!” pinta Noval.

“Baiklah, Mas,” jawab Mira menutup pembicaraan.

Saat Mira tiba di rumah, Bapak baru ingat, kalau dia harus membeli beberapa barang di kota, karena barang di toko sudah habis. Mira dengan sukarela menawarkan diri untuk pergi ke kota, naik sepeda motor karena kasihan dengan Bapaknya yang dianggapnya sudah tua. Perjalanan ke kota hanya memakan waktu satu jam pikirnya. “Aku pasti bisa.”

Kemudian Mira teringat dengan pesan Noval. Segera dia masuk ke kamar untuk meneleponnya. “Hallo, Mas ... kalau nanti sekitar satu jam lagi, apakah bisa bertemu?” tanya Mira lirih.

“Tentu saja,” jawab Noval senang.

“Baiklah, sampai ketemu nanti,” kata Mira dengan bahagia, sambil menutup teleponnya.

Saat di agen penjualan, Mira akhirnya berhasil mendapatkan barang yang diinginkan. Dia meletakkan semuanya dibelakang motor sedemikian rupa dan ditutup dengan plastik agar tidak rusak.

Kondisi di tempat parkir agen penjualan memang cukup ramai, membuat dia harus berteriak ketika menjawab telepon dari Noval. “Hallo Mas Noval ... sepertinya kita tidak bisa bertemu. Aku takut kemalaman!”

“Kalau begitu, aku akan bicara sekarang saja. Aku sudah mendapatkan uang seratus juta untuk membayar hutang bapakmu ke Leo,” kata Noval di ujung sana.

“Apa, Mas? Aku tidak bisa mendengar sama sekali perkataanmu, berisik sekali di sini. Nanti akan aku hubungi kembali, ya. Sampai nanti!” teriak Mira menutup telepon, berusaha bersaing dengan suara di sekitarnya.

Di ujung sana, Noval dengan wajah sendu penuh dengan rasa kecewa. “Aku sudah menggelapkan uang perusahaan untukmu Mira, agar kita dapat bersatu kembali, dan lepas dari Leo sialan itu.” Noval kemudian meninju tangannya sendiri karena geram dan dendam mengingat perilaku Leo.

Di depan tempat agen penjualan, Mira melajukan motornya untuk segera pulang karena hari sudah semakin malam. Namun, di tengah jalan hujan mulai turun. “Astaga, aku lupa membawa jas hujan.” Mira kesal dengan dirinya, merasa bodoh telah melupakan hal yang sangat penting saat hujan turun. Tiba-tiba,

Tus!

Suara ban bocor dari sepeda motor Mira. Dia akhirnya berhenti di tengah jalan, menepikan motornya, dan melihat bagian ban mana yang bocor.

“Hai manis, ada apa dengan sepedamu? Oh ... bocor, ya?” tanya seorang laki-laki sambil menunduk, bersama dengan kedua temannya di tengah hujan yang deras.

“Iya,” jawab Mira singkat tetap melihat ban sepedanya, bingung harus melakukan apa.

Jalannya memang sangat sepi hanya ada sawah dan pohon besar di kanan kiri jalan.

“Kamu sendirian, ya Nona?” tanya salah satu dari ketiga laki-kali tersebut sambil menengok ke kanan dan kiri jalan.

Mira mulai curiga, segera dia berdiri, dadanya bergerak naik turun cepat karena ketakutan. “Apa yang akan kalian lakukan?” tanya Mira sambil berjalan mundur pelan. Gadis itu mulai menyadari kalau dirinya berada dalam bahaya. Baru saja dia mau melangkahkan kaki untuk berlari, ketiga laki-laki itu segera menangkapnya. “Mau pergi kemana manis?” tanyanya sambil menyeringai jahat.

Kedua tangan Mira dipegang paksa oleh dua laki-laki di antaranya. Mira berusaha berontak dan meminta tolong, namun tidak ada seorang pun yang mendengarnya. Jalan sangat sepi waktu itu, cahaya lampu jalan ‘pun tidak ada. Seorang laki-laki yang tidak mencengkeram tangan Mira, berjalan mendekat ke arahnya dan membuka bajunya dengan paksa. “Jangan ... hentikan,” teriak Mira beradu dengan suara tangisnya.

Mira berusaha sekuat tenaga untuk melindungi diri, ditendangnya lelaki yang berada di depannya, diinjaknya kaki lelaki yang memegang salah satu tangannya, digigitnya tangan yang mencengkeram satu tangannya yg lain. Dia berusaha berlari dari situasi itu, sambil membenahi kancing bajunya yang lepas. 

Ketiga laki-laki itu mengejarnya sampai ke tepi sawah, hingga pada suatu lahan kosong, Mira kembali tertangkap. “Mau kemana Manis? Di sini saja, bersama kami,” kata salah satu laki-laki yang menangkap Mira, sambil tertawa jahat.

Mira menangis histeris, ketakutan menutupi seluruh tubuhnya. Bayangan kejadian buruk terlintas di kepalanya, semakin membuat Mira tidak berdaya. Dia menjerit, menangis sejadi-jadinya, meminta tolong walaupun tidak ada satupun orang di sana. Kemudian,

Buk!

Datanglah seseorang, menghajar ketiga lelaki itu hingga ketiganya tersungkur di tanah tak berdaya. Akhirnya mereka lari tunggang langgang meninggalkan Mira. Mira tetap menangis dalam turunnya hujan yang sangat deras. Dia tidak bisa melihat, siapa yang telah datang menolongnya? Matanya terlalu sulit untuk dibuka lebar karena terkena derasnya air hujan. Tubuhnya terlalu kaget dan gemetaran untuk berlari, dia hanya berdiri, menangis sekencang-kencangnya sambil menutupi dada yang sedikit terbuka.

Lambat laun, akhirnya Si Penolongnya datang mendekat ke arahnya. “Apa kamu tidak apa-apa?”

Guntur dan kilat saling menyambar waktu itu, membantu Mira untuk mengenal wajah yang telah menolongnya. “Tompel itu ... Leo.” Dia meluapkan kembali tangis ketakutannya di dada Leo. Rasa jengkelnya berubah menjadi rasa syukur, yang tidak terkira. Dipeluknya Leo erat-erat seolah-olah telah melupakan kejadian yang membuatnya geram dengan lelaki bertompel itu.

“Ayo kita pulang!” ajak Leo sambil membawa tubuh Mira yang gemetaran.

Leo menurunkan Mira dalam derasnya hujan, setelah berada di pinggir jalan. Gadis itu sudah tidak menangis dan gemetar lagi. Dia mengamati motornya yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. Gadis manis itu jongkok mengamati bannya yang bocor. “Pulanglah Leo, tinggalkan aku sendiri!” pinta Mira.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status