Suara musik akustik masih mengalun dari pengeras suara di kafe itu. Aroma steak wagyu memenuhi udara, menggoda siapa pun yang lewat.
Haris menatap Aluna dengan mata yang kini lebih serius. Tidak lagi dibalut canda. “Kamu yakin mau tahu jawabanku, Bu Guru?” tanyanya pelan. Aluna menegakkan tubuh. “Aku sudah lihat kamu dekat mobil polisi saat Rani ditangkap. Aku nggak bisa pura-pura nggak lihat.” Tatapan Haris tidak bergeming. Ia menarik napas, lalu perlahan bersandar ke kursi. “Kalau aku bilang... pekerjaanku memang punya pengaruh ke kehidupanmu, apa kamu tetap mau deket sama aku?” Aluna tidak langsung menjawab. Matanya mencari jawaban di wajah Haris, lalu akhirnya ia mengangguk pelan. “Iya. Tapi kalau pekerjaan itu negatif, atau… kamu terlibat dalam hal yang ilegal, aku nggak akan sanggup. Aku nggak mau dekat sama orang yang main belakang, apalagi main obat-obatan.” Haris tersenyum tipis, seakan sudah menduga. “Aku orang pertama yang paling benci sama barang haram itu, bu Guru cinta. Percaya sama aku. Aku bukan orang jahat.” Suara Haris terdengar tulus, tapi juga menyimpan lapisan yang belum tersingkap. “Cuma…” Haris mencondongkan tubuh. “Aku mau tanya, kamu dekat nggak sama ketiga teman kosmu?” Aluna mengangguk. “Cukup dekat. Sama Rani malah lebih dekat. Dia orangnya ceria, selalu rame. Aku nggak nyangka banget dia bisa terlibat kasus kayak gitu. Dia memang pernah cerita keluarganya broken home, tapi dia nggak pernah kelihatan kesepian…” Haris mendengarkan dengan kepala sedikit miring, seperti sedang mengingat sesuatu. Ia mengangguk-angguk kecil. Tak lama, pelayan datang membawa dua piring steak wagyu dengan asap mengepul, aromanya langsung menyambar hidung mereka. “Wow…” Aluna membulatkan mata. “Aku baru pertama kali makan steak kayak gini.” “Silakan dicoba, Bu Guru,” ujar Haris dengan nada main-main. “Mumpung yang traktir bukan sultan, tapi penjual cilok yang rejekinya agak naik hari ini.” Aluna tertawa. “Aku masih nggak habis pikir. Mas yang jual cilok bisa ngajak aku makan di tempat se-mewah ini.” “Doain aja, semoga cilokku makin laku, jadi bisa traktir kamu tiap minggu. Atau tiap hari.” Haris tersenyum, lalu menyuap potongan steak. Setelah beberapa gigitan, ia melirik Aluna lagi. “Eh… aku mau nanya nih. Apa bedanya kamu sama steak?” Aluna melotot sambil menahan tawa. “Aduh, apaan lagi sih. Ya jelas beda lah. Steak itu makanan. Aku ini manusia, Mas.” “Salah,” ujar Haris cepat. “Kalau steak dibakar… kalau kamu dilamar.” Aluna terbahak. “Ampun, Mas! Itu gombalan dari planet mana lagi?” Haris nyengir. “Planet rindu.” Lalu ia melanjutkan, “Kamu korek api bukan?” Aluna mengernyit. “Lah? Ya bukanlah. Kenapa?” “Soalnya kamu udah nyalain api cinta di hati aku. Bu guru cintaku.” Haris menatapnya romantis. Aluna menunduk, menyembunyikan senyum yang mekar tanpa bisa dicegah. Mereka makan dalam tawa kecil dan obrolan ringan—tentang makanan, teman kos, dan masa kecil Haris yang katanya dulu pernah jatuh cinta sama tukang es keliling waktu TK. --- Beberapa saat kemudian, Haris mengantar Aluna pulang. Malam yang dingin dengan perut yang hangat karena kenyang. Di depan kos, lampu neon berkelap-kelip, menyinari batu basah dan genangan kecil di pinggir jalan. Saat mereka sampai di pagar, suara langkah tergesa terdengar. Seorang perempuan membawa payung dan tas besar masuk tergesa. Wajahnya lelah. “Oh, Dina…” sapa Aluna. “Baru pulang jaga toko?” Dina mengangguk, lalu matanya berpindah ke Haris. Alisnya sedikit berkerut. “Halo,” sapa Haris ramah. Aluna tersenyum. “Mas Haris, ini Dina, teman kosku. Dina, ini Mas Haris…” Dina menatap Haris sejenak. Lalu dengan suara kecil, ia berbisik ke telinga Aluna. “Hati-hati sama orang asing. Apalagi laki - laki yang tidak jelas asal usulnya.” Tanpa menunggu reaksi, Dina masuk ke dalam dan menghilang melalui pintu gerbang kos. Aluna mematung. Haris menoleh. “Dia kayaknya nggak suka aku, ya?” Aluna tersenyum canggung. “Mungkin capek aja.” “Hmm,” gumam Haris. “Aku pulang dulu, ya. Besok aku ke rumah kamu. Jangan lupa siapin teh manis dan senyuman manis juga.” “Bawain cilok juga, ya.” Haris tertawa, lalu melangkah pergi. --- Hujan mulai turun. Rintik-rintik kecil membasahi jendela kamar Aluna, menciptakan simfoni tenang yang menelusup ke dalam hati. Udara menjadi lebih sejuk, dan aroma tanah basah menembus kisi-kisi jendela. Di luar, lampu jalan mulai buram tertutup embun. Aluna baru saja selesai membersihkan wajah dengan viva cleanser mentimun dan astringents yang sama saat ponselnya bergetar. Dari: Haris [Apa bedanya kamu sama hujan?” “Kalau hujan turun dari langit, kalau kamu turun ke hati aku. Selamat tidur Bu Guru Cinta, semoga mimpiin aku!] Aluna menghela napas sambil tersenyum geli, jemarinya mengetik cepat. [Mas Haris… ada-ada aja. Gombalnya bisa buat satu buku kayaknya.] Ponsel diletakkan di atas meja. Ia berdiri, meregangkan tubuh. Langkahnya terayun pelan ke arah kamar mandi, bermaksud cuci muka dan gosok gigi. Tapi saat melewati dapur kosan, langkahnya terhenti. Aluna meraih ceret berisi air putih beserta gelas bersih dan duduk di kursi ruang makan saat pandangannya terpana pada sesuatu di bawah meja dapur. Di bawah kaki meja kayu tua yang biasanya penuh cangkir dan camilan sisa malam, ada sesuatu. Sesuatu yang mencolok. Sebuah bungkus plastik kecil, terbuka sebagian, dengan serbuk putih di dalamnya. Duduk Aluna menegang, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tidak menyentuhnya, hanya menatap—lama. Serbuk itu tertabur sedikit di lantai, seperti jejak diam dari rahasia yang tak ingin ditemukan. Kini, berdiri di dapur, Aluna menatap bungkus serbuk putih itu. Pikirannya kacau! Next?Cahaya lampu dapur yang temaram memantul samar di lantai keramik. Aluna duduk mematung, menatap bungkus plastik kecil yang terbuka sebagian di bawah meja. Serbuk putih di dalamnya tampak seperti bedak halus, tapi hatinya menolak percaya itu hal biasa. Suasana malam yang tadinya tenang berubah menegang, seperti udara yang membeku menjelang badai. Aluna berpikir cepat. Dia nyaris menunduk dan tangannya hampir terulur untuk menyentuh benda itu— "Aluna, sedang apa kamu?" Suara itu membuatnya tersentak. Aluna menoleh cepat. Dina berdiri di ambang pintu dapur, bayangan tvb vhnya memanjang karena cahaya dari ruang tengah. Gadis itu mengenakan piyama motif boneka, tampak berantakan seperti baru bangun tidur. "Aku... haus," jawab Aluna cepat, sambil berdiri dan meraih ceret air putih di atas meja. Dina tidak mengatakan apa-apa. Matanya sekilas melirik lantai, lalu kembali menatap Aluna. Tanpa senyum. Aluna buru-buru menuang air ke gelas dan meneguknya, lalu bergegas kembali ke kamarn
Suara musik akustik masih mengalun dari pengeras suara di kafe itu. Aroma steak wagyu memenuhi udara, menggoda siapa pun yang lewat. Haris menatap Aluna dengan mata yang kini lebih serius. Tidak lagi dibalut canda. “Kamu yakin mau tahu jawabanku, Bu Guru?” tanyanya pelan. Aluna menegakkan tubuh. “Aku sudah lihat kamu dekat mobil polisi saat Rani ditangkap. Aku nggak bisa pura-pura nggak lihat.” Tatapan Haris tidak bergeming. Ia menarik napas, lalu perlahan bersandar ke kursi. “Kalau aku bilang... pekerjaanku memang punya pengaruh ke kehidupanmu, apa kamu tetap mau deket sama aku?” Aluna tidak langsung menjawab. Matanya mencari jawaban di wajah Haris, lalu akhirnya ia mengangguk pelan. “Iya. Tapi kalau pekerjaan itu negatif, atau… kamu terlibat dalam hal yang ilegal, aku nggak akan sanggup. Aku nggak mau dekat sama orang yang main belakang, apalagi main obat-obatan.” Haris tersenyum tipis, seakan sudah menduga. “Aku orang pertama yang paling benci sama barang haram itu, bu Guru
Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan di genangan air. Di seberang sana, tempat karaoke dengan lampu neonnya yang mencolok tampak hidup seperti sarang rahasia para pemuja malam. Klik. Aluna menurunkan ponsel, wajahnya tegang. Suara lalu lintas samar-samar terdengar, tapi semuanya seolah meredup oleh denyut keras di dadanya. Sebuah sentuhan ringan di bahunya menyadarkan Aluna dari kebekuan. “Eh, kenapa berhenti?” Haris mencondongkan tubuh, menatap wajah Aluna dari samping. “Dan… kamu baru aja motret apa barusan?” Aluna menelan ludah. “Mas… itu…” Ia mengangkat dagunya, menunjuk dengan lirih ke arah tempat karaoke. “Aku lihat mas Rendi. Calon suami Lita. Dia masuk ke sana… bareng cewek. Bajunya... minim banget.” Haris mengikuti arah pandang Aluna. Sebuah senyum kecil yang tidak menyenangkan muncul di sudut bibirnya, tapi menghilang secepat ia muncul. Ia menatap sejenak ke arah gedung karaoke, lalu berbalik menatap Aluna. “Ayo masuk dulu. Makan. Nanti kita bahas yang it
Pintu pagar besi itu terbuka dengan dentingan kasar, seperti alarm yang merobek ketenangan malam. Langkah tergesa menghentak bebatuan kecil di depan halaman kos. Suara hak tinggi menjejak lantai semen—cepat, marah, pongah.“ALUNA! KELUAR KAMU!”Aluna berdiri dari kursinya, wajahnya kaku. Di ambang pintu, tubuhnya setengah tersembunyi di balik tirai. Haris ikut berdiri, bersandar santai pada kusen jendela dengan ekspresi datar. Hujan yang tadi rintik, kini reda, meninggalkan aroma tanah basah dan ketegangan yang menggantung di udara.Lita muncul dengan gaun terusan merah mencolok, rambut tergerai dan wajah berminyak karena tergesa. Begitu matanya menangkap sosok Haris yang berdiri di ruang tamu, langkahnya melambat.Matanya membesar. Pandangannya naik-turun mengamati Haris dari kepala sampai sepatu sneakers-nya.“Dia... siapa?” gumam Lita lirih, seolah bicara pada dirinya sendiri. “Mbak... laki-laki ini... ngapain di sini?”Aluna mengangkat alis. “Seharusnya aku yang tanya, Lita. Kenap
Langit sore menyisakan semburat oranye di balik awan tipis, sementara daun-daun trembesi di pinggir jalan bergoyang pelan diterpa angin. Suasana lengang itu pecah oleh suara gerobak cilok yang bergeser pelan—berhenti di depan seorang gadis yang berdiri dengan tangan terlipat di d4d4.“Aku ulangi, Mas,” kata Aluna sambil menatap lurus, “kamu boleh ke kosku, tapi dengan satu syarat.”Haris, yang masih memegang tv5uk cilok di tangan, memiringkan kepala. “Syarat? Ini bukan drama Korea, kan?”“Pura-pura jadi pacarku.”Haris seolah membeku. Sepotong cilok nyaris jatuh dari tv5uknya.“Pacar? Aku?” Ia menunjuk d4danya sendiri. “Yang rambutnya kayak guling habis jatuh ke selokan ini?”Aluna mengangguk pelan, matanya masih menatap serius. “Ayahku... dia mau jodohin aku sama orang yang nggak aku kenal. Anak relasinya. Sementara aku... aku cuma pengen hidupku sendiri. Pilihanku sendiri.”Haris masih menatapnya, ekspresinya mulai berubah. Dari bingung, menjadi sedikit iba.“Mas Haris, kamu tahu ng
Langkah kaki Aluna terasa berat menyusuri lorong sekolah yang lengang. Suara langkahnya bergaung, menciptakan gema yang aneh, seolah-olah sekolah ini sedang menahan napas menantikan sesuatu. Dari kejauhan, pintu bertuliskan Kepala Sekolah tampak tertutup rapat, tapi Aluna tahu ini pertama kalinya kepala sekolah SD tempatnya bekerja memanggil nya selama 2 bulan bekerja di sana. Tok. Tok."Masuk," sahut suara berat dari dalam.Dengan napas yang ditahan, Aluna membuka pintu. Di balik meja besar dari kayu jati itu duduk Pak Bambang—kepala sekolah SMA Angkasa sekaligus… ayah kandungnya. Seorang pria paruh baya dengan rambut mulai memutih di pelipis, wajah keras namun menyimpan sesuatu yang tak pernah tuntas: rasa bersalah.Aluna berdiri kaku.“Duduk,” perintah Pak Bambang tanpa menatap. Ia sibuk membolak-balik map berwarna merah di tangannya. “Kamu tahu kenapa kamu dipanggil ke sini?”Aluna menggeleng. “Tidak, Pak.”Pak Bambang menghela napas berat. “Kos tempat kamu tinggal… berurusan den