Seketika pupil mata Karin melebar. Dia tak menyangka, kenapa Adam bisa mempertimbangkan hal itu juga. Sebenarnya apa yang dikatakan Nana? Tiba-tiba pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya. “Mas, sejak awal yang mengusulkan untuk tukar ranjang itu, Nana. Aku nggak pernah bilang secara gamblang menyetujui ide konyolnya. Lagian, siapa orang bodoh yang mau mengulangi kesalahan sama yang dilakukan keluarga Adiguna?” sanggah Karin dengan volume suara yang lebih tinggi. Adam hanya menghela napas panjang, dia kembali mentap Karin lurus. “Karina, saya nggak tanya pendapatmu tentang tukar ranjang yang diusulkan Nana. Saya cuma tanya apa kamu masih memiliki perasaan pada lelaki itu?” cetus Adam. Karin menunduk, tanpa sadar pandangannya sudah memburam menatap kedua tangan yang bertaut di pangkuan. Entah kenapa mengingat hubungannya dengan Baim hanya meninggalkan rasa sesak di dada. Kenapa Adam harus mengungkitnya? Toh, semua sudah berlalu.“Mas, bisa nggak kamu cukup yakinkan aku dan
“Bunda, malen Ala dikasih tugas sama Bu Gulu gambal olang-olang yang disayang. Ini gambalnya!” Bocah itu menyodorkan buku gambarnya pada Karin, saat mereka tengah menonton TV di ruang tamu. “Wah ... Ara pinter banget, sih. Coba kasih tahu ini siapa aja?” tanya Karin sembari menunjuk satu demi satu sketsa orang dalam buku tersebut. “Ini yang pake keludung bunda, ini Ayah Adam, dan ini Mbak Rida!” seru bocah itu riang. Karin tersenyum. Dia mengelus rambut Tiara, lalu melirik Adam yang terlihat pura-pura memainkan ponsel padahal jelas memperhatikan mereka. “Nggak ada Nenek sama Kakek?” tanya Karin dengan dahi mengernyit. Bocah itu tampak berpikir. “Oh ... Kakek Wayu sama Nenek Nisa!” jawabnya.Senyum samar tersungging di bibir Karin, dia kembali mengusap kepala bocah itu. Wahyu dan Nisa Wiraguna yang dimaksud adalah orang tua Adam—pemilik ThamrinsTV. Sejak lahir hanya mereka yang paling menerima Tiara dibandingkan keluarganya. Dia jadi merasa semakin bersalah karena menipu orang
“Sadam ... cukur nggak sekarang! Atau, mau Mama gundulin semuanya sekalian?” Suara itu terdengar menggelegar mengisi ruang kamar setibanya lelaki dengan rambut gondrong tersebut di rumah. Dia baru saja menyelesaikan studi S1 di Universitas Waterlangga dan kembali ke ibukota, tepatnya perumahan elit Cililitan yang terletak di Jakarta Timur. Itu pun setelah mendapat ancaman dari sang mama perihal pencabutan hak waris. “Nggak. Jenggot sama rambut gondrong itu lagi nge- trend sekarang, Ma,” sanggahnya sembari mengempaskan bokong di ranjang. “Nge-trend gundulmu! Masih aja ngeyel kalau dibilangin, ya. Besok itu pertemuan penting sama keluarga Adiguna, klien Papa yang udah lama jalin kerjasama sama. Selain Nana, katanya putri sulung Pak Hamdan juga bakal turut hadir. Emangnya nggak penasaran gitu kamu? Dia cakep, loh.” Bu Nisa tampak mengedipkan matanya berulang. “Nggak tertarik,” ucap Adam tak acuh. “Adeknya aja manja banget, pasti nggak jauh beda sama kakaknya.” “Iissh ... si Sada
“Hey, kamu cewek galak di kosan Surabaya itu, ‘kan? Nggak ingat saya?” Adam mencekal tangan Karin yang baru saja hendak masuk lift setelah jamuan makan selesai dan berpencar.“Maaf, Mas siapa, ya?” Karin menoleh, lalu menyahut ketus sembari menepis kasar tangan Adam. “Wih, sombong banget ternyata.” Jujur, hatinya sangat terluka. Perempuan ini sama sekali tak mengenalinya. Padahal Adam cuma potong rambut dan bercukur, bukan operasi plastik. “Maaf, Mas. Saya nggak kenal situ.” Karin berbalik, lalu masuk begitu saja ke dalam lift. Adam tertegun. Dia mengusap wajah, lalu menyandarkan tubuhnya ke dinding. Lelaki itu tersenyum getir. “Konyol. Apa, sih, yang lo harepin, Dam?” *** Nadila Arsinta dengan Ibrahim Danuarta. Nama yang tersemat dalam selembar kertas undangan itu kembali membuat hatinya nyeri. Sekali lagi dia tatap tumpukan kertas berjumlah seribu lima ratus buah yang baru saja datang pagi ini dari percetakan. Seminggu lagi tepatnya, dia akan melangsungkan resepsi bila saj
Plak! Tubuh Karin terhuyung saat tamparan keras itu mendarat di pipinya. “Dasar anak nggak berguna! Jadi, ini alasanmu ingin sekolah jauh-jauh ke luar kota, hah? Agar bisa bergaul seenaknya dan menggoda para lelaki agar menidurimu. Apa gunanya tudung di kepala itu, hah? Kau bahkan lebih hina dibandingkan pelacur!” “Udah, Mas. Tolong ...!” Risma berlutut di kaki Hamdan, menahan lelaki itu agar tak kembali melayangkan tamparan di wajah Karin. Sudut bibir perempuan itu bahkan sudah mengeluarkan darah, tapi dia hanya bergeming. Tak ada tangis atau ratapan minta ampun. Dia seolah sudah kehilangan emosi untuk merasakan sesuatu. “Buka mulutmu, Karina! Siapa ayah dari janin yang kau kandung. Aku akan membunuhnya!” Lolongan amarah itu membuncah kala bibir Karin hanya terbungkam menanggapinya. “JAWAB!” Tangan Hamdan sudah kembali melayang di udara. Risma semakin histeris di kakinya. Sementara Karin hanya bergeming di tempatnya. “Mas Adam, Ayah!” Belum sempat melayangkan tamparan
Hari ini telah ditetapkan sebagai pernikahan Karin dan Adam, begitu juga dengan Baim dan Nana.Seminggu setelah caci-maki yang dilontarkan, Hamdan tak ingin menunda- nunda lagi.Sejak hari itu, sosok Karin yang dulu seolah tak pernah lagi ada. Digantikan perempuan yang nyaris tanpa ekspresi, sedikit bicara, dan tak mau lagi mendengar apa kata orang.“Gimana penampilan Nana, Mbak?” Perempuan itu berdiri di hadapan Karin, sesekali memutar tubuh semampainya yang terbalut kebaya berwarna putih gading dengan aksen payet sederhana, tapi terlihat elegan. Rambutnya disanggul modern, menyisakan anak-anak rambut yang terjuntai di kedua sisi wajah oval yang beberapa waktu belakangan sedikit berisi.Karin menatap pantulan dirinya dalam cermin di kamar luas bernuansa gold ini, lalu menyunggingkan senyum kecil.“Cantik, cantik banget, Na!”Jelas, rona bahagia itu begitu kentara terpancar dari mata perempuan yang baru menginjak tujuh belas tahun tersebut, berbanding terbalik dengan perasaannya. Ane
“Nggak mau buka mulut, hah?” Adam berteriak tepat di depan wajah Karin.“Reputasimu sudah buruk, Mas. Bergonta-ganti wanita, lalu mabuk- mabukan. Belum lagi skandal dengan salah satu selebriti tanah air. Bukankah dengan menikahiku, akhirnya kamu bisa menampik semua itu?”Deg!Ingin sekali rasanya Adam meneriaki di depan wajahnya bahwa semua itu tak benar. Semua yang Karin lihat dan dengar, tak seperti kenyataannya. Dia memang mudah bergaul, tapi tak mudah menjatuhkan hati seperti orang bodoh.Baru pertama kali dia rasakan perasaan pada seorang perempuan, yaitu Karin ... yang ada di hadapannya.Menatap mata perempuan ini lama-lama hanya meninggalkan debaran tak karuan dalam dada, akhirnya Adam pun berpaling. Mengempaskan tangannya dari wajah Karin hingga tubuh perempuan itu terhuyung dibuatnya, kemudian berlalu begitu saja.Dia sudah memutuskan. Sebelum Karin buka mulut tentang apa yang terjadi, pernikahan ini hanya akan berjalan sesuai dengan caranya.Sembari menatap punggung lebar A
“Udah dulu pacarannya, kita sholat Isya berjamaah sebelum barbeque-an di balkon.” Bu Nisa tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka, mengalihkan perhatian kedua insan yang sama terhanyut dengan kedalaman mata masing-masing. “Ya, Adam ambil wudhu dulu.” Adam yang lebih dulu bangkit. Lelaki itu tampak menatap lurus melewati mamanya begitu saja. “Idih ... dasar ngambekkan! Kebiasaan, deh, si Sadam dari zaman diplorotin celananya sampe bisa melorotin celana orang, tetep aja baperan!” gerutu Nisa sembari berpangku tangan menatap kepergian putranya. “Sama kamu nggak gitu, pan, Rin? Dia itu kalau udah ngambekkan gitu. Baeknya didiemin, ntar juga adem sendiri,” cetus Nisa beralih pada Karin. Perempuan itu hanya bisa menyunggingkan senyum tipis. Benar apa yang dikatakan mertuanya, bila emosi Adam tengah naik, lebih baik didiamkan. Lama kelamaan, dia juga akan kembali melunak. Tanpa Karin sadari, sedikit demi sedikit dia mulai memahami suaminya. “Oh, iya. Ara Mama titip ke Tuti, baby si