“Ck. Mukanya cakep, muka-muka konglomerat, tapi yang dibeli paling murah Cuma satu pula.” Ia ngedumel memakiku.“Mbak! Aku dengar lo!” seruku pada gadis itu. Hal minim akhlak seperti ini tidak boleh dibiarkan. Kalau tidak nanti jadi kebiasaan.“Ah, ya, Mbak! Sebentar!” serunya dari dalam.Saat aku ke luar dari toko, seseorang berseru memanggil namaku.“Junia!”Saat menoleh, seorang gadis yang memakai baju ungu motif bunga datang mendekat. Salsa. Kenapa gadis itu suka sekali memakai gamis berwarna ungu?“Hai, Nona-nona cantik.”Kurang ajar. Jadi mereka mengikuti Salsa karena ingin menggodanya.Aku yang tak terima, refleks berdiri di depan Salsa, menjadi penghalang antara gadis itu dan pria-pria g ila ini.“Wah, ada yang lebih cantik,” goda salah seorang pria menjawil daguku.“Cuih!” Merasa ji jik aku pun refleks meludah ke wajah lelaki tersebut.“Gadis sok kecakepan! Sombong! Tak tahu diri!” Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Ingin sekali kulawan dan menendangnya tapi dua pria lain me
“Tak tau diuntung!” Dia menamparku lagi hingga aku terjatuh. Dua temannya tak lagi memegangiku. Mungkin karena saking kesalnya. Hingga kurasakan cairan hangat merembes dari hidung dan bibirku bersamaan.Sial aku berdarah. Ah, ini tak masalah. Yang paling buruk dia sudah mencuri ciuman pertamaku. Argh! Menjijikkan sekali!“Woy!” Suara seorang pemuda mendekat. Ternyata dia datang tak sendiri. Melainkan lebih dari dua orang.Pemuda itu ternyata adalah mahasiswa yang menggodaku saat keluar tadi. Dia langsung melayangkan pukulan pada pria-pria itu. Wah, dia benar-benar keren. Seperti sedang memainkan jurus bayangan. Harusnya kuikuti saran Paman, pergi latihan karate agar bisa setidaknya melindungi diri. Jika melindungi diri saja tak bisa, bagaimana aku akan melindungi Salsa.“Dasar preman kurang kerjaan!” seru pemuda itu, kala pria-pria yang usil kepada kami lari tunggang langgang.Kini mahasiswa yang berhasil mengusir preman tersebut melihat ke arahku dan akan menolong.“Kamu gak papa?” t
“Au!” seruku saat Salsa membersihkan luka-luka di wajahku. Oh God! Wajah kami begitu dekat. Apa dia tak merasakan debaran kencang di dadaku?“Kamu ini terlalu berani untuk ukuran seorang perempuan, Jun. Aku malah gak enak sendiri, kamu menyerahkan diri dihajar buat selamatin aku.”“Ehm, ya. Aku tak suka perempuan dilecehkan,” jawabku meringis. Demi kamu bahkan ciuman pertamaku diambil seorang laki-laki, Sa. Sedih kalau ingat itu, merasa harga diriku sedang dicabik-cabik.“Temenku yang lain gak mungkin kaya kamu, Jun. Mereka pasti kabur dan meninggalkanku sendiri.” Tatapan Salsa kosong. Dia seperti tengah mengenang sesuatu yang buruk terjadi padanya. Apa itu? Aku sangat penasaran.“Jun,” panggil Salsa yang membuatku seketika menoleh.“Ya?”“Apa kamu menyukai Hasan?”“Hah?” Mataku seketika melebar menatap mata Salsa dalam-dalam. Aku cepat menggeleng. Kukira dia akan bercerita. Gak tahunya malah bahas Hasan.“Nggak!” Aku menjawab tegas.Gadis itu lantas tersenyum. Senang sepertinya.“Ken
“Kalau aku berbagi rahasiaku, apa kamu tetap mau berteman dan dekat denganku?” tanyaku menjawab ajaknnya. Tentu saja aku merasa sangsi atas pernyataan gadis yang memiliki warna favorit ungu.“Ya, aku janji.” Gadis itu menatap mataku dalam. Terlihat keseriusan di kedua mata bulat bening itu.“Katakan. Maka aku akan mengatakannya,” tantangku. Apa Salsa memang Tuhan kirim untuk mempermudah urusanku bertahan hidup. Siapa tahu, dia tetap akan berada di sisiku walau tahu aku seorang laki –laki, toh kami tidak pacaran ‘kan?“Aku adalah anak seorang kiai dan dari keluarga pesantren.”“Apa?!” Aku terperanjat. Mataku hampir saja lepas dari tempatnya karena saking terkejut.“Kenapa kamu terkejut begitu?” tanyanya santai seolah hal itu bukan sesuatu yang mengejutkan.Tentu saja buatku hal besar, juga masalah sangat besar pula. Kalau begini bagaimana aku akan bercerita padanya bahwa aku seorang pria? Sementara dia tak mungkin bisa dekat dengan seorang pria. Aku akan kehilangannya, dan aku belum si
“Kalau aku berbagi rahasiaku, apa kamu tetap mau berteman dan dekat denganku?” tanyaku menjawab ajaknnya. Tentu saja aku merasa sangsi atas pernyataan gadis yang memiliki warna favorit ungu.“Ya, aku janji.” Gadis itu menatap mataku dalam. Terlihat keseriusan di kedua mata bulat bening itu.“Katakan. Maka aku akan mengatakannya,” tantangku. Apa Salsa memang Tuhan kirim untuk mempermudah urusanku bertahan hidup. Siapa tahu, dia tetap akan berada di sisiku walau tahu aku seorang laki –laki, toh kami tidak pacaran ‘kan?“Aku adalah anak seorang kiai dan dari keluarga pesantren.”“Apa?!” Aku terperanjat. Mataku hampir saja lepas dari tempatnya karena saking terkejut.“Kenapa kamu terkejut begitu?” tanyanya santai seolah hal itu bukan sesuatu yang mengejutkan.Tentu saja buatku hal besar, juga masalah sangat besar pula. Kalau begini bagaimana aku akan bercerita padanya bahwa aku seorang pria? Sementara dia tak mungkin bisa dekat dengan seorang pria. Aku akan kehilangannya, dan aku belum si
Keesokan harinya. Aku telah berjanji pada diri sendiri bertekad jadi anak yang baik untuk Paman, terutama keluargaku yang meninggal. Pagi hari menghindari Salsa. Meski gadis itu mengetuk pintu, kubiarkan tanpa membukanya.“Ayo, Jun!” serunya. “Kenapa tak ada jawaban? Apa dia sudah pergi?” tanyanya lirih. Namun, karena aku berada di depan pintu, bisa mendengar suaranya dengan jelas.Tak lama terdengar suara langkah Salsa yang menjauh. Setelah 15 menit dan berpikir dia sudah jauh, aku pun bergegas pergi, tak ingin terlambat masuk kelas.Pagiku terasa hampa tanpa Salsa. Namun, mau bagaimana lagi, aku tak boleh membuat Paman Hamzah bersedih. Biarlah kusimpan dulu cintaku dalam hati, biarlah cerita cintaku tak seindah kisah cinta di dalam novel yang banyak author tulis di platform baca.Tak masalah, aku masih bisa mengawasinya dari kejauhan biar tidak diembat si Hasan.“Hai, Pink!” sapa Hasan yang tiba-tiba berjalan mensejajariku. Baru juga dibicarakan dalam hati, dia sudah nongol saja!Pi
“Permintaan? Apa itu?” Mataku memicing. Penasaran apa yang dia minta? Sepertinya dia mengajukan sesuatu yang tidak akan mudah untuk kupenuhi. Namun, apa pun itu aku akan melakukannya.Hasan merogoh sesuatu dari kantong. Apa itu? Apa sebuah pisau untuk mengancamku?Detik kemudian benda itu disodorkan begitu saja. “Berikan nomor ponselmu, dengan begitu kita bisa lebih dekat lagi, dan membicarakan perihal keinginanku.”“Nomor? Hah? Jadi nomor telepon saja tidak cukup?”Wah, perlukah ini? Bahkan Salsa saja belum punya nomorku.Namun, aku perlu info tentang Bianca yang sangat mencurigakan, dan berpotensi mengganggu jalanku. Ah, biar saja. Toh, kalau aku muak bisa dengan mudah memblokir nomornya.“Ya. Baiklah.” Kuraih benda pipih tersebut. Tampak jelas raut senang di wajah pria yang telah mencuri hati Salsa itu sekarang.“Mundurlah, kamu membuatku kesulitan dalam bernapas!” ucapku yang mulai merogoh ponsel dan kemudian mengetik nomor ponsel di atas layar. Semua itu kulakukan agar Hasan mera
Lagian kenapa dia bisa tahu aku sedang berada di sini? Apa dia mengikuti Hasan karena saking tertariknya. Tak mungkin. Salsa bukan gadis semurah itu. Jadi, apa artinya dia datang karena aku?"Nggak, ayo kita pergi dari sini!" jawabku cuek.Sampai tempat lengang di lobi depan perpus. Kami pun memelankan langkah. "Apa kamu sudah jadian dengan cowok itu?" tanya Salsa yang berjalan beriringan denganku."Haah?" Jadian dengan Hasan? Jika itu terjadi berarti aku perlu dibawa ke rumah sakit jiwa, atau mencari donor otak, sebab otakku sudah tak lagi bekerja dengan baik."Hem? Jadi ... emang udah jadian?" Ada kecewa dari nada suara gadis itu. "Nggak. Tentu aja nggak!” Kugerakkan ke dua tangan menyilang dengan gerakan cepat. “Gak mungkin aku jadian dengan pria sepertinya. Dia bukan tipeku sama sekali!" Aku berkilah untuk sesuatu yang memang mustahil akan kulakukan. Entah Salsa percaya atau tidak pada jawabanku? Karena yang aku tahu sesama wanita itu sulit mempercayai sesamanya, apalagi jika m