Share

Bab. 3

Nadila Arsinta atau biasa dipanggil Nana perempuan yang terlahir dengan memeluk bulan. Artinya dia tumbuh dengan selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Mudah jatuh cinta juga mudah bosan.

Hampir tiga perempat umur Karin habiskan dalam bayang-bayangnya. Selama itu dia selalu ada di sampingnya, jadi pendengar tapi tak pernah didengar.

Permintaannya terakhir kali telah mengubah hidupnya. Apakah kali ini juga sama?

Tukar suami? Meskipun disahkan secara hukum dan agama, tapi apakah itu masuk akal?

Karin menekan pelipisnya yang tiba-tiba terasa pening.

Tidak.

Kali ini dia bukan anak kecil lagi. Karin tak perlu mengikuti permintaan konyol Nana untuk yang ke sekian kali.

Ya, sudah saatnya dia bebas dari kendalinya. Menciptakan kebahagiaan yang selama ini dia dambakan.

"Karina, oi! Ngapain kamu bengong di sana? Ngintipin cicak kawin?"

Setengah terlonjak dia beralih pada Adam yang sudah duduk bersandar di kepala ranjang.

Sejak kapan dia bangun?

"Mas, tumben udah bangun? Biasanya kalau libur, 'kan bangunnya siang," ujar Karin basa-basi.

"Ya, suka-suka saya, dong. Lagian siapa yang tahu kapan mata pengen melek," jawabnya dengan nada tinggi seperti biasa.

"Oh." Perempuan itu hanya menimpali sekenanya.

"Ah, oh, ah, oh ... bawain sarapan sana! Saya laper."

Karin mengangguk sekali. "Ya, nanti aku panggilkan Bi Narti."

"Nggak. Kamu yang ngambil. Mentang-mentang nikah sama orang kaya jadi manja apa-apa sama pembantu."

Sekali lagi Karin hanya bisa menghela napas panjang. "Kan Mas yang suruh aku nggak boleh sentuh dapur."

"Kapan saya suruh?" Dia tampak berpikir sejenak. "Oh, iya ... ya udah, panggil Bi Narti aja. Suruh anter ke kamar!"

Memejamkan mata sesaat, Karin tampak mengelus dada, lalu beristighfar.

Entah sampai kapan dia akan bisa tahan dengan sikap Adam.

"Kenapa elus dada? Mulai terang-terangan, ya sekarang. Pasti di dalem hati kamu lagi ngumpat. Sumpahin suami sendiri yang enggak-enggak!"

"Astaghfirullah," lirih Karin beristighfar dalam hati.

Memilih mengabaikannya dia berlalu dari kamar dan berjalan ke dapur.

"Oi, Karina! Nggak sopan banget, ya, kamu. Suami lagi ngomong maen ngeloyor gitu aja. Karinaa Safitrii ...!"

Masih bisa didengar teriakannya menggelegar seisi lantai tiga.

Ah, bodoh. Lagi dia merutuk. Kebahagiaan apa yang akan tercipta dengan lelaki sekasar Adam?

Entahlah ....

***

"Buna, kenapa, ya ayah galak? Apa karena Ara nakal? Suka berantakin rumah, minta jajan?"

Bocah berumur tiga tahun itu berceloteh, saat Karin menghampirinya di kamar. Perempuan itu tampak mengusap rambut Tiara yang terurai sebahu, lalu membungkuk untuk menyejajarkan tubuh.

"Biar sama saya aja, Rid," pintanya pada Rida yang hendak menyisir rambut Tiara. Bocah ini baru saja selesai mandi, setelah bangun tidur, lalu mengenakan seragam Play Group.

Rida mengangguk, menyodorkan sisir yang dia pegang pada Karin, kemudian meninggalkan mereka.

"Loh, kenapa Ara ngomong kayak gitu?"

"Tadi Ayah lewat, terus Ara peluk. Ta-Tapi Ayah malah marah."

Kamarnya dan Tiara memang ada di lantai yang sama, tak heran bila Adam biasa melintasi kamar bocah ini sebelum turun ke bawah.

Hari ini suaminya itu juga berangkat kerja, mungkin itulah alasannya kenapa Tiara berpapasan dengan lelaki itu, padahal biasanya Adam bangun siang di hari libur, juga pulang tak tentu waktu di hari biasa.

Karin terdiam sejenak. Kemudian mengusap pipi gembil Tiara lembut.

"Mungkin Ayah buru-buru, Sayang. Dia jadi nggak sempet manjain Ara."

Bocah itu tiba-tiba tertunduk. "Ayah nggak sayang Ara, ya, Bun? Soalnya Ayah nggak pernah anter sekolah atau ajak Ara main."

Hati Karin serasa tersayat mendengarnya.

Tiara masih terlalu kecil untuk menerima kenyataan bahwa hadirnya tak pernah diinginkan oleh orang-orang di sekelilingnya.

Kasih sayang dari Karin sebagai orang tua tunggal tentu tidaklah cukup. Dia juga butuh perhatian seorang Ayah ... meskipun itu bukan Ayah kandungannya.

Tak ada anak yang ingin terlahir dari hubungan terlarang. Hanya karena orang tuanya berdosa, lantas dia juga menjadi kotor?

Tidak. Setiap anak terlahir suci, tak peduli seberapa kotor orang tuanya.

Karin pernah ada di posisi bagaimana rasanya tak diinginkan. Dia sudah menanamkan sebuah keyakinan, bahwa situasi seperti itu tak boleh terjadi pada bocah ini.

Semua perlakuan kasar Adam padanya, tentu masih bisa Karin terima sejauh ini. Namun, pada Tiara? Tidak. Setidaknya dia layak untuk hidup yang lebih baik darinya.

"Ara tunggu di sini sebentar, ya, Sayang. Bunda ke bawah dulu." Bocah itu mengangguk, kemudian berlari kecil menuju keranjang mainan di sudut kamarnya.

"Bapak udah berangkat, Rid?" tanya Karin pada Rida yang tengah duduk memainkan ponsel di depan kamar Tiara.

"Tadi, sih saya liat lagi sarapan di ruang makan, Bu."

"Oh, iya. Tolong temenin Ara lagi di dalem. Biar nanti saya yang anter kalian ke sekolah."

"Iya, Bu."

Karin berjalan menuruni tangga yang berbentuk memutar menuju lantai dasar. Mengitari ruangan luas ini akhirnya dia menemukan Adam tengah duduk di ruang tamu. Di sofa panjang dengan posisi membelakangi.

Langkahnya terhenti satu meter di belakang, saat menyadari seorang wanita dengan rambut panjang tergerai duduk di sisinya.

Tidak mungkin. Apa harus sejauh ini?

"Mbak Karina!" panggil perempuan itu setelah menyadari kehadiran Karin di antara mereka.

"Nana," lirih suaranya nyaris tak terdengar.

"Kalian ngobrol aja berdua. Saya mau berangkat, ada syuting FTV pagi ini." Adam tiba-tiba bangkit, dia beranjak setelah mengacak rambut Nana. "Saya tunggu keputusan kamu," tandasnya pelan, tapi masih bisa Karin dengar, sebelum lelaki itu melangkah pergi meninggalkan mereka

Karin membeku.

Apa mungkin suaminya dan Nana ....

Sungguh Karin membenci pikirannya saat ini.

Sudah tiga hari sejak pesan konyolnya waktu itu. Karin tak menyangka rupanya Nana masih kukuh dengan pendiriannya.

Hal gila apa lagi yang akan perempuan itu minta kali ini?

"Mbak, kenapa WA-ku nggak dibalas? Telepon juga nggak pernah diangkat. Mbak kenapa, sih? Toh, ini juga demi kebaikan kita."

Karin tampak memejamkan mata sesaat, lalu menatapnya lekat. "Kita? Maksudnya kamu?"

"Ck," Nana berdecak, bangkit dari sofa, lalu menghampiri Karin yang masih berdiri di tempat yang sama. "Mbak kenapa, sih. Biasanya juga nggak kayak gini? Udah jelas-jelas kalian itu nggak saling cinta. Apa yang harus dipertahanin? Anak ... apa karena Tiara? Ck, dia bahkan bukan anaknya--"

"Nana!" Karin memejamkan mata sesaat. "Tolong pulang! Maaf, Mbak sibuk. Mau antar Tiara dulu."

Memilih mengabaikannya, Karin berbalik. Berjalan menuju tangga. Namun, baru melangkah menaiki anak tangga pertama, ucapan Nana kembali mengejutkannya.

"Mas Baim udah setuju."

Deg.

"Tinggal nunggu sidang dalam beberapa bulan kita udah bisa cerai."

Karin mengepalkan tangan di kedua sisi tubuh. "Nana." Kemudian kembali berbalik menghadap perempuan itu. "Kamu ingat gimana dulu begitu terobsesi sama Mas Baim? Mohon-mohon sama Mbak buat kenalin kalian."

Nana tampak terdiam sejenak.

"Tapi itu, 'kan dulu. Sebelum kita nikah, sebelum aku tahu kalau Mas Baim itu orangnya kaku, nggak romantis sama sekali," dalihnya.

Kamu salah, Nana. Dia justru orang yang sangat lembut, romantis, dan penyayang. Hanya satu kelemahannya. Dia pengecut.

"Yang begitu kamu jadiin alasan buat cerai? Kapan kamu bisa dewasa, Nana!"

Tak ... Tak ... Tak

Suara sepatu hak tinggi terdengar beradu dengan ubin. Dengan tatapan tajam dia berjalan mendekat hingga tak ada jarak yang bersisa di antara keduanya.

"Kita persingkat aja. Mbak masih ada perasaan nggak sama Mas Baim?" selorohnya di telinga Karin.

Perempuan itu tampak meremas gamis yang dikenakan, lalu memejamkan mata. "Nana, tolong ...."

Tiba-tiba dia memeluk Karin, Nana membisikkan kalimat yang tak bisa perempuan itu sanggah lagi.

"Inget nggak, apa kata ayah? Milik Mbak, itu juga milik aku!"

***

Malamnya. Entah kenapa Karin mulai gelisah. Dia berjalan mondar-mandir di kamar. Menunggu Adam pulang.

"Ngapain kamu mondar-mandir kayak setrikaan?"

Suara pintu terbuka, Adam muncul dari baliknya.

"Mas! Kita harus bicara."

"Lah, ini juga, 'kan lagi bicara. Aneh kamu."

"Bukan gitu, maksudnya bicara serius."

"Tentang?" tanyanya sembari meletakkan tas di atas tempat tidur, lalu melepas jaket.

Menghela napas sejenak, dia menangkupkan tangan sebelum mulai buka mulut.

"Mas udah tahu, 'kan siapa ayah Tiara?"

Lelaki itu terdiam sesaat.

"Ya. Saya juga udah tahu kalau Tiara bukan anakmu!"

.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status