Home / Romansa / TUAN MUDA KAMU YANG KUTUNGGU / 6. Menghabiskan Waktu Bersama

Share

6. Menghabiskan Waktu Bersama

last update Last Updated: 2025-11-21 20:15:07

Arnold memutar tubuhnya menghadap Marsha.

“Itu aku?”

Marsha hanya mengangguk kecil, pipinya masih bersemu merah.

Untuk beberapa saat, mereka hanya saling menatap, dan dalam diam itu, ada sesuatu yang tak terucap tapi sangat terasa, yaitu benih cinta yang perlahan tumbuh, disirami kenangan masa lalu dan kehangatan saat ini.

“Aku ingin mengenal kamu lebih dalam, Marsha,” ucap Arnold mantap.

“Bukan cuma karena orang tua kita berharap begitu, tapi karena aku sendiri ingin.”

Marsha mengangguk dengan mata berkaca-kaca.

“Aku juga, Arnold. Aku mau kita mulai dari awal pelan-pelan, tapi pasti.”

Arnold tersenyum, lalu berdiri dan mengulurkan tangan. “Kalau begitu, mau temani aku minum kopi di rooftop cafe? Sambil lihat sunset?”

Marsha menggenggam tangan Arnold, berdiri dan tersenyum cerah.

“Dengan senang hati.”

Mereka pun berjalan bersama, meninggalkan taman itu menuju rooftop cafe. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, memberi semburat jingga keemasan di langit Jakarta.

Sementara itu, dari dalam salon, Mami Dina dan Mami Bertha yang sudah selesai perawatan kembali duduk santai di lounge, melihat ke arah luar dengan wajah sumringah.

“Sepertinya, semuanya berjalan lebih baik dari yang kita harapkan,” ucap Mami Dina dengan puas.

“Kita tinggal tunggu tanggal yang tepat saja nanti,” timpal Mami Bertha.

“He-he-he.”

Keduanya tertawa pelan, bahagia melihat anak-anak mereka menemukan sesuatu yang bahkan lebih dari sekadar rencana, yaitu sebuah awal dari cinta yang tulus.

Pada suatu siang,

Langit Jakarta tampak cerah meski udara sedikit gerah. Di lantai dua belas sebuah gedung perkantoran megah di kawasan Sudirman, Marsha Livia sedang duduk di ruang kerjanya yang elegan. Meja kayu dengan sentuhan minimalis dipenuhi katalog desain dan layar komputer yang masih menyala. Jam di dinding menunjukkan pukul lima sore.

Tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.

Arnold :“Hai Marsha, udah mau pulang? Aku jemput ya. Aku mau traktir es krim, nonton, dan makan malam. Siap-siap, ya!”

Marsha tersenyum tipis, jantungnya berdegup lebih cepat. Dia pun mengetik balasan.

Marsha :“Beneran mau jemput aku? Wah, aku jadi deg-degan nih. Okay, give me ten minutes!”

Sepuluh menit kemudian, Marsha keluar dari lift dengan balutan blouse putih dan rok midi krem. Dia mengenakan tas selempang mungil dan sepatu kitten heels. Di lobi, Arnold sudah menunggu dengan kemeja biru dongker dan celana chino abu-abu, terlihat santai tapi tetap rapi.

“Wah, beneran CEO yang jemput aku langsung,” sapa Marsha sambil tersenyum manis.

Arnold membalas dengan senyum hangat.

“Hari ini aku cuti meeting khusus buat kamu. Siap-siap aku manjain, ya.”

Marsha tertawa pelan.

“He-he-he. Wah, aku jadi deg-degan beneran, nih.”

Mereka pun tiba di Mall Pondok Indah sekitar pukul lima sore. Tempat parkir masih cukup lengang, suasana mall belum terlalu ramai. Arnold menggandeng tangan Marsha santai menuju lantai dua, ke sebuah gerai es krim yang terkenal.

“Pilih rasa favorit kamu,” ucap Arnold sambil memandang deretan rasa yang ditawarkan.

“Hmm ... cookies and cream,” jawab Marsha mantap.

“Sama dong! Kita cocok banget, ya,” ujar Arnold sambil tersenyum.

Akhirnya mereka duduk di bangku dekat jendela kaca yang menghadap ke taman air kecil di dalam mall. Cahaya sore menyinari wajah Marsha, membuat pipinya tampak lebih bersinar.

“Kamu selalu sesibuk ini di kantor?” tanya Arnold sambil menyendok es krim.

Marsha mengangguk.

“Yap. Banyak proyek interior yang harus dipantau. Tapi aku suka. Tiap klien yang beda, tiap ruang punya cerita.”

“Kayak kamu ya, tiap sisi punya daya tarik tersendiri,” gumam Arnold setengah bercanda.

Marsha mengangkat alis.

“Itu rayuan, ya?”

“Kalau berhasil, iya,” jawab Arnold cepat.

“Ha-ha-ha!”

Keduanya pun tertawa bersama. Suasana di antara mereka sangat alami, seperti sepasang teman lama yang baru saja menemukan kembali kenyamanan yang hilang.

Setelah menikmati es krim, Arnold menggandeng Marsha ke bioskop XXI di lantai atas. Dia sudah membeli tiket lewat aplikasi.

“Filmnya genre romantis-komedi, ya?” tanya Marsha sambil membaca judul di layar tiket digital.

“Iya. Biar kita bisa ketawa bareng. Tapi kalo kamu nangis, tenang aja, aku bawa tisu,” jawab Arnold.

“Ha-ha-ha, siap, Pak CEO.”

Mereka lalu duduk di bangku couple seat, dan sepanjang film, keduanya tertawa lepas. Sesekali Marsha menyandarkan kepala di bahu Arnold saat adegan lucu atau mengharukan. Arnold membiarkannya, bahkan menggenggam tangan Marsha diam-diam.

Saat lampu studio menyala kembali, Marsha menoleh padanya.

“Kamu tahu nggak, aku udah lama nggak nonton film di bioskop. Biasanya sibuk terus.”

“Berarti hari ini spesial dong?” tanya Arnold.

Marsha mengangguk.

“Iya. Karena ada kamu.”

Arnold hanya tersenyum, namun sorot matanya menunjukkan perasaan yang lebih dalam dari sekadar senang.

Waktu menunjukkan pukul setengah delapan malam saat mereka duduk di sebuah restoran fine dining berdesain elegan di rooftop mall. Lilin kecil menyala di atas meja, dan di kejauhan, lampu-lampu Kota Jakarta berkelap-kelip seperti bintang.

Pelayan datang dan mencatat pesanan keduanya dengan sopan. Setelah itu, hanya ada keheningan yang manis di antara mereka.

“Aku senang bisa mengenal kamu lebih dalam, Marsha,” ucap Arnold setelah menyesap jus buah pilihannya.

Marsha menatap mata Arnold. “Aku juga, Nold. Aku nggak nyangka kita bisa sedekat ini dalam waktu singkat.”

“Karena mungkin hati kita udah lama nyambung, tapi baru ketemu lagi sekarang.”

Marsha tersenyum tipis.

“Tadinya aku pikir kamu nggak bakal ingat aku.”

“Awalnya memang nggak, tapi pas Mami ngomong soal kamu, tiba-tiba semua kenangan saat TK dulu muncul,” jawab Arnold pelan.

“Dan sejak pertemuan itu, aku jadi sering mikirin kamu.”

Marsha menunduk sedikit, pipinya kembali merona.

“Aku juga dulu sempat naksir kamu. Tapi aku simpan sendiri.”

Arnold mendekatkan tubuhnya sedikit.

“Sekarang nggak perlu disimpan sendiri lagi.”

Mereka saling menatap, dan di momen itu, tak perlu banyak kata. Perasaan yang dipendam sejak kecil kini mengalir perlahan, mewarnai malam itu dengan kehangatan yang berbeda.

Makanan mereka datang, dan obrolan pun berlanjut, tentang mimpi, keluarga, dan masa depan.

“Kamu punya rencana besar ke depan untuk AZ Corp?” tanya Marsha sambil memotong steak-nya.

“Aku mau bikin unit sosial baru di perusahaan. Fokus ke edukasi buat anak-anak di pelosok,” jawab Arnold mantap.

“Karena aku percaya, kesempatan itu mahal. Aku sudah dapat banyak, sekarang saatnya berbagi.”

Marsha mengangguk kagum. “Kamu bukan cuma pintar, tapi juga punya jiwa sosial yang tinggi. Aku semakin kagum.”

Arnold tersenyum,

“Aku juga kagum sama kamu. Kamu tahu apa yang kamu mau, kamu berdiri di atas kaki sendiri, bahkan di perusahaan keluarga. Itu nggak mudah.”

Malam pun semakin larut. Angin rooftop berhembus lembut. Mereka kini berjalan berdampingan ke area balkon restoran, melihat-lihat lampu kota.

Arnold lalu berkata,

“Marsha …”

“Iya?”

“Kalau suatu hari nanti aku ingin lebih serius. Apakah kamu mau?”

Marsha memandangnya, matanya lembut.

“Kalau itu kamu, aku pasti mau.”

Arnold tersenyum.

“Saat ini adalah malam paling indah buatku.”

Marsha membalas senyumnya. “Dan buatku juga.”

Di bawah cahaya temaram Kota Jakarta, dua hati yang pernah berpapasan di masa kecil kini kembali bertaut. Bukan karena perjodohan semata, tapi karena cinta yang tumbuh alami, dan mungkin. sudah ditakdirkan sejak dulu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TUAN MUDA KAMU YANG KUTUNGGU    9. Arnold Menyatakan Perasaannya Kepada Marsha

    Malam itu, angin laut berhembus lembut di tepi pantai Ancol. Di lantai atas sebuah restoran mewah bernuansa mediterania, lampu-lampu gantung kecil berkelip seperti bintang. Lilin-lilin tertata di setiap meja, memberikan cahaya temaram yang menciptakan suasana hangat dan romantis. Di tengah ruangan semi-terbuka itu, sebuah panggung kecil berdiri, tempat penyanyi akustik menyanyikan lagu-lagu cinta dengan suara yang merdu.Marsha Livia berdiri mematung saat melihat seluruh pengaturan itu. Malam ini, Arnold mengajaknya makan malam dengan alasan “refreshing setelah kerja.” Tapi jelas sekali ini bukan makan malam biasa.“Arnold,” ucap Marsha pelan, menatap dekorasi penuh bunga peony pink yang mengelilingi meja mereka.Arnold tersenyum hangat. Dia mengenakan kemeja putih dengan jas biru gelap, rambutnya tertata rapi. Tatapannya teduh, tapi ada gugup yang disembunyikan di balik senyumnya.“Lo suka, Sha?” tanya Arnold, berjalan mendekatinya sambil menyodorkan satu tangkai peony besar ke tanga

  • TUAN MUDA KAMU YANG KUTUNGGU    8. Perasaan Arnold Yang Sesungguhnya

    Arnold menoleh ke luar jendela, senyumnya makin lebar.“Giliran gue jatuh cinta beneran, ya malah sama temen TK sendiri,” ucapnya sambil menggeleng. “Tapi Marsha beda, dia punya cara bicara yang tenang, sopan, tapi juga hangat. Aura dia tuh, adem banget.”Tiba-tiba suara notifikasi dari ponselnya terdengar. Arnold melirik ke layar yang terhubung ke sistem mobil, ada satu pesan dari Marsha.Arnold menekan tombol pada stir, mengaktifkan fitur voice-reader.“Makasih ya, Nold, hari ini bener-bener menyenangkan. Aku masih senyum-senyum sendiri nih. Hati-hati di jalan, jangan ngebut.”Arnold menggigit bibir bawahnya dan tertawa pelan.“Ha-ha-ha. Duh, kamu bikin aku makin nggak bisa tidur malam ini, Sha.”Arnold pun membalas cepat via suara,“Sama-sama, Sha. Aku juga senyum terus di mobil. Dengerin lagu-lagu cinta nih gara-gara kamu. Udah mau nyampe rumah. Nanti kabarin ya kalau kamu udah tidur. Sweet dreams.”Setelah mengirimkan balasan, Arnold menoleh sejenak ke arah kaca spion, lalu ke l

  • TUAN MUDA KAMU YANG KUTUNGGU    7. Mampir Ke Rumah Marsha

    Malam semakin larut ketika mobil sedan hitam yang dikendarai Arnold berhenti perlahan di depan sebuah rumah megah bergaya klasik di Kawasan Gading Serpong. Lampu taman menyala lembut, menerangi jalan setapak menuju pintu utama rumah Keluarga Livia.Di dalam mobil, Marsha tersenyum sambil menoleh ke Arnold.“Terima kasih untuk malam ini, Nold. Aku benar-benar senang.”Arnold membalas senyum itu dengan hangat. “Aku juga, Sha. Rasanya seperti mimpi bisa menghabiskan waktu sama kamu.”Marsha mengangguk pelan, kemudian membuka pintu mobil. Namun sebelum dia keluar, Arnold berkata, “Aku boleh antar kamu sampai pintu?”Marsha tertawa pelan. “He-he-he. Boleh banget. Tapi hati-hati ya, jangan sampai Mami suruh kamu masuk sekalian.”Arnold ikut tertawa. “Ha-ha-ha. Kalau disuruh masuk, ya aku masuk dong. Siapa tahu dapat teh hangat.”Mereka lalu berjalan berdampingan menuju pintu rumah. Belum sempat Marsha mengetuk, pintu itu terbuka sendiri. Nyonya Bertha berdiri di sana dengan senyum lebar

  • TUAN MUDA KAMU YANG KUTUNGGU    6. Menghabiskan Waktu Bersama

    Arnold memutar tubuhnya menghadap Marsha. “Itu aku?”Marsha hanya mengangguk kecil, pipinya masih bersemu merah.Untuk beberapa saat, mereka hanya saling menatap, dan dalam diam itu, ada sesuatu yang tak terucap tapi sangat terasa, yaitu benih cinta yang perlahan tumbuh, disirami kenangan masa lalu dan kehangatan saat ini.“Aku ingin mengenal kamu lebih dalam, Marsha,” ucap Arnold mantap.“Bukan cuma karena orang tua kita berharap begitu, tapi karena aku sendiri ingin.”Marsha mengangguk dengan mata berkaca-kaca. “Aku juga, Arnold. Aku mau kita mulai dari awal pelan-pelan, tapi pasti.”Arnold tersenyum, lalu berdiri dan mengulurkan tangan. “Kalau begitu, mau temani aku minum kopi di rooftop cafe? Sambil lihat sunset?”Marsha menggenggam tangan Arnold, berdiri dan tersenyum cerah.“Dengan senang hati.”Mereka pun berjalan bersama, meninggalkan taman itu menuju rooftop cafe. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, memberi semburat jingga keemasan di langit Jakarta.Sementara itu, dari

  • TUAN MUDA KAMU YANG KUTUNGGU    5. Pertemuan Pertama Marsha dan Arnold

    Pertemuan yang telah lama dinanti,Hari itu akhirnya tiba. Sebuah restoran mewah di dalam Mall Central Park, Jakarta Barat, menjadi saksi pertemuan dua keluarga yang telah lama bersahabat, terutama oleh para ibu yang bersahabat sejak di bangku perkuliahan. Yaitu Keluarga Arnold dan Keluarga Marsha. Di tengah suasana elegan restoran bergaya klasik Eropa dengan alunan musik instrumental lembut, Mami Dina duduk anggun bersama putranya, Arnold Zafazel, pria muda tampan nan kharismatik, berbalut jas semi formal abu gelap dengan rambut tersisir rapi.“Jangan terlalu tegang, Nak,” bisik Mami Dina pelan sambil menyesap teh hangatnya, “Mami dan Tante Bertha sudah sepakat, hari ini kita biarkan semuanya mengalir saja. Kamu tinggal jadi diri kamu sendiri.”Arnold mengangguk sambil menghela napas. “Iya, Mi. Tapi aku nggak nyangka, dijodohin gini. Kayak kencan buta saja,” ucapnya sambil tersenyum tipis.Tak lama kemudian, muncullah Mami Bertha dengan langkah percaya diri, diiringi oleh putrinya,

  • TUAN MUDA KAMU YANG KUTUNGGU    4. Perbincangan Serius Keluarga Marsha

    Senin sore itu, langit di Kawasan Gading Serpong mulai meredup, menyisakan rona jingga yang lembut menyinari pepohonan di halaman rumah mewah milik Keluarga Eben. Sebuah mobil SUV putih berhenti perlahan di depan gerbang rumah, dan dari dalamnya keluar seorang wanita muda dengan penampilan elegan namun terlihat lelah.“Akhirnya, aku sampai juga di rumah. Duh, capeknya!” keluhnya.Marsha Livia, gadis cantik yang berusia dua puluh lima tahun, sedang mengenakan blazer abu muda dengan celana bahan warna krem. Wajahnya cantik meski sedikit lelah, namun gadis itu maklum, hari Senin memang selalu padat, apalagi di dunia desain interior yang penuh revisi mendadak dan klien perfeksionis.Begitu langkah kakinya menyentuh teras, pintu rumah langsung terbuka.“Marsha Sayang, akhirnya kamu pulang juga, Nak,” sambut Nyonya Bertha, Sang ibu dengan senyum hangat di wajahnya. Wanita cantik itu mengenakan daster batik lembut dan sandal rumah, terlihat nyaman dan keibuan.“Maaf Mami, tadi sempat ada ra

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status