Beranda / Romansa / TUAN MUDA KAMU YANG KUTUNGGU / 3. Janji Temu Dengan ARJOFA

Share

3. Janji Temu Dengan ARJOFA

last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-21 20:06:07

Setelah perawatan selesai, kedua ibu itu pun keluar dari salon dengan langkah ringan dan hati penuh antusiasme.

“Ber, minggu depan aku ada jadwal arisan di rumah. Bagaimana kalau malam harinya sekalian kita ajak mereka makan malam?” tanya Nyonya Dina saat keduanya sedang menunggu sopir masing-masing.

“Itu ide bagus. Aku akan pastikan Marsha luang malam itu,” jawab Nyonya Bertha sambil mengangguk.

Keduanya pun berpisah dengan pelukan hangat dan senyum lebar. Langit Jakarta masih cerah saat itu, seakan-akan turut menyambut awal kisah baru yang mungkin akan segera berkembang menjadi cerita cinta antara Arnold Zafazel dan Marsha Livia, dua insan yang belum pernah bertemu, tapi kini tengah dipersatukan oleh harapan tulus dari dua ibu yang saling percaya.

Pagi Sabtu yang cerah menyinari langit Jakarta Selatan. Udara terasa segar dengan angin lembut yang mengusap dedaunan. Di kediaman Zafazel yang megah, Arnold baru saja menghabiskan sarapan paginya, diantaranya omelet keju, roti panggang, dan secangkir espresso hangat.

Saat ini Arnold mengenakan polo shirt biru dongker dan celana khaki, tampak santai namun tetap elegan. Sepasang sepatu golf putih telah menunggu di dekat pintu.

“Tuan Muda Arnold, mobilnya sudah siap,” ujar salah satu staf rumah dengan sopan.

“Terima kasih,” jawab Arnold singkat sambil mengenakan jam tangan dan mengambil stik golfnya.

Hari ini sang CEO punya janji main golf dengan dua sahabat sekaligus kolega bisnisnya yaitu Joseph dan Farez. Sejak SMA mereka terkenal dengan julukan ARJOFA. Kedua pria itu sudah seperti saudara sendiri. Mereka sama-sama CEO muda yang meniti karier dari bawah, kini memimpin perusahaan masing-masing dengan sukses. Lapangan golf tempat ketiganya bertemu pun bukan sembarangan yaitu sebuah club eksklusif di kawasan elit Jakarta Selatan.

Setibanya di lapangan, Arnold disambut hangat oleh Joseph dan Farez.

“Bro! Akhirnya Lo muncul juga!” seru Farez sambil menjabat tangan Arnold erat.

“He-he-he. Gue kira Lo lupa janji, Nold,” tambah Joseph sambil tertawa pelan.

Arnold membalas tawa mereka.

“Gue bukan tipe yang suka kabur dari pertandingan, apalagi kalau lawannya dua bapak-bapak muda seperti kalian.”

“Makanya Lo buruan menikah biar tahu rasanya menjadi bapak-bapak muda!” timpal Farez.

“Ha-ha-ha!”

Mereka pun tertawa bersama, lalu bersiap memulai permainan. Satu per satu, ketiganya mengayunkan stik dengan penuh percaya diri. Bola putih meluncur mulus menembus angin, mendarat sempurna di atas rumput hijau yang terawat. Arnold, seperti biasa, tampil presisi. Joseph menunjukkan teknik yang stabil, sementara Farez tampil agresif namun akurat.

“Lo masih jago aja, Nold,” komentar Joseph sambil mengangguk kagum setelah melihat Arnold berhasil memasukkan bola dalam satu pukulan dari jarak jauh.

“Ha-ha-ha. Kebanyakan latihan karena nggak ada pacar, ya?” celetuk Farez sambil tertawa.

Arnold hanya mengangkat alis dan tersenyum tipis.

Setelah sekitar dua jam bermain, mereka pun duduk santai di kursi kayu rotan yang menghadap ke danau kecil di tengah lapangan. Pelayan datang menyuguhkan air kelapa dingin dan sandwich sebagai camilan ringan.

“Jadi gimana, Nold, Lo sekarang lagi ngurusin proyek ekspansi ke Singapura, ya?” tanya Joseph sambil menyeruput minumannya.

“Iya, masih tahap survei lahan dan negosiasi vendor. Targetnya kuartal ketiga tahun ini udah mulai operasional,” jawab Arnold serius.

“Keren. Lo satu-satunya dari kita yang berani buka cabang di luar negeri duluan,” tambah Farez bangga.

“Gue sama Joseph masih fokus di dalam negeri dulu.”

“Peluang di sana cukup terbuka sih,” balas Arnold.

“Tapi tantangannya juga nggak main-main.”

Obrolan tentang bisnis mengalir lancar selama beberapa menit, sebelum Joseph menatap Arnold dengan senyum menggoda.

“Tapi Nold, ngomong-ngomong soal tantangan, kapan Lo mau menantang diri lo buat nikah?”

Farez langsung tertawa.

“Ha-ha-ha. Nah! Ini pertanyaan yang dari tadi gue tahan-tahan!”

Arnold menghela napas dan menyandarkan punggung.

“Dari kalian berdua, nggak mungkin pertanyaan itu nggak keluar.”

“Bagaimana nggak? Gue udah sah jadi suami Mary, yang udah gue pacarin sejak SMA,” ucap Joseph bangga.

“Farez juga udah nikah sama Zera, gadis idamannya dari masa sekolah.”

Arnold tersenyum tipis.

“Gue tahu, kalian berdua udah menang start. Dan gue senang lihat pernikahan kalian bahagia. Tapi gue ….”

“Lo kenapa?” Farez mencondongkan tubuh.

“Jangan bilang Lo belum ada calon?”

“Bener. Belum ada. Tapi minggu ini, nyokap sama bokap gue mengucapkan ide brilian mereka,” seru Arnold sambil menekankan nada sinis di kata brilian.

Joseph tertawa.

“Let me guess, perjodohan?”

Arnold mengangguk.

“Tepat. Gue akan dikenalin sama anak sahabat nyokap, namanya Marsha Livia.”

Farez mengangkat alis.

“Nama yang bagus. Lo udah pernah ketemu?”

“Belum. Gue cuma dengar katanya dia kerja di dunia korporat juga. Sama-sama sibuk, sama-sama jomlo,” jawab Arnold sambil memutar gelas air kelapanya.

“Lo okay dengan ide itu?” tanya Joseph hati-hati.

Arnold mengangguk pelan.

“Awalnya gue agak risih, jujur. Tapi pas gue pikir-pikir lagi … ya mungkin nggak ada salahnya nyoba. Toh, kenalan doang dulu. Bukan langsung dijodohin ke altar.”

“Setuju,” sahut Farez.

“Gue juga kenal beberapa pasangan yang awalnya dari perjodohan. Malah lebih harmonis daripada yang pacaran bertahun-tahun.”

“Lagipula, Lo juga bukan tipe cowok yang bisa kenalan sembarangan. Waktu Lo habis buat kerja dan keluarga,” tambah Joseph.

“Kadang orang tua itu tahu kita, lebih dari yang kita kira.”

Arnold terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis.

“Iya, mungkin Lo bener. Bisa saja ini waktunya gue buka sedikit pintu buat hal yang baru.”

Farez menepuk bahu Arnold.

“That’s the spirit! Siapa tahu Marsha itu soulmate Lo yang udah ditungguin dari dulu.”

“Minggu depan gue bakal diajak makan malam bareng dia dan orang tuanya. Nyokap gue yang atur semuanya,” ujar Arnold.

“Wah… semangat ya, Bro. Jangan lupa pake parfum terbaik Lo,” celetuk Joseph sambil tertawa.

“Dan jangan kaku. Tetap jadi diri Lo sendiri,” tambah Farez.

Arnold mengangguk sambil tersenyum lega. Obrolan mereka perlahan berubah menjadi candaan-candaan ringan dan nostalgia masa kuliah. Namun, di dalam hati Arnold, terselip secercah harapan. Mungkin, hanya mungkin, pertemuan dengan Marsha Livia bisa menjadi babak baru dalam hidupnya, yang tak hanya dipenuhi target dan laporan, tapi juga cerita cinta yang selama ini belum dimulai.

“Marsha Livia, bagaimanakah sosokmu sekarang? Apakah kamu masih ingat denganku?” seru Arnold dalam hatinya.

Ternyata oh ternyata, Arnold telah menyelidiki Marsha secara diam-diam untuk memastikan sesuatu hal. Dan ternyata, ya benar. Gadis itu memang temannya saat di taman kanak-kanak dulu. Gadis cilik yang pernah bertahta di hati Arnold kecil yang selama ini dicari-cari olehnya.

Pria itu benar-benar tak menyangka jika sang ibu malah berpikir untuk menjodohkannya dengan cinta masa kecilnya, yang sejak dulu masih tertinggal dalam hatinya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TUAN MUDA KAMU YANG KUTUNGGU    11. Nongkrong Berdua di Plaza Indonesia

    Langit Jakarta siang itu cerah, meski sedikit mendung menggantung. Di tengah hiruk pikuk kota, Plaza Indonesia tetap ramai seperti biasa. Namun di sebuah sudut restoran mewah di lantai tiga, suasana terasa jauh lebih tenang dan lebih personal. Di sinilah Arnold dan Marsha duduk berhadapan, menatap satu sama lain dengan senyum penuh arti.Arnold, dengan jas abu lembut dan kemeja putih tanpa dasi, menatap kekasihnya dengan hangat. Marsha, tampil anggun dalam blus satin biru muda dan rok putih selutut, menyibakkan rambut panjangnya yang lurus ke belakang telinga. Mereka terlihat sangat serasi. Sejak mengumumkan hubungan mereka kepada orang tua masing-masing seminggu lalu, keduanya tampak lebih terbuka, santai, dan semakin lengket."Terima kasih udah nyempetin waktumu untukku, Sayang," ucap Marsha sambil menyesap es lemon tea-nya. "Aku tahu kamu lagi hectic banget minggu ini."Arnold tersenyum, menyentuh tangan Marsha di atas meja. "Untuk kamu, aku selalu ada waktu. Rapat bisa dijadwal u

  • TUAN MUDA KAMU YANG KUTUNGGU    10. Keduanya Semakin Bahagia

    Arnold tertawa. “Ha-ha-ha. Ingat banget. Kamu marah karena aku makan bekal kamu.”“Dan kamu nggak minta maaf!” balas Marsha dengan nada menggoda.Arnold mendekat, mencubit hidung Marsha. “Sekarang aku bayar lunas, dengan cinta.”“Ha-ha-ha!”Mereka tertawa bersama, kemudian berbaring berdua sambil menatap langit.“Kalau kamu lagi sama aku, kamu ngerasa apa, Sha?” tanya Arnold tiba-tiba.Marsha menoleh.“Aku ngerasa bahagia banget.”Arnold memejamkan mata, menyimpan kalimat itu dalam hatinya.Di suatu Senin,saat sedang sibuk dengan pekerjaannya, Marsha mendapat kiriman paket ke kantornya. Dia membukanya dan menemukan sebuah scrapbook berisi foto-foto mereka saat kecil, saat reuni keluarga, dan beberapa cetakan foto dari kencan terakhirnya dengan Arnold.Di halaman terakhir, tertulis,“Setiap momen dengan kamu, selalu layak dikenang. Terima kasih sudah jadi cahaya hari-hariku, Marsha.”Dari Arnold.Marsha terdiam sejenak. Matanya berkaca-kaca. Dia langsung menelepon kekasihnya.“Halo?

  • TUAN MUDA KAMU YANG KUTUNGGU    9. Arnold Menyatakan Perasaannya Kepada Marsha

    Malam itu, angin laut berhembus lembut di tepi pantai Ancol. Di lantai atas sebuah restoran mewah bernuansa mediterania, lampu-lampu gantung kecil berkelip seperti bintang. Lilin-lilin tertata di setiap meja, memberikan cahaya temaram yang menciptakan suasana hangat dan romantis. Di tengah ruangan semi-terbuka itu, sebuah panggung kecil berdiri, tempat penyanyi akustik menyanyikan lagu-lagu cinta dengan suara yang merdu.Marsha Livia berdiri mematung saat melihat seluruh pengaturan itu. Malam ini, Arnold mengajaknya makan malam dengan alasan “refreshing setelah kerja.” Tapi jelas sekali ini bukan makan malam biasa.“Arnold,” ucap Marsha pelan, menatap dekorasi penuh bunga peony pink yang mengelilingi meja mereka.Arnold tersenyum hangat. Dia mengenakan kemeja putih dengan jas biru gelap, rambutnya tertata rapi. Tatapannya teduh, tapi ada gugup yang disembunyikan di balik senyumnya.“Lo suka, Sha?” tanya Arnold, berjalan mendekatinya sambil menyodorkan satu tangkai peony besar ke tanga

  • TUAN MUDA KAMU YANG KUTUNGGU    8. Perasaan Arnold Yang Sesungguhnya

    Arnold menoleh ke luar jendela, senyumnya makin lebar.“Giliran gue jatuh cinta beneran, ya malah sama temen TK sendiri,” ucapnya sambil menggeleng. “Tapi Marsha beda, dia punya cara bicara yang tenang, sopan, tapi juga hangat. Aura dia tuh, adem banget.”Tiba-tiba suara notifikasi dari ponselnya terdengar. Arnold melirik ke layar yang terhubung ke sistem mobil, ada satu pesan dari Marsha.Arnold menekan tombol pada stir, mengaktifkan fitur voice-reader.“Makasih ya, Nold, hari ini bener-bener menyenangkan. Aku masih senyum-senyum sendiri nih. Hati-hati di jalan, jangan ngebut.”Arnold menggigit bibir bawahnya dan tertawa pelan.“Ha-ha-ha. Duh, kamu bikin aku makin nggak bisa tidur malam ini, Sha.”Arnold pun membalas cepat via suara,“Sama-sama, Sha. Aku juga senyum terus di mobil. Dengerin lagu-lagu cinta nih gara-gara kamu. Udah mau nyampe rumah. Nanti kabarin ya kalau kamu udah tidur. Sweet dreams.”Setelah mengirimkan balasan, Arnold menoleh sejenak ke arah kaca spion, lalu ke l

  • TUAN MUDA KAMU YANG KUTUNGGU    7. Mampir Ke Rumah Marsha

    Malam semakin larut ketika mobil sedan hitam yang dikendarai Arnold berhenti perlahan di depan sebuah rumah megah bergaya klasik di Kawasan Gading Serpong. Lampu taman menyala lembut, menerangi jalan setapak menuju pintu utama rumah Keluarga Livia.Di dalam mobil, Marsha tersenyum sambil menoleh ke Arnold.“Terima kasih untuk malam ini, Nold. Aku benar-benar senang.”Arnold membalas senyum itu dengan hangat. “Aku juga, Sha. Rasanya seperti mimpi bisa menghabiskan waktu sama kamu.”Marsha mengangguk pelan, kemudian membuka pintu mobil. Namun sebelum dia keluar, Arnold berkata, “Aku boleh antar kamu sampai pintu?”Marsha tertawa pelan. “He-he-he. Boleh banget. Tapi hati-hati ya, jangan sampai Mami suruh kamu masuk sekalian.”Arnold ikut tertawa. “Ha-ha-ha. Kalau disuruh masuk, ya aku masuk dong. Siapa tahu dapat teh hangat.”Mereka lalu berjalan berdampingan menuju pintu rumah. Belum sempat Marsha mengetuk, pintu itu terbuka sendiri. Nyonya Bertha berdiri di sana dengan senyum lebar

  • TUAN MUDA KAMU YANG KUTUNGGU    6. Menghabiskan Waktu Bersama

    Arnold memutar tubuhnya menghadap Marsha. “Itu aku?”Marsha hanya mengangguk kecil, pipinya masih bersemu merah.Untuk beberapa saat, mereka hanya saling menatap, dan dalam diam itu, ada sesuatu yang tak terucap tapi sangat terasa, yaitu benih cinta yang perlahan tumbuh, disirami kenangan masa lalu dan kehangatan saat ini.“Aku ingin mengenal kamu lebih dalam, Marsha,” ucap Arnold mantap.“Bukan cuma karena orang tua kita berharap begitu, tapi karena aku sendiri ingin.”Marsha mengangguk dengan mata berkaca-kaca. “Aku juga, Arnold. Aku mau kita mulai dari awal pelan-pelan, tapi pasti.”Arnold tersenyum, lalu berdiri dan mengulurkan tangan. “Kalau begitu, mau temani aku minum kopi di rooftop cafe? Sambil lihat sunset?”Marsha menggenggam tangan Arnold, berdiri dan tersenyum cerah.“Dengan senang hati.”Mereka pun berjalan bersama, meninggalkan taman itu menuju rooftop cafe. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, memberi semburat jingga keemasan di langit Jakarta.Sementara itu, dari

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status