تسجيل الدخولLangit Jakarta siang itu cerah, meski sedikit mendung menggantung. Di tengah hiruk pikuk kota, Plaza Indonesia tetap ramai seperti biasa. Namun di sebuah sudut restoran mewah di lantai tiga, suasana terasa jauh lebih tenang dan lebih personal. Di sinilah Arnold dan Marsha duduk berhadapan, menatap satu sama lain dengan senyum penuh arti.Arnold, dengan jas abu lembut dan kemeja putih tanpa dasi, menatap kekasihnya dengan hangat. Marsha, tampil anggun dalam blus satin biru muda dan rok putih selutut, menyibakkan rambut panjangnya yang lurus ke belakang telinga. Mereka terlihat sangat serasi. Sejak mengumumkan hubungan mereka kepada orang tua masing-masing seminggu lalu, keduanya tampak lebih terbuka, santai, dan semakin lengket."Terima kasih udah nyempetin waktumu untukku, Sayang," ucap Marsha sambil menyesap es lemon tea-nya. "Aku tahu kamu lagi hectic banget minggu ini."Arnold tersenyum, menyentuh tangan Marsha di atas meja. "Untuk kamu, aku selalu ada waktu. Rapat bisa dijadwal u
Arnold tertawa. “Ha-ha-ha. Ingat banget. Kamu marah karena aku makan bekal kamu.”“Dan kamu nggak minta maaf!” balas Marsha dengan nada menggoda.Arnold mendekat, mencubit hidung Marsha. “Sekarang aku bayar lunas, dengan cinta.”“Ha-ha-ha!”Mereka tertawa bersama, kemudian berbaring berdua sambil menatap langit.“Kalau kamu lagi sama aku, kamu ngerasa apa, Sha?” tanya Arnold tiba-tiba.Marsha menoleh.“Aku ngerasa bahagia banget.”Arnold memejamkan mata, menyimpan kalimat itu dalam hatinya.Di suatu Senin,saat sedang sibuk dengan pekerjaannya, Marsha mendapat kiriman paket ke kantornya. Dia membukanya dan menemukan sebuah scrapbook berisi foto-foto mereka saat kecil, saat reuni keluarga, dan beberapa cetakan foto dari kencan terakhirnya dengan Arnold.Di halaman terakhir, tertulis,“Setiap momen dengan kamu, selalu layak dikenang. Terima kasih sudah jadi cahaya hari-hariku, Marsha.”Dari Arnold.Marsha terdiam sejenak. Matanya berkaca-kaca. Dia langsung menelepon kekasihnya.“Halo?
Malam itu, angin laut berhembus lembut di tepi pantai Ancol. Di lantai atas sebuah restoran mewah bernuansa mediterania, lampu-lampu gantung kecil berkelip seperti bintang. Lilin-lilin tertata di setiap meja, memberikan cahaya temaram yang menciptakan suasana hangat dan romantis. Di tengah ruangan semi-terbuka itu, sebuah panggung kecil berdiri, tempat penyanyi akustik menyanyikan lagu-lagu cinta dengan suara yang merdu.Marsha Livia berdiri mematung saat melihat seluruh pengaturan itu. Malam ini, Arnold mengajaknya makan malam dengan alasan “refreshing setelah kerja.” Tapi jelas sekali ini bukan makan malam biasa.“Arnold,” ucap Marsha pelan, menatap dekorasi penuh bunga peony pink yang mengelilingi meja mereka.Arnold tersenyum hangat. Dia mengenakan kemeja putih dengan jas biru gelap, rambutnya tertata rapi. Tatapannya teduh, tapi ada gugup yang disembunyikan di balik senyumnya.“Lo suka, Sha?” tanya Arnold, berjalan mendekatinya sambil menyodorkan satu tangkai peony besar ke tanga
Arnold menoleh ke luar jendela, senyumnya makin lebar.“Giliran gue jatuh cinta beneran, ya malah sama temen TK sendiri,” ucapnya sambil menggeleng. “Tapi Marsha beda, dia punya cara bicara yang tenang, sopan, tapi juga hangat. Aura dia tuh, adem banget.”Tiba-tiba suara notifikasi dari ponselnya terdengar. Arnold melirik ke layar yang terhubung ke sistem mobil, ada satu pesan dari Marsha.Arnold menekan tombol pada stir, mengaktifkan fitur voice-reader.“Makasih ya, Nold, hari ini bener-bener menyenangkan. Aku masih senyum-senyum sendiri nih. Hati-hati di jalan, jangan ngebut.”Arnold menggigit bibir bawahnya dan tertawa pelan.“Ha-ha-ha. Duh, kamu bikin aku makin nggak bisa tidur malam ini, Sha.”Arnold pun membalas cepat via suara,“Sama-sama, Sha. Aku juga senyum terus di mobil. Dengerin lagu-lagu cinta nih gara-gara kamu. Udah mau nyampe rumah. Nanti kabarin ya kalau kamu udah tidur. Sweet dreams.”Setelah mengirimkan balasan, Arnold menoleh sejenak ke arah kaca spion, lalu ke l
Malam semakin larut ketika mobil sedan hitam yang dikendarai Arnold berhenti perlahan di depan sebuah rumah megah bergaya klasik di Kawasan Gading Serpong. Lampu taman menyala lembut, menerangi jalan setapak menuju pintu utama rumah Keluarga Livia.Di dalam mobil, Marsha tersenyum sambil menoleh ke Arnold.“Terima kasih untuk malam ini, Nold. Aku benar-benar senang.”Arnold membalas senyum itu dengan hangat. “Aku juga, Sha. Rasanya seperti mimpi bisa menghabiskan waktu sama kamu.”Marsha mengangguk pelan, kemudian membuka pintu mobil. Namun sebelum dia keluar, Arnold berkata, “Aku boleh antar kamu sampai pintu?”Marsha tertawa pelan. “He-he-he. Boleh banget. Tapi hati-hati ya, jangan sampai Mami suruh kamu masuk sekalian.”Arnold ikut tertawa. “Ha-ha-ha. Kalau disuruh masuk, ya aku masuk dong. Siapa tahu dapat teh hangat.”Mereka lalu berjalan berdampingan menuju pintu rumah. Belum sempat Marsha mengetuk, pintu itu terbuka sendiri. Nyonya Bertha berdiri di sana dengan senyum lebar
Arnold memutar tubuhnya menghadap Marsha. “Itu aku?”Marsha hanya mengangguk kecil, pipinya masih bersemu merah.Untuk beberapa saat, mereka hanya saling menatap, dan dalam diam itu, ada sesuatu yang tak terucap tapi sangat terasa, yaitu benih cinta yang perlahan tumbuh, disirami kenangan masa lalu dan kehangatan saat ini.“Aku ingin mengenal kamu lebih dalam, Marsha,” ucap Arnold mantap.“Bukan cuma karena orang tua kita berharap begitu, tapi karena aku sendiri ingin.”Marsha mengangguk dengan mata berkaca-kaca. “Aku juga, Arnold. Aku mau kita mulai dari awal pelan-pelan, tapi pasti.”Arnold tersenyum, lalu berdiri dan mengulurkan tangan. “Kalau begitu, mau temani aku minum kopi di rooftop cafe? Sambil lihat sunset?”Marsha menggenggam tangan Arnold, berdiri dan tersenyum cerah.“Dengan senang hati.”Mereka pun berjalan bersama, meninggalkan taman itu menuju rooftop cafe. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, memberi semburat jingga keemasan di langit Jakarta.Sementara itu, dari







