Bayangan gadis itu terlihat.Sontak saja aku yang terkejut, pun kalang kabut. Melihat penampilan sendiri yang hanya mengenakan kaos oblong dan celana boxer. Kelaki-lakianku sangat tampak sekarang.“Sebentar!” teriakku sembari berlari ke arah lemari mengambil daster dan meraih handuk menutupi kepala.“Ya?” Aku tersenyum sealami mungkin saat membuka pintu dan berhadapan dengan gadis bermata lentik itu.“Em, ini Mbak. Makanan sedikit.” Salsa menyodorkan semangkuk cilok.“Tadi aku bikin, sekalian kenalan sama tetangga baru. Maaf untuk kejadian tadi, ya. Perutku emang beneran lagi mules. Ga taunya datang bulan.”“Uhuk.” Aku yang mendengar kata datang bulan langsung terbatuk. Kenapa dia bicara datang bulan tanpa rasa malu pada laki-laki. Ah, ya, aku perempuan di matanya. Justru ini malah bagus sebenarnya, aku saja yang harus membiasakan diri.“Nggak papa, Mbak?”Aku menggeleng. “Nggak papa santai aja. Oya makasih untuk ciloknya, ya.” Kuambil mangkok dan segera menutup pintu. Merasa tidak ad
Kalau begitu dia bisa jadi anaknya Om Rudi.Aku pun celingukan, hingga kudapati dua orang berseragam tampak tengah berdiri di depan jendela. Dan hanya terlihat pundak ke atas. Benar, dia bahkan dijaga bodyguard. Aku yakin antara Bianca, Kakek dan Om Rudi, mereka saling berkaitan. Aku harus menyelidikinya.Benar dugaanku, kala keluar dari kelas. Bianca diikuti dua bodyguard ke luar area kampus. Meski begitu tetap saja mata-mata lelaki melihatnya dengan takjub. Mereka tanpa malu memperhatikan tubuh Bianca yang hanya terbungkus pakaian minim.Sepertinya dia juga tak masalah dengan itu. Itulah kenapa aku tak menyukai wanita seksi, dia akan menjadi pusat perhatian pria lain. Beruntung rasanya bisa mengenal Salsa, meski juga cantik dia tetap memakai pakaian tertutup. Karena sebajingan-bajingannya seorang pria dia tak akan mau mendapat wanita berperilaku buruk.Ah, sudahlah. Kenapa pikiranku ngelantur ke mana-mana? Mentang-mentang sedang jatuh cinta pada Salsa. Aku jadi suka mengaitkan segal
“Ck. Mukanya cakep, muka-muka konglomerat, tapi yang dibeli paling murah Cuma satu pula.” Ia ngedumel memakiku.“Mbak! Aku dengar lo!” seruku pada gadis itu. Hal minim akhlak seperti ini tidak boleh dibiarkan. Kalau tidak nanti jadi kebiasaan.“Ah, ya, Mbak! Sebentar!” serunya dari dalam.Saat aku ke luar dari toko, seseorang berseru memanggil namaku.“Junia!”Saat menoleh, seorang gadis yang memakai baju ungu motif bunga datang mendekat. Salsa. Kenapa gadis itu suka sekali memakai gamis berwarna ungu?“Hai, Nona-nona cantik.”Kurang ajar. Jadi mereka mengikuti Salsa karena ingin menggodanya.Aku yang tak terima, refleks berdiri di depan Salsa, menjadi penghalang antara gadis itu dan pria-pria g ila ini.“Wah, ada yang lebih cantik,” goda salah seorang pria menjawil daguku.“Cuih!” Merasa ji jik aku pun refleks meludah ke wajah lelaki tersebut.“Gadis sok kecakepan! Sombong! Tak tahu diri!” Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Ingin sekali kulawan dan menendangnya tapi dua pria lain me
“Tak tau diuntung!” Dia menamparku lagi hingga aku terjatuh. Dua temannya tak lagi memegangiku. Mungkin karena saking kesalnya. Hingga kurasakan cairan hangat merembes dari hidung dan bibirku bersamaan.Sial aku berdarah. Ah, ini tak masalah. Yang paling buruk dia sudah mencuri ciuman pertamaku. Argh! Menjijikkan sekali!“Woy!” Suara seorang pemuda mendekat. Ternyata dia datang tak sendiri. Melainkan lebih dari dua orang.Pemuda itu ternyata adalah mahasiswa yang menggodaku saat keluar tadi. Dia langsung melayangkan pukulan pada pria-pria itu. Wah, dia benar-benar keren. Seperti sedang memainkan jurus bayangan. Harusnya kuikuti saran Paman, pergi latihan karate agar bisa setidaknya melindungi diri. Jika melindungi diri saja tak bisa, bagaimana aku akan melindungi Salsa.“Dasar preman kurang kerjaan!” seru pemuda itu, kala pria-pria yang usil kepada kami lari tunggang langgang.Kini mahasiswa yang berhasil mengusir preman tersebut melihat ke arahku dan akan menolong.“Kamu gak papa?” t
“Au!” seruku saat Salsa membersihkan luka-luka di wajahku. Oh God! Wajah kami begitu dekat. Apa dia tak merasakan debaran kencang di dadaku?“Kamu ini terlalu berani untuk ukuran seorang perempuan, Jun. Aku malah gak enak sendiri, kamu menyerahkan diri dihajar buat selamatin aku.”“Ehm, ya. Aku tak suka perempuan dilecehkan,” jawabku meringis. Demi kamu bahkan ciuman pertamaku diambil seorang laki-laki, Sa. Sedih kalau ingat itu, merasa harga diriku sedang dicabik-cabik.“Temenku yang lain gak mungkin kaya kamu, Jun. Mereka pasti kabur dan meninggalkanku sendiri.” Tatapan Salsa kosong. Dia seperti tengah mengenang sesuatu yang buruk terjadi padanya. Apa itu? Aku sangat penasaran.“Jun,” panggil Salsa yang membuatku seketika menoleh.“Ya?”“Apa kamu menyukai Hasan?”“Hah?” Mataku seketika melebar menatap mata Salsa dalam-dalam. Aku cepat menggeleng. Kukira dia akan bercerita. Gak tahunya malah bahas Hasan.“Nggak!” Aku menjawab tegas.Gadis itu lantas tersenyum. Senang sepertinya.“Ken
“Kalau aku berbagi rahasiaku, apa kamu tetap mau berteman dan dekat denganku?” tanyaku menjawab ajaknnya. Tentu saja aku merasa sangsi atas pernyataan gadis yang memiliki warna favorit ungu.“Ya, aku janji.” Gadis itu menatap mataku dalam. Terlihat keseriusan di kedua mata bulat bening itu.“Katakan. Maka aku akan mengatakannya,” tantangku. Apa Salsa memang Tuhan kirim untuk mempermudah urusanku bertahan hidup. Siapa tahu, dia tetap akan berada di sisiku walau tahu aku seorang laki –laki, toh kami tidak pacaran ‘kan?“Aku adalah anak seorang kiai dan dari keluarga pesantren.”“Apa?!” Aku terperanjat. Mataku hampir saja lepas dari tempatnya karena saking terkejut.“Kenapa kamu terkejut begitu?” tanyanya santai seolah hal itu bukan sesuatu yang mengejutkan.Tentu saja buatku hal besar, juga masalah sangat besar pula. Kalau begini bagaimana aku akan bercerita padanya bahwa aku seorang pria? Sementara dia tak mungkin bisa dekat dengan seorang pria. Aku akan kehilangannya, dan aku belum si
“Kalau aku berbagi rahasiaku, apa kamu tetap mau berteman dan dekat denganku?” tanyaku menjawab ajaknnya. Tentu saja aku merasa sangsi atas pernyataan gadis yang memiliki warna favorit ungu.“Ya, aku janji.” Gadis itu menatap mataku dalam. Terlihat keseriusan di kedua mata bulat bening itu.“Katakan. Maka aku akan mengatakannya,” tantangku. Apa Salsa memang Tuhan kirim untuk mempermudah urusanku bertahan hidup. Siapa tahu, dia tetap akan berada di sisiku walau tahu aku seorang laki –laki, toh kami tidak pacaran ‘kan?“Aku adalah anak seorang kiai dan dari keluarga pesantren.”“Apa?!” Aku terperanjat. Mataku hampir saja lepas dari tempatnya karena saking terkejut.“Kenapa kamu terkejut begitu?” tanyanya santai seolah hal itu bukan sesuatu yang mengejutkan.Tentu saja buatku hal besar, juga masalah sangat besar pula. Kalau begini bagaimana aku akan bercerita padanya bahwa aku seorang pria? Sementara dia tak mungkin bisa dekat dengan seorang pria. Aku akan kehilangannya, dan aku belum si
Keesokan harinya. Aku telah berjanji pada diri sendiri bertekad jadi anak yang baik untuk Paman, terutama keluargaku yang meninggal. Pagi hari menghindari Salsa. Meski gadis itu mengetuk pintu, kubiarkan tanpa membukanya.“Ayo, Jun!” serunya. “Kenapa tak ada jawaban? Apa dia sudah pergi?” tanyanya lirih. Namun, karena aku berada di depan pintu, bisa mendengar suaranya dengan jelas.Tak lama terdengar suara langkah Salsa yang menjauh. Setelah 15 menit dan berpikir dia sudah jauh, aku pun bergegas pergi, tak ingin terlambat masuk kelas.Pagiku terasa hampa tanpa Salsa. Namun, mau bagaimana lagi, aku tak boleh membuat Paman Hamzah bersedih. Biarlah kusimpan dulu cintaku dalam hati, biarlah cerita cintaku tak seindah kisah cinta di dalam novel yang banyak author tulis di platform baca.Tak masalah, aku masih bisa mengawasinya dari kejauhan biar tidak diembat si Hasan.“Hai, Pink!” sapa Hasan yang tiba-tiba berjalan mensejajariku. Baru juga dibicarakan dalam hati, dia sudah nongol saja!Pi