Home / Romansa / TUAN MUDA YANG MENYAMAR / Bianca Brawijaya

Share

Bianca Brawijaya

Author: Wafa Farha
last update Last Updated: 2023-06-13 15:30:25

Kalau begitu dia bisa jadi anaknya Om Rudi.

Aku pun celingukan, hingga kudapati dua orang berseragam tampak tengah berdiri di depan jendela. Dan hanya terlihat pundak ke atas. Benar, dia bahkan dijaga bodyguard. Aku yakin antara Bianca, Kakek dan Om Rudi, mereka saling berkaitan. Aku harus menyelidikinya.

Benar dugaanku, kala keluar dari kelas. Bianca diikuti dua bodyguard ke luar area kampus. Meski begitu tetap saja mata-mata lelaki melihatnya dengan takjub. Mereka tanpa malu memperhatikan tubuh Bianca yang hanya terbungkus pakaian minim.

Sepertinya dia juga tak masalah dengan itu. Itulah kenapa aku tak menyukai wanita seksi, dia akan menjadi pusat perhatian pria lain. Beruntung rasanya bisa mengenal Salsa, meski juga cantik dia tetap memakai pakaian tertutup. Karena sebajingan-bajingannya seorang pria dia tak akan mau mendapat wanita berperilaku buruk.

Ah, sudahlah. Kenapa pikiranku ngelantur ke mana-mana? Mentang-mentang sedang jatuh cinta pada Salsa. Aku jadi suka mengaitkan segala hal dengannya.

Sebelum melangkah pergi meninggalkan kampus, kuputuskan ke bagian administrasi. Menanyakan mengenai Bianca.

“Mas, boleh minta data Bianca. Gadis yang masuk kelas teknik?” Aku tersenyum semanis mungkin. Agar pria di depanku tergoda dan mau memberi apa yang kuminta. Aku bahkan mengedipkan mata berkali-kali sebagai upaya maksimal.

“Maaf, Mbak cantik. Staf tidak boleh memberikan informasi pribadi mahasiswanya.” Pria yang duduk di depan komputer itu menjawab permintaanku dengan gaya sangat santai.

Huft. Meski dia memujiku, hal itu tidak membuatku senang sama sekali. Gue dibilang cantik. Tubuhku memang terlihat seperti wanita, tapi hati, pikiran dan perasaanku tetaplah seorang pria sejati.

Argh! Sial sekali. Akhirnya aku pergi meninggalkan ruangan dengan menelan kekecewaan.

‘Sabar Juna! Kita pikirkan cara lain.’ Aku menghibur diri seolah ada dua jiwa dalam tubuhku.

“Baiklah, masih ada waktu tiga jam yang harus diisi sebelum kembali ke asrama. Tak mungkin aku pulang sekarang. Bisa-bisa Paman marah karena tahu aku tak pergi ke tempat latihan karate,” ucapku sembari melirik jam tangan di tangan kiri.

“Wah, seorang gadis latihan karate. Keren.” Seorang pria tiba-tiba berdiri di sampingku. Dia bahkan mencondongkan badannya hingga aku memundurkan kepala.

“Who, jamnya juga keren. Kenapa maskulin sekali.” Pria itu tersenyum.

Apa-apaan ini orang? Mau ganteng melebihi Cha Eun Woo pun gak mungkin lah aku tertarik padanya. Hih! Najis!

Aku mencebik ke arah pria tampan itu, dan berjalan menjauh sejauh-jauhnya. Jijik!

Dia pasti ada something sama Junia! Heh. Yang benar saja. Sok imut, sok baik, dan sok-sokan memuji.

Setelah jauh dari pria itu, aku melangkah mencari warnet terdekat. Lumayanlah, dua jam main game akan merefresh kebahagiaanku yang terus saja terusik karena menjalani nasib Junia.

Sudah sejam lebih main game. Mendadak aku ingat sesuatu.

“Br a!” seruku keceplosan.

Semua orang dalam warnet menatap padaku. Arhg, kenapa aku jadi mudah keceplosan. Apa karena terlalu menghayati jiwa perempuan?

Malu. Aku pun meringis dan minta maaf pada mereka. Lalu bergegas pergi setelah membayar.

_________

Menyusuri toko-toko terdekat, mencari toko yang menjual pakaian dalam wanita. Lebih dari 500 meter dan tak menemukannya. Aku bahkan masuk ke toko di mana ada etalase lingerie. Namun, mereka tak menjual benda-benda keramat itu.

Sampai di suatu toko. “Loh, kok malah dekat dengan kampus?” Aku mendecak kesal. Sudah bolak-balik, bolak-balik malah penjualnya ada di dekat tempatku ke luar tadi.

Tanpa ragu aku pun melangkah ke dalam.

“Sore. Ada yang bisa saya bantu Mbak Cantik?” tanya seorang pelayan toko bermake up tebal. Seorang gadis tentu saja. Tubuhnya juga bagus. Mungkin penjual sengaja memasang penjaga seperti ini agar para wanita merasa tubuhnya bisa sebagus itu kalau pakai underware yang mereka jual.

“Saya cari kacamata, Mbak,” ucapku berbisik.

Jujur aku malu pada diri sendiri harus membeli benda tersebut. Yah, walaupun penampilanku begini sekarang. Namun, sekalipun aku tak pernah memakai dalaman perempuan.

“Kacamata?” Pelayan toko menelengkan kepala memikirkan apa yang kumaksud.

Kugerakkan tangan melingkar di dada, memberi isyarat padanya.

“O ….!” Mulutnya membulat diikuti kekehan.

Aku jadi ikut tertawa melihatnya.

“Mau ukuran berapa, Mbak?” tanyanya lagi.

“Hah?” Aku melongok. Bingung. Maksudnya ukuran apa? Ukuran dada?

“Dada saya, Mbak?”

Gadis itu tertawa. “Ukuran branya?”

“Oh, ukuran berapa, ya?” Jadilah aku garuk-garuk kepala karena bingung.

“Mbak biasa pake ukuran berapa?”

“Saya-” Bagaimana menjawabnya? Sementara aku tak pernah memakai itu.

“Ya, sudah sini biar saya bantu lihat.” Gadis itu mendekat dan memegang dadaku.

“Oh tidak!” Aku refleks memukul tangannya dan mendekap tangan ke dada.

“Auh!” Gadis itu meringis kesakitan.

“Aduh, Mbak. Maaf. Saya refleks.”

“Iya, gak papa. Lagian Mbaknya ukuran sendiri gak tau,” keluhnya sambil mendesah panjang.

“Ya sudah ukuran berapa aja deh, Mbak.”

“Ya, baik. Tapi kalo lihat dada Mbak sekilas. Ukuran 32 juga udah cukup.” Gadis itu lalu meletakkan banyak bra di depannya. Aku mengangguk setuju.

Aku menghela napas panjang. Apalagi ini aku sudah bilang ukuran 32. Kenapa pula banyak dijejer benda itu di depanku? Geli rasanya.

“Mau yang biasa, yang grade?. Yang biasa made luar negeri atau grade luar negeri.”

“Mbak saya mau satu aja yang ini. Paling murah kan?” Aku tunjuk yang biasa.

“Oh, oke.” Gadis itu tampak kecewa. Dia berjalan menjauhiku untuk membungkus pesanan.

“Ck. Mukanya cakep, muka-muka konglomerat, tapi yang dibeli paling murah Cuma satu pula.” Ia ngedumel memakiku.

“Mbak! Aku dengar lo!” seruku pada gadis itu. Hal minim akhlak seperti ini tidak boleh dibiarkan. Kalau tidak nanti jadi kebiasaan.

Hem, satu lagi benda untuk mengamankan identitasku sudah terbeli. Ini hanya untuk berjaga-jaga, bukan berarti aku akan memakainya. Tidak! Sampai kapan pun aku tidak akan pernah melakukannya.

Bersambung....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Bahagia

    “Siapa dia?”“Anak temannya Paman.”“Namanya?”“Salsa.”“Ha ha ha.” Aku tertawa, karena merasa Paman meledekku yang masih menyimpan perasaan kepada Salsa. "Ayolah serius, Paman."“Hem, kamu pasti mendengar kalau dia akan menikah dengan pemuda yang sedang menjalani pendidikannya di Tarim. Namun, kata Hanan, setelah tahu pria itu sudah beristri, Hanan membatalkan rencana pernikahan mereka. Saat itulah paman mengajukan namamu sebagai ganti.” Panjang lebar Paman bicara.Aku menggeleng sambil tertawa miris. "Paman pasti bercanda. Bagus, Paman punya bakat jadi penulis novel. Atau jadi artis saja sekalian karena akting yang sangat bagus!"Bagaimana, ya? Ini terlalu tak masuk akal. Mana bisa semua semudah ini? “Oya?!” Mataku melotot karena masih tak percaya. Tapi juga sangat senang karena tidak mungkin Paman berbohong untuk hal seserius ini.“Untung kamu menolak Hasna. Dengan begitu punya kesempatan menunggu takdir mempertemukan kamu dengan Salsa. Hem, romantis sekali kisah cintamu, Jun.”“I

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Aku Ingin Nikah, Paman

    “Ehm, Gus, sebelum pergi, saya ingin bertanya sesuatu.”“Ya?”“Apa benar Ning Salsa sudah punya calon?”“Ah, ya benar. Tapi calon suaminya masih berada di Tarim, jadi kami masih harus bersabar.”Hatiku seperti dicabik –cabik. Kenapa juga aku harus menanyakannya jika niatnya hanya untuk memastikan hal yang sudah pasti.“Ehm, Mas Juna kenal Salsa?”“Ah, ya, kebetulan dulu pernah sekampus jadi tahu begitu saja.”“Oh, ya. Sejak dikhitbah saya memintanya berhenti dan pindah universitas yang kelasnya non reguler.” Gus Hanan menceritakan.Hal itu tentu saja mengejutkan. Kupikir dia berhenti karena marah padaku.“Kalau begitu saya permisi, Gus.” Kuraih tangan pria itu dan menyalami punggungnya.“Ah, ya.”“Assalamualaikum.”“Waalaikumussalam.”"Gus." Aku berbalik karena penasaran terhadap sesuatu yang lain."Ya?""Boleh saya bertanya satu hal lagi.""Ya.""Apa Salsa bukan anak kandung Gus Hanan?""Hah?" Pria itu tampak terkejut. "Salsa mengatakannya? Ah, tidak mungkin. Dia tidak mungkin berint

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Abi Salsa

    Usai sholat berjamaah dan wirid bersama, ketika santri –santri lain bertahan untuk menunggu ustaz yang mengisi kajian, aku diam –diam ke luar mengikuti Gus Hanan. Benar saja, bahwa pria yang usianya lebih tua dari Paman Hamzah beberapa tahun itu sedang berjalan menuju rumahnya.Jantungku berpacu lebih kencang. Apa aku akan bertemu dengan Salsa hari ini, setelah sekian lama menahan diri? Atau justru, aku akan menerima hukumanku sekarang, karena orang tuanya akan tahu bahwa aku menipu anak mereka dan sering melakukan hal –hal yang tak seharusnya bersama.Namun, apa pun itu, aku akan menerimanya. Jujur saja, perasaan bersalah ini menyiksa.Aku berjalan santai di belakang Gus Hanan, ketika santri -santri lain satu persatu menyapa kiai itu dengan ta'dzim. Mungkin mereka pikir aku adalah seorang abdi dalem Gus Hanan yang mengikuti beliau untuk membantu. Namun, jika memang itu yang terjadi, alangkah sangat membantuku. Tak perlu mendapat tatapan tak nyaman, bahkan tidak ada yang menegur. Sam

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Melayakkan Diri

    Satu tahun kemudian ....“Kenapa wajahmu tertekuk begitu?” tanya Paman Hamzah. Pria yang mengenakan setelan kemeja dibalut jas mahal itu membuka tutup botol minuman untukku. “Bukankah ini pilihanmu, harusnya kamu berbahagia dengan ini.”Aku menghela napas berat. Bagaimana aku bisa bahagia? Sudah hampir setahun di pesantren ini, tapi belum pernah sekali pun bertemu Salsa. Terakhir kali kudengar dia bahkan akan menikah. Namun, bahkan sampai sekarang aku belum mendengar kabar pernikahannya. Apa keluarga pesantren memang memiliki budaya tidak memeriahkan resepsi besar –besaran?Entahlah. Untuk sesaat aku tak ingin tahu. Bahkan ketika bertanya, santri lain selalu saja menjawab tidak tahu. Saat itu aku sadar, bahwa ada di pesantren ini bukan cara tepat untuk mendekati Salsa, melainkan menempa diriku sendiri agar semakin kembali pada Tuhan. Belajar menyadari dan memperbaiki diri.Semakin hari, aku semakin takut bertemu dengan Salsa. Bukan hanya takut kabar buruk dia jadi milik orang lain, tap

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Aku Senang Dia Mati

    "Pa -pa?" Mataku melebar mendengar kata yang Salsa ucap. Apa maksudnya? Papa siapa? Yang mengejutkan, Salsa merangkak ke arah Om Rudi yang akan dievakuasi oleh anak buah Louis. Ini membingungkan? Kenapa Salsa harus melakukan itu?Mataku sampai menyipit memikirkan ini. Apa mungkin Salsa adalah anak Om Rudi? Tidak mungkin! Itu tidak mungkin! Tapi kenapa gadis itu .....Tak ingin penasaran seorang diri, aku pun mendekati mereka. "Papa? Apa maksudnya? Bukannya kamu putrinya Hanan? Kiai di Pesantren?" tanya Paman. Rupanya pria dewasa itu juga terkejut dan berpikiran sama denganku. Yah, siapa pun yang mengenal Salsa juga Om Rudi akan sangat terkejut. Bagaimana bisa seorang gadis Sholehah dari pesantren ada hubungan darah dengan pria dari dunia mafia yang kejamnya tak bisa dicapai oleh nalar orang normal. Salsa tak menjawab, dan malah meraung memeluk tubuh gembul yang sudah tak berdaya di depan kami. Tubuh yang diisi roh jahat dan membunuh ibuku serta seluruh keluargaku. Meski bukan aku

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Tumbangnya Musuh

    Flashback kejadian sebelum masuk gedung ....Begitu melihatnya, hal tersebut membuatku bernapas lega. Semua tak seperti dalam bayanganku. Hal yang sering kali ditakutkan memang tak terjadi. Hanya manusia saja yang yang memiliki kecemasan berlebih untuk masa depannya. Paman Hamzah sudah berdiri di depanku, tersenyum mematikan ponsel kemudian menyimpannya dalam saku. Dan beberapa orang ada di belakangnya. Ada sekitar sepuluh orang. Namun, yang membuatku sempat gagal fokus adalah seorang pria yang menarikku tadi pagi dari Om Rudi. D an ternyata pria itu adalah anak buah Kakek yang kulihat dalam rekaman CCTV.“Paman mengagetkan saja,” keluhku sembari mengusap dada. Pria itu datang tanpa suara, dan tiba-tiba sudah berada di belakangku. Seperti musuh yang menemukan lawannya. “Arahkan teropongmu ke sana!” Paman mengarahkan telunjuk ke arah dekat gerbang. Ada tiga truk besar yang parkir di tempat itu. Dahiku mengerut dipenuhi tanya. Namun, seketika dua mataku melebar sempurna ketika melihat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status