Beranda / Romansa / TUAN MUDA YANG MENYAMAR / Bidadari di Kelas Teknik

Share

Bidadari di Kelas Teknik

Penulis: Wafa Farha
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-13 15:29:46

Bayangan gadis itu terlihat.

Sontak saja aku yang terkejut, pun kalang kabut. Melihat penampilan sendiri yang hanya mengenakan kaos oblong dan celana boxer. Kelaki-lakianku sangat tampak sekarang.

“Sebentar!” teriakku sembari berlari ke arah lemari mengambil daster dan meraih handuk menutupi kepala.

“Ya?” Aku tersenyum sealami mungkin saat membuka pintu dan berhadapan dengan gadis bermata lentik itu.

“Em, ini Mbak. Makanan sedikit.” Salsa menyodorkan semangkuk cilok.

“Tadi aku bikin, sekalian kenalan sama tetangga baru. Maaf untuk kejadian tadi, ya. Perutku emang beneran lagi mules. Ga taunya datang bulan.”

“Uhuk.” Aku yang mendengar kata datang bulan langsung terbatuk. Kenapa dia bicara datang bulan tanpa rasa malu pada laki-laki. Ah, ya, aku perempuan di matanya. Justru ini malah bagus sebenarnya, aku saja yang harus membiasakan diri.

“Nggak papa, Mbak?”

Aku menggeleng. “Nggak papa santai aja. Oya makasih untuk ciloknya, ya.” Kuambil mangkok dan segera menutup pintu. Merasa tidak ada keperluan lagi dengannya.

Namun, gadis itu menahan pintu. “Eh, aku gak disuruh masuk?”

“Masuk?” Mataku melebar. Mana bisa kubiarkan dia masuk. Benda pribadiku tampak di sana-sini. Akan aneh kalo dia melihatnya. Harusnya aku beli bra, untuk mengelabui gadis itu dan menyangka aku benar-benar seorang perempuan.

“Eum. Maaf. Mbak. Aku baru pindah. Jadi kamarnya masih sangat berantakan.” Duh, terpaksa juga aku menolak. Padahal mah, kalo berduaan sama dia dalam kamar pasti asik.

“Oh.” Mulut gadis itu membulat. “Apa perlu

bantuan? Kebetulan aku nganggur.”

“Apa?” Apa dia memang segigih itu? “Oh, gak perlu.” Aku meringis.

“Ya, baik kalau begitu.” Wajahnya tampak kecewa, lalu berbalik berjalan ke kamarnya.

“Makasih, ya.”

“Ya,” jawabnya sebelum masuk ke kamarnya sendiri.

Huft. Untung saja aku bisa berkilah. Apa besok-besok dia juga akan masuk kamarku lagi, dan aku bisa masuk kamarnya? Uwuhhhh. Ini mah sungguh satu keberuntungan di antara banyaknya kesialan dalam hidupku.

Saat duduk mengikat tali sepatu, pandangan teralih pada sosok seseorang yang tiba-tiba ada di depan. Saat mendongak, Salsa yang sudah rapi dengan ransel di gendongan berdiri dan tersenyum.

Cantiknya. Dia wanita pertama yang membuatku terpesona sekarang. Lebih cantik dari pada semua artis. Wajahnya lebih dekat ke wajah wanita Timur Tengah. Matanya bulat, hidungnya yang menjulang tinggi dan bibirnya yang urhg. Aku sampai bingung mendefinisikannya.

“Kuliah ke mana, Mbak?”

“Aku? Ke Gajah Mada.”

“Loh, kok sama?” tanyaku lagi.

“Karena itu kampus terdekat dari asrama kita.”

“Um. Kalau gitu kita bisa berangkat bareng.”

Wah, benar-benar. Kami ditakdirkan bersama ternyata. Segera kututup pintu dan mengajaknya pergi.

Makin semangat kalau gini. Dan sebaiknya aku ambil pelajaran full saja supaya Paman tak lagi menuntut ikut karate. Itu melelahkan. Akan lebih baik tetap di rumah main game me-refresh otak, yang tegang karena selalu ingat petuahnya tentang hidup dan mati.

“Emang Mbak jurusan apa?” tanyanya yang sudah berjalan mensejajariku.

“Jurusan teknik.”

“Hah? Teknik? Cewek ambil jurusan teknik.” Salsa terkejut.

Aku mengangguk. Tentu saja hanya jurusan itu yang diperlukan seorang CEO mengatur perusahaan. Kelak aku akan kembali ke keluarga Brawijaya, mengambil hakku sebagai pewaris dan memimpin perusahaan.

“Yah, beda donk. Aku di psikologi. Kenapa di teknik? Emangnya Mbak mau kerja kantoran atau apa? ‘Kan gak mesti ambil jurusan teknik. Serem Mbak. Di sana isinya cowok semua.”

Apalagi Mbak cantik, apa gak dikerjain sama mereka?”

Lah, iya. Kenapa aku baru mikir? Gimana kalo aku dibully dan digilir? Bukannya banyak mahasiswa brutal saat mereka berkumpul teman-temannya?

Apa aku perlu berubah jadi Juna saat kuliah? Ah, gila itu nggak mungkin.

Eh, kita kan sebaya. Panggilnya Salsa aja, deh. Jangan pakai Mbak. Itu membuatku merasa tua. Haha.” Salsa yang berjalan di sampingku mengatakan keinginannya. Sepertinya gadis itu sudah merasa nyaman berteman dengan Junia.

“Jadi wanita tak suka disebut “tua.” Hemh.” Aku tersenyum meremehkan.

“Hem? Bukannya kamu juga wanita?”

“Hah?” Mataku melebar ke arah Salsa yang ternyata sedang menatapku.

“Ahya.” Ck. Keceplosan lagi. Semoga saja dia hanya menganggapnya angin lalu.

“Sikap Mbak aneh kadang-kadang.”

“Mbak? Katanya tadi panggil nama saja.”

“Ohya, Junia. Hehe.”

Sekitar 700 meter kami berjalan, langkah kami berbelok ke bangunan besar dengan halaman sangat luas. Bangunan yang ditandai dengan tulisan terpampang jelas Universitas Djahya Timoer.

Namun, beberapa langkah memasuki area kampus, Salsa bertingkah aneh. Dia seperti tengah bersikap malu-malu.

“Kamu kenapa? Wajahmu bersemu begitu?” tanyaku kala melihat ekspresi Salsa yang mendadak berubah.

“Duh, subhanallah. Aku nervous.” Gadis itu tiba-tiba meraih tanganku dan menggenggamnya.

Sontak saja aku menelan ludah gelagapan. Ada sesuatu yang menghangat menjalar ke kedua pipi. Jantung ini juga terasa terpompa lebih cepat dari biasa. Entah, apa yang membuat gadis itu bersikap begini.

“Junia?”

“Ya?”

“Kenapa wajah kamu merah begini?”

“Hah?” Apa alergiku kambuh atau karena debar-debar dalam dadaku.

Segera kutarik paksa tangan dari genggaman Salsa. Dan berpamitan pergi. “Kita berpisah di sini. Daaa!”

“Ya,” jawabnya yang tampak bingung menatapku.

“Dah.” Lagi, rasanya masih canggung menghadapinya.

Begitu sampai di kampus, langkahku langsung bergerak ke arah administrasi dan memberikan semua berkas yang Paman Hamzah lengkapi. Soal ini Paman sangat bisa diandalkan. Dari sini aku tahu bahwa dia begitu peduli pada keponakannya yang sering mengeluh dan membangkangnya ini.

Setelah selesai urusan administrasi aku diminta ke kelas Teknik. Untungnya tak ada lagi OSPEK, jadi cukup masuk sebagai mahasiswa baru dan tak perlu mengalami pembullyan senior. Pembullyan adalah hal yang paling aku benci.

Dada rasanya berdebar. Benar saja, koridor kelas teknik diisi oleh kaum lelaki, hingga aku yang melewati mereka menjadi pusat perhatian.

“Cuit … cuit … Cantik!”

“Apa dia mahasiswa kelas teknik?”

“Beuh, udah manis pake kerudung.”

“Hem, target utama.”

Suara itu sahut-menyahut. Wah, gila saja kalau tiap hari begini. Mereka yang terus melihatku mana tahan untuk tidak menyentuh suatu hari nanti. Bukannya aku lelaki penakut, hanya malas saja jadi pusat perhatian. Dengan begitu akan membuat curiga anak buah Om Rudi yang berada di mana-mana seperti intelijen.

Rasanya, pilihan menjadi Arjuna di kampus perlu dipertimbangkan. Namun, wajahku sudah ditandai oleh Om Rudi dan anak buahnya.

Sampai di suatu ruangan, sesuai bagian yang admin katakan, aku pun masuk ke sana. Hanya berselang beberapa menit, kelas pun dimulai. Mahasiswa lain berhamburan masuk. Setiap orang masuk menjadi perhatianku, hingga aku terus mendesah karena sejauh mata memandang, hanya ada pria, pria dan pria.

Mataku melebar, kala seorang gadis berpakaian seksi dan membuat gaduh seisi ruangan masuk ke kelas.

“Wuuu ….”

“Bening!”

“Akhirnya ada bidadariku di kelas teknik!”

Cantik. Pakaiannya terbuka. Jelas saja hal itu membuatnya jadi pusat perhatian. Namun, tentu saja keberadaan gadis itu akan sangat membantuku beradaptasi di kelas ini, karena perhatian para laki-laki itu tidak hanya mengarah padaku saja.

“Pagi semua!” sapa dosen yang baru saja masuk.

“Pagi, Prof!” Sebagian besar dari kami menjawab.

Mata pria paruh baya itu mengitari ruangan. Seolah memindai keberadaan kami. Satu sudut bibirnya naik, begitu tatapan kami bertemu sejenak lalu beralih pada gadis seksi yang tampak cuek pada sekitar di sisi lain dalam ruangan ini.

“Suasana tahun ini berbeda. Ada dua gadis di kelas kita.” Suara dosen kembali membuat gaduh kelas.

“Tenang, tenang. Kita minta saja mereka memperkenalkan diri. Dari siapa dulu ini?” tanya dosen pada kami.

“Dari yang seksi!” seru salah seorang. Sial aku dinomorduakan.

“Wuuu….” Pria-pria lain menimpali. Dasar mereka ini kaya nggak pernah lihat cewek seksi saja.

Aku pun bukannya tak mau berpakaian seksi seperti gadis itu, hanya saja jika itu kulakukan, jakunku akan kelihatan dan mereka akan berpikir aneh tentang itu. Belum lagi dadaku yang rata ini.

Gadis seksi itu berdiri memperkenalkan diri. “Perkenalkan namaku Bianca Brawijaya.”

Aku yang awalnya tak begitu peduli, terhenyak mendengar nama di belakang Bianca. Brawijaya? Apa dia juga cucu Kakek?

Bersambung....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Bahagia

    “Siapa dia?”“Anak temannya Paman.”“Namanya?”“Salsa.”“Ha ha ha.” Aku tertawa, karena merasa Paman meledekku yang masih menyimpan perasaan kepada Salsa. "Ayolah serius, Paman."“Hem, kamu pasti mendengar kalau dia akan menikah dengan pemuda yang sedang menjalani pendidikannya di Tarim. Namun, kata Hanan, setelah tahu pria itu sudah beristri, Hanan membatalkan rencana pernikahan mereka. Saat itulah paman mengajukan namamu sebagai ganti.” Panjang lebar Paman bicara.Aku menggeleng sambil tertawa miris. "Paman pasti bercanda. Bagus, Paman punya bakat jadi penulis novel. Atau jadi artis saja sekalian karena akting yang sangat bagus!"Bagaimana, ya? Ini terlalu tak masuk akal. Mana bisa semua semudah ini? “Oya?!” Mataku melotot karena masih tak percaya. Tapi juga sangat senang karena tidak mungkin Paman berbohong untuk hal seserius ini.“Untung kamu menolak Hasna. Dengan begitu punya kesempatan menunggu takdir mempertemukan kamu dengan Salsa. Hem, romantis sekali kisah cintamu, Jun.”“I

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Aku Ingin Nikah, Paman

    “Ehm, Gus, sebelum pergi, saya ingin bertanya sesuatu.”“Ya?”“Apa benar Ning Salsa sudah punya calon?”“Ah, ya benar. Tapi calon suaminya masih berada di Tarim, jadi kami masih harus bersabar.”Hatiku seperti dicabik –cabik. Kenapa juga aku harus menanyakannya jika niatnya hanya untuk memastikan hal yang sudah pasti.“Ehm, Mas Juna kenal Salsa?”“Ah, ya, kebetulan dulu pernah sekampus jadi tahu begitu saja.”“Oh, ya. Sejak dikhitbah saya memintanya berhenti dan pindah universitas yang kelasnya non reguler.” Gus Hanan menceritakan.Hal itu tentu saja mengejutkan. Kupikir dia berhenti karena marah padaku.“Kalau begitu saya permisi, Gus.” Kuraih tangan pria itu dan menyalami punggungnya.“Ah, ya.”“Assalamualaikum.”“Waalaikumussalam.”"Gus." Aku berbalik karena penasaran terhadap sesuatu yang lain."Ya?""Boleh saya bertanya satu hal lagi.""Ya.""Apa Salsa bukan anak kandung Gus Hanan?""Hah?" Pria itu tampak terkejut. "Salsa mengatakannya? Ah, tidak mungkin. Dia tidak mungkin berint

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Abi Salsa

    Usai sholat berjamaah dan wirid bersama, ketika santri –santri lain bertahan untuk menunggu ustaz yang mengisi kajian, aku diam –diam ke luar mengikuti Gus Hanan. Benar saja, bahwa pria yang usianya lebih tua dari Paman Hamzah beberapa tahun itu sedang berjalan menuju rumahnya.Jantungku berpacu lebih kencang. Apa aku akan bertemu dengan Salsa hari ini, setelah sekian lama menahan diri? Atau justru, aku akan menerima hukumanku sekarang, karena orang tuanya akan tahu bahwa aku menipu anak mereka dan sering melakukan hal –hal yang tak seharusnya bersama.Namun, apa pun itu, aku akan menerimanya. Jujur saja, perasaan bersalah ini menyiksa.Aku berjalan santai di belakang Gus Hanan, ketika santri -santri lain satu persatu menyapa kiai itu dengan ta'dzim. Mungkin mereka pikir aku adalah seorang abdi dalem Gus Hanan yang mengikuti beliau untuk membantu. Namun, jika memang itu yang terjadi, alangkah sangat membantuku. Tak perlu mendapat tatapan tak nyaman, bahkan tidak ada yang menegur. Sam

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Melayakkan Diri

    Satu tahun kemudian ....“Kenapa wajahmu tertekuk begitu?” tanya Paman Hamzah. Pria yang mengenakan setelan kemeja dibalut jas mahal itu membuka tutup botol minuman untukku. “Bukankah ini pilihanmu, harusnya kamu berbahagia dengan ini.”Aku menghela napas berat. Bagaimana aku bisa bahagia? Sudah hampir setahun di pesantren ini, tapi belum pernah sekali pun bertemu Salsa. Terakhir kali kudengar dia bahkan akan menikah. Namun, bahkan sampai sekarang aku belum mendengar kabar pernikahannya. Apa keluarga pesantren memang memiliki budaya tidak memeriahkan resepsi besar –besaran?Entahlah. Untuk sesaat aku tak ingin tahu. Bahkan ketika bertanya, santri lain selalu saja menjawab tidak tahu. Saat itu aku sadar, bahwa ada di pesantren ini bukan cara tepat untuk mendekati Salsa, melainkan menempa diriku sendiri agar semakin kembali pada Tuhan. Belajar menyadari dan memperbaiki diri.Semakin hari, aku semakin takut bertemu dengan Salsa. Bukan hanya takut kabar buruk dia jadi milik orang lain, tap

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Aku Senang Dia Mati

    "Pa -pa?" Mataku melebar mendengar kata yang Salsa ucap. Apa maksudnya? Papa siapa? Yang mengejutkan, Salsa merangkak ke arah Om Rudi yang akan dievakuasi oleh anak buah Louis. Ini membingungkan? Kenapa Salsa harus melakukan itu?Mataku sampai menyipit memikirkan ini. Apa mungkin Salsa adalah anak Om Rudi? Tidak mungkin! Itu tidak mungkin! Tapi kenapa gadis itu .....Tak ingin penasaran seorang diri, aku pun mendekati mereka. "Papa? Apa maksudnya? Bukannya kamu putrinya Hanan? Kiai di Pesantren?" tanya Paman. Rupanya pria dewasa itu juga terkejut dan berpikiran sama denganku. Yah, siapa pun yang mengenal Salsa juga Om Rudi akan sangat terkejut. Bagaimana bisa seorang gadis Sholehah dari pesantren ada hubungan darah dengan pria dari dunia mafia yang kejamnya tak bisa dicapai oleh nalar orang normal. Salsa tak menjawab, dan malah meraung memeluk tubuh gembul yang sudah tak berdaya di depan kami. Tubuh yang diisi roh jahat dan membunuh ibuku serta seluruh keluargaku. Meski bukan aku

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Tumbangnya Musuh

    Flashback kejadian sebelum masuk gedung ....Begitu melihatnya, hal tersebut membuatku bernapas lega. Semua tak seperti dalam bayanganku. Hal yang sering kali ditakutkan memang tak terjadi. Hanya manusia saja yang yang memiliki kecemasan berlebih untuk masa depannya. Paman Hamzah sudah berdiri di depanku, tersenyum mematikan ponsel kemudian menyimpannya dalam saku. Dan beberapa orang ada di belakangnya. Ada sekitar sepuluh orang. Namun, yang membuatku sempat gagal fokus adalah seorang pria yang menarikku tadi pagi dari Om Rudi. D an ternyata pria itu adalah anak buah Kakek yang kulihat dalam rekaman CCTV.“Paman mengagetkan saja,” keluhku sembari mengusap dada. Pria itu datang tanpa suara, dan tiba-tiba sudah berada di belakangku. Seperti musuh yang menemukan lawannya. “Arahkan teropongmu ke sana!” Paman mengarahkan telunjuk ke arah dekat gerbang. Ada tiga truk besar yang parkir di tempat itu. Dahiku mengerut dipenuhi tanya. Namun, seketika dua mataku melebar sempurna ketika melihat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status