“Kalau aku berbagi rahasiaku, apa kamu tetap mau berteman dan dekat denganku?” tanyaku menjawab ajaknnya. Tentu saja aku merasa sangsi atas pernyataan gadis yang memiliki warna favorit ungu.“Ya, aku janji.” Gadis itu menatap mataku dalam. Terlihat keseriusan di kedua mata bulat bening itu.“Katakan. Maka aku akan mengatakannya,” tantangku. Apa Salsa memang Tuhan kirim untuk mempermudah urusanku bertahan hidup. Siapa tahu, dia tetap akan berada di sisiku walau tahu aku seorang laki –laki, toh kami tidak pacaran ‘kan?“Aku adalah anak seorang kiai dan dari keluarga pesantren.”“Apa?!” Aku terperanjat. Mataku hampir saja lepas dari tempatnya karena saking terkejut.“Kenapa kamu terkejut begitu?” tanyanya santai seolah hal itu bukan sesuatu yang mengejutkan.Tentu saja buatku hal besar, juga masalah sangat besar pula. Kalau begini bagaimana aku akan bercerita padanya bahwa aku seorang pria? Sementara dia tak mungkin bisa dekat dengan seorang pria. Aku akan kehilangannya, dan aku belum si
“Kalau aku berbagi rahasiaku, apa kamu tetap mau berteman dan dekat denganku?” tanyaku menjawab ajaknnya. Tentu saja aku merasa sangsi atas pernyataan gadis yang memiliki warna favorit ungu.“Ya, aku janji.” Gadis itu menatap mataku dalam. Terlihat keseriusan di kedua mata bulat bening itu.“Katakan. Maka aku akan mengatakannya,” tantangku. Apa Salsa memang Tuhan kirim untuk mempermudah urusanku bertahan hidup. Siapa tahu, dia tetap akan berada di sisiku walau tahu aku seorang laki –laki, toh kami tidak pacaran ‘kan?“Aku adalah anak seorang kiai dan dari keluarga pesantren.”“Apa?!” Aku terperanjat. Mataku hampir saja lepas dari tempatnya karena saking terkejut.“Kenapa kamu terkejut begitu?” tanyanya santai seolah hal itu bukan sesuatu yang mengejutkan.Tentu saja buatku hal besar, juga masalah sangat besar pula. Kalau begini bagaimana aku akan bercerita padanya bahwa aku seorang pria? Sementara dia tak mungkin bisa dekat dengan seorang pria. Aku akan kehilangannya, dan aku belum si
Keesokan harinya. Aku telah berjanji pada diri sendiri bertekad jadi anak yang baik untuk Paman, terutama keluargaku yang meninggal. Pagi hari menghindari Salsa. Meski gadis itu mengetuk pintu, kubiarkan tanpa membukanya.“Ayo, Jun!” serunya. “Kenapa tak ada jawaban? Apa dia sudah pergi?” tanyanya lirih. Namun, karena aku berada di depan pintu, bisa mendengar suaranya dengan jelas.Tak lama terdengar suara langkah Salsa yang menjauh. Setelah 15 menit dan berpikir dia sudah jauh, aku pun bergegas pergi, tak ingin terlambat masuk kelas.Pagiku terasa hampa tanpa Salsa. Namun, mau bagaimana lagi, aku tak boleh membuat Paman Hamzah bersedih. Biarlah kusimpan dulu cintaku dalam hati, biarlah cerita cintaku tak seindah kisah cinta di dalam novel yang banyak author tulis di platform baca.Tak masalah, aku masih bisa mengawasinya dari kejauhan biar tidak diembat si Hasan.“Hai, Pink!” sapa Hasan yang tiba-tiba berjalan mensejajariku. Baru juga dibicarakan dalam hati, dia sudah nongol saja!Pi
“Permintaan? Apa itu?” Mataku memicing. Penasaran apa yang dia minta? Sepertinya dia mengajukan sesuatu yang tidak akan mudah untuk kupenuhi. Namun, apa pun itu aku akan melakukannya.Hasan merogoh sesuatu dari kantong. Apa itu? Apa sebuah pisau untuk mengancamku?Detik kemudian benda itu disodorkan begitu saja. “Berikan nomor ponselmu, dengan begitu kita bisa lebih dekat lagi, dan membicarakan perihal keinginanku.”“Nomor? Hah? Jadi nomor telepon saja tidak cukup?”Wah, perlukah ini? Bahkan Salsa saja belum punya nomorku.Namun, aku perlu info tentang Bianca yang sangat mencurigakan, dan berpotensi mengganggu jalanku. Ah, biar saja. Toh, kalau aku muak bisa dengan mudah memblokir nomornya.“Ya. Baiklah.” Kuraih benda pipih tersebut. Tampak jelas raut senang di wajah pria yang telah mencuri hati Salsa itu sekarang.“Mundurlah, kamu membuatku kesulitan dalam bernapas!” ucapku yang mulai merogoh ponsel dan kemudian mengetik nomor ponsel di atas layar. Semua itu kulakukan agar Hasan mera
Lagian kenapa dia bisa tahu aku sedang berada di sini? Apa dia mengikuti Hasan karena saking tertariknya. Tak mungkin. Salsa bukan gadis semurah itu. Jadi, apa artinya dia datang karena aku?"Nggak, ayo kita pergi dari sini!" jawabku cuek.Sampai tempat lengang di lobi depan perpus. Kami pun memelankan langkah. "Apa kamu sudah jadian dengan cowok itu?" tanya Salsa yang berjalan beriringan denganku."Haah?" Jadian dengan Hasan? Jika itu terjadi berarti aku perlu dibawa ke rumah sakit jiwa, atau mencari donor otak, sebab otakku sudah tak lagi bekerja dengan baik."Hem? Jadi ... emang udah jadian?" Ada kecewa dari nada suara gadis itu. "Nggak. Tentu aja nggak!” Kugerakkan ke dua tangan menyilang dengan gerakan cepat. “Gak mungkin aku jadian dengan pria sepertinya. Dia bukan tipeku sama sekali!" Aku berkilah untuk sesuatu yang memang mustahil akan kulakukan. Entah Salsa percaya atau tidak pada jawabanku? Karena yang aku tahu sesama wanita itu sulit mempercayai sesamanya, apalagi jika m
“Wah, ini printer?” tanya Salsa begitu meletakkan jinjingan yang tadi dibawa dari kamarnya. Dua mata bulat itu berbinar.“Ah, ya. Tadi katanya ada yang jual murah ke Paman.” Kuletakkan mesin yang lumayan berat itu ke atas meja yang sudah kukosongkan tadi. “Sekarang, aku tinggal memikirkan laptopnya saja.”“Wah, kebetulan. Aku cuma punya laptopnya, Jun. Jadi kita bisa join –an gimana?” Salsa mendekatkan wajah cantiknya ke arahku dengan dua mata berkedip –kedip. Ya Tuhan, ini menggoda iman.“Ah, ya tentu saja.” Aku bergerak ke arah samping. Hawa panas menjalar ke seluruh tubuhku jika kami terus berdekatan seperti tadi. “O ya ini apa?”“Ah, itu makanan. Tadi ada yang antar ke sini. Sepertinya Umi kepikiran apakah aku makan dengan baik di sini? Padahal mah, pagi sore perutku penuh dengan seblak dan bakso. Ha ha ha.”“Oh.” Aku manggut –manggut. “Tapi, kenapa dibawa ke sini?”“Apa lagi? Tentu saja karena aku ingin berbagi sama kamu.”“Ya, tapi ....” Ucapanku menggantung lantaran Salsa lebih
Di kampus. Aku sedang duduk di kelas, menunggu pergantian dosen. Namun sudah lebih satu jam menunggu, tapi dosen pembimbing kami belum juga masuk. Itu kenapa kuputuskan untuk mempelajari sendiri buku yang sudah kupinjam dari perpustakaan. Menyiapkan materi yang harus kukerjakan makalahnya nanti malam. Dengan begitu, aku juga akan lebih siap untuk persentasi di depan yang lain.Mulai sekarang aku harus serius belajar untuk masa depanku. Bukan hanya untuk bisa masuk ke dalam keluargaku yang sebenarnya, tapi juga melayakkan diri untuk bisa bersanding dengan gadis sesempurna Salsa. Dia pasti juga memiliki keluarga yang sangat menyayanginya, dan tak mungkin menyerahkan begitu saja dengan mudah putri mereka pada pria yang melamar tanpa memenuhi kriteria yang baik.Setidaknya, aku harus memenuhi kriteria umum dulu. Mereka pasti akan pilih –pilih. Setidaknya setelah nanti aku sukses akan diperhitungkan keberadaanku oleh mereka.Sedang asik menulis poin –poin isi makalah, sebuah panggilan data
“Jadi mulai hari ini kita jadian. Kamu adalah pacarku dan aku adalah pacarmu! Jadi jangan biarkan siapa pun mendekati kamu. Karena aku yakin ada banyak sekali mahasiswa di kelas kamu yang jatuh cinta padamu.” Hasan mewanti –wanti.“Ok. Hanya pria kan? Aku masih boleh bergaul dengan perempuan. Siapa saja dan dekat dengan mereka?” Aku ingin memastikan ucapannya.“Yah, tentu saja, itu tak akan masalah bagiku, Sayang. Bergaullah dengan siapa saja yang kamu inginkan jadi teman dekatmu.” Pria itu menjawab lugas. Benar –benar tanpa pengekangan, berbeda jika yang akan mendekatiku seorang pria.Aku manggut –manggut. Memahami keinginannya sekaligus merasa lega, tak akan ada gangguan saat aku akan mendekati Salsa. Tentu saja itu tak boleh diganggu siapa pun, sebab selama ini dan ke depannya salah satu tujuan hidupku adalah gadis itu.“Sebentar.” Hasan seperti teringat sesuatu, sehingga tampak berpikir keras. “Kamu ... seorang gadis normal kan? Maksudku bukan seorang penyuka sesama jenis atau les