Share

Bab. 2

"Karina! Kamu dengerin saya, nggak, sih?" panggilan itu menarik Karin dari lamunan. Mobil bahkan sudah melaju meninggalkan pelataran kediaman Adiguna menuju jalan pulang.

Menatap Adam yang duduk di balik kemudi, Karin menundukan kepala tanda menyesal.

"Maaf, Mas."

"Maaf aja teros. Saya bosan dengarnya. Kalau kamu udah nggak mau dengar, potong aja kuping sekalian."

Karin hanya bisa terdiam menanggapinya. Lagi pula kata-kata tajam yang terlontar dari mulut Adam sudah biasa dia dengar.

"Ayah, Ayah! Ara mau boneka Teddy itu. Boleh, ya!" Di tengah perjalanan Tiara tiba-tiba rewel meminta boneka. Bocah itu tampak loncat-loncat di kursi sembari menunjuk-nunjuk ke luar jendela.

"Nggak. Boneka kamu udah banyak, main aja sama boneka santet di rumah eyang sana!"

"Mas."

"Kenapa? Bocah itu jangan terlalu dimanja. Nanti ngelunjak kayak kamu."

Karina tampak menghela napas panjang.

"Turunin kita di sini kalau gitu," pinta Karin akhirnya.

"Nggak."

"Ya udah kita loncat."

"Eee ... jangan! Arrghh ... ya udah tunggu. Biar saya yang beli." Adam tampak mengacak rambut sejenak, lalu menepikan mobilnya. 

"Yeaayyy ...." Tiara bersorak kegirangan. Dari kaca spion Karin bisa melihat Adam tampak melirik bocah itu sekilas, sebelum turun.

Tanpa sadar kedua sudut bibir perempuan itu tertarik ke atas.

Sepuluh menit berselang Adam kembali, membawa boneka Teddy berukuran sedang, lalu bergegas memberikannya pada Ara.

"Makasih, Mas."

Tak ada tanggapan. Mobil kembali melaju menuju kompleks perumahan elite di daerah Menteng.

***

"Sudah tahu diperlakukan nggak baik, kenapa kamu masih mau menemui mereka?" Gerakan tangan Karin yang tengah menyisir rambut terhenti begitu saja, saat Adam yang sejak tadi hanya diam memperhatikan di atas ranjang, tiba-tiba bertanya.

Di luar langit tampak sudah gelap, selepas isya tak seperti biasanya dia hanya berdiam diri di rumah. Apa lagi ini weekend.

"Kapan aku pernah diperlakukan dengan tidak baik? Lagi pula mereka orangtuaku, Mas."

"Cih. Orang tua apanya."

Karin hanya menatap Adam dalam pantulan cermin, lelaki itu tampak memperhatikannya. Sepersekian detik pandangan mereka kembali bersirobok. Terlihat dalam pantulan cermin Adam tiba-tiba beranjak dan berjalan mendekat. Secepat kejapan mata dia sudah berdiri tepat di belakang Karin.

"Jangan lupa kontrasepsi-nya, saya nggak mau pake pengaman dan ada anak lain selain bocah itu di rumah ini," imbuhnya.

Karin mengangguk sekali. Kalimat yang sudah dia ingat di luar kepala. Perempuan itu tersenyum lirih, Sebenarnya pernikahan macam apa yang tengah mereka jalani ini?

***

Azan subuh baru saja berkumandang. Karin bangkit dari ranjang setelah meraih khimar yang tersampir di sisi tempat tidur, lalu menjejakkan kaki mencari sandal rumah.

Sejak menikah dia memutuskan untuk berpakaian sesuai syariat. Pakaian-pakaian ketat dan jilbab pendek sedada sudah dia tinggalkan diganti khimar dan gamis panjang.

Sejenak dia melirik lelaki yang terlelap di sana. Dalam khayalan terliar dia sempat berharap mereka mampu menjadi suami-istri selayaknya. Sama-sama melupakan masa lalu yang kelam. Membangun keluarga kecil yang bahagia bersama Tiara.

Hah ... konyol! Harapan seorang wanita munafik pada lelaki penzinah dan pemabuk. Akankah Tuhan mengabulkannya?

Seketika dia kembali mengingat permintaan Nana. Tukar ranjang? Baim?

"Astaghfirullah ... manusia macam apa kami ini?" 

Karin tampak mengusap wajah, lalu berjalan menuju mushala yang terletak di lantai dasar, dekat kolam ikan. Membasuh wajah berusaha mengenyahkan bayang-bayang kejadian masa lalu yang sekelebat mengusik pikiran.

Menyembah pada-Nya agar mendapat sedikit keringanan dari segala takdir yang dilimpahkan padanya, agar mampu memikul sedikit beban yang selama ini dia tanggung sendiri.

Ah, bersikap baik-baik saja tak selamanya membuat diri terlihat kuat. Dia hanya tak lagi tahu bagaimana cara menangis dan merutuki takdir.

Selepas subuh Karin sempatkan singgah ke kamar Tiara. Di sebelahnya ada kamar Rida-- gadis berusia delapan belas tahun yang biasa mengasuh bocah itu

"Ah, Tiara ... semoga kamu nggak menerima nasib yang lebih buruk dari bunda!"

Setelah mengecup keningnya, Rina kembali ke kamar di lantai tiga. Berjalan pelan-pelan agar tak menimbulkan suara yang mengundang amukan  Adam. Kemudian meraih ponsel yang tergeletak di meja rias.

Satu pesan masuk dalam aplikasi berwarna hijau. Dari Kinan.

[ Mbak, lusa Nana mau ajukan gugatan cerai ke pengadilan agama. Mas Baim nggak respons apa-apa saat kita diskusi. Tapi keputusan Nana udah bulat. Kita akan mensahkan pertukaran ini! ] 

Mata Rina membulat seketika. Mencengkeram benda persegi di genggaman tangan, perempuan itu matikan ponsel, lalu meletakkannya kembali.

"Nana udah gila," gumamnya.

.

.

.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status