Usai sholat berjamaah dan wirid bersama, ketika santri –santri lain bertahan untuk menunggu ustaz yang mengisi kajian, aku diam –diam ke luar mengikuti Gus Hanan. Benar saja, bahwa pria yang usianya lebih tua dari Paman Hamzah beberapa tahun itu sedang berjalan menuju rumahnya.Jantungku berpacu lebih kencang. Apa aku akan bertemu dengan Salsa hari ini, setelah sekian lama menahan diri? Atau justru, aku akan menerima hukumanku sekarang, karena orang tuanya akan tahu bahwa aku menipu anak mereka dan sering melakukan hal –hal yang tak seharusnya bersama.Namun, apa pun itu, aku akan menerimanya. Jujur saja, perasaan bersalah ini menyiksa.Aku berjalan santai di belakang Gus Hanan, ketika santri -santri lain satu persatu menyapa kiai itu dengan ta'dzim. Mungkin mereka pikir aku adalah seorang abdi dalem Gus Hanan yang mengikuti beliau untuk membantu. Namun, jika memang itu yang terjadi, alangkah sangat membantuku. Tak perlu mendapat tatapan tak nyaman, bahkan tidak ada yang menegur. Sam
“Ehm, Gus, sebelum pergi, saya ingin bertanya sesuatu.”“Ya?”“Apa benar Ning Salsa sudah punya calon?”“Ah, ya benar. Tapi calon suaminya masih berada di Tarim, jadi kami masih harus bersabar.”Hatiku seperti dicabik –cabik. Kenapa juga aku harus menanyakannya jika niatnya hanya untuk memastikan hal yang sudah pasti.“Ehm, Mas Juna kenal Salsa?”“Ah, ya, kebetulan dulu pernah sekampus jadi tahu begitu saja.”“Oh, ya. Sejak dikhitbah saya memintanya berhenti dan pindah universitas yang kelasnya non reguler.” Gus Hanan menceritakan.Hal itu tentu saja mengejutkan. Kupikir dia berhenti karena marah padaku.“Kalau begitu saya permisi, Gus.” Kuraih tangan pria itu dan menyalami punggungnya.“Ah, ya.”“Assalamualaikum.”“Waalaikumussalam.”"Gus." Aku berbalik karena penasaran terhadap sesuatu yang lain."Ya?""Boleh saya bertanya satu hal lagi.""Ya.""Apa Salsa bukan anak kandung Gus Hanan?""Hah?" Pria itu tampak terkejut. "Salsa mengatakannya? Ah, tidak mungkin. Dia tidak mungkin berint
“Siapa dia?”“Anak temannya Paman.”“Namanya?”“Salsa.”“Ha ha ha.” Aku tertawa, karena merasa Paman meledekku yang masih menyimpan perasaan kepada Salsa. "Ayolah serius, Paman."“Hem, kamu pasti mendengar kalau dia akan menikah dengan pemuda yang sedang menjalani pendidikannya di Tarim. Namun, kata Hanan, setelah tahu pria itu sudah beristri, Hanan membatalkan rencana pernikahan mereka. Saat itulah paman mengajukan namamu sebagai ganti.” Panjang lebar Paman bicara.Aku menggeleng sambil tertawa miris. "Paman pasti bercanda. Bagus, Paman punya bakat jadi penulis novel. Atau jadi artis saja sekalian karena akting yang sangat bagus!"Bagaimana, ya? Ini terlalu tak masuk akal. Mana bisa semua semudah ini? “Oya?!” Mataku melotot karena masih tak percaya. Tapi juga sangat senang karena tidak mungkin Paman berbohong untuk hal seserius ini.“Untung kamu menolak Hasna. Dengan begitu punya kesempatan menunggu takdir mempertemukan kamu dengan Salsa. Hem, romantis sekali kisah cintamu, Jun.”“I
“Ibu, aku ‘kan laki-laki? Kenapa pakai kerudung?” tanyaku polos kala itu.“Gak papa, Sayang. Ibu lebih ingin kamu terlihat cantik.” Wanita itu membenarkan posisi kerudung yang membingkai kepala ini, lalu beralih ke rok berwarna merah, yang harus dikenakan di sekolah.“Ingat, kamu tidak boleh mengatakan pada siapa pun, kalau kamu anak laki-laki, oke!?” Ibu memperingatkan.Hari itu adalah hari pertama masuk sekolah. Hari di mana aku sudah fasih membaca Al-Qur’an dan mendengar kartun muslim, kemudian tahu bahwa seorang pria tidak boleh berlaku layaknya seorang perempuan. Itulah sebabnya aku pun protes kepada Ibu.“Tapi, kita nanti disiksa kalau mengubah ciptaan Allah. Berbohong kan juga dosa, Bu.”“Sttt, ini hanya untuk pura-pura. Supaya Om jahat tidak menemukan kamu, Sayang. Kalau tidak dia akan ….” Ucapan ibu menggantung.Maksud ibu adalah Om Rudi, kakak dari ayah. Setiap pagi sebelum pergi, kami diminta untuk melihat fotonya dari waktu ke waktu agar bisa menghindar dan bersembunyi jik
“Jadi aku harus pura-pura jadi mahasiswi?” Aku mendecih. Tersenyum masam ke arahnya.“Kenapa? Bukannya kamu sudah terbiasa menjadi seorang gadis?”“Itu dulu. Sekarang aku bisa pergi ke mana pun yang kuinginkan, Paman. Aku bisa jadi apa pun asal jangan jadi perempuan. Itu menjijikkan. Belum kalau ada pria yang naksir padaku, itu lebih menjijikan!” Nada suaraku meninggi.Saat menyamar menjadi perempuan, aku pernah beberapa kali mendapat pernyataan cinta dari siswa laki-laki, dan itu sangat mengganggu. Mereka memegang tanganku seolah aku ini seorang gadis cantik yang hidup dalam mimpi mereka. Astagfirullah.“Sudahlah, Juna! Cepat ganti baju, dan berkemas!” Paman Hamzah tak peduli atas semua keluhan, dan meski telah protes sedemikian rupa.“Tidak mau!”“Terserah. Pergilah semaumu kalau begitu. Jangan dikira aku senang karena harus menjagamu. Ini semua kulakukan demi ibumu.” Pria itu bangkit. Berdiri di depan pintu.Sedikit saja aku tak melihat ke arahnya, agar Paman tahu bahwa aku akan sa
“Apa aku harus kuliah, Paman? Malas sekali rasanya,” tanyaku yang duduk di teras pos satpam sambil menikmati es krim yang Paman belikan.“Ya, itu harus. Setidaknya kamu punya masa depan yang harus kamu perjuangkan.” Paman tengah duduk di belakangku, di dalam pos. Mencatat sesuatu, entah apa?“Aku malas bertemu banyak orang atau pun para pria.”.“Kenapa? Kamu kan juga pria? Kamu terlalu banyak mengeluh, Jun. Kemarin bilang benci para gadis, sekarang benci bertemu pria! Plin-plan dan suka mengeluh. Heuh.” Paman memakiku. Laki-laki itu sifatnya sangat ceplas-ceplos. Aneh juga, kenapa orang sepertinya yang harus menjagaku?“Harusnya aku jadi pria biar bisa bergabung dan berteman dengan mereka,” protesku.“Sudahlah, jangan terlalu banyak mengeluh. Serius belajar dari sekarang. Ingat nanti sore jadwal karate. Semua aturan paman harus kamu ikuti agar–,” ucap Paman menggantung.“Agar aku tetap bisa hidup!” serobotku yang sudah sangat hafal kata-kata Paman.“Yah, itu. Begitu kamu terlatih, dan
Bayangan gadis itu terlihat.Sontak saja aku yang terkejut, pun kalang kabut. Melihat penampilan sendiri yang hanya mengenakan kaos oblong dan celana boxer. Kelaki-lakianku sangat tampak sekarang.“Sebentar!” teriakku sembari berlari ke arah lemari mengambil daster dan meraih handuk menutupi kepala.“Ya?” Aku tersenyum sealami mungkin saat membuka pintu dan berhadapan dengan gadis bermata lentik itu.“Em, ini Mbak. Makanan sedikit.” Salsa menyodorkan semangkuk cilok.“Tadi aku bikin, sekalian kenalan sama tetangga baru. Maaf untuk kejadian tadi, ya. Perutku emang beneran lagi mules. Ga taunya datang bulan.”“Uhuk.” Aku yang mendengar kata datang bulan langsung terbatuk. Kenapa dia bicara datang bulan tanpa rasa malu pada laki-laki. Ah, ya, aku perempuan di matanya. Justru ini malah bagus sebenarnya, aku saja yang harus membiasakan diri.“Nggak papa, Mbak?”Aku menggeleng. “Nggak papa santai aja. Oya makasih untuk ciloknya, ya.” Kuambil mangkok dan segera menutup pintu. Merasa tidak ad
Kalau begitu dia bisa jadi anaknya Om Rudi.Aku pun celingukan, hingga kudapati dua orang berseragam tampak tengah berdiri di depan jendela. Dan hanya terlihat pundak ke atas. Benar, dia bahkan dijaga bodyguard. Aku yakin antara Bianca, Kakek dan Om Rudi, mereka saling berkaitan. Aku harus menyelidikinya.Benar dugaanku, kala keluar dari kelas. Bianca diikuti dua bodyguard ke luar area kampus. Meski begitu tetap saja mata-mata lelaki melihatnya dengan takjub. Mereka tanpa malu memperhatikan tubuh Bianca yang hanya terbungkus pakaian minim.Sepertinya dia juga tak masalah dengan itu. Itulah kenapa aku tak menyukai wanita seksi, dia akan menjadi pusat perhatian pria lain. Beruntung rasanya bisa mengenal Salsa, meski juga cantik dia tetap memakai pakaian tertutup. Karena sebajingan-bajingannya seorang pria dia tak akan mau mendapat wanita berperilaku buruk.Ah, sudahlah. Kenapa pikiranku ngelantur ke mana-mana? Mentang-mentang sedang jatuh cinta pada Salsa. Aku jadi suka mengaitkan segal