Share

Tukang 7

Penulis: ananda zhia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-01 14:00:20

Suara musik akustik masih mengalun dari pengeras suara di kafe itu. Aroma steak wagyu memenuhi udara, menggoda siapa pun yang lewat.

Haris menatap Aluna dengan mata yang kini lebih serius. Tidak lagi dibalut canda.

“Kamu yakin mau tahu jawabanku, Bu Guru?” tanyanya pelan.

Aluna menegakkan tubuh. “Aku sudah lihat kamu dekat mobil polisi saat Rani ditangkap. Aku nggak bisa pura-pura nggak lihat.”

Tatapan Haris tidak bergeming. Ia menarik napas, lalu perlahan bersandar ke kursi.

“Kalau aku bilang... pekerjaanku memang punya pengaruh ke kehidupanmu, apa kamu tetap mau deket sama aku?”

Aluna tidak langsung menjawab. Matanya mencari jawaban di wajah Haris, lalu akhirnya ia mengangguk pelan. “Iya. Tapi kalau pekerjaan itu negatif, atau… kamu terlibat dalam hal yang ilegal, aku nggak akan sanggup. Aku nggak mau dekat sama orang yang main belakang, apalagi main obat-obatan.”

Haris tersenyum tipis, seakan sudah menduga. “Aku orang pertama yang paling benci sama barang haram itu, bu Guru cinta. Percaya sama aku. Aku bukan orang jahat.”

Suara Haris terdengar tulus, tapi juga menyimpan lapisan yang belum tersingkap.

“Cuma…” Haris mencondongkan tubuh. “Aku mau tanya, kamu dekat nggak sama ketiga teman kosmu?”

Aluna mengangguk. “Cukup dekat. Sama Rani malah lebih dekat. Dia orangnya ceria, selalu rame. Aku nggak nyangka banget dia bisa terlibat kasus kayak gitu. Dia memang pernah cerita keluarganya broken home, tapi dia nggak pernah kelihatan kesepian…”

Haris mendengarkan dengan kepala sedikit miring, seperti sedang mengingat sesuatu. Ia mengangguk-angguk kecil.

Tak lama, pelayan datang membawa dua piring steak wagyu dengan asap mengepul, aromanya langsung menyambar hidung mereka.

“Wow…” Aluna membulatkan mata. “Aku baru pertama kali makan steak kayak gini.”

“Silakan dicoba, Bu Guru,” ujar Haris dengan nada main-main. “Mumpung yang traktir bukan sultan, tapi penjual cilok yang rejekinya agak naik hari ini.”

Aluna tertawa. “Aku masih nggak habis pikir. Mas yang jual cilok bisa ngajak aku makan di tempat se-mewah ini.”

“Doain aja, semoga cilokku makin laku, jadi bisa traktir kamu tiap minggu. Atau tiap hari.” Haris tersenyum, lalu menyuap potongan steak.

Setelah beberapa gigitan, ia melirik Aluna lagi. “Eh… aku mau nanya nih. Apa bedanya kamu sama steak?”

Aluna melotot sambil menahan tawa. “Aduh, apaan lagi sih. Ya jelas beda lah. Steak itu makanan. Aku ini manusia, Mas.”

“Salah,” ujar Haris cepat. “Kalau steak dibakar… kalau kamu dilamar.”

Aluna terbahak. “Ampun, Mas! Itu gombalan dari planet mana lagi?”

Haris nyengir. “Planet rindu.”

Lalu ia melanjutkan, “Kamu korek api bukan?”

Aluna mengernyit. “Lah? Ya bukanlah. Kenapa?”

“Soalnya kamu udah nyalain api cinta di hati aku. Bu guru cintaku.” Haris menatapnya romantis.

Aluna menunduk, menyembunyikan senyum yang mekar tanpa bisa dicegah.

Mereka makan dalam tawa kecil dan obrolan ringan—tentang makanan, teman kos, dan masa kecil Haris yang katanya dulu pernah jatuh cinta sama tukang es keliling waktu TK.

---

Beberapa saat kemudian, Haris mengantar Aluna pulang.

Malam yang dingin dengan perut yang hangat karena kenyang. Di depan kos, lampu neon berkelap-kelip, menyinari batu basah dan genangan kecil di pinggir jalan.

Saat mereka sampai di pagar, suara langkah tergesa terdengar. Seorang perempuan membawa payung dan tas besar masuk tergesa. Wajahnya lelah.

“Oh, Dina…” sapa Aluna. “Baru pulang jaga toko?”

Dina mengangguk, lalu matanya berpindah ke Haris. Alisnya sedikit berkerut.

“Halo,” sapa Haris ramah.

Aluna tersenyum. “Mas Haris, ini Dina, teman kosku. Dina, ini Mas Haris…”

Dina menatap Haris sejenak. Lalu dengan suara kecil, ia berbisik ke telinga Aluna. “Hati-hati sama orang asing. Apalagi laki - laki yang tidak jelas asal usulnya.”

Tanpa menunggu reaksi, Dina masuk ke dalam dan menghilang melalui pintu gerbang kos.

Aluna mematung.

Haris menoleh. “Dia kayaknya nggak suka aku, ya?”

Aluna tersenyum canggung. “Mungkin capek aja.”

“Hmm,” gumam Haris. “Aku pulang dulu, ya. Besok aku ke rumah kamu. Jangan lupa siapin teh manis dan senyuman manis juga.”

“Bawain cilok juga, ya.”

Haris tertawa, lalu melangkah pergi.

---

Hujan mulai turun. Rintik-rintik kecil membasahi jendela kamar Aluna, menciptakan simfoni tenang yang menelusup ke dalam hati. Udara menjadi lebih sejuk, dan aroma tanah basah menembus kisi-kisi jendela. Di luar, lampu jalan mulai buram tertutup embun.

Aluna baru saja selesai membersihkan wajah dengan viva cleanser mentimun dan astringents yang sama saat ponselnya bergetar.

Dari: Haris

[Apa bedanya kamu sama hujan?”

“Kalau hujan turun dari langit, kalau kamu turun ke hati aku. Selamat tidur Bu Guru Cinta, semoga mimpiin aku!]

Aluna menghela napas sambil tersenyum geli, jemarinya mengetik cepat.

[Mas Haris… ada-ada aja. Gombalnya bisa buat satu buku kayaknya.]

Ponsel diletakkan di atas meja. Ia berdiri, meregangkan tubuh. Langkahnya terayun pelan ke arah kamar mandi, bermaksud cuci muka dan gosok gigi. Tapi saat melewati dapur kosan, langkahnya terhenti.

Aluna meraih ceret berisi air putih beserta gelas bersih dan duduk di kursi ruang makan saat pandangannya terpana pada sesuatu di bawah meja dapur.

Di bawah kaki meja kayu tua yang biasanya penuh cangkir dan camilan sisa malam, ada sesuatu.

Sesuatu yang mencolok.

Sebuah bungkus plastik kecil, terbuka sebagian, dengan serbuk putih di dalamnya.

Duduk Aluna menegang, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tidak menyentuhnya, hanya menatap—lama. Serbuk itu tertabur sedikit di lantai, seperti jejak diam dari rahasia yang tak ingin ditemukan.

Kini, berdiri di dapur, Aluna menatap bungkus serbuk putih itu. Pikirannya kacau!

Next?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 32 (Tamat)

    Kilau matahari sore menimpa dedaunan flamboyan di taman tengah Rumah Sakit Kartika, menciptakan bayang-bayang bergerigi yang menari di atas bangku kayu panjang. Di sanalah Aluna duduk, jemarinya putih karena terlalu erat menggenggam ponsel yang tak kunjung memberi dengung kehidupan. Sejak fajar ia menekan nomor Haris—dua puluh… mungkin tiga puluh kali—namun layar selalu memantul pesan sama: nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.Ia mengecup punggung tangan, mencoba menahan getar, bukan karena marah, melainkan takut. Apa Haris berubah pikiran? Apa semua janji di telepon malam itu sekadar angin? Air mata panas menganak sungai, menetes satu-satu ke rok plisket warna lilac.Sebuah sentuhan lembut jatuh di pundaknya.Aluna tersentak. Ia mendongak dan berhadapan dengan wajah pucat Lita—gaun rumah sakit masih membalut tubuh kurusnya, botol infus bergoyang di tiang besi yang diseret pelan. “Mbak… kenapa nangis?” Suara Lita serak, setipis benang.Aluna buru-buru menyeka pipi. “Ah, nggak apa-

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 31

    Benang hujan masih menggantung tipis-tipis di udara Samarinda ketika dua lampu tembak polisi memecah gulita jalan tanah di pinggir Sungai Mahakam. Bau kayu basah dan getah damar menguar, menempel di kulit seperti keringat kedua. Dari balik kabin Hilux hitam, Ragil mencondongkan tubuh—punggungnya dirapatkan ke dashboard—sementara Haris, berbalut rompi antipeluru yang baru saja dipinjam dari Polresta, memeriksa senapan SS2-V4 dengan gerakan hafal.Di radio genggam, suara Kompol Irawan terdengar parau: “Tim Alfa, 600 meter dari titik, tunggu aba-aba. Target di dalam rumah panggung hijau atap seng. Posisi dua orang dewasa bersenjata. Lampu belakang menyala, indikator ada genset tetap hidup.”Dada Haris berdegup keras namun teratur—ritme yang sama setiap kali ia melangkah ke wilayah abu-abu di antara hidup dan mati. Perutnya masih terasa perih bekas makan malam yang terburu-buru, dua roti tawar dingin yang dipaksa masuk demi operasi malam ini.Ragil melirik jam di pergelangan tangan. 23:11

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 30

    Hujan baru saja reda ketika Lita masuk ke dalam ruang operasi. Aroma tanah basah bercampur udara antiseptik menyelimuti lorong IGD yang sunyi. Langkah kaki Haris menggema perlahan saat ia berjalan menuju kursi tunggu, membawa bayang-bayang luka dan peluru yang nyaris merenggut nyawa Lita.Haris meraih ponsel dan menelepon ke nomor yang sudah sangat dihafalnya, nomor Aluna. "Assalamualaikum, Mas! Ada apa telepon malam malam begini?" tanya Aluna. Suaranya terdengar panik. Dia perlahan menyiapkan hati jika sewaktu waktu mendengar kabar yang kurang menyenangkan. "Waalaikumsalam, kamu belum tidur? Sekarang sudah lewat tengah malam," sahut Haris. Ada rasa rindu dalam nada suaranya, rindu sekaligus lelah tapi tetap harus profesional."Mana mungkin aku bisa tidur jika pikiranku kemana - mana, Mas? Apa ada kabar dari Lita?" tanya Aluna to the poin."Ya ada, Lita sudah ditemukan. Kamu mau mendengar berita baik atau buruknya lebih dulu?" tanya Haris pelan.Aluna berpikir sejenak. "Berita buru

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 29

    “Aku nggak tahu apa-apa! Kalian salah orang!”Ratna meraung sambil menggeliat di kursi interogasi. Kakinya diperban dan masih berlumur darah segar. Tangannya diborgol ke meja besi dingin. Nafasnya memburu, tapi matanya penuh benci saat menatap Ragil yang berdiri di seberangnya.“Kami salah orang?” Ragil mengangkat alis. Ia mencondongkan tubuh, meletakkan tumpukan foto di meja. Foto orang orang yang hilang. Foto Dina saat 'diculik' dari rumah sakit yang diperoleh dari cctv lorong rumah sakit. Foto Rere—Ratna sendiri—bersama perempuan lain di bandara.“Kamu pikir kami bodoh?” suaranya tajam. “Kamu pikir semua orang yang kamu jual ke Kamboja itu nggak punya orang tua? Kamu pikir semuanya bisa kamu kubur dengan paspor palsu dan nama baru?”Ratna mendengus. “Aku nggak nyulik siapa-siapa. Mereka semua ikut sendiri. Mereka pengangguran! Mereka minta kerja! Aku bantu.”“Kerja?” Ragil mengetuk foto Dina yang ditemukan meninggal dengan sebagian besar organ tubuhnya yang hilang. “Ini hasil dari

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 28

    Beberapa saat sebelumnya, Haris memelototi layar laptopnya dengan mata merah dan kantung mata membengkak. Jam digital di sudut kanan bawah menunjukkan pukul 02.43 dini hari. Matanya terpaku pada layar Facebook—grup demi grup pencari kerja yang dipenuhi postingan lowongan kerja luar negeri dengan iming-iming gaji menggiurkan dan foto-foto perempuan cantik yang terasa terlalu sempurna untuk jadi nyata.Di sampingnya, Ragil menyesap kopi hitam dari cangkir kertas. “Kamu yakin ini jalurnya?” tanyanya sambil melirik layar.Haris tak menjawab langsung. Ia mengetik cepat, menyamar dengan akun palsu bernama “Rama Syahputra”—lengkap dengan foto profil seorang pria parlente yang ia edit dari foto model luar negeri. Di bio-nya tertulis: “Fresh graduate. Siap kerja. Tertarik ke luar negeri.”“Kalau Rendi dan Rara itu mainnya online, pasti ada jejak digital. Bahkan setipis apapun. Kita tinggal sabar dan konsisten,” ucap Haris lirih.Ragil mengangguk, meski keraguan jelas terpampang di wajahnya.S

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 27

    Sementara itu, di tempat lain, Lita perlahan membuka mata. Kepalanya berat, tubuhnya lemas. Ruangan di sekelilingnya tampak asing—gelap, hanya cahaya lampu redup di atas kepala. Bau amis dan pengap menyeruak dari setiap sudut. Dindingnya dari triplek tipis, dan ia bisa mendengar suara pria tertawa dari ruangan sebelah.Tubuhnya terbaring di atas matras tipis. Tangan kanannya diborgol ke tiang ranjang besi.“Selamat bangun, sayang.”Lita menoleh pelan. Rendi duduk di kursi kayu, menatapnya dengan wajah tenang namun mata yang tajam seperti silet.“Apa… ini… di mana aku…?” gumam Lita.“Kita udah jauh dari rumah petak itu. Di gudang tempat penghubung biasa kumpul. Kamu tenang aja. Sebentar lagi, kita akan ‘berangkat’ ke tempat yang lebih baik. Kamboja.”Lita mendadak sadar. Nafasnya tercekat.“Kamu gila… Kamu jual aku? Kamu suami aku, mas Rendi!”“Kamu ngintip pembicaraan yang bukan urusanmu. Kamu kirim pesan suara, padahal aku udah peringatkan. Maaf, Ta. Ini bukan soal cinta lagi. Ini so

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status