Nadila Arsinta atau biasa dipanggil Nana perempuan yang terlahir dengan memeluk bulan. Artinya dia tumbuh dengan selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Mudah jatuh cinta juga mudah bosan.
Hampir tiga perempat umur Karin habiskan dalam bayang-bayangnya. Selama itu dia selalu ada di sampingnya, jadi pendengar tapi tak pernah didengar.Permintaannya terakhir kali telah mengubah hidupnya. Apakah kali ini juga sama?Tukar suami? Meskipun disahkan secara hukum dan agama, tapi apakah itu masuk akal?Karin menekan pelipisnya yang tiba-tiba terasa pening.Tidak.Kali ini dia bukan anak kecil lagi. Karin tak perlu mengikuti permintaan konyol Nana untuk yang ke sekian kali.Ya, sudah saatnya dia bebas dari kendalinya. Menciptakan kebahagiaan yang selama ini dia dambakan."Karina, oi! Ngapain kamu bengong di sana? Ngintipin cicak kawin?"Setengah terlonjak dia beralih pada Adam yang sudah duduk bersandar di kepala ranjang.Sejak kapan dia bangun?"Mas, tumben udah bangun? Biasanya kalau libur, 'kan bangunnya siang," ujar Karin basa-basi."Ya, suka-suka saya, dong. Lagian siapa yang tahu kapan mata pengen melek," jawabnya dengan nada tinggi seperti biasa."Oh." Perempuan itu hanya menimpali sekenanya."Ah, oh, ah, oh ... bawain sarapan sana! Saya laper."Karin mengangguk sekali. "Ya, nanti aku panggilkan Bi Narti.""Nggak. Kamu yang ngambil. Mentang-mentang nikah sama orang kaya jadi manja apa-apa sama pembantu."Sekali lagi Karin hanya bisa menghela napas panjang. "Kan Mas yang suruh aku nggak boleh sentuh dapur.""Kapan saya suruh?" Dia tampak berpikir sejenak. "Oh, iya ... ya udah, panggil Bi Narti aja. Suruh anter ke kamar!"Memejamkan mata sesaat, Karin tampak mengelus dada, lalu beristighfar.Entah sampai kapan dia akan bisa tahan dengan sikap Adam."Kenapa elus dada? Mulai terang-terangan, ya sekarang. Pasti di dalem hati kamu lagi ngumpat. Sumpahin suami sendiri yang enggak-enggak!""Astaghfirullah," lirih Karin beristighfar dalam hati.Memilih mengabaikannya dia berlalu dari kamar dan berjalan ke dapur."Oi, Karina! Nggak sopan banget, ya, kamu. Suami lagi ngomong maen ngeloyor gitu aja. Karinaa Safitrii ...!"Masih bisa didengar teriakannya menggelegar seisi lantai tiga.Ah, bodoh. Lagi dia merutuk. Kebahagiaan apa yang akan tercipta dengan lelaki sekasar Adam?Entahlah ....***"Buna, kenapa, ya ayah galak? Apa karena Ara nakal? Suka berantakin rumah, minta jajan?"Bocah berumur tiga tahun itu berceloteh, saat Karin menghampirinya di kamar. Perempuan itu tampak mengusap rambut Tiara yang terurai sebahu, lalu membungkuk untuk menyejajarkan tubuh."Biar sama saya aja, Rid," pintanya pada Rida yang hendak menyisir rambut Tiara. Bocah ini baru saja selesai mandi, setelah bangun tidur, lalu mengenakan seragam Play Group.Rida mengangguk, menyodorkan sisir yang dia pegang pada Karin, kemudian meninggalkan mereka."Loh, kenapa Ara ngomong kayak gitu?""Tadi Ayah lewat, terus Ara peluk. Ta-Tapi Ayah malah marah."Kamarnya dan Tiara memang ada di lantai yang sama, tak heran bila Adam biasa melintasi kamar bocah ini sebelum turun ke bawah.Hari ini suaminya itu juga berangkat kerja, mungkin itulah alasannya kenapa Tiara berpapasan dengan lelaki itu, padahal biasanya Adam bangun siang di hari libur, juga pulang tak tentu waktu di hari biasa.Karin terdiam sejenak. Kemudian mengusap pipi gembil Tiara lembut."Mungkin Ayah buru-buru, Sayang. Dia jadi nggak sempet manjain Ara."Bocah itu tiba-tiba tertunduk. "Ayah nggak sayang Ara, ya, Bun? Soalnya Ayah nggak pernah anter sekolah atau ajak Ara main."Hati Karin serasa tersayat mendengarnya.Tiara masih terlalu kecil untuk menerima kenyataan bahwa hadirnya tak pernah diinginkan oleh orang-orang di sekelilingnya.Kasih sayang dari Karin sebagai orang tua tunggal tentu tidaklah cukup. Dia juga butuh perhatian seorang Ayah ... meskipun itu bukan Ayah kandungannya.Tak ada anak yang ingin terlahir dari hubungan terlarang. Hanya karena orang tuanya berdosa, lantas dia juga menjadi kotor?Tidak. Setiap anak terlahir suci, tak peduli seberapa kotor orang tuanya.Karin pernah ada di posisi bagaimana rasanya tak diinginkan. Dia sudah menanamkan sebuah keyakinan, bahwa situasi seperti itu tak boleh terjadi pada bocah ini.Semua perlakuan kasar Adam padanya, tentu masih bisa Karin terima sejauh ini. Namun, pada Tiara? Tidak. Setidaknya dia layak untuk hidup yang lebih baik darinya."Ara tunggu di sini sebentar, ya, Sayang. Bunda ke bawah dulu." Bocah itu mengangguk, kemudian berlari kecil menuju keranjang mainan di sudut kamarnya."Bapak udah berangkat, Rid?" tanya Karin pada Rida yang tengah duduk memainkan ponsel di depan kamar Tiara."Tadi, sih saya liat lagi sarapan di ruang makan, Bu.""Oh, iya. Tolong temenin Ara lagi di dalem. Biar nanti saya yang anter kalian ke sekolah.""Iya, Bu."Karin berjalan menuruni tangga yang berbentuk memutar menuju lantai dasar. Mengitari ruangan luas ini akhirnya dia menemukan Adam tengah duduk di ruang tamu. Di sofa panjang dengan posisi membelakangi.Langkahnya terhenti satu meter di belakang, saat menyadari seorang wanita dengan rambut panjang tergerai duduk di sisinya.Tidak mungkin. Apa harus sejauh ini?"Mbak Karina!" panggil perempuan itu setelah menyadari kehadiran Karin di antara mereka."Nana," lirih suaranya nyaris tak terdengar."Kalian ngobrol aja berdua. Saya mau berangkat, ada syuting FTV pagi ini." Adam tiba-tiba bangkit, dia beranjak setelah mengacak rambut Nana. "Saya tunggu keputusan kamu," tandasnya pelan, tapi masih bisa Karin dengar, sebelum lelaki itu melangkah pergi meninggalkan merekaKarin membeku.Apa mungkin suaminya dan Nana ....Sungguh Karin membenci pikirannya saat ini.Sudah tiga hari sejak pesan konyolnya waktu itu. Karin tak menyangka rupanya Nana masih kukuh dengan pendiriannya.Hal gila apa lagi yang akan perempuan itu minta kali ini?"Mbak, kenapa WA-ku nggak dibalas? Telepon juga nggak pernah diangkat. Mbak kenapa, sih? Toh, ini juga demi kebaikan kita."Karin tampak memejamkan mata sesaat, lalu menatapnya lekat. "Kita? Maksudnya kamu?""Ck," Nana berdecak, bangkit dari sofa, lalu menghampiri Karin yang masih berdiri di tempat yang sama. "Mbak kenapa, sih. Biasanya juga nggak kayak gini? Udah jelas-jelas kalian itu nggak saling cinta. Apa yang harus dipertahanin? Anak ... apa karena Tiara? Ck, dia bahkan bukan anaknya--""Nana!" Karin memejamkan mata sesaat. "Tolong pulang! Maaf, Mbak sibuk. Mau antar Tiara dulu."Memilih mengabaikannya, Karin berbalik. Berjalan menuju tangga. Namun, baru melangkah menaiki anak tangga pertama, ucapan Nana kembali mengejutkannya."Mas Baim udah setuju."Deg."Tinggal nunggu sidang dalam beberapa bulan kita udah bisa cerai."Karin mengepalkan tangan di kedua sisi tubuh. "Nana." Kemudian kembali berbalik menghadap perempuan itu. "Kamu ingat gimana dulu begitu terobsesi sama Mas Baim? Mohon-mohon sama Mbak buat kenalin kalian."Nana tampak terdiam sejenak."Tapi itu, 'kan dulu. Sebelum kita nikah, sebelum aku tahu kalau Mas Baim itu orangnya kaku, nggak romantis sama sekali," dalihnya.Kamu salah, Nana. Dia justru orang yang sangat lembut, romantis, dan penyayang. Hanya satu kelemahannya. Dia pengecut."Yang begitu kamu jadiin alasan buat cerai? Kapan kamu bisa dewasa, Nana!"Tak ... Tak ... TakSuara sepatu hak tinggi terdengar beradu dengan ubin. Dengan tatapan tajam dia berjalan mendekat hingga tak ada jarak yang bersisa di antara keduanya."Kita persingkat aja. Mbak masih ada perasaan nggak sama Mas Baim?" selorohnya di telinga Karin.Perempuan itu tampak meremas gamis yang dikenakan, lalu memejamkan mata. "Nana, tolong ...."Tiba-tiba dia memeluk Karin, Nana membisikkan kalimat yang tak bisa perempuan itu sanggah lagi."Inget nggak, apa kata ayah? Milik Mbak, itu juga milik aku!"***Malamnya. Entah kenapa Karin mulai gelisah. Dia berjalan mondar-mandir di kamar. Menunggu Adam pulang."Ngapain kamu mondar-mandir kayak setrikaan?"Suara pintu terbuka, Adam muncul dari baliknya."Mas! Kita harus bicara.""Lah, ini juga, 'kan lagi bicara. Aneh kamu.""Bukan gitu, maksudnya bicara serius.""Tentang?" tanyanya sembari meletakkan tas di atas tempat tidur, lalu melepas jaket.Menghela napas sejenak, dia menangkupkan tangan sebelum mulai buka mulut."Mas udah tahu, 'kan siapa ayah Tiara?"Lelaki itu terdiam sesaat."Ya. Saya juga udah tahu kalau Tiara bukan anakmu!".Bersambung.Tiara Ananda Prasetyo, bocah dengan mata bulat yang lahir dan tumbuh setelah berhasil melawan maut sejak dalam kandungan. Anak yang tak tahu apa-apa, tapi selalu jadi tameng akan kesalahan orang tuanya. Meskipun kenyataan Tiara tak terlahir dari rahimnya, Karin tetap memutuskan untuk mencintai bocah itu. Dan mengubur fakta serta masa lalu menyedihkan tentangnya. Sebagaimana janji yang sudah dia ikat dengan orang tuanya.Selama itu Karin hanya simpan faktanya seorang diri. Pura-pura tak tahu bahwa bocah itu adalah benih dari lelaki yang berjanji akan menempatkannya di posisi tertinggi hatinya, tapi kenyataan dia kalah berperang dengan hawa nafsunya.Namun, pada akhirnya hari ini sebuah rahasia yang telah dia simpan rapat selama empat tahun lamanya diketahui Adam ... lelaki yang dia pikir tak pernah peduli. Selalu bersikap masa bodo dan tak ingin tahu tentang apa pun kehidupannya dulu."Kok, kaget? Kayak yang habis kedapatan selingkuh aja kamu," cibirnya saat melihat mata Karin melebar
Lima tahun lalu .... Hari ini cuaca tampak cerah di Kota Surabaya. Terlihat orang-orang lebih sibuk melakukan aktivitasnya, hingga jalanan dari dua arah pun padat merayap. Terletak di Bulak, daerah Utara Kota Pahlawan, sebuah ikatan suci baru saja terjalin di kantor KUA setempat. Kota ini akhirnya menjadi saksi pertemuan kedua insan yang akhirnya dipersatukan dalam sebuah ikatan halal. “Sah.”Kalimat sakral itu terdengar. Tampak sang mempelai wanita dengan pakaian kemeja putih dan rok hitam, menangkupkan wajah mengusap syukur, karena telah sah dipersunting lelaki pujaannya secara agama dengan bukti selembar kertas dengan materai bertanda tangan saksi. Dengan sudut matanya dia menatap Baim, suaminya, lalu menunduk malu. Tak menyangka, ternyata lelaki ini tak main-main dengan janjinya. Saksi dan wali duduk di kanan kiri kedua mempelai, dua di antaranya adalah keluarga sang mempelai wanita. Sebulan setelah mendengar kabar bahwa putrinya akan menikah-- Risma-- ibu kandung Karin mema
"Mas Adam nggak mau cerai sama Mbak Karin, padahal udah jelas-jelas mereka nggak saling cinta, ngapain juga dipertahankan sampai empat tahun lamanya?" Nana tampak mendumel di sepanjang jalan menuju pulang, sementara itu Baim yang duduk di balik kemudi hanya bisa mencengkeram setir dengan pikiran melayang. Menyusuri masa lampau. Sesal hanya tinggal sesal, seandainya saja waktu itu dia tak terpengaruh hanya karena hasrat sesaat ... mungkin pernikahannya dan Karin masih bertahan sampai kini."Kita juga nggak saling cinta, tapi bertahan sampai empat tahun. Sungguh aku sangat bersyukur saat kau meminta cerai, Nana!"Seketika Nana menoleh, terbelalak matanya saat mendengar setiap kata yang terlontar dari mulut lelaki pertama yang merenggut kehormatannya ini. "Aku mencintaimu, Mas. Itulah alasan kenapa aku bisa bertahan selama empat tahun ini dengan lelaki sedingin dan sekasar dirimu!" bentak Karin. Seketika rahang Baim mengetat. Ia membanting setir, lalu menepikan mobil. Ditatapnya pere
Tak ada yang Adam ucapkan lagi setelah mereka sampai di rumah sepulang dari kafe. Tentang Nana, Baim, juga rencana gila perempuan itu. Mulutnya rapat terkunci, meninggalkan tanda tanya besar menggelayut dalam benak Rina.Bahkan sudah seminggu tak ada kabar dari Nana yang mempertanyakan tentang keputusan Karin. Dia tiba-tiba menghilang begitu saja.Tak mengiriminya pesan atau panggilan telepon. Sebenarnya apa yang Adam bicarakandengan Nana hari itu sebenarnya? Pertanyaan itu masih saja menggelayut di benak Karin. "Buna!" panggilan Ara menarik Karin dari lamunan. Bocah itu tampak mengerjap-erjapkan mata bulatnya menatap perempuan itu kebingungan.Karin sunggingkan kedua sudut bibir. Kemudian mengusap pipi bocah itu lembut."Ya, Sayang?""Kapan Ayah ajak kita piknik?" Bibir bocah itu tampak memberengut dengan kedua tangan mungil yang memintal-mintal ujung kaus bergambar Hello Kitty-nya."Ah, sepertinya pemintaanmu terlalu berat, Sayang. Dia bersikap cukup baik saja, Bunda sudah sanga
“Hari ini kita pindah ke Jakarta. Kemarin, Mas diberi kabar ada panggilan dari perusahaan besar di sana.”Sudah dua bulan sejak perubahan sikap Baim, hari ini tiba-tiba dia meminta Karin untuk mengemasi barang.“Perusahaan apa? Kenapa secepat ini, Mas?” tanya Karin heran, sembari menghentikan pergerakan tangan Baim yang tengah mengemasi pakaian di kamar mereka.“Udahlah, Rin. Nggak usah banyak tanya. Yang penting kita bisa segera mengesahkan pernikahan di mata publik, kebutuhan terpenuhi dan kamu nggak kelaparan!”Karin tertegun lama.Jujur, sebenarnya dia sangat ingin bertanya apa yang telah terjadi. Kenapa sikap Baim berubah? Kenapa dia tiba-tiba diterima kerja? Dan, kenapa mereka harus pindah?Semua pertanyaan yang menggelayut dalam benak, akhirnya hanya bisa dia telan sendiri. Pelan tapi pasti, mungkin Baim akan menjelaskannya.“Kuliahku?” tanyanya lirih.“Kamu bisa tunda kuliahmu untuk sementara, ya.” Baim menghampiri Rina, lalu meletakkan kedua tangan di bahunya.Karin menghela
Plak!Tamparan keras mendarat di pipi Baim hingga meninggalkan bekas kemerahan di kulit putihnya. Lelaki itu hanya bisa bungkam sembari berlutut di hadapan istrinya.Tak perlu bertanya, dia sudah tahu seperti apa akhirnya. Gadis yang dia pikir hanya ingin main-main, rupanya telah menancapkan duri dalam rumah tangganya.“Katakan sekarang, Mas! Aku ingin dengar dari mulutmu, apa benar kamu menghamilinya? Apa benar benih yang tertanam di rahimnya adalah darah dagingmu?” Suara Karin menggelegar di ruang apartemen. Hanya berselang beberapa menit setelah Baim pulang kantor, dia menarik tangan lelaki itu kemudian menuntut jawaban.Baim terpaku. Dia akui kesalahannya yang khilaf saat bergumul dengan Nana. Walau bagaimanapun, dia hanya lelaki biasa. Imannya tak cukup kuat melawan hasrat lelakinya.Namun, dia tak menyangka semua akan berakhir sefatal ini. Kenikmatan sesaat yang dia rasakan justru menghancurkan segalanya. Menghancurkan rencana masa depannya.“I-iya.” Tak ada alasan untuk men
"Omaa ...." Tiara langsung berlari ke arah Risma, lalu memeluknya.Perempuan setengah baya yang masih modis di usianya itu berjalan menghampiri Karin, lalu menatap putrinya dengan sorot mata yang aneh, hingga akhirnya Risma dan Tiara berlalu ke belakang.Sedangkan Karin dan Adam langsung duduk di sofa kosong yang terletak di samping kanan mereka, saat Hamdan memberi isyarat dengan dagunya."Jadi, Adam ikut juga?" Hamdan mulai membuka percakapan dengan mempertanyakan kehadiran Adam di sini. "Baguslah, begitu lebih baik. Kita bisa menyelesaikannya lebih cepat di sini," lanjutnya bahkan sebelum sempat Adam buka mulut untuk menjawab.Suasana tiba-tiba terasa tegang. Khususnya untuk Karin, sejak dulu dia memang tak pernah bisa menatap langsung ke dalam mata Hamdan. Dia dikenal dengan pribadi yang tegas. Lelaki setengah baya itu bahkan mendidik anak-anaknya dengan cukup keras, terlebih pada Karin.Sebisa mungkin Rina selalu menghindari Hamdan bila ada kesempatan. Terlebih setelah tragedi ti
Perceraian adalah hal yang lumrah terjadi dalam ikatan pernikahan. Jangankan pasangan yang tak saling mencintai, mereka yang menikah dengan cinta pun bisa berpisah karena ego yang sama-sama dibumbung tinggi. Tak tahu kondisi, tak peduli orang yang dikasihi, hingga akhirnya anak menjadi korban situasi. Ada dua alasan kenapa suami istri yang tak saling mencintai memilih bertahan dengan pasangannya. Pertama, karena anak. Dan yang kedua, karena mereka terikat dengantujuan lain, meskipun berakhir merugikan salah satu di antara keduanya. Dalam kasus ini, para pasangan melupakan hal kecil yang justru akan berakibat besar di kemudian hari. Hukum tabur-tuai pun berlaku menjadi karma yang kelak bisa menimpa anak turunannya. ***20 Maret 2001Prang!Gelas kaca itu tampak berserak di lantai, meninggalkan bunyi yang memekakkan telinga. Di ruang utama kediaman keluarga terpandang itu, terlihat Hamdan Adiguna—lelaki berusia tiga puluh tahun. Pemimpin PT. KNUSA, perusahaan yang bergerak di bidang