Share

Bidadari di Kelas Teknik

Bayangan gadis itu terlihat.

Sontak saja aku yang terkejut, pun kalang kabut. Melihat penampilan sendiri yang hanya mengenakan kaos oblong dan celana boxer. Kelaki-lakianku sangat tampak sekarang.

“Sebentar!” teriakku sembari berlari ke arah lemari mengambil daster dan meraih handuk menutupi kepala.

“Ya?” Aku tersenyum sealami mungkin saat membuka pintu dan berhadapan dengan gadis bermata lentik itu.

“Em, ini Mbak. Makanan sedikit.” Salsa menyodorkan semangkuk cilok.

“Tadi aku bikin, sekalian kenalan sama tetangga baru. Maaf untuk kejadian tadi, ya. Perutku emang beneran lagi mules. Ga taunya datang bulan.”

“Uhuk.” Aku yang mendengar kata datang bulan langsung terbatuk. Kenapa dia bicara datang bulan tanpa rasa malu pada laki-laki. Ah, ya, aku perempuan di matanya. Justru ini malah bagus sebenarnya, aku saja yang harus membiasakan diri.

“Nggak papa, Mbak?”

Aku menggeleng. “Nggak papa santai aja. Oya makasih untuk ciloknya, ya.” Kuambil mangkok dan segera menutup pintu. Merasa tidak ada keperluan lagi dengannya.

Namun, gadis itu menahan pintu. “Eh, aku gak disuruh masuk?”

“Masuk?” Mataku melebar. Mana bisa kubiarkan dia masuk. Benda pribadiku tampak di sana-sini. Akan aneh kalo dia melihatnya. Harusnya aku beli bra, untuk mengelabui gadis itu dan menyangka aku benar-benar seorang perempuan.

“Eum. Maaf. Mbak. Aku baru pindah. Jadi kamarnya masih sangat berantakan.” Duh, terpaksa juga aku menolak. Padahal mah, kalo berduaan sama dia dalam kamar pasti asik.

“Oh.” Mulut gadis itu membulat. “Apa perlu

bantuan? Kebetulan aku nganggur.”

“Apa?” Apa dia memang segigih itu? “Oh, gak perlu.” Aku meringis.

“Ya, baik kalau begitu.” Wajahnya tampak kecewa, lalu berbalik berjalan ke kamarnya.

“Makasih, ya.”

“Ya,” jawabnya sebelum masuk ke kamarnya sendiri.

Huft. Untung saja aku bisa berkilah. Apa besok-besok dia juga akan masuk kamarku lagi, dan aku bisa masuk kamarnya? Uwuhhhh. Ini mah sungguh satu keberuntungan di antara banyaknya kesialan dalam hidupku.

Saat duduk mengikat tali sepatu, pandangan teralih pada sosok seseorang yang tiba-tiba ada di depan. Saat mendongak, Salsa yang sudah rapi dengan ransel di gendongan berdiri dan tersenyum.

Cantiknya. Dia wanita pertama yang membuatku terpesona sekarang. Lebih cantik dari pada semua artis. Wajahnya lebih dekat ke wajah wanita Timur Tengah. Matanya bulat, hidungnya yang menjulang tinggi dan bibirnya yang urhg. Aku sampai bingung mendefinisikannya.

“Kuliah ke mana, Mbak?”

“Aku? Ke Gajah Mada.”

“Loh, kok sama?” tanyaku lagi.

“Karena itu kampus terdekat dari asrama kita.”

“Um. Kalau gitu kita bisa berangkat bareng.”

Wah, benar-benar. Kami ditakdirkan bersama ternyata. Segera kututup pintu dan mengajaknya pergi.

Makin semangat kalau gini. Dan sebaiknya aku ambil pelajaran full saja supaya Paman tak lagi menuntut ikut karate. Itu melelahkan. Akan lebih baik tetap di rumah main game me-refresh otak, yang tegang karena selalu ingat petuahnya tentang hidup dan mati.

“Emang Mbak jurusan apa?” tanyanya yang sudah berjalan mensejajariku.

“Jurusan teknik.”

“Hah? Teknik? Cewek ambil jurusan teknik.” Salsa terkejut.

Aku mengangguk. Tentu saja hanya jurusan itu yang diperlukan seorang CEO mengatur perusahaan. Kelak aku akan kembali ke keluarga Brawijaya, mengambil hakku sebagai pewaris dan memimpin perusahaan.

“Yah, beda donk. Aku di psikologi. Kenapa di teknik? Emangnya Mbak mau kerja kantoran atau apa? ‘Kan gak mesti ambil jurusan teknik. Serem Mbak. Di sana isinya cowok semua.”

Apalagi Mbak cantik, apa gak dikerjain sama mereka?”

Lah, iya. Kenapa aku baru mikir? Gimana kalo aku dibully dan digilir? Bukannya banyak mahasiswa brutal saat mereka berkumpul teman-temannya?

Apa aku perlu berubah jadi Juna saat kuliah? Ah, gila itu nggak mungkin.

Eh, kita kan sebaya. Panggilnya Salsa aja, deh. Jangan pakai Mbak. Itu membuatku merasa tua. Haha.” Salsa yang berjalan di sampingku mengatakan keinginannya. Sepertinya gadis itu sudah merasa nyaman berteman dengan Junia.

“Jadi wanita tak suka disebut “tua.” Hemh.” Aku tersenyum meremehkan.

“Hem? Bukannya kamu juga wanita?”

“Hah?” Mataku melebar ke arah Salsa yang ternyata sedang menatapku.

“Ahya.” Ck. Keceplosan lagi. Semoga saja dia hanya menganggapnya angin lalu.

“Sikap Mbak aneh kadang-kadang.”

“Mbak? Katanya tadi panggil nama saja.”

“Ohya, Junia. Hehe.”

Sekitar 700 meter kami berjalan, langkah kami berbelok ke bangunan besar dengan halaman sangat luas. Bangunan yang ditandai dengan tulisan terpampang jelas Universitas Djahya Timoer.

Namun, beberapa langkah memasuki area kampus, Salsa bertingkah aneh. Dia seperti tengah bersikap malu-malu.

“Kamu kenapa? Wajahmu bersemu begitu?” tanyaku kala melihat ekspresi Salsa yang mendadak berubah.

“Duh, subhanallah. Aku nervous.” Gadis itu tiba-tiba meraih tanganku dan menggenggamnya.

Sontak saja aku menelan ludah gelagapan. Ada sesuatu yang menghangat menjalar ke kedua pipi. Jantung ini juga terasa terpompa lebih cepat dari biasa. Entah, apa yang membuat gadis itu bersikap begini.

“Junia?”

“Ya?”

“Kenapa wajah kamu merah begini?”

“Hah?” Apa alergiku kambuh atau karena debar-debar dalam dadaku.

Segera kutarik paksa tangan dari genggaman Salsa. Dan berpamitan pergi. “Kita berpisah di sini. Daaa!”

“Ya,” jawabnya yang tampak bingung menatapku.

“Dah.” Lagi, rasanya masih canggung menghadapinya.

Begitu sampai di kampus, langkahku langsung bergerak ke arah administrasi dan memberikan semua berkas yang Paman Hamzah lengkapi. Soal ini Paman sangat bisa diandalkan. Dari sini aku tahu bahwa dia begitu peduli pada keponakannya yang sering mengeluh dan membangkangnya ini.

Setelah selesai urusan administrasi aku diminta ke kelas Teknik. Untungnya tak ada lagi OSPEK, jadi cukup masuk sebagai mahasiswa baru dan tak perlu mengalami pembullyan senior. Pembullyan adalah hal yang paling aku benci.

Dada rasanya berdebar. Benar saja, koridor kelas teknik diisi oleh kaum lelaki, hingga aku yang melewati mereka menjadi pusat perhatian.

“Cuit … cuit … Cantik!”

“Apa dia mahasiswa kelas teknik?”

“Beuh, udah manis pake kerudung.”

“Hem, target utama.”

Suara itu sahut-menyahut. Wah, gila saja kalau tiap hari begini. Mereka yang terus melihatku mana tahan untuk tidak menyentuh suatu hari nanti. Bukannya aku lelaki penakut, hanya malas saja jadi pusat perhatian. Dengan begitu akan membuat curiga anak buah Om Rudi yang berada di mana-mana seperti intelijen.

Rasanya, pilihan menjadi Arjuna di kampus perlu dipertimbangkan. Namun, wajahku sudah ditandai oleh Om Rudi dan anak buahnya.

Sampai di suatu ruangan, sesuai bagian yang admin katakan, aku pun masuk ke sana. Hanya berselang beberapa menit, kelas pun dimulai. Mahasiswa lain berhamburan masuk. Setiap orang masuk menjadi perhatianku, hingga aku terus mendesah karena sejauh mata memandang, hanya ada pria, pria dan pria.

Mataku melebar, kala seorang gadis berpakaian seksi dan membuat gaduh seisi ruangan masuk ke kelas.

“Wuuu ….”

“Bening!”

“Akhirnya ada bidadariku di kelas teknik!”

Cantik. Pakaiannya terbuka. Jelas saja hal itu membuatnya jadi pusat perhatian. Namun, tentu saja keberadaan gadis itu akan sangat membantuku beradaptasi di kelas ini, karena perhatian para laki-laki itu tidak hanya mengarah padaku saja.

“Pagi semua!” sapa dosen yang baru saja masuk.

“Pagi, Prof!” Sebagian besar dari kami menjawab.

Mata pria paruh baya itu mengitari ruangan. Seolah memindai keberadaan kami. Satu sudut bibirnya naik, begitu tatapan kami bertemu sejenak lalu beralih pada gadis seksi yang tampak cuek pada sekitar di sisi lain dalam ruangan ini.

“Suasana tahun ini berbeda. Ada dua gadis di kelas kita.” Suara dosen kembali membuat gaduh kelas.

“Tenang, tenang. Kita minta saja mereka memperkenalkan diri. Dari siapa dulu ini?” tanya dosen pada kami.

“Dari yang seksi!” seru salah seorang. Sial aku dinomorduakan.

“Wuuu….” Pria-pria lain menimpali. Dasar mereka ini kaya nggak pernah lihat cewek seksi saja.

Aku pun bukannya tak mau berpakaian seksi seperti gadis itu, hanya saja jika itu kulakukan, jakunku akan kelihatan dan mereka akan berpikir aneh tentang itu. Belum lagi dadaku yang rata ini.

Gadis seksi itu berdiri memperkenalkan diri. “Perkenalkan namaku Bianca Brawijaya.”

Aku yang awalnya tak begitu peduli, terhenyak mendengar nama di belakang Bianca. Brawijaya? Apa dia juga cucu Kakek?

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status