Mira terjatuh tersungkur di lantai, ternyata dia kelelahan karena seharian tidak bisa tidur, mengkhawatirkan kesehatan Leo.
Mira benar-benar merasa bersalah karena telah bersikap tidak baik terhadap lelaki gagah bertompel itu selama ini, yang ternyata telah menjadi penyelamatnya. Apalagi, ketika tiba di rumah Leo, mamanya menamparnya dan memberikan penjelasan tentang sakit Leo, membuatnya semakin jatuh dalam penyesalan yang dalam, dan akhirnya tumbang.“Bangun, Mira.” Leo menggerakkan badan Mira perlahan, namun tidak terbangun juga.Leo meminta tolong satpam dan supirnya untuk membawa Mira ke dalam kamar tamu di lantai dua rumahnya.Leo ingin merawat Mira, tapi mamanya melarangnya karena dia sendiri butuh perawatan dari dokter. Akhirnya dia menuruti permintaan mamanya, dengan syarat, setelah dari dokter, dirinya boleh merawat Mira. Mamanya menyetujui permintaan Leo, walaupun dengan berat hati.Dokter mendiagnosa Leo terkena penyakit tifus. Lelaki gagah itu menerima obat dan beberapa vitamin untuk kesembuhannya. Setelah meminumnya dan badannya terasa lebih enak, dia berniat menjenguk Mira.Mama Leo sudah berada di kamar tamu sebelum Leo datang. Dia berusaha membangunkan Mira. “Mir, Mira bangunlah!” teriaknya sambil sedikit membungkuk untuk menggerakkan badan Mira.Mira mulai membuka matanya yang sangat berat, dikedipkan matanya berkali-kali agar bisa terbangun.“Baguslah, kamu sudah bangun. Sekarang, bergegaslah pulang. Jangan coba dekati anakku lagi,” pinta Mama Leo sambil berdiri dan menyilangkan tangannya dengan angkuh di depan Mira.Mira berusaha bangun dengan cepat dalam kondisi tubuhnya yang masih lemah. “Bagaimana kabar Leo sekarang, apa dia baik-baik saja?” tanya Mira khawatir.Mama Leo mendekati Mira dengan tatapan marah, nafasnya bergerak cepat karena amarah, diangkatnya tubuh Mira hingga berdiri, dengan menekan kedua lengan gadis manis itu ke atas. “Aku sudah bilang, jangan dekati anakku lagi, apalagi hanya sekedar bertanya kabarnya, paham kamu?!” bentak Mama Leo.Mama Leo segera meminta satpam untuk mengeluarkan Mira dari rumahnya. Saat satpam yang membawa Mira melangkahkan kakinya, Leo datang.“Ma, ada apa ini? Mira masih sakit, biarkan dia istirahat dulu di sini.” Leo hendak mendekati Mira, namun mamanya menghadang.“Biarkan dia pergi Leo,” kata Mama Leo sambil menggangukkan kepalanya kepada satpam, tanda untuk segera mengeluarkan Mira. Mira berusaha melawan, namun cengkeraman tangan satpam sangat kuat, sehingga dia tidak bisa berkutik. Gadis manis itu hanya bisa memandang Leo yang semakin lama semakin jauh dari pandangannya, dengan tatapan memelas.Leo berusaha menerobos tubuh mamanya, namun tubuhnya masih terlalu lemah, sehingga dia hanya bisa terdiam memandang Mira yang semakin menghilang dari pandangannya.***Keesokan harinya, di pagi yang cerah, Mama Leo bersama dengan dua lelaki tinggi besar, datang ke rumah Mira. Kedatangannya disambut hangat oleh kedua orang tua Mira, karena Mira tidak menceritakan kejadian kemarin malam di rumah Leo.Mira keluar kamar dengan hati cemas. Dia duduk di kursi, yang berhadapan langsung dengan duduknya Mama Leo, di antara mereka ada meja tamu.“Dengar Mira, mulai sekarang, jangan pernah berhubungan lagi dengan Leo! Hutang Bapakmu, aku anggap lunas, perjodohan ini tidak perlu dilanjutkan lagi,” ucap Mama Leo.Tubuh Mama Leo disandarkan pada kursi, tangannya disilangkan. “Aku tahu, dari awal kamu memang tidak menyukai anakku. Awal pertama melihatnya, kamu seperti jijik dengan tompel di wajahnya. Seperti yang dilakukan orang-orang selama ini terhadapnya. Sejak kecil, Leo memang sering dihina dengan kekurangnya itu, namun bagiku, anakku sempurna.”“Siapapun yang menyakiti anakku, akan berurusan langsung denganku.” Mata Mama leo melebar menajam seperti akan menerkam mangsa.“Tapi ... sekarang, saya tidak melihat tompelnya sebagai kekurangan tante ... saya ... mencintai Leo,” sahut Mira, wajahnya sangat serius.“Benarkah?!” tanya Ibu, Bapak dan Mama Leo bersamaan, serasa tidak percaya.“Tidak mungkin. Kamu hanya mencintai hartanya saja ‘kan? Sama seperti gadis-gadis lain yang berusaha mendekatinya?!” teriak Mama Leo menunjukkan amarahnya kepada Mira.“Saya bicara sejujurnya, tante.” Jawab Mira.“Baiklah, pintar juga kamu. Berapa yang kamu minta?” Mama Leo membuka tasnya, mengeluarkan kertas cek dan polpen.“Saya tidak serendah itu tante, saya benar benar serius mencintai anak tante.”“Oh ... masih kurang? Mobil, rumah, cepat katakan apa yang kamu minta, Mira? Setelah itu jangan ganggu putraku lagi!”“Maaf sekali lagi, tapi saya sungguh-sungguh dengan perasaan saya tante.” Mira memegang dadanya, sebagai petunjuk keseriusan ucapannya.Bruk!Mama Leo memukul meja didepannya penuh emosi, karena merasa tidak berhasil membujuk Mira.“Baik, akan aku buktikan bahwa yang kamu katakan adalah kebohongan semata, tunggu saja! Kamu dan gadis-gadis itu, sama saja!” teriak Mama Leo segera berdiri dari duduknya, meninggalkan rumah Mira, diikuti oleh dua lelaki yang setia berdiri di belakangnya.Bapak, Ibu dan Mira diam terpaku melihat kepergian Mama Leo. Tiba-tiba Bapak memecahkan keheningan. “Apa benar kamu sudah mencintai Leo, Mir?” tanya Bapak lugu.“Seharusnya kamu tadi terima saja tawaran mamanya Leo, selain kita bebas hutang, kita bisa kaya raya,” hibur Bapak dengan tawa datarnya.“Bapak ... !” teriak Ibu dan Mira geregetan.“Bapak bercanda.” Tawa Bapak lepas.Ibu dan Mira akhirnya sama-sama melepas tawa. “Apapun yang kamu lakukan, kami selalu mendukungmu, Mir,” kata Bapak selanjutnya, membuat mata Mira berkaca kaca. “Terima kasih Pak, Bu.” Mira memeluk kedua orang tuanya penuh haru.Waktu yang sama, di rumah Leo. Dia berbaring di kamar, dengan kondisi semakin lemah. Pikirannya tidak tenang. Dia sangat merindukan Mira, tapi di sisi lain, dia ingat kalau mamanya sudah tidak merestui hubungan mereka berdua. Lelaki gagah bertompel itu tahu benar, apapun akan dilakukan oleh mamanya untuk melindungi dirinya.“Apa yang akan mama lakukan kepada Mira?” gumam Leo.Sesaat kemudian, mamanya datang menghentikan lamunannya.“Tadi, Mama ke rumah Mira,” kata Mama Leo.“Terus ... ?” tanya Leo penasaran.“Mama memberikannya uang untuk menjauh darimu.”“Apa dia menerimanya?”“Tentu saja, seperti memberikan rumput ke kambing. Dia menerimanya dengan suka cita.” Mama Leo membusungkan dadanya, seolah-olah menunjukkan kepada Leo bahwa apa yang dilakukannya selalu berhasil.Leo berbaring lemas mendengar cerita dari mamanya.“Baiklah Leo, kamu sudah bebas dari jeratan gadis licik itu. Awalnya akan terasa sakit, lama kelamaan kamu akan terbiasa. Semua gadis yang mendekatimu itu sama, hanya melihat hartamu saja.” Mama Leo keluar dari kamar kemudian menutup pintu.Leo tidak mendengarkan ucapan mamanya yang terakhir. Dia terbawa perasaan sedih yang mendalam terhadap Mira, dadanya terasa ditusuk-tusuk sembilu, merasa dibodohi dan dibohongi olehnya.“Perhatiannya saat aku sakit. Apakah semua itu bohong?” batin Leo. Hatinya perih tidak terkira.“Tidak ... tidak mungkin!“ teriak Leo, dia memegang kepalanya yang sakit dan tidak tenang itu.Setiap hari Leo meminum obatnya dengan teratur, namun tubuhnya bukannya semakin sehat, sebaliknya, malah semakin lemah saja. Pembantunya, Bibi Jum yang telah merawat Leo dari bayi, merasa sangat khawatir dengan kondisi kesehatannya. Dia memahami betul kondisi fisik maupun mental majikannya itu. Selama ini, Bibi Jum selalu menjadi tempat keluh kesah bagi lelaki gagah bertompel itu. “Jangan terlalu dipikirkan, nanti tidak sembuh-sembuh. Kasihan, Mama dan Papa khawatir terus," ucap Bibi Jum sambil memijat kaki Leo.“Iya, Bi. Ini sudah tidak dipikir,” jawab Leo pelan.“Bibi tidak bisa dibohongi, sudah hafal dengan sifat Mas Leo dari kecil. Sebenarnya, apa masih memikirkan Mira?”Leo menarik nafas panjang dan pelan, kemudian dilepaskan. “Iya, Bi. Sedih kalau diingat, dada ini rasanya sakit sekali.”Leo kemudian terdiam sejenak, tiba-tiba muncul ide di kepalanya. “Bi, aku masih ragu dengan perkataan mama, Bibi mau tidak membantuku?”“Membantu bagaimana Mas Leo? Apakah Bibi bisa melakukannya?”“Bisa, Bi.” Leo berusaha meyakinkan Bibi Jum. Dia terduduk dengan semangat.“Untuk apa Mas Leo?”“Untuk membuktikan, apakah benar Mira tidak memiliki perasaan apa-apa terhadapku?”“Baiklah. Apa yang harus Bibi lakukan?”“Begini, Bi!” Leo mendekati telinga Bibi dan menceritakan rencananya.Wajah Mira menegang, terpaku dengan bercak merah itu. Namun, dia segera menyelesaikan memandikan bayinya. Takut kalau terlalu lama kena air, sang bayi bisa sakit karena masuk angin.Setelah selesai memakaikan baju, dia menggendong anaknya dengan wajah panik dan turun ke lantai dua menuju ke kamar Papa Leo. Kebetulan saat itu Mama Leo sedang ada arisan. “Pa, Mira minta tolong anterin ke dokter anak, ya?”“Lo, ada apa Mira? Apa cucu Papa sakit demam?”“Nanti aja jelasinnya ya, Pa,” jawab Mira dengan wajah panik dan cemas.Papa langsung menjawab, “Oke, oke. Ayo, Mir.”Mereka berdua kemudian berjalan cepat menuju ke mobil. Seorang sopir pribadi Papa Leo yang selalu siaga, telah berada di depan mobil dan ikut bergerak cepat mengantarkan majikannya. “Ke Dokter Anak terdekat, ya!” perintah Papa Leo.“Siap, Pak.”Akhirnya me
Papa dan Mama Leo tercengang menyaksikan kepergian anak semata wayangnya. Papa Leo sampai ikut melongo, bingung harus berbuat apa. “Kita harus ngomong apa ke Mira, Ma?” Mama menghela napas dengan kasar. “Mama sendiri pusing rasanya, Pa. Terus setelah ini gimana?” “Lebih baik kita bicara jujur saja, Ma. Anak itu, masih saja emosional apalagi menyangkut Mira,” jelas Papa Leo sambil menggandeng pundak Mama Leo menuju ke kamar Mira. Di salah satu kamar terbaik Rumah Sakit Bersalin itu, Mira mulai pulih keadaannya. Mungkin karena bantuan selang infus dan segala yang dimasukkan ke dalam selang itu, oleh Dokter Spesialis Kandungan dan juga bidannya. Sedangkan, sang bayi memang belum berada di sisinya karena masih dalam pengawasan. Mama dan Papa akhirnya masuk juga ke dalam ruangan itu. Mereka kemudian berdiri berbarengan di sebelah Mira. “Selamat, ya. Bayimu tampan sekali,” ucap Mama dengan senyuman bangga. “Makasih, Ma,” jawab Mi
“Sebentar-sebentar.” Mira mendekati suaminya dan merangkulnya dari belakang. “Kalau mau pingsan sekarang. Aku sudah siap.” “Beneran sudah siap? Oke, aku pingsan sekarang, ya?” Leo menjatuhkan tubuhnya di dekapan Mira sambil menutup mata. Itu pun dengan kekuatan separuh. Mira berusaha menahannya dengan sekuat tenaga. “Argh ... aku gak kuat!” teriaknya dengan manja. Leo terkekeh melihat ulah istrinya sambil mengembalikan posisinya untuk duduk kembali. “haha ... enggak pingsan lah. Ini ‘kan kabar bahagia, sayang.” Leo menarik tangan istrinya yang sedang melingkar di perutnya agar berada di dekapannya. “Selamat ya, sayang. Semoga sehat terus sampai waktu melahirkan nanti,” doa Leo sambil mengelus perut Mira. Istrinya mengamini sambil mengangguk dengan wajah tersenyum bahagia. Senyuman itu sama sekali tidak memudar sejak tadi. Sebulan yang lalu, Leo membimbing Mira untuk mau berhubungan badan lagi. Awalnya Mira sanga
“Siapa, Pak?” tanya bagian keamanan itu penasaran. “Benar ... saya yakin dari postur tubuhnya. Dia Noval. Mantan pacar istri saya.” “Apa Bapak punya fotonya. Agar kami bisa berjaga-jaga kalau dia datang lagi ke sini.” “Tidak. Saya tidak memilikinya. Baiklah, Pak. Terima kasih kerja samanya.” “Tentu, apa pun itu. Kalau bisa membantu.” Dahi Leo mulai berkerut samar. “Si sialan itu tidak kapok juga. Awas, kamu.” Sambil berlalu tangannya semakin mengepal karena menahan marah. Selama di Rumah Sakit Jiwa, Mira mengalami perkembangan yang baik. Dia sudah tidak depresi lagi. Sudah bisa menerima kenyataan kalau apa yang telah terjadi dengannya adalah sebuah takdir yang harus di sikapi dengan bijaksana. Sikap sabar dan kasih sayang suaminya juga yang telah membuatnya bisa menerima kenyataan dengan baik. Setelah tambahan di sana selama satu minggu. Akhirnya, “Mira, ada kabar bagus hari ini.” “Apa itu, Leo?”
Teriakan Leo membuat Noval terpaksa keluar dengan dahi mengernyit. “Tutup mulutmu. Kau bisa membuat semua orang berkumpul di sini.” “Benar dugaanku. Apa kamu yang telah menabrak istriku, hah?!” teriak Leo penuh luapan amarah sambil menggerak-gerakkan pagar rumah itu. Ibnu langsung membuka pagarnya. Dia dengan wajah dibuat seolah-olah tidak mengetahui apa-apa dan berusaha ramah. Mendekati Leo. “Ada apa denganmu, Pak. Kalau mau bertanya langsung ke dalam saja. Jangan di luar seperti ini.” Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Leo. Dia langsung masuk ke dalam pagar rumah itu dan berjalan menuju ke Noval. Menarik kerah bajunya. Matanya membulat garang dan giginya gemeretak. Tangannya yang dari tadi mengepal menahan amarah akhirnya mengayun keras tepat di pipi kiri Noval. Dia meringis kesakitan dan duduk terjatuh ke lantai. Wanita cantik seksi dan Ibnu teman Noval, hanya bisa berdiri diam di sisinya. Leo memiliki postur tubuh lebih t
Suara teriakan Mira yang parau dan dalam mengagetkan seisi ruangan. Hatinya sangat perih. Tangannya yang gemetaran berada di atas perutnya. Dia menangis tersedu-sedu. “Anakku! Anakku!” teriaknya. Seolah tidak bisa menerima kenyataan kalau anak yang selama ini berada dalam perutnya sudah tidak ada lagi. Semua anggota keluarga mengerubungi Mira kembali. Mereka saling pandang dengan wajah penuh tanya tentang apa yang telah terjadi. Sejak keluar dari ruangan dokter itu, Leo tidak bercerita kepada siapa pun di sana. Kalau anak dalam kandungan Mira sudah tidak bisa tertolong. Dia takut mengagetkan mereka semua. Apalagi Ibu Mira yang syok melihat putrinya seperti itu. Bayangkan saja, apa yang akan terjadi jika mereka semua tahu yang sebenarnya. Menanggapi kecelakaan yang menimpa Mira saja, sudah membuat mereka syok, apalagi lebih dari itu. “Ada apa, Leo?” tanya Mama Leo penasaran. Namun teriakan Mira dan gerakan tangan di perutnya membuat para oran