Home / Romansa / TUAN MUDA YANG MENYAMAR / Bertemu Gadis Ungu

Share

Bertemu Gadis Ungu

Author: Wafa Farha
last update Last Updated: 2023-06-13 15:29:04

“Apa aku harus kuliah, Paman? Malas sekali rasanya,” tanyaku yang duduk di teras pos satpam sambil menikmati es krim yang Paman belikan.

“Ya, itu harus. Setidaknya kamu punya masa depan yang harus kamu perjuangkan.” Paman tengah duduk di belakangku, di dalam pos. Mencatat sesuatu, entah apa?

“Aku malas bertemu banyak orang atau pun para pria.”.

“Kenapa? Kamu kan juga pria? Kamu terlalu banyak mengeluh, Jun. Kemarin bilang benci para gadis, sekarang benci bertemu pria! Plin-plan dan suka mengeluh. Heuh.” Paman memakiku. Laki-laki itu sifatnya sangat ceplas-ceplos. Aneh juga, kenapa orang sepertinya yang harus menjagaku?

“Harusnya aku jadi pria biar bisa bergabung dan berteman dengan mereka,” protesku.

“Sudahlah, jangan terlalu banyak mengeluh. Serius belajar dari sekarang. Ingat nanti sore jadwal karate. Semua aturan paman harus kamu ikuti agar–,” ucap Paman menggantung.

“Agar aku tetap bisa hidup!” serobotku yang sudah sangat hafal kata-kata Paman.

“Yah, itu. Begitu kamu terlatih, dan tujuan kita sudah tercapai, tentunya kamu tak perlu lagi menyamar seperti ini. Ingat ini hanya sementara. Tapi kalau kamu terus mengeluh, ya, bisa jadi kondisimu akan seperti ini untuk selamanya. Kamu mau jadi perempuan terus?”

Aku bangkit. Membuang stik yang es krimnya sudah bersih kulahap. Menatap Paman dalam-dalam. Pria itu sampai meletakkan bolpoin dan membalas tatapan keponakannya ini.

“Ya nggak, lah! Aku juga ingin sukses. Punya istri dan gak jomblo seperti Paman!” ucapku dengan nada naik satu oktaf. Sengaja mengejeknya.

“Hiss. Dasar!” Paman memanyunkan bibir.

“Oke, besok aku akan ke kampus sebagai Junia Andria yang cantik. Jago karate dan mengalahkan Om Rudi dan jadi pria sejati, Arjuna Bratawijaya!” ucapku mantap, sebelum pergi meninggalkan pos satpam.

“Okey, Junia jangan lupa masak!” seru Paman yang suaranya terdengar menjauh.

Baru menapaki separuh halaman asrama yang luas, aku melihat gadis berkerudung ungu berjalan di lorong. Kakiku sontak bergerak lebih cepat. Entah, dapat dorongan dari mana, rasanya seperti tak ingin kehilangan jejaknya lagi dan tahu segala hal tentangnya.

Gadis itu naik ke lantai dua menapaki anak-anak tangga. Kuikuti perlahan, dan dia berhenti persis di sebelah kamarku. Mengeluarkan anak kunci dan membuka pintu di depannya.

“Apa? Kami sebelahan?”

Rasanya makin pede saja berjalan mendekat, karena merasa menuju kamarku sendiri. Kupegangi jakun dan menyiapkan suara mirip perempuan untuk menyapa.

“Mbak!” panggilku. Gadis itu menoleh menatapku. Gusti, cantik sekali. Dari kejauhan dia tampak cantik, tapi dari dekat dia lebih cantik. Rasanya baru kali ini aku melihat perempuan secantik dia.

“Ya?”

“Mbak tinggal di kamar ini?” tanyaku.

“Hem? Ya. Kenapa?” Dua mata bulat itu melebar.

“Oh, berarti kita sebelahan. Kenalin namaku Junia.” Aku menyodorkan tangan untuk menyalaminya.

“Wah, maaf. Aku belum cuci tangan Mbak. Lagian lagi musim Corona.”

Duh, malu sendiri rasanya. Apa dia tahu aku seorang pria? “Oh, ya. Betul. Kita harus ikut protokol.” Aku nyengir.

“Aku Salsa.” Gadis itu tersenyum.

“Wah, Mbak Junia baru pindah?”

“Ah ya, baru tadi pagi.”

“Oh, pantes gak pernah lihat.” Lagi Salsa tersenyum. Namun, kali ini senyumnya seperti terpaksa menahan sesuatu. Apa dia tak suka kepadaku? Atau ada hal lain?

“Mbak sakit?”

“Oh, nggak-nggak!” Dia menggerakkan tangan. “Aku masuk dulu, Mbak. Mules. Hehe,”

jawabnya malu-malu.

“Oya, silakan. Kalau boleh nanti kita ngobrol lagi soalnya aku belum ...."

Aku terkesiap. Pintu kamar Salsa lebih dulu tertutup sebelum selesai bicara. Hah, entah karena kebelet, atau dia menghindar sebab bosan dengan basa-basiku. Tak apa.

Setidaknya sekarang, aku tahu bahwa si gadis ungu ada di samping kamarku.

Mataku baru saja akan terpejam. Lelah. Berjam-jam bergelut dengan aplikasi game kesayangan. Kupaksakan tidur meski belum naik level seperti biasa. Apalagi besok aku harus pergi ke kampus mengurus studi.

Namun, ketukan pintu sangat mengganggu.

“Argh! Mengganggu saja! Pasti Paman Hamzah yang mau datang untuk berkhutbah. Kalau dia memang berbakat untuk berdakwah kenapa tidak daftar jadi khotib saja di masjid? Dengan begitu bakatnya akan tersalurkan.”

Kukenakan sandal jepit di bawah ranjang lalu bergegas membukanya. Namun, sebelum menarik gagang pintu, kuintip dulu ekspresi pria itu. Mataku melebar. Bukan Paman yang berdiri di depan pintu, tetapi Salsa.

Sontak saja aku yang terkejut pun kalang kabut. Melihat penampilan sendiri yang hanya mengenakan kaos oblong dan celana boxer. Kelaki-lakianku sangat tampak sekarang.

“Sebentar!” teriakku sembari berlari ke arah lemari mengambil daster dan meraih handuk menutupi kepala.

“Ya?” Aku tersenyum sealami mungkin saat membuka pintu dan berhadapan dengan gadis bermata lentik itu.

“Em, ini Mbak. Makanan sedikit.” Salsa menyodorkan semangkuk cilok.

“Tadi aku bikin, sekalian kenalan sama tetangga baru. Maaf untuk kejadian tadi, ya. Perutku emang beneran lagi mules. Ga taunya datang bulan.”

“Uhuk.” Aku yang mendengar kata datang bulan langsung terbatuk. Kenapa dia bicara datang bulan tanpa rasa malu pada laki-laki. Ah, ya, aku perempuan di matanya.

Bersambung....

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rizky9310995386
awal cerita ini lucu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Bahagia

    “Siapa dia?”“Anak temannya Paman.”“Namanya?”“Salsa.”“Ha ha ha.” Aku tertawa, karena merasa Paman meledekku yang masih menyimpan perasaan kepada Salsa. "Ayolah serius, Paman."“Hem, kamu pasti mendengar kalau dia akan menikah dengan pemuda yang sedang menjalani pendidikannya di Tarim. Namun, kata Hanan, setelah tahu pria itu sudah beristri, Hanan membatalkan rencana pernikahan mereka. Saat itulah paman mengajukan namamu sebagai ganti.” Panjang lebar Paman bicara.Aku menggeleng sambil tertawa miris. "Paman pasti bercanda. Bagus, Paman punya bakat jadi penulis novel. Atau jadi artis saja sekalian karena akting yang sangat bagus!"Bagaimana, ya? Ini terlalu tak masuk akal. Mana bisa semua semudah ini? “Oya?!” Mataku melotot karena masih tak percaya. Tapi juga sangat senang karena tidak mungkin Paman berbohong untuk hal seserius ini.“Untung kamu menolak Hasna. Dengan begitu punya kesempatan menunggu takdir mempertemukan kamu dengan Salsa. Hem, romantis sekali kisah cintamu, Jun.”“I

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Aku Ingin Nikah, Paman

    “Ehm, Gus, sebelum pergi, saya ingin bertanya sesuatu.”“Ya?”“Apa benar Ning Salsa sudah punya calon?”“Ah, ya benar. Tapi calon suaminya masih berada di Tarim, jadi kami masih harus bersabar.”Hatiku seperti dicabik –cabik. Kenapa juga aku harus menanyakannya jika niatnya hanya untuk memastikan hal yang sudah pasti.“Ehm, Mas Juna kenal Salsa?”“Ah, ya, kebetulan dulu pernah sekampus jadi tahu begitu saja.”“Oh, ya. Sejak dikhitbah saya memintanya berhenti dan pindah universitas yang kelasnya non reguler.” Gus Hanan menceritakan.Hal itu tentu saja mengejutkan. Kupikir dia berhenti karena marah padaku.“Kalau begitu saya permisi, Gus.” Kuraih tangan pria itu dan menyalami punggungnya.“Ah, ya.”“Assalamualaikum.”“Waalaikumussalam.”"Gus." Aku berbalik karena penasaran terhadap sesuatu yang lain."Ya?""Boleh saya bertanya satu hal lagi.""Ya.""Apa Salsa bukan anak kandung Gus Hanan?""Hah?" Pria itu tampak terkejut. "Salsa mengatakannya? Ah, tidak mungkin. Dia tidak mungkin berint

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Abi Salsa

    Usai sholat berjamaah dan wirid bersama, ketika santri –santri lain bertahan untuk menunggu ustaz yang mengisi kajian, aku diam –diam ke luar mengikuti Gus Hanan. Benar saja, bahwa pria yang usianya lebih tua dari Paman Hamzah beberapa tahun itu sedang berjalan menuju rumahnya.Jantungku berpacu lebih kencang. Apa aku akan bertemu dengan Salsa hari ini, setelah sekian lama menahan diri? Atau justru, aku akan menerima hukumanku sekarang, karena orang tuanya akan tahu bahwa aku menipu anak mereka dan sering melakukan hal –hal yang tak seharusnya bersama.Namun, apa pun itu, aku akan menerimanya. Jujur saja, perasaan bersalah ini menyiksa.Aku berjalan santai di belakang Gus Hanan, ketika santri -santri lain satu persatu menyapa kiai itu dengan ta'dzim. Mungkin mereka pikir aku adalah seorang abdi dalem Gus Hanan yang mengikuti beliau untuk membantu. Namun, jika memang itu yang terjadi, alangkah sangat membantuku. Tak perlu mendapat tatapan tak nyaman, bahkan tidak ada yang menegur. Sam

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Melayakkan Diri

    Satu tahun kemudian ....“Kenapa wajahmu tertekuk begitu?” tanya Paman Hamzah. Pria yang mengenakan setelan kemeja dibalut jas mahal itu membuka tutup botol minuman untukku. “Bukankah ini pilihanmu, harusnya kamu berbahagia dengan ini.”Aku menghela napas berat. Bagaimana aku bisa bahagia? Sudah hampir setahun di pesantren ini, tapi belum pernah sekali pun bertemu Salsa. Terakhir kali kudengar dia bahkan akan menikah. Namun, bahkan sampai sekarang aku belum mendengar kabar pernikahannya. Apa keluarga pesantren memang memiliki budaya tidak memeriahkan resepsi besar –besaran?Entahlah. Untuk sesaat aku tak ingin tahu. Bahkan ketika bertanya, santri lain selalu saja menjawab tidak tahu. Saat itu aku sadar, bahwa ada di pesantren ini bukan cara tepat untuk mendekati Salsa, melainkan menempa diriku sendiri agar semakin kembali pada Tuhan. Belajar menyadari dan memperbaiki diri.Semakin hari, aku semakin takut bertemu dengan Salsa. Bukan hanya takut kabar buruk dia jadi milik orang lain, tap

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Aku Senang Dia Mati

    "Pa -pa?" Mataku melebar mendengar kata yang Salsa ucap. Apa maksudnya? Papa siapa? Yang mengejutkan, Salsa merangkak ke arah Om Rudi yang akan dievakuasi oleh anak buah Louis. Ini membingungkan? Kenapa Salsa harus melakukan itu?Mataku sampai menyipit memikirkan ini. Apa mungkin Salsa adalah anak Om Rudi? Tidak mungkin! Itu tidak mungkin! Tapi kenapa gadis itu .....Tak ingin penasaran seorang diri, aku pun mendekati mereka. "Papa? Apa maksudnya? Bukannya kamu putrinya Hanan? Kiai di Pesantren?" tanya Paman. Rupanya pria dewasa itu juga terkejut dan berpikiran sama denganku. Yah, siapa pun yang mengenal Salsa juga Om Rudi akan sangat terkejut. Bagaimana bisa seorang gadis Sholehah dari pesantren ada hubungan darah dengan pria dari dunia mafia yang kejamnya tak bisa dicapai oleh nalar orang normal. Salsa tak menjawab, dan malah meraung memeluk tubuh gembul yang sudah tak berdaya di depan kami. Tubuh yang diisi roh jahat dan membunuh ibuku serta seluruh keluargaku. Meski bukan aku

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Tumbangnya Musuh

    Flashback kejadian sebelum masuk gedung ....Begitu melihatnya, hal tersebut membuatku bernapas lega. Semua tak seperti dalam bayanganku. Hal yang sering kali ditakutkan memang tak terjadi. Hanya manusia saja yang yang memiliki kecemasan berlebih untuk masa depannya. Paman Hamzah sudah berdiri di depanku, tersenyum mematikan ponsel kemudian menyimpannya dalam saku. Dan beberapa orang ada di belakangnya. Ada sekitar sepuluh orang. Namun, yang membuatku sempat gagal fokus adalah seorang pria yang menarikku tadi pagi dari Om Rudi. D an ternyata pria itu adalah anak buah Kakek yang kulihat dalam rekaman CCTV.“Paman mengagetkan saja,” keluhku sembari mengusap dada. Pria itu datang tanpa suara, dan tiba-tiba sudah berada di belakangku. Seperti musuh yang menemukan lawannya. “Arahkan teropongmu ke sana!” Paman mengarahkan telunjuk ke arah dekat gerbang. Ada tiga truk besar yang parkir di tempat itu. Dahiku mengerut dipenuhi tanya. Namun, seketika dua mataku melebar sempurna ketika melihat

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Kemarahan Seseorang yang Dicintai

    Anak buah Om Rudi menggiringku dan Paman Hamzah masuk ke dalam. Rupanya tak menunggu lama, meski berusaha mengendap –endap masuk, aku dan Paman Hamzah langsung tertangkap.Tadinya kupikir ini ide yang sangat berani. Namun, juga sangat beresiko. Jujur saja, aku tak yakin bisa bertemu Salsa, karena Om Rudi pasti tidak akan tinggal diam begitu saja. Bisa saja aku lebih dulu terbunuh sebelum bertemu dengan Salsa.Paman menjawil tanganku, yang membuatku seketika menoleh ke arahnya. Pria itu memberi isyarat dari matanya, agar aku tenang. Dan bahwa semua akan baik –baik saja.Di dalam sebuah ruangan terbuka, orang –orang yang membawa kami melempar tubuh kami dengan kasar. Saat itulah, seorang pria dengan tubuh tambun di depan jendela terlihat.“Hem, kalian sudah tiba. Aku sudah sangat lama menunggu moment ini.” Suara beratnya terdengar. Aku tak bisa melihatnya dengan jelas, karena silau akibat cahaya dari jendela –jendela besar tanpa tirai itu langsung menyorot ke mata.Begitu pria itu berba

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Perang Sesungguhnya

    "Ini gila, meski bisa berkelahi, aku tak menguasai teknik karate. Jadi bagaimana aku akan mengalahkan pria tua itu?"Aku tersenyum miris. Melihat diri sendiri. Meski sosokku sekarang adalah pemuda yang gagah, tapi bahkan tak punya jurus bayangan seperti yang Hasan punya. Aku jadi berpikir, kalau saja yang jadian dengan hati itu adalah Salsa, setidaknya harapan menang naik 40 persen. "Bagaimana ini, Sa? Maafkan pemuda bodoh ini! Seharusnya aku berlatih sejak awal. Bukan hanya untuk melindungi diri sendiri tapi juga wanita yang aku cintai. "Maafkan pemuda bodoh, yang tak mampu melindungi wanitanya. Meski begitu, kamu harus tahu, aku tak akan menyerah. Walaupun sedikit saja."Banyaknya kejadian buruk yang kualami, setiap kesulitan karenanya dan kegagalan demi kegagalan saat berjuang, memberiku banyak pelajaran berharga. Aku bisa belajar dari itu. Tak mudah menyerah. Karena nyatanya setelah kehilangan satu jalan, Tuhan masih mempersiapkan jalan lain agar aku menempuh. Tinggal mau atau t

  • TUAN MUDA YANG MENYAMAR    Kejahatan Tidak Termaafkan

    “Jun?” tanyanya.Dia pasti langsung sadar kalau itu adalah panggilan untuk Junia. Duh, Paman ini. Kenapa bisa seceroboh itu? Bagaimana kalau Pak Ujang tahu bahwa aku adalah Junia?Aku pun lekas menatap ke arah Paman dan memberikan isyarat agar pria itu juga sadar. Paman melebarkan mata ke arahku seolah tak mengerti. Namun, setelah mengerutkan kening, pria itu lekas meralat ucapannya.“Oh, ya, Jang. Kenalkan ini ponakanku juga, namanya Arjuna. Em, kadang saat kami bersama, Junia suka noleh kalau aku memanggilnya “Jun!” Paman Hamzah menepuk bahuku. Menutupi kebohongan yang selama ini sudah kami lakukan. Saking lama waktu yang kulalui dengan berbohong dengan alasan ingin selamat, kami menjadi mahir dalam hal menipu.“Oh, ya, ya. Jadi saudaranya Mbak Junia?” tebak Pak Ujang.Aku dan Paman tak menjawab, hanya sebuah senyuman setelah kami saling tatap. Seolah kami sedang membenarkan pertanyaan sekaligus pernyataan itu. Seakan ini tidak sedang berbohong. Entah, apakah ini bisa dibenarkan dan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status