Home / Romansa / TUAN MUDA KAMU YANG KUTUNGGU / 7. Mampir Ke Rumah Marsha

Share

7. Mampir Ke Rumah Marsha

last update Last Updated: 2025-11-21 20:15:37

Malam semakin larut ketika mobil sedan hitam yang dikendarai Arnold berhenti perlahan di depan sebuah rumah megah bergaya klasik di Kawasan Gading Serpong. Lampu taman menyala lembut, menerangi jalan setapak menuju pintu utama rumah Keluarga Livia.

Di dalam mobil, Marsha tersenyum sambil menoleh ke Arnold.

“Terima kasih untuk malam ini, Nold. Aku benar-benar senang.”

Arnold membalas senyum itu dengan hangat.

“Aku juga, Sha. Rasanya seperti mimpi bisa menghabiskan waktu sama kamu.”

Marsha mengangguk pelan, kemudian membuka pintu mobil. Namun sebelum dia keluar, Arnold berkata,

“Aku boleh antar kamu sampai pintu?”

Marsha tertawa pelan.

“He-he-he. Boleh banget. Tapi hati-hati ya, jangan sampai Mami suruh kamu masuk sekalian.”

Arnold ikut tertawa.

“Ha-ha-ha. Kalau disuruh masuk, ya aku masuk dong. Siapa tahu dapat teh hangat.”

Mereka lalu berjalan berdampingan menuju pintu rumah. Belum sempat Marsha mengetuk, pintu itu terbuka sendiri. Nyonya Bertha berdiri di sana dengan senyum lebar.

“Wah, kalian datang juga. Mami kira bakal lebih malam,” ucap sang ibu ceria.

“Mami belum tidur?” tanya Marsha, sedikit heran.

“Iya, kami nunggu kamu pulang. Papi juga lagi di ruang tamu,” jawab Nyonya Bertha.

Kemudian sang ibu menoleh pada Arnold.

“Masuk dulu yuk, Arnold. Jangan di luar aja.”

Arnold sedikit kaget tapi langsung tersenyum sopan. “Boleh, Tante. Terima kasih.”

Mereka bertiga masuk ke dalam rumah yang hangat dan wangi aroma kayu manis. Di ruang tamu yang dihiasi lukisan-lukisan klasik dan lampu gantung elegan, seorang pria paruh baya duduk sambil membaca koran.

Tuan Eben, ayah Marsha, menoleh dan berdiri begitu melihat Arnold datang.

“Wah, ini pasti Arnold Zafazel,” serunya dengan suara berat dan wibawa khas seorang kepala keluarga.

Arnold segera menghampiri dan menjabat tangan Tuan Eben dengan sopan.

“Selamat malam, Om. Saya Arnold. Senang bisa bertemu langsung dengan Anda.”

“Selamat malam. Silakan duduk,” jawab Tuan Eben sambil memberi isyarat ke sofa.

Arnold duduk di sebelah Marsha. Nyonya Bertha menyusul duduk di sisi lain, dengan senyum penuh arti.

“Jadi … kalian jalan-jalan kemana saja tadi?” tanya Tuan Eben, membuka percakapan.

“Kami ke Mall Pondok Indah, Om,” jawab Arnold dengan tenang.

“Makan es krim, nonton, dan makan malam.”

“Wah, lengkap sekali. Marsha kelihatan senang,” ujar Tuan Eben sambil melirik anaknya.

Marsha tersipu,

“Senang banget, Pi. Udah lama banget aku nggak bisa santai kayak tadi.”

Nyonya Bertha menyambung, “Arnold ini memang perhatian, ya. Terlihat sekali kalau kamu nyaman sama dia, Sha.”

Arnold menoleh ke Marsha dan tersenyum.

“Saya hanya ingin bikin dia bahagia malam ini.”

Ucapan itu membuat Marsha tak bisa menahan senyumnya lebih lama. Pipinya merona, tapi dia tetap duduk anggun.

Tuan Eben mengangguk pelan. “Keluarga Zafazel, sudah Saya kenal sejak lama. Ayahmu, Tuan Ardi, pebisnis yang sangat saya hormati. Saya senang bisa mengenal anaknya secara langsung.”

“Terima kasih, Om. Papi juga sering bercerita soal Om Eben dan bisnis interiornya. Katanya gaya klasik dan modernnya unik,” jawab Arnold.

“Wah, itu pujian besar,” sahut Tuan Eben dengan tersenyum tipis.

“Saya senang dengar kamu sudah jadi CEO muda. AZ Corp itu perusahaan besar. Bagaimana rasanya memimpin di usia muda?”

Arnold menatap pria itu dengan tenang.

“Penuh tantangan, Om. Tapi saya bersyukur punya tim yang solid, dan orang tua yang mendukung.”

Nyonya Bertha menyahut, “Kalau Tante perhatikan, kamu itu punya kharisma, Nold. Tapi tetap rendah hati.”

Arnold tertawa pelan.

“He-he-he. Wah, Tante, saya jadi malu dipuji terus.”

Tuan Eben lalu menatap keduanya, lalu berkata,

“Om tahu awalnya ini semua dari ide dua ibu kalian yang sahabatan sejak lama. Tapi kami tidak ingin memaksakan apapun pada anak-anak kami.”

Arnold mengangguk.

“Saya mengerti, Om. Tapi sejujurnya, saya senang bisa bertemu dengan Marsha lagi. Saya ingin mengenal dia lebih dalam, bukan karena perjodohan, tapi karena saya memang tertarik pada pribadinya.”

Marsha menoleh pelan ke arah Arnold, tampak sedikit terkejut dan tersentuh oleh kata-kata itu.

Tuan Eben dan Nyonya Bertha saling bertukar pandang, lalu tersenyum.

“Kami senang mendengarnya,” ucap Nyonya Bertha lembut.

“Yang penting kalian berdua bahagia, dan hubungan kalian dibangun atas dasar saling menghargai.”

“Betul,” sambung Tuan Eben.

“Jangan terburu-buru. Nikmati saja prosesnya.”

Arnold menoleh pada Marsha, lalu menatap kembali kepada kedua orang tuanya.

“Terima kasih, Om, Tante. Saya janji akan menjaga hubungan ini dengan serius.”

“Bagus,” ucap Tuan Eben sambil mengangguk.

Beberapa saat kemudian, Nyonya Bertha berdiri.

“Tante ambilkan teh, ya. Arnold suka teh apa?”

“Teh melati, Tante, kalau ada.”

Marsha ikut berdiri.

“Biar aku bantu, Mi.”

Keduanya pun menuju dapur, meninggalkan Arnold dan Tuan Eben berdua di ruang tamu.

“Arnold,” ucap Tuan Eben dengan nada lebih serius.

“Om tahu kamu lelaki cerdas dan punya masa depan cerah. Tapi Om cuma mau bilang satu hal.”

Arnold menatapnya dengan penuh perhatian.

“Kalau suatu hari hubungan kamu dan Marsha makin dalam. Om harap kamu bisa tetap membuatnya tersenyum seperti malam ini. Anak perempuan Om itu berhati lembut, tapi dia juga akan menjadi keras kepala kalau merasa tersakiti.”

Arnold mengangguk pelan. “Saya janji akan menjaga Marsha dan senyumannya, Om.”

Tuan Eben tersenyum dan menepuk bahu Arnold.

Beberapa menit kemudian, Marsha dan ibunya kembali dengan nampan berisi cangkir teh dan beberapa kue jajanan khas Indonesia.

Obrolan pun berlanjut dengan lebih santai, tentang hobi, cerita waktu kecil, bahkan sampai nostalgia kenangan Marsha dan Arnold saat di TK dulu. Tawa sesekali terdengar, mencairkan suasana malam yang semula canggung.

Sekitar pukul sepuluh malam, Arnold pun pamit pulang.

“Terima kasih sudah menerima saya malam ini, Om, Tante,” ucapnya sopan sambil berdiri.

“Terima kasih juga sudah ajak Marsha jalan-jalan,” sahut Nyonya Bertha.

Tuan Eben menjabat tangan Arnold.

“Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari kalau sudah sampai rumah.”

Arnold tersenyum dan mengangguk. Marsha mengantar sampai ke pintu.

Sebelum masuk mobil, Arnold menoleh.

“Malam ini sempurna, Sha.”

Marsha tersenyum manis

“Iya, Nold. Hati-hati ya, dan makasih banyak.”

Arnold mengusap rambut Marsha lembut sebelum melangkah ke mobilnya.

Mobil itu melaju pelan keluar gerbang rumah keluarga Eben, meninggalkan Marsha yang berdiri dengan perasaan hangat dan senyum yang tak bisa hilang dari wajahnya.

Di dalam hatinya, satu suara terus berbisik,

“Mungkinkah ini awal dari cinta yang sesungguhnya?”

Malam itu, Kota Jakarta menyisakan kesunyian yang memeluk hangat, seakan tahu hati seseorang sedang penuh oleh rasa yang sulit dijelaskan. Di dalam mobil sedan hitam yang melaju pelan menyusuri jalan-jalan Kota, Arnold Zafazel menyandarkan punggungnya ke jok sambil tersenyum kecil.

Lampu-lampu jalan menyala berderet seperti bintang di bumi. Radio di dashboard-nya semula dalam keadaan mati. Namun begitu tangan Arnold menggapai layar sentuh di tengah dashboard, dia menyentuh playlist favoritnya yaitu, Late Night Love Songs.

Alunan suara lembut dari penyanyi pria mengalun pelan, mengisi ruang mobil:

“You are the reason, the only reason, I keep breathing.”

Arnold tertawa pelan sambil menyentuh setir.

“He-he-he. Ya ampun, lagu ini pas banget.”

Tangannya mengetuk-ngetuk setir mengikuti irama lagu, sementara pikirannya masih melayang ke momen tadi, saat Marsha berdiri di depan pintu rumahnya, mengucapkan terima kasih, dan tersenyum dengan tatapan yang tidak bisa Arnold lupakan.

“Marsha Livia,” gumam Arnold.

“Kamu tuh, bener-bener di luar ekspektasi.”

Mobilnya melaju di jalan Gatot Subroto yang mulai lengang. Dia membuka kaca sedikit, membiarkan angin malam masuk, mencampur aroma jalanan dengan sisa-sisa wangi parfum Marsha yang masih terasa samar di bajunya.

Arnold kembali berbicara pada dirinya sendiri.

“Tadi dia manis banget pas bawain teh buat aku. Dan ngobrol sama Om Eben juga nggak seseram yang aku kira.”

Arnold terkekeh pelan.

“He-he-he.”

“Baby, I think I’m falling for you.” Lagu dari Colbie Caillat mulai mengisi mobil.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TUAN MUDA KAMU YANG KUTUNGGU    9. Arnold Menyatakan Perasaannya Kepada Marsha

    Malam itu, angin laut berhembus lembut di tepi pantai Ancol. Di lantai atas sebuah restoran mewah bernuansa mediterania, lampu-lampu gantung kecil berkelip seperti bintang. Lilin-lilin tertata di setiap meja, memberikan cahaya temaram yang menciptakan suasana hangat dan romantis. Di tengah ruangan semi-terbuka itu, sebuah panggung kecil berdiri, tempat penyanyi akustik menyanyikan lagu-lagu cinta dengan suara yang merdu.Marsha Livia berdiri mematung saat melihat seluruh pengaturan itu. Malam ini, Arnold mengajaknya makan malam dengan alasan “refreshing setelah kerja.” Tapi jelas sekali ini bukan makan malam biasa.“Arnold,” ucap Marsha pelan, menatap dekorasi penuh bunga peony pink yang mengelilingi meja mereka.Arnold tersenyum hangat. Dia mengenakan kemeja putih dengan jas biru gelap, rambutnya tertata rapi. Tatapannya teduh, tapi ada gugup yang disembunyikan di balik senyumnya.“Lo suka, Sha?” tanya Arnold, berjalan mendekatinya sambil menyodorkan satu tangkai peony besar ke tanga

  • TUAN MUDA KAMU YANG KUTUNGGU    8. Perasaan Arnold Yang Sesungguhnya

    Arnold menoleh ke luar jendela, senyumnya makin lebar.“Giliran gue jatuh cinta beneran, ya malah sama temen TK sendiri,” ucapnya sambil menggeleng. “Tapi Marsha beda, dia punya cara bicara yang tenang, sopan, tapi juga hangat. Aura dia tuh, adem banget.”Tiba-tiba suara notifikasi dari ponselnya terdengar. Arnold melirik ke layar yang terhubung ke sistem mobil, ada satu pesan dari Marsha.Arnold menekan tombol pada stir, mengaktifkan fitur voice-reader.“Makasih ya, Nold, hari ini bener-bener menyenangkan. Aku masih senyum-senyum sendiri nih. Hati-hati di jalan, jangan ngebut.”Arnold menggigit bibir bawahnya dan tertawa pelan.“Ha-ha-ha. Duh, kamu bikin aku makin nggak bisa tidur malam ini, Sha.”Arnold pun membalas cepat via suara,“Sama-sama, Sha. Aku juga senyum terus di mobil. Dengerin lagu-lagu cinta nih gara-gara kamu. Udah mau nyampe rumah. Nanti kabarin ya kalau kamu udah tidur. Sweet dreams.”Setelah mengirimkan balasan, Arnold menoleh sejenak ke arah kaca spion, lalu ke l

  • TUAN MUDA KAMU YANG KUTUNGGU    7. Mampir Ke Rumah Marsha

    Malam semakin larut ketika mobil sedan hitam yang dikendarai Arnold berhenti perlahan di depan sebuah rumah megah bergaya klasik di Kawasan Gading Serpong. Lampu taman menyala lembut, menerangi jalan setapak menuju pintu utama rumah Keluarga Livia.Di dalam mobil, Marsha tersenyum sambil menoleh ke Arnold.“Terima kasih untuk malam ini, Nold. Aku benar-benar senang.”Arnold membalas senyum itu dengan hangat. “Aku juga, Sha. Rasanya seperti mimpi bisa menghabiskan waktu sama kamu.”Marsha mengangguk pelan, kemudian membuka pintu mobil. Namun sebelum dia keluar, Arnold berkata, “Aku boleh antar kamu sampai pintu?”Marsha tertawa pelan. “He-he-he. Boleh banget. Tapi hati-hati ya, jangan sampai Mami suruh kamu masuk sekalian.”Arnold ikut tertawa. “Ha-ha-ha. Kalau disuruh masuk, ya aku masuk dong. Siapa tahu dapat teh hangat.”Mereka lalu berjalan berdampingan menuju pintu rumah. Belum sempat Marsha mengetuk, pintu itu terbuka sendiri. Nyonya Bertha berdiri di sana dengan senyum lebar

  • TUAN MUDA KAMU YANG KUTUNGGU    6. Menghabiskan Waktu Bersama

    Arnold memutar tubuhnya menghadap Marsha. “Itu aku?”Marsha hanya mengangguk kecil, pipinya masih bersemu merah.Untuk beberapa saat, mereka hanya saling menatap, dan dalam diam itu, ada sesuatu yang tak terucap tapi sangat terasa, yaitu benih cinta yang perlahan tumbuh, disirami kenangan masa lalu dan kehangatan saat ini.“Aku ingin mengenal kamu lebih dalam, Marsha,” ucap Arnold mantap.“Bukan cuma karena orang tua kita berharap begitu, tapi karena aku sendiri ingin.”Marsha mengangguk dengan mata berkaca-kaca. “Aku juga, Arnold. Aku mau kita mulai dari awal pelan-pelan, tapi pasti.”Arnold tersenyum, lalu berdiri dan mengulurkan tangan. “Kalau begitu, mau temani aku minum kopi di rooftop cafe? Sambil lihat sunset?”Marsha menggenggam tangan Arnold, berdiri dan tersenyum cerah.“Dengan senang hati.”Mereka pun berjalan bersama, meninggalkan taman itu menuju rooftop cafe. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, memberi semburat jingga keemasan di langit Jakarta.Sementara itu, dari

  • TUAN MUDA KAMU YANG KUTUNGGU    5. Pertemuan Pertama Marsha dan Arnold

    Pertemuan yang telah lama dinanti,Hari itu akhirnya tiba. Sebuah restoran mewah di dalam Mall Central Park, Jakarta Barat, menjadi saksi pertemuan dua keluarga yang telah lama bersahabat, terutama oleh para ibu yang bersahabat sejak di bangku perkuliahan. Yaitu Keluarga Arnold dan Keluarga Marsha. Di tengah suasana elegan restoran bergaya klasik Eropa dengan alunan musik instrumental lembut, Mami Dina duduk anggun bersama putranya, Arnold Zafazel, pria muda tampan nan kharismatik, berbalut jas semi formal abu gelap dengan rambut tersisir rapi.“Jangan terlalu tegang, Nak,” bisik Mami Dina pelan sambil menyesap teh hangatnya, “Mami dan Tante Bertha sudah sepakat, hari ini kita biarkan semuanya mengalir saja. Kamu tinggal jadi diri kamu sendiri.”Arnold mengangguk sambil menghela napas. “Iya, Mi. Tapi aku nggak nyangka, dijodohin gini. Kayak kencan buta saja,” ucapnya sambil tersenyum tipis.Tak lama kemudian, muncullah Mami Bertha dengan langkah percaya diri, diiringi oleh putrinya,

  • TUAN MUDA KAMU YANG KUTUNGGU    4. Perbincangan Serius Keluarga Marsha

    Senin sore itu, langit di Kawasan Gading Serpong mulai meredup, menyisakan rona jingga yang lembut menyinari pepohonan di halaman rumah mewah milik Keluarga Eben. Sebuah mobil SUV putih berhenti perlahan di depan gerbang rumah, dan dari dalamnya keluar seorang wanita muda dengan penampilan elegan namun terlihat lelah.“Akhirnya, aku sampai juga di rumah. Duh, capeknya!” keluhnya.Marsha Livia, gadis cantik yang berusia dua puluh lima tahun, sedang mengenakan blazer abu muda dengan celana bahan warna krem. Wajahnya cantik meski sedikit lelah, namun gadis itu maklum, hari Senin memang selalu padat, apalagi di dunia desain interior yang penuh revisi mendadak dan klien perfeksionis.Begitu langkah kakinya menyentuh teras, pintu rumah langsung terbuka.“Marsha Sayang, akhirnya kamu pulang juga, Nak,” sambut Nyonya Bertha, Sang ibu dengan senyum hangat di wajahnya. Wanita cantik itu mengenakan daster batik lembut dan sandal rumah, terlihat nyaman dan keibuan.“Maaf Mami, tadi sempat ada ra

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status