Share

Bianca Brawijaya

Kalau begitu dia bisa jadi anaknya Om Rudi.

Aku pun celingukan, hingga kudapati dua orang berseragam tampak tengah berdiri di depan jendela. Dan hanya terlihat pundak ke atas. Benar, dia bahkan dijaga bodyguard. Aku yakin antara Bianca, Kakek dan Om Rudi, mereka saling berkaitan. Aku harus menyelidikinya.

Benar dugaanku, kala keluar dari kelas. Bianca diikuti dua bodyguard ke luar area kampus. Meski begitu tetap saja mata-mata lelaki melihatnya dengan takjub. Mereka tanpa malu memperhatikan tubuh Bianca yang hanya terbungkus pakaian minim.

Sepertinya dia juga tak masalah dengan itu. Itulah kenapa aku tak menyukai wanita seksi, dia akan menjadi pusat perhatian pria lain. Beruntung rasanya bisa mengenal Salsa, meski juga cantik dia tetap memakai pakaian tertutup. Karena sebajingan-bajingannya seorang pria dia tak akan mau mendapat wanita berperilaku buruk.

Ah, sudahlah. Kenapa pikiranku ngelantur ke mana-mana? Mentang-mentang sedang jatuh cinta pada Salsa. Aku jadi suka mengaitkan segala hal dengannya.

Sebelum melangkah pergi meninggalkan kampus, kuputuskan ke bagian administrasi. Menanyakan mengenai Bianca.

“Mas, boleh minta data Bianca. Gadis yang masuk kelas teknik?” Aku tersenyum semanis mungkin. Agar pria di depanku tergoda dan mau memberi apa yang kuminta. Aku bahkan mengedipkan mata berkali-kali sebagai upaya maksimal.

“Maaf, Mbak cantik. Staf tidak boleh memberikan informasi pribadi mahasiswanya.” Pria yang duduk di depan komputer itu menjawab permintaanku dengan gaya sangat santai.

Huft. Meski dia memujiku, hal itu tidak membuatku senang sama sekali. Gue dibilang cantik. Tubuhku memang terlihat seperti wanita, tapi hati, pikiran dan perasaanku tetaplah seorang pria sejati.

Argh! Sial sekali. Akhirnya aku pergi meninggalkan ruangan dengan menelan kekecewaan.

‘Sabar Juna! Kita pikirkan cara lain.’ Aku menghibur diri seolah ada dua jiwa dalam tubuhku.

“Baiklah, masih ada waktu tiga jam yang harus diisi sebelum kembali ke asrama. Tak mungkin aku pulang sekarang. Bisa-bisa Paman marah karena tahu aku tak pergi ke tempat latihan karate,” ucapku sembari melirik jam tangan di tangan kiri.

“Wah, seorang gadis latihan karate. Keren.” Seorang pria tiba-tiba berdiri di sampingku. Dia bahkan mencondongkan badannya hingga aku memundurkan kepala.

“Who, jamnya juga keren. Kenapa maskulin sekali.” Pria itu tersenyum.

Apa-apaan ini orang? Mau ganteng melebihi Cha Eun Woo pun gak mungkin lah aku tertarik padanya. Hih! Najis!

Aku mencebik ke arah pria tampan itu, dan berjalan menjauh sejauh-jauhnya. Jijik!

Dia pasti ada something sama Junia! Heh. Yang benar saja. Sok imut, sok baik, dan sok-sokan memuji.

Setelah jauh dari pria itu, aku melangkah mencari warnet terdekat. Lumayanlah, dua jam main game akan merefresh kebahagiaanku yang terus saja terusik karena menjalani nasib Junia.

Sudah sejam lebih main game. Mendadak aku ingat sesuatu.

“Br a!” seruku keceplosan.

Semua orang dalam warnet menatap padaku. Arhg, kenapa aku jadi mudah keceplosan. Apa karena terlalu menghayati jiwa perempuan?

Malu. Aku pun meringis dan minta maaf pada mereka. Lalu bergegas pergi setelah membayar.

_________

Menyusuri toko-toko terdekat, mencari toko yang menjual pakaian dalam wanita. Lebih dari 500 meter dan tak menemukannya. Aku bahkan masuk ke toko di mana ada etalase lingerie. Namun, mereka tak menjual benda-benda keramat itu.

Sampai di suatu toko. “Loh, kok malah dekat dengan kampus?” Aku mendecak kesal. Sudah bolak-balik, bolak-balik malah penjualnya ada di dekat tempatku ke luar tadi.

Tanpa ragu aku pun melangkah ke dalam.

“Sore. Ada yang bisa saya bantu Mbak Cantik?” tanya seorang pelayan toko bermake up tebal. Seorang gadis tentu saja. Tubuhnya juga bagus. Mungkin penjual sengaja memasang penjaga seperti ini agar para wanita merasa tubuhnya bisa sebagus itu kalau pakai underware yang mereka jual.

“Saya cari kacamata, Mbak,” ucapku berbisik.

Jujur aku malu pada diri sendiri harus membeli benda tersebut. Yah, walaupun penampilanku begini sekarang. Namun, sekalipun aku tak pernah memakai dalaman perempuan.

“Kacamata?” Pelayan toko menelengkan kepala memikirkan apa yang kumaksud.

Kugerakkan tangan melingkar di dada, memberi isyarat padanya.

“O ….!” Mulutnya membulat diikuti kekehan.

Aku jadi ikut tertawa melihatnya.

“Mau ukuran berapa, Mbak?” tanyanya lagi.

“Hah?” Aku melongok. Bingung. Maksudnya ukuran apa? Ukuran dada?

“Dada saya, Mbak?”

Gadis itu tertawa. “Ukuran branya?”

“Oh, ukuran berapa, ya?” Jadilah aku garuk-garuk kepala karena bingung.

“Mbak biasa pake ukuran berapa?”

“Saya-” Bagaimana menjawabnya? Sementara aku tak pernah memakai itu.

“Ya, sudah sini biar saya bantu lihat.” Gadis itu mendekat dan memegang dadaku.

“Oh tidak!” Aku refleks memukul tangannya dan mendekap tangan ke dada.

“Auh!” Gadis itu meringis kesakitan.

“Aduh, Mbak. Maaf. Saya refleks.”

“Iya, gak papa. Lagian Mbaknya ukuran sendiri gak tau,” keluhnya sambil mendesah panjang.

“Ya sudah ukuran berapa aja deh, Mbak.”

“Ya, baik. Tapi kalo lihat dada Mbak sekilas. Ukuran 32 juga udah cukup.” Gadis itu lalu meletakkan banyak bra di depannya. Aku mengangguk setuju.

Aku menghela napas panjang. Apalagi ini aku sudah bilang ukuran 32. Kenapa pula banyak dijejer benda itu di depanku? Geli rasanya.

“Mau yang biasa, yang grade?. Yang biasa made luar negeri atau grade luar negeri.”

“Mbak saya mau satu aja yang ini. Paling murah kan?” Aku tunjuk yang biasa.

“Oh, oke.” Gadis itu tampak kecewa. Dia berjalan menjauhiku untuk membungkus pesanan.

“Ck. Mukanya cakep, muka-muka konglomerat, tapi yang dibeli paling murah Cuma satu pula.” Ia ngedumel memakiku.

“Mbak! Aku dengar lo!” seruku pada gadis itu. Hal minim akhlak seperti ini tidak boleh dibiarkan. Kalau tidak nanti jadi kebiasaan.

Hem, satu lagi benda untuk mengamankan identitasku sudah terbeli. Ini hanya untuk berjaga-jaga, bukan berarti aku akan memakainya. Tidak! Sampai kapan pun aku tidak akan pernah melakukannya.

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status