"Karina! Kamu dengerin saya, nggak, sih?" panggilan itu menarik Karin dari lamunan. Mobil bahkan sudah melaju meninggalkan pelataran kediaman Adiguna menuju jalan pulang.
Menatap Adam yang duduk di balik kemudi, Karin menundukan kepala tanda menyesal."Maaf, Mas.""Maaf aja teros. Saya bosan dengarnya. Kalau kamu udah nggak mau dengar, potong aja kuping sekalian."Karin hanya bisa terdiam menanggapinya. Lagi pula kata-kata tajam yang terlontar dari mulut Adam sudah biasa dia dengar."Ayah, Ayah! Ara mau boneka Teddy itu. Boleh, ya!" Di tengah perjalanan Tiara tiba-tiba rewel meminta boneka. Bocah itu tampak loncat-loncat di kursi sembari menunjuk-nunjuk ke luar jendela."Nggak. Boneka kamu udah banyak, main aja sama boneka santet di rumah eyang sana!""Mas.""Kenapa? Bocah itu jangan terlalu dimanja. Nanti ngelunjak kayak kamu."Karina tampak menghela napas panjang."Turunin kita di sini kalau gitu," pinta Karin akhirnya."Nggak.""Ya udah kita loncat.""Eee ... jangan! Arrghh ... ya udah tunggu. Biar saya yang beli." Adam tampak mengacak rambut sejenak, lalu menepikan mobilnya. "Yeaayyy ...." Tiara bersorak kegirangan. Dari kaca spion Karin bisa melihat Adam tampak melirik bocah itu sekilas, sebelum turun.Tanpa sadar kedua sudut bibir perempuan itu tertarik ke atas.Sepuluh menit berselang Adam kembali, membawa boneka Teddy berukuran sedang, lalu bergegas memberikannya pada Ara."Makasih, Mas."Tak ada tanggapan. Mobil kembali melaju menuju kompleks perumahan elite di daerah Menteng.***"Sudah tahu diperlakukan nggak baik, kenapa kamu masih mau menemui mereka?" Gerakan tangan Karin yang tengah menyisir rambut terhenti begitu saja, saat Adam yang sejak tadi hanya diam memperhatikan di atas ranjang, tiba-tiba bertanya.Di luar langit tampak sudah gelap, selepas isya tak seperti biasanya dia hanya berdiam diri di rumah. Apa lagi ini weekend."Kapan aku pernah diperlakukan dengan tidak baik? Lagi pula mereka orangtuaku, Mas.""Cih. Orang tua apanya."Karin hanya menatap Adam dalam pantulan cermin, lelaki itu tampak memperhatikannya. Sepersekian detik pandangan mereka kembali bersirobok. Terlihat dalam pantulan cermin Adam tiba-tiba beranjak dan berjalan mendekat. Secepat kejapan mata dia sudah berdiri tepat di belakang Karin."Jangan lupa kontrasepsi-nya, saya nggak mau pake pengaman dan ada anak lain selain bocah itu di rumah ini," imbuhnya.Karin mengangguk sekali. Kalimat yang sudah dia ingat di luar kepala. Perempuan itu tersenyum lirih, Sebenarnya pernikahan macam apa yang tengah mereka jalani ini?***Azan subuh baru saja berkumandang. Karin bangkit dari ranjang setelah meraih khimar yang tersampir di sisi tempat tidur, lalu menjejakkan kaki mencari sandal rumah.Sejak menikah dia memutuskan untuk berpakaian sesuai syariat. Pakaian-pakaian ketat dan jilbab pendek sedada sudah dia tinggalkan diganti khimar dan gamis panjang.Sejenak dia melirik lelaki yang terlelap di sana. Dalam khayalan terliar dia sempat berharap mereka mampu menjadi suami-istri selayaknya. Sama-sama melupakan masa lalu yang kelam. Membangun keluarga kecil yang bahagia bersama Tiara.Hah ... konyol! Harapan seorang wanita munafik pada lelaki penzinah dan pemabuk. Akankah Tuhan mengabulkannya?Seketika dia kembali mengingat permintaan Nana. Tukar ranjang? Baim?"Astaghfirullah ... manusia macam apa kami ini?" Karin tampak mengusap wajah, lalu berjalan menuju mushala yang terletak di lantai dasar, dekat kolam ikan. Membasuh wajah berusaha mengenyahkan bayang-bayang kejadian masa lalu yang sekelebat mengusik pikiran.Menyembah pada-Nya agar mendapat sedikit keringanan dari segala takdir yang dilimpahkan padanya, agar mampu memikul sedikit beban yang selama ini dia tanggung sendiri.Ah, bersikap baik-baik saja tak selamanya membuat diri terlihat kuat. Dia hanya tak lagi tahu bagaimana cara menangis dan merutuki takdir.Selepas subuh Karin sempatkan singgah ke kamar Tiara. Di sebelahnya ada kamar Rida-- gadis berusia delapan belas tahun yang biasa mengasuh bocah itu"Ah, Tiara ... semoga kamu nggak menerima nasib yang lebih buruk dari bunda!"Setelah mengecup keningnya, Rina kembali ke kamar di lantai tiga. Berjalan pelan-pelan agar tak menimbulkan suara yang mengundang amukan Adam. Kemudian meraih ponsel yang tergeletak di meja rias.Satu pesan masuk dalam aplikasi berwarna hijau. Dari Kinan.[ Mbak, lusa Nana mau ajukan gugatan cerai ke pengadilan agama. Mas Baim nggak respons apa-apa saat kita diskusi. Tapi keputusan Nana udah bulat. Kita akan mensahkan pertukaran ini! ] Mata Rina membulat seketika. Mencengkeram benda persegi di genggaman tangan, perempuan itu matikan ponsel, lalu meletakkannya kembali."Nana udah gila," gumamnya....Bersambung.Empat tahun kemudian ....Pria itu tampak berjongkok untuk menyejajarkan tubuh dengan bocah lelaki yang berdiri di hadapannya, kemudian merapikan rambut bocah dengan mata bulat dan pipi gembil tersebut."Ayah ... kenapa cuma cowok yang harus disunat? Kak Ara sama Ais enggak?" Pertanyaan yang terlontar dari bibir putranya membuat senyum pria itu mengembang. Ia mengusap kepala bocah bernama lengkap Muhammad Rasyid Prasetyo yang lebih sering dipanggil Rasyid itu setelah."Kak Ara sama Ais, kan perempuan, Sayang. Sedang anak ayah yang ganteng ini, jagoan sholeh. Rasyid selalu bilang sama ayah kalau mau jadi kayak Ayah, 'kan?"Bocah menggemaskan itu tampak mengangguk antusias."Iya, Ayah. Rasyid mau jadi kayak Ayah. Ayah yang ganteng, sayang sama Bunda juga Rasyid.""Nah, itu kamu tahu. Dalam Islam, hukum khitan bagi anak laki-laki itu wajib. Tujuannya bukan cuma sekadar mematuhi perintah agama, tapi juga untuk menjaga agar terhindar dari najis yang kadang nggak keliatan. Kalau udah gede R
Dua bulan kemudian ....Lantunan ayat suci Al-Quran, terdengar samar-samar, ketika kesadaran Karin kembali dari alam mimpi. Menoleh ke bawah, Karin melihat Adam tengah bersila dengan kitab itu di pangkuan.Sadar tengah diperhatikan, Adam menoleh dan tersenyum."Kebangun, ya?"Membalas senyumnya, Karin mengangguk kecil. "Ada yang kamu mau? Biar aku ambilin?" tanya Adam kemudian. Karin menggeleng dan hanya termangu memperhatikan suaminya. Sadar dirinya diperhatikan dengan lekat, Adam langsung menarik pergelangan tangan Karin pelan hingga keduanya duduk berhadapan di atas sajadah yang digelar. "Masa nifas kamu udah selesai, kan?" Karin yang langsung paham dengan maksud Adam pun tersenyum dan mengangguk pelan. "Udah dari dua minggu lalu, Mas!" ucapnya."Umm ... bolehkah?" Adam terlihat ragu melanjutkan. Lelaki itu mengusap tengkuk salah tingkah. Karin yang melihatnya pun lantas terkekeh. "Itu sudah kewajibanku, Mas. Memangnya boleh menolak apa yang sudah menjadi hakmu?!"Kini Adam
Monika berdiri di depan pintu apartemen Pondok Indah Residenses bernomor 210 yang terletak tak jauh dari kompleks perumahan Adam di Menteng. Meskipun sempat ragu, akhirnya dia mengulurkan tangan dan menekan bel. Tak lama sosok Adam muncul dari baliknya. Lelaki itu sempat kaget saat melihat siapa yang tengah berdiri di hadapannya saat ini. "Monika! Ngapain lu di sini?" cetusnya. "Pevita udah pulang?" Pertanyaan Adam itu kembali dijawab oleh pertanyaan lagi."Bentar lagi kayaknya. Ada apa, Mon?""Kenapa hape lo nggak aktif, Dam? Udah berapa hari nggak pulang. Istri lo mau ngelahirin, Dodol!"Sontak mata Adam melebar. Lelaki berdarah Timur Tengah itu langsung menyisir kasar rambutnya ke belakang dan merutuk sendiri. "Astagfirullah. Gue lupa charger hape, Mon. Gue panik banget waktu Monika bilang mantan suaminya dateng buat bawa Gerald. Udah dua hari ini Pevita ngurusin kasus ini. Dia minta tolong gue karena Gerald nggak mau dititip sama yang lain. Baby sitter yang biasa rawat dia lag
"Gimana?" Panggilan ibunya lantas menarik Karin dari lamunan. Masih berdiri di tempat yang sama ia memikirkan segala kemungkinan yang ada kenapa sang suami masih belum juga tiba. Malam semakin larut, dan perasaannya juga kian terasa kalut. Semenjak usia kandungannya menginjak sembilan bulan, ia merasa instingnya lebih kuat dan peka. Perasaannya juga menjadi lebih sensitif daripada sebelumnya, padahal Karin tahu betul suaminya itu setia. Namun, entah kenapa hari ini ada yang berbeda. "Katanya syuting udah selesai dari dua hari lalu, Bu. Jadi, Mas Danu juga nggak tahu Mas Adam ada di mana sekarang." Suara Karin terdengar bergetar. Perempuan berusia dua puluh enam tahun itu tak lagi terlihat tenang. Beberapa kali dia mengelus perut buncitnya yang kembali terasa mulas. "Mungkin Adam pulang ke rumah orangtuanya kali, Rin. Coba ibu telepon Bu Nisa."Karin langsung menggeleng. "Nggak, Bu. Kalau Mas Adam pulang ke rumah mama sama papa dia pasti hubungin Karin, atau--arrghhh." Tubuh Kar
Empat bulan kemudian .... "Kamu beneran nggak apa-apa nih aku tinggal?" Untuk ketiga kalinya Adam bertanya pada Karin yang tengah sibuk mengunyah satu buah apel di depan pelataran rumah mereka. "Iya nggak apa-apa, Mas. Lagian ada Ibu, Bi Narti sama Mbok Nah. Lagian Mas ke Bandung mau kerja, kan bukan main-main." Melihat itu Adam lantas menghela napas panjang sebelum mengecup kening Karin dan benar-benar pamit. Di hadapan mereka tampak sudah terparkir sebuah mobil Fortuner hitam yang Mang Midun siapkan sejak tadi. "Baiklah kalau gitu. Pokoknya jangan sungkan telepon kalau ada apa-apa. "Iya, Mas." Karin mengangguk patuh, lalu meraih tangan Adam dan mencium punggung tangannya takzim. "Hati-hati. Jangan ngebut!""Siap." Adam melambaikan tangan sebelum masuk ke dalam mobil dan duduk di balik kemudi. Sementara itu Mang Midun terlihat sudah bersiap membuka pagar di depan. "Makasih, Mang!" ucapnya pada Mang Midun sebelum mobil beranjak meninggal pelataran dan kompleks perumahan elite
"Innalilahi wa innalilahi rojiun."Tanpa sadar ponsel Karin terlepas dari genggaman tangannya. Bagai palu godam yang baru saja menghantam, untuk seperkian detik napasnya terasa sesak, dengan dentaman jantung yang bertalu-talu ngilu. Satu jam mereka saling memaafkan. Baru satu jam setelah perempuan itu memeluknya erat bahkan hendak bersujud di kaki untuk meminta pengampunan. Belum ada dua puluh empat jam sejak ia meminta Tiara memanggil mama. Maut, memang demikian itulah adanya. Ia kerap datang di waktu-waktu tak terduga tanpa manusia sangka-sangka. Secara seketika menampar bahwa hidup memanglah sementara. Nana masih muda, usianya belum sampai dua puluh tiga. Psikolog belum memastikan kesembuhannya, tapi yang Karin lihat satu jam lalu dia sudah cukup normal meskipun keadaannya mengkhawatirkan. Perempuan itu bahkan kehilangan delapan kilogram bobot tubuhnya di tengah kandungan yang sudah mencapai tujuh bulan. Mata yang biasa menyorot bening dengan riasan sederhana, kini tampak cekun