Share

Bertemu Gadis Ungu

“Apa aku harus kuliah, Paman? Malas sekali rasanya,” tanyaku yang duduk di teras pos satpam sambil menikmati es krim yang Paman belikan.

“Ya, itu harus. Setidaknya kamu punya masa depan yang harus kamu perjuangkan.” Paman tengah duduk di belakangku, di dalam pos. Mencatat sesuatu, entah apa?

“Aku malas bertemu banyak orang atau pun para pria.”.

“Kenapa? Kamu kan juga pria? Kamu terlalu banyak mengeluh, Jun. Kemarin bilang benci para gadis, sekarang benci bertemu pria! Plin-plan dan suka mengeluh. Heuh.” Paman memakiku. Laki-laki itu sifatnya sangat ceplas-ceplos. Aneh juga, kenapa orang sepertinya yang harus menjagaku?

“Harusnya aku jadi pria biar bisa bergabung dan berteman dengan mereka,” protesku.

“Sudahlah, jangan terlalu banyak mengeluh. Serius belajar dari sekarang. Ingat nanti sore jadwal karate. Semua aturan paman harus kamu ikuti agar–,” ucap Paman menggantung.

“Agar aku tetap bisa hidup!” serobotku yang sudah sangat hafal kata-kata Paman.

“Yah, itu. Begitu kamu terlatih, dan tujuan kita sudah tercapai, tentunya kamu tak perlu lagi menyamar seperti ini. Ingat ini hanya sementara. Tapi kalau kamu terus mengeluh, ya, bisa jadi kondisimu akan seperti ini untuk selamanya. Kamu mau jadi perempuan terus?”

Aku bangkit. Membuang stik yang es krimnya sudah bersih kulahap. Menatap Paman dalam-dalam. Pria itu sampai meletakkan bolpoin dan membalas tatapan keponakannya ini.

“Ya nggak, lah! Aku juga ingin sukses. Punya istri dan gak jomblo seperti Paman!” ucapku dengan nada naik satu oktaf. Sengaja mengejeknya.

“Hiss. Dasar!” Paman memanyunkan bibir.

“Oke, besok aku akan ke kampus sebagai Junia Andria yang cantik. Jago karate dan mengalahkan Om Rudi dan jadi pria sejati, Arjuna Bratawijaya!” ucapku mantap, sebelum pergi meninggalkan pos satpam.

“Okey, Junia jangan lupa masak!” seru Paman yang suaranya terdengar menjauh.

Baru menapaki separuh halaman asrama yang luas, aku melihat gadis berkerudung ungu berjalan di lorong. Kakiku sontak bergerak lebih cepat. Entah, dapat dorongan dari mana, rasanya seperti tak ingin kehilangan jejaknya lagi dan tahu segala hal tentangnya.

Gadis itu naik ke lantai dua menapaki anak-anak tangga. Kuikuti perlahan, dan dia berhenti persis di sebelah kamarku. Mengeluarkan anak kunci dan membuka pintu di depannya.

“Apa? Kami sebelahan?”

Rasanya makin pede saja berjalan mendekat, karena merasa menuju kamarku sendiri. Kupegangi jakun dan menyiapkan suara mirip perempuan untuk menyapa.

“Mbak!” panggilku. Gadis itu menoleh menatapku. Gusti, cantik sekali. Dari kejauhan dia tampak cantik, tapi dari dekat dia lebih cantik. Rasanya baru kali ini aku melihat perempuan secantik dia.

“Ya?”

“Mbak tinggal di kamar ini?” tanyaku.

“Hem? Ya. Kenapa?” Dua mata bulat itu melebar.

“Oh, berarti kita sebelahan. Kenalin namaku Junia.” Aku menyodorkan tangan untuk menyalaminya.

“Wah, maaf. Aku belum cuci tangan Mbak. Lagian lagi musim Corona.”

Duh, malu sendiri rasanya. Apa dia tahu aku seorang pria? “Oh, ya. Betul. Kita harus ikut protokol.” Aku nyengir.

“Aku Salsa.” Gadis itu tersenyum.

“Wah, Mbak Junia baru pindah?”

“Ah ya, baru tadi pagi.”

“Oh, pantes gak pernah lihat.” Lagi Salsa tersenyum. Namun, kali ini senyumnya seperti terpaksa menahan sesuatu. Apa dia tak suka kepadaku? Atau ada hal lain?

“Mbak sakit?”

“Oh, nggak-nggak!” Dia menggerakkan tangan. “Aku masuk dulu, Mbak. Mules. Hehe,”

jawabnya malu-malu.

“Oya, silakan. Kalau boleh nanti kita ngobrol lagi soalnya aku belum ...."

Aku terkesiap. Pintu kamar Salsa lebih dulu tertutup sebelum selesai bicara. Hah, entah karena kebelet, atau dia menghindar sebab bosan dengan basa-basiku. Tak apa.

Setidaknya sekarang, aku tahu bahwa si gadis ungu ada di samping kamarku.

Mataku baru saja akan terpejam. Lelah. Berjam-jam bergelut dengan aplikasi game kesayangan. Kupaksakan tidur meski belum naik level seperti biasa. Apalagi besok aku harus pergi ke kampus mengurus studi.

Namun, ketukan pintu sangat mengganggu.

“Argh! Mengganggu saja! Pasti Paman Hamzah yang mau datang untuk berkhutbah. Kalau dia memang berbakat untuk berdakwah kenapa tidak daftar jadi khotib saja di masjid? Dengan begitu bakatnya akan tersalurkan.”

Kukenakan sandal jepit di bawah ranjang lalu bergegas membukanya. Namun, sebelum menarik gagang pintu, kuintip dulu ekspresi pria itu. Mataku melebar. Bukan Paman yang berdiri di depan pintu, tetapi Salsa.

Sontak saja aku yang terkejut pun kalang kabut. Melihat penampilan sendiri yang hanya mengenakan kaos oblong dan celana boxer. Kelaki-lakianku sangat tampak sekarang.

“Sebentar!” teriakku sembari berlari ke arah lemari mengambil daster dan meraih handuk menutupi kepala.

“Ya?” Aku tersenyum sealami mungkin saat membuka pintu dan berhadapan dengan gadis bermata lentik itu.

“Em, ini Mbak. Makanan sedikit.” Salsa menyodorkan semangkuk cilok.

“Tadi aku bikin, sekalian kenalan sama tetangga baru. Maaf untuk kejadian tadi, ya. Perutku emang beneran lagi mules. Ga taunya datang bulan.”

“Uhuk.” Aku yang mendengar kata datang bulan langsung terbatuk. Kenapa dia bicara datang bulan tanpa rasa malu pada laki-laki. Ah, ya, aku perempuan di matanya.

Bersambung....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rizky9310995386
awal cerita ini lucu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status