Share

Rintangan Pertama

Mira terjatuh tersungkur di lantai, ternyata dia kelelahan karena seharian tidak bisa tidur, mengkhawatirkan kesehatan Leo.

Mira benar-benar merasa bersalah karena telah bersikap tidak baik terhadap lelaki gagah bertompel itu selama ini, yang ternyata telah menjadi penyelamatnya. Apalagi, ketika tiba di rumah Leo, mamanya menamparnya dan memberikan penjelasan tentang sakit Leo, membuatnya semakin jatuh dalam penyesalan yang dalam, dan akhirnya tumbang.

“Bangun, Mira.” Leo menggerakkan badan Mira perlahan, namun tidak terbangun juga.

Leo meminta tolong satpam dan supirnya untuk membawa Mira ke dalam kamar tamu di lantai dua rumahnya.

Leo ingin merawat Mira, tapi mamanya melarangnya karena dia sendiri butuh perawatan dari dokter. Akhirnya dia menuruti permintaan mamanya, dengan syarat, setelah dari dokter, dirinya boleh merawat Mira. Mamanya menyetujui permintaan Leo, walaupun dengan berat hati.

Dokter mendiagnosa Leo terkena penyakit tifus. Lelaki gagah itu menerima obat dan beberapa vitamin untuk kesembuhannya. Setelah meminumnya dan badannya terasa lebih enak, dia berniat menjenguk Mira.

Mama Leo sudah berada di kamar tamu sebelum Leo datang. Dia berusaha membangunkan Mira. “Mir, Mira bangunlah!” teriaknya sambil sedikit membungkuk untuk menggerakkan badan Mira.

Mira mulai membuka matanya yang sangat berat, dikedipkan matanya berkali-kali agar bisa terbangun.

“Baguslah, kamu sudah bangun. Sekarang, bergegaslah pulang. Jangan coba dekati anakku lagi,” pinta Mama Leo sambil berdiri dan menyilangkan tangannya dengan angkuh di depan Mira.

Mira berusaha bangun dengan cepat dalam kondisi tubuhnya yang masih lemah. “Bagaimana kabar Leo sekarang, apa dia baik-baik saja?” tanya Mira khawatir.

Mama Leo mendekati Mira dengan tatapan marah, nafasnya bergerak cepat karena amarah, diangkatnya tubuh Mira hingga berdiri, dengan menekan kedua lengan gadis manis itu ke atas. “Aku sudah bilang, jangan dekati anakku lagi, apalagi hanya sekedar bertanya kabarnya, paham kamu?!” bentak Mama Leo.

Mama Leo segera meminta satpam untuk mengeluarkan Mira dari rumahnya. Saat satpam yang membawa Mira melangkahkan kakinya, Leo datang.

“Ma, ada apa ini? Mira masih sakit, biarkan dia istirahat dulu di sini.” Leo hendak mendekati Mira, namun mamanya menghadang.

“Biarkan dia pergi Leo,” kata Mama Leo sambil menggangukkan kepalanya kepada satpam, tanda untuk segera mengeluarkan Mira. 

Mira berusaha melawan, namun cengkeraman tangan satpam sangat kuat, sehingga dia tidak bisa berkutik. Gadis manis itu hanya bisa memandang Leo yang semakin lama semakin jauh dari pandangannya, dengan tatapan memelas.

Leo berusaha menerobos tubuh mamanya, namun tubuhnya masih terlalu lemah, sehingga dia hanya bisa terdiam memandang Mira yang semakin menghilang dari pandangannya.

***

Keesokan harinya, di pagi yang cerah, Mama Leo bersama dengan dua lelaki tinggi besar, datang ke rumah Mira. Kedatangannya disambut hangat oleh kedua orang tua Mira, karena Mira tidak menceritakan kejadian kemarin malam di rumah Leo.

Mira keluar kamar dengan hati cemas. Dia duduk di kursi, yang berhadapan langsung dengan duduknya Mama Leo, di antara mereka ada meja tamu.

“Dengar Mira, mulai sekarang, jangan pernah berhubungan lagi dengan Leo! Hutang Bapakmu, aku anggap lunas, perjodohan ini tidak perlu dilanjutkan lagi,” ucap Mama Leo.

Tubuh Mama Leo disandarkan pada kursi, tangannya disilangkan. “Aku tahu, dari awal kamu memang tidak menyukai anakku. Awal pertama melihatnya, kamu seperti jijik dengan tompel di wajahnya. Seperti yang dilakukan orang-orang selama ini terhadapnya. Sejak kecil, Leo memang sering dihina dengan kekurangnya itu, namun bagiku, anakku sempurna.”

“Siapapun yang menyakiti anakku, akan berurusan langsung denganku.” Mata Mama leo melebar menajam seperti akan menerkam mangsa.

“Tapi ... sekarang, saya tidak melihat tompelnya sebagai kekurangan tante ... saya ... mencintai Leo,” sahut Mira, wajahnya sangat serius.

“Benarkah?!” tanya Ibu, Bapak dan Mama Leo bersamaan, serasa tidak percaya.

“Tidak mungkin. Kamu hanya mencintai hartanya saja ‘kan? Sama seperti gadis-gadis lain yang berusaha mendekatinya?!” teriak Mama Leo menunjukkan amarahnya kepada Mira.

“Saya bicara sejujurnya, tante.” Jawab Mira.

“Baiklah, pintar juga kamu. Berapa yang kamu minta?” Mama Leo membuka tasnya, mengeluarkan kertas cek dan polpen.

“Saya tidak serendah itu tante, saya benar benar serius mencintai anak tante.”

“Oh ... masih kurang? Mobil, rumah, cepat katakan apa yang kamu minta, Mira? Setelah itu jangan ganggu putraku lagi!”

“Maaf sekali lagi, tapi saya sungguh-sungguh dengan perasaan saya tante.” Mira memegang dadanya, sebagai petunjuk keseriusan ucapannya.

Bruk!

Mama Leo memukul meja didepannya penuh emosi, karena merasa tidak berhasil membujuk Mira.

“Baik, akan aku buktikan bahwa yang kamu katakan adalah kebohongan semata, tunggu saja! Kamu dan gadis-gadis itu, sama saja!” teriak Mama Leo segera berdiri dari duduknya, meninggalkan rumah Mira, diikuti oleh dua lelaki yang setia berdiri di belakangnya.

Bapak, Ibu dan Mira diam terpaku melihat kepergian Mama Leo. Tiba-tiba Bapak memecahkan keheningan. “Apa benar kamu sudah mencintai Leo, Mir?” tanya Bapak lugu.

“Seharusnya kamu tadi terima saja tawaran mamanya Leo, selain kita bebas hutang, kita bisa kaya raya,” hibur Bapak dengan tawa datarnya.

“Bapak ... !” teriak Ibu dan Mira geregetan.

“Bapak bercanda.” Tawa Bapak lepas.

Ibu dan Mira akhirnya sama-sama melepas tawa. 

“Apapun yang kamu lakukan, kami selalu mendukungmu, Mir,” kata Bapak selanjutnya, membuat mata Mira berkaca kaca. 

“Terima kasih Pak, Bu.” Mira memeluk kedua orang tuanya penuh haru.

Waktu yang sama, di rumah Leo. Dia berbaring di kamar, dengan kondisi semakin lemah. Pikirannya tidak tenang. Dia sangat merindukan Mira, tapi di sisi lain, dia ingat kalau mamanya sudah tidak merestui hubungan mereka berdua. Lelaki gagah bertompel itu tahu benar, apapun akan dilakukan oleh mamanya untuk melindungi dirinya.

“Apa yang akan mama lakukan kepada Mira?” gumam Leo.

Sesaat kemudian, mamanya datang menghentikan lamunannya.

“Tadi, Mama ke rumah Mira,” kata Mama Leo.

“Terus ... ?” tanya Leo penasaran.

“Mama memberikannya uang untuk menjauh darimu.”

“Apa dia menerimanya?”

“Tentu saja, seperti memberikan rumput ke kambing. Dia menerimanya dengan suka cita.” Mama Leo membusungkan dadanya, seolah-olah menunjukkan kepada Leo bahwa apa yang dilakukannya selalu berhasil.

Leo berbaring lemas mendengar cerita dari mamanya.

“Baiklah Leo, kamu sudah bebas dari jeratan gadis licik itu. Awalnya akan terasa sakit, lama kelamaan kamu akan terbiasa. Semua gadis yang mendekatimu itu sama, hanya melihat hartamu saja.” Mama Leo keluar dari kamar kemudian menutup pintu.

Leo tidak mendengarkan ucapan mamanya yang terakhir. Dia terbawa perasaan sedih yang mendalam terhadap Mira, dadanya terasa ditusuk-tusuk sembilu, merasa dibodohi dan dibohongi olehnya.

“Perhatiannya saat aku sakit. Apakah semua itu bohong?” batin Leo. Hatinya perih tidak terkira.

“Tidak ... tidak mungkin!“ teriak Leo, dia memegang kepalanya yang sakit dan tidak tenang itu.

Setiap hari Leo meminum obatnya dengan teratur, namun tubuhnya bukannya semakin sehat, sebaliknya, malah semakin lemah saja. Pembantunya, Bibi Jum yang telah merawat Leo dari bayi, merasa sangat khawatir dengan kondisi kesehatannya. Dia memahami betul kondisi fisik maupun mental majikannya itu. Selama ini, Bibi Jum selalu menjadi tempat keluh kesah bagi lelaki gagah bertompel itu. “Jangan terlalu dipikirkan, nanti tidak sembuh-sembuh. Kasihan, Mama dan Papa khawatir terus," ucap Bibi Jum sambil memijat kaki Leo.

“Iya, Bi. Ini sudah tidak dipikir,” jawab Leo pelan.

“Bibi tidak bisa dibohongi, sudah hafal dengan sifat Mas Leo dari kecil. Sebenarnya, apa masih memikirkan Mira?”

Leo menarik nafas panjang dan pelan, kemudian dilepaskan. “Iya, Bi. Sedih kalau diingat, dada ini rasanya sakit sekali.”

Leo kemudian terdiam sejenak, tiba-tiba muncul ide di kepalanya. “Bi, aku masih ragu dengan perkataan mama, Bibi mau tidak membantuku?”

“Membantu bagaimana Mas Leo? Apakah Bibi bisa melakukannya?”

“Bisa, Bi.” Leo berusaha meyakinkan Bibi Jum. Dia terduduk dengan semangat.

“Untuk apa Mas Leo?”

“Untuk membuktikan, apakah benar Mira tidak memiliki perasaan apa-apa terhadapku?”

“Baiklah. Apa yang harus Bibi lakukan?”

“Begini, Bi!” Leo mendekati telinga Bibi dan menceritakan rencananya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status