Masuk“Wajar, Bos. Tapi Anda juga manusia. Punya kebutuhan emosional juga. Menikah bukan berarti mengorbankan karier. Justru bisa jadi penyeimbang hidup,” ucap Wira sambil menyelip di jalan protokol Jakarta yang mulai padat.
Arnold diam sejenak, lalu bertanya, “Menurut kamu, bagaimana sih ciri-ciri perempuan yang cocok buat jadi istri?” Wira tertawa pelan. “Ha-ha-ha. Wah, kalau itu mungkin tiap orang beda, Bos. Tapi buat saya, yang penting dia bisa jadi pendamping, bukan beban. Bisa diajak ngobrol, saling dukung, dan punya nilai hidup yang sejalan.” Arnold mengangguk setuju. “Kedengarannya sederhana, tapi kadang susah nyarinya.” “Susah kalau dicari, Bos. Tapi kadang datang sendiri, tanpa dicari. Mungkin lewat pertemuan seperti yang Nyonya Dina rencanakan.” “Hmm,” gumam Arnold sambil kembali memandangi jalanan. “Aku belum pernah dijodohin sebelumnya. Biasanya aku yang milih sendiri.” “Anda bisa tetap memilih, Bos,” ujar Wira dengan tenang. “Pertemuan itu kan hanya awal. Yang menentukan akhir tetap Anda sendiri.” Arnold menatap Asistennya dengan pandangan penuh pertimbangan. “Kamu bijak juga ya ternyata.” Wira tertawa ringan. “He-he-he. Saya cuma sopir dan asisten pribadi Anda, Bos. Tapi saya juga manusia biasa yang banyak dengar cerita dari orang-orang.” “Kadang kamu kayak konsultan pribadi,” ucap Arnold sambil tersenyum tipis. Mobil pun melaju melewati gedung-gedung tinggi, menuju distrik bisnis tempat kantor pusat AZ Corp berada. Setibanya di depan gedung utama, satpam memberi hormat dan langsung membukakan pintu gerbang otomatis. Wira menepikan mobil tepat di depan lobi. Begitu pintu dibuka, petugas keamanan menyambut dengan senyum dan salam hormat. “Selamat pagi, Bos Arnold.” Arnold mengangguk sopan. “Pagi.” Sang CEO keluar dari mobil dan berjalan masuk ke gedung dengan percaya diri, jasnya mengepak mengikuti langkah kakinya yang mantap. Di lobi, karyawan-karyawan sudah mulai lalu-lalang, dan semua memberikan salam hormat saat melihat sang CEO masuk. Wira berdiri di samping mobil, menatap sosok Arnold yang kini telah melangkah masuk ke dalam lift khusus eksekutif. Dia tersenyum tipis, lalu berkata pada dirinya sendiri, “Semoga pertemuan nanti benar-benar jadi awal cerita baru buat Bos Arnold.” Sementara itu, di dalam lift, Arnold berdiri sambil menatap pantulan dirinya di dinding logam mengkilap. Wajahnya tampak tenang, tapi matanya menunjukkan sedikit rasa penasaran, tentang sosok gadis bernama Marsha yang mungkin saja, siapa tahu, akan jadi bagian penting dalam hidupnya. Pagi yang dimulai dengan sarapan dan obrolan keluarga itu kini telah membuka babak baru dalam hidup Arnold. Dan meski dia masih menyimpan keraguan, setidaknya, dirinya sudah mengambil satu langkah kecil yaitu membuka diri pada kemungkinan baru untuk sebuah perjodohan. Keesokkan harinya, Cuaca di Kota Jakarta begitu cerah. Sinar matahari menembus kaca jendela besar salon mewah di kawasan Senopati, memantulkan kilau cahaya ke lantai marmer putih mengkilap. Di salah satu sudut ruangan yang tenang dan nyaman, dua wanita paruh baya tengah menikmati waktu bersama. Nyonya Dina, ibunda dari Arnold Zafazel, tampak anggun dalam balutan blouse krem dan rok batik modern, duduk di kursi perawatan kaki sambil tersenyum hangat kepada sahabat lamanya, Nyonya Bertha, yang duduk di sebelahnya dengan rambut disanggul rapi. Keduanya tampak akrab, tertawa bersama, dan sesekali bercanda mengenang masa-masa kuliah dulu di Universitas Indonesia. “He-he-he. Masih ingat nggak, Ber, waktu kita kabur dari kelas Ekonomi Pembangunan cuma buat beli es doger di kafetaria kampus?” ujar Nyonya Dina sambil tertawa geli. “Ya ampun, Din! Jangan diungkit-ungkit dong! Tapi iya sih, seru banget zaman itu,” balas Nyonya Bertha dengan ekspresi nostalgia. “Sekarang kita udah jadi ibu-ibu yang sibuk mikirin jodoh anak, ya?” Ucapan itu langsung membuat Nyonya Dina menoleh dan tersenyum lebar. “Ngomong-ngomong soal jodoh anak, aku memang ada sesuatu yang mau aku omongin, Ber,” ucapnya serius tapi lembut. Nyonya Bertha menaikkan alisnya sedikit, penasaran. “Oh, ya? Apa tuh? Cerita dong.” Sambil merapikan ujung selimut kecil yang menutupi lututnya, Nyonya Dina berkata, “Aku mau menjodohkan Arnold.” Seketika mata Nyonya Bertha membulat sedikit. “Arnold? Wah, anakmu yang CEO itu?” Nyonya Dina mengangguk bangga. “Iya. Tapi kamu tahu sendiri, Arnold itu terlalu fokus kerja. Sampai sekarang belum punya pasangan. Padahal teman-teman dekatnya sudah pada menikah.” Nyonya Bertha mengangguk paham. “Sama banget kayak Marsha. Anak perempuan satu-satunya, sibuk banget sama kantornya. Pulang malam terus. Aku kadang sedih, tapi ya … dia memang ambisius dari dulu.” “Makanya, Ber. Aku kepikiran, bagaimana kalau Arnold kita jodohkan dengan Marsha?” ucap Nyonya Dina langsung. Suasana seketika hening selama beberapa detik, sebelum akhirnya Nyonya Bertha tersenyum lebar dan menepuk tangan sahabatnya. “Dina, kamu serius?” tanyanya dengan mata berbinar. “Tentu saja aku serius,” jawab Nyonya Dina mantap. “Aku pikir, daripada dikenalin sama orang yang nggak jelas asal-usulnya, lebih baik sama anak sahabat sendiri yang aku tahu latar belakang dan keluarganya.” Nyonya Bertha terlihat sumringah. “Aku terharu lho kamu percaya sama Marsha. Tapi jujur, aku sangat setuju. Apalagi Marsha juga … ya, seperti Arnold, belum punya siapa-siapa sampai sekarang.” “Kamu yakin Marsha masih jomlo?” tanya Nyonya Dina sambil tersenyum penuh harap. “Yakin banget,” jawab Bertha. “Aku malah sering godain dia, kapan kenalin pacar ke rumah. Tapi jawabannya selalu, Mami, belum waktunya.” Mereka berdua pun tertawa bersama. “Ha-ha-ha!” Lalu, Nyonya Dina berkata, “Arnold kemarin aku tanya juga, dan dia bilang memang belum ada hubungan spesial. Tapi dia nggak keberatan kalau dikenalin. Asalkan pelan-pelan, nggak langsung buru-buru nikah.” “Bagus dong. Marsha juga orangnya realistis. Nggak suka yang instan,” ujar Bertha dengan bangga. Seorang beautician datang menghampiri mereka, menawarkan teh herbal hangat. Kedua ibu itu menerima dengan senyum hangat dan melanjutkan obrolan mereka sambil menyeruput perlahan. “Aku bisa bayangin mereka berdua duduk bareng, ngobrol soal pekerjaan dan masa depan,” ucap Nyonya Dina pelan. “Iya, pasti seru. Dua-duanya punya ambisi, sama-sama profesional, dan siapa tahu mereka memang berjodoh,” timpal Nyonya Bertha sambil melipat tangan di pangkuan. “Kalau begitu, bagaimana jika kita atur pertemuan pertama mereka? Mungkin makan malam santai, kita berdua juga ikut, biar suasana cair dulu?” usul Nyonya Dina. “Setuju! Biar nggak canggung. Aku bisa bilang ke Marsha nanti malam. Kamu juga bicara ke Arnold ya,” sahut Nyonya Bertha semangat. Nyonya Dina tersenyum lega. “Aku senang kamu setuju, Ber. Aku hanya ingin yang terbaik untuk anakku. Dan aku percaya, kamu juga begitu untuk Marsha.” “Pastinya,” jawab Nyonya Bertha sambil mengelus tangan sahabatnya. “Siapa tahu, kita berdua nanti bisa jadi besan!” Mereka pun tertawa bersama, penuh kebahagiaan dan harapan. Di salon mewah itu, dua sahabat lama tak hanya mengenang masa lalu, akan tetapi juga memulai babak baru yang bisa saja menyatukan dua keluarga melalui ikatan cinta anak-anak mereka.Langit Jakarta siang itu cerah, meski sedikit mendung menggantung. Di tengah hiruk pikuk kota, Plaza Indonesia tetap ramai seperti biasa. Namun di sebuah sudut restoran mewah di lantai tiga, suasana terasa jauh lebih tenang dan lebih personal. Di sinilah Arnold dan Marsha duduk berhadapan, menatap satu sama lain dengan senyum penuh arti.Arnold, dengan jas abu lembut dan kemeja putih tanpa dasi, menatap kekasihnya dengan hangat. Marsha, tampil anggun dalam blus satin biru muda dan rok putih selutut, menyibakkan rambut panjangnya yang lurus ke belakang telinga. Mereka terlihat sangat serasi. Sejak mengumumkan hubungan mereka kepada orang tua masing-masing seminggu lalu, keduanya tampak lebih terbuka, santai, dan semakin lengket."Terima kasih udah nyempetin waktumu untukku, Sayang," ucap Marsha sambil menyesap es lemon tea-nya. "Aku tahu kamu lagi hectic banget minggu ini."Arnold tersenyum, menyentuh tangan Marsha di atas meja. "Untuk kamu, aku selalu ada waktu. Rapat bisa dijadwal u
Arnold tertawa. “Ha-ha-ha. Ingat banget. Kamu marah karena aku makan bekal kamu.”“Dan kamu nggak minta maaf!” balas Marsha dengan nada menggoda.Arnold mendekat, mencubit hidung Marsha. “Sekarang aku bayar lunas, dengan cinta.”“Ha-ha-ha!”Mereka tertawa bersama, kemudian berbaring berdua sambil menatap langit.“Kalau kamu lagi sama aku, kamu ngerasa apa, Sha?” tanya Arnold tiba-tiba.Marsha menoleh.“Aku ngerasa bahagia banget.”Arnold memejamkan mata, menyimpan kalimat itu dalam hatinya.Di suatu Senin,saat sedang sibuk dengan pekerjaannya, Marsha mendapat kiriman paket ke kantornya. Dia membukanya dan menemukan sebuah scrapbook berisi foto-foto mereka saat kecil, saat reuni keluarga, dan beberapa cetakan foto dari kencan terakhirnya dengan Arnold.Di halaman terakhir, tertulis,“Setiap momen dengan kamu, selalu layak dikenang. Terima kasih sudah jadi cahaya hari-hariku, Marsha.”Dari Arnold.Marsha terdiam sejenak. Matanya berkaca-kaca. Dia langsung menelepon kekasihnya.“Halo?
Malam itu, angin laut berhembus lembut di tepi pantai Ancol. Di lantai atas sebuah restoran mewah bernuansa mediterania, lampu-lampu gantung kecil berkelip seperti bintang. Lilin-lilin tertata di setiap meja, memberikan cahaya temaram yang menciptakan suasana hangat dan romantis. Di tengah ruangan semi-terbuka itu, sebuah panggung kecil berdiri, tempat penyanyi akustik menyanyikan lagu-lagu cinta dengan suara yang merdu.Marsha Livia berdiri mematung saat melihat seluruh pengaturan itu. Malam ini, Arnold mengajaknya makan malam dengan alasan “refreshing setelah kerja.” Tapi jelas sekali ini bukan makan malam biasa.“Arnold,” ucap Marsha pelan, menatap dekorasi penuh bunga peony pink yang mengelilingi meja mereka.Arnold tersenyum hangat. Dia mengenakan kemeja putih dengan jas biru gelap, rambutnya tertata rapi. Tatapannya teduh, tapi ada gugup yang disembunyikan di balik senyumnya.“Lo suka, Sha?” tanya Arnold, berjalan mendekatinya sambil menyodorkan satu tangkai peony besar ke tanga
Arnold menoleh ke luar jendela, senyumnya makin lebar.“Giliran gue jatuh cinta beneran, ya malah sama temen TK sendiri,” ucapnya sambil menggeleng. “Tapi Marsha beda, dia punya cara bicara yang tenang, sopan, tapi juga hangat. Aura dia tuh, adem banget.”Tiba-tiba suara notifikasi dari ponselnya terdengar. Arnold melirik ke layar yang terhubung ke sistem mobil, ada satu pesan dari Marsha.Arnold menekan tombol pada stir, mengaktifkan fitur voice-reader.“Makasih ya, Nold, hari ini bener-bener menyenangkan. Aku masih senyum-senyum sendiri nih. Hati-hati di jalan, jangan ngebut.”Arnold menggigit bibir bawahnya dan tertawa pelan.“Ha-ha-ha. Duh, kamu bikin aku makin nggak bisa tidur malam ini, Sha.”Arnold pun membalas cepat via suara,“Sama-sama, Sha. Aku juga senyum terus di mobil. Dengerin lagu-lagu cinta nih gara-gara kamu. Udah mau nyampe rumah. Nanti kabarin ya kalau kamu udah tidur. Sweet dreams.”Setelah mengirimkan balasan, Arnold menoleh sejenak ke arah kaca spion, lalu ke l
Malam semakin larut ketika mobil sedan hitam yang dikendarai Arnold berhenti perlahan di depan sebuah rumah megah bergaya klasik di Kawasan Gading Serpong. Lampu taman menyala lembut, menerangi jalan setapak menuju pintu utama rumah Keluarga Livia.Di dalam mobil, Marsha tersenyum sambil menoleh ke Arnold.“Terima kasih untuk malam ini, Nold. Aku benar-benar senang.”Arnold membalas senyum itu dengan hangat. “Aku juga, Sha. Rasanya seperti mimpi bisa menghabiskan waktu sama kamu.”Marsha mengangguk pelan, kemudian membuka pintu mobil. Namun sebelum dia keluar, Arnold berkata, “Aku boleh antar kamu sampai pintu?”Marsha tertawa pelan. “He-he-he. Boleh banget. Tapi hati-hati ya, jangan sampai Mami suruh kamu masuk sekalian.”Arnold ikut tertawa. “Ha-ha-ha. Kalau disuruh masuk, ya aku masuk dong. Siapa tahu dapat teh hangat.”Mereka lalu berjalan berdampingan menuju pintu rumah. Belum sempat Marsha mengetuk, pintu itu terbuka sendiri. Nyonya Bertha berdiri di sana dengan senyum lebar
Arnold memutar tubuhnya menghadap Marsha. “Itu aku?”Marsha hanya mengangguk kecil, pipinya masih bersemu merah.Untuk beberapa saat, mereka hanya saling menatap, dan dalam diam itu, ada sesuatu yang tak terucap tapi sangat terasa, yaitu benih cinta yang perlahan tumbuh, disirami kenangan masa lalu dan kehangatan saat ini.“Aku ingin mengenal kamu lebih dalam, Marsha,” ucap Arnold mantap.“Bukan cuma karena orang tua kita berharap begitu, tapi karena aku sendiri ingin.”Marsha mengangguk dengan mata berkaca-kaca. “Aku juga, Arnold. Aku mau kita mulai dari awal pelan-pelan, tapi pasti.”Arnold tersenyum, lalu berdiri dan mengulurkan tangan. “Kalau begitu, mau temani aku minum kopi di rooftop cafe? Sambil lihat sunset?”Marsha menggenggam tangan Arnold, berdiri dan tersenyum cerah.“Dengan senang hati.”Mereka pun berjalan bersama, meninggalkan taman itu menuju rooftop cafe. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, memberi semburat jingga keemasan di langit Jakarta.Sementara itu, dari







