“Uaaahhh…” Xu Ming menguap lebar sambil meregangkan tubuh. Ia bangkit perlahan dari posisi duduk bersila, membuka mata yang terasa berat setelah meditasi panjang semalam.“Akhirnya kau bangun juga, dasar manusia malas!”Suara mungil bernada tinggi muncul begitu saja, diiringi kilatan cahaya biru di udara. Dari dalam ruang spiritualnya, sesosok peri es kecil muncul sambil melipat tangan di udara. Rambutnya seputih salju, sayapnya bening seperti kristal.“Bing Bing…” Xu Ming tersenyum lemas. “Pagi juga.”“Pagi apanya! Matahari sudah naik diatas kepala!” bentak Bing Bing, mengambang dengan ekspresi sewot. “Kau bilang mau menyuling pil semalam, tapi yang kulihat justru tidur gaya naga malas!”Xu Ming mengusap wajah, masih setengah sadar. “Aku tidak tidur… aku meditasi dalam mimpi.”“Jangan ngelantur!”Peri kecil itu menjambak udara di atas kepala Xu Ming, tapi tak bisa menjangkau lebih dari itu. “Kalau kau terus begini, jangan salahkan aku kalau nanti kau jadi bahan tertawaan di seleksi S
Suara langkah kaki bergema. Perlahan, dari balik pintu utama, muncul seorang pria paruh baya berpakaian jubah panjang warna gelap beraksen emas. Wajahnya tampak tegas dengan rahang kokoh, alis tebal seperti bilah pedang, dan mata yang menyala tenang namun penuh tekanan. Di setiap geraknya, tubuhnya memancarkan dominasi diam sebuah ketenangan milik orang yang sudah lama duduk di atas kekuasaan dan bertahan di tengah badai politik berdarah.Xu Ming segera menyadari sesuatu. “Tekanan ini...,” batinnya bergetar. “Setidaknya ksatria Taraf Empat... seperti Paman Han Su.”Xu ming makin penasaran dengan latar belakang keluarga Han, ia baru menyadari paman Han Su nya di desa kayu juga bermarga Han, apakah paman ini adalah kerabatnya. Atau hanya memiliki kesamaan saja.Han Mimi langsung memekik pelan. “Ayah!”Ia berlari kecil dan memeluk pria itu erat-erat. Han Mo, kepala Keluarga Han, hanya menunduk sedikit, tangan besarnya dengan lembut menepuk punggung putrinya.“Kau terlambat dua hari, Mimi
“Kita hampir sampai.” Lao menoleh ke belakang, suaranya serak. “Gerbang selatan sudah kelihatan.”“Ah, akhirnya,” Han Mimi menghela napas lega, menuruni kereta sambil menepuk debu dari bajunya. “Selamat datang di Kota Pedang Patah, Xu Ming. Rumahku.”Xu Ming berdiri di sampingnya, menatap jauh ke depan. Tembok kota menjulang kokoh, bendera merah bergambar pedang patah berkibar di atas menara penjaga. Suara sorak pedagang, ringkik kuda, dan langkah kaki memenuhi udara yang penuh aroma rempah, besi, dan asap dupa.“Kota ini tak terlalu besar,” ujar Han Mimi sambil berjalan. “Tapi kami punya Sekte Empat Pilar Penyucian sebagai pelindung. Kehidupan sosial dan kultivasi cukup berkembang di sini.”Ia menoleh dan menyipitkan mata. “Orang-orang sini tidak selalu ramah… terutama pada orang miskin dan gelandangan. Dunia ini terlalu terbiasa menilai dari pakaian, bukan isi dada.”Xu Ming hanya mengangguk. Ia mengamati seorang anak jalanan dipukul dengan tongkat karena menghalangi jalan pedagang
“Ambillah,” katanya datar. “Aku tak ingin terlibat dalam urusan keluargamu.”Han Mimi sempat terdiam. Matanya menatap Xu Ming dengan campuran bingung dan kagum. Tangannya gemetar sedikit menolak saat menerima kotak itu.Han Mimi berdiri di dekat Xu Ming, memandangi kotak akar roh seratus tahun yang kini digenggam olehnya. Cahaya ungu dari benda itu masih berdenyut lembut, seolah memanggil kekuatan dari dalam bumi. Ia menghela napas panjang, lalu memejamkan mata. Dalam diamnya, ia seperti menimbang beban yang lebih berat daripada tubuhnya sendiri.Han Mimi membuka mata, lalu mengulurkan kotak itu ke arah Lao.“Aku tak bisa mengambil sesuatu yang bukan milikku,” ucapnya pelan namun mantap.Lao sempat terdiam, sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Apa kau yakin mengembalikan barang ini kepada kami? Bagaimana dengan urusan dengan Xie Li?”“Apa pun urusan keluarga Xie dan kutukan itu... akan kuhadapi sendiri. Tanpa mencuri milik orang lain.”Lao akhirnya menerima kotak itu dan menyimpannya k
“Perhatikan matamu itu, bocah, sebelum kucongkel,” hardik wanita itu, suaranya tajam dan penuh amarah.Suara itu memecah hening malam, tajam dan bernada kesal. Wanita muda itu mencabut pedang panjangnya, dan seketika pilar api kehitaman membumbung dari tanah, membelah langit malam hingga setinggi seratus kaki. Aura panasnya membuat tanah berderak dan udara berdesis seperti kuali mendidih.Xu Ming masih berdiri di tempat. Tatapannya menelusuri wajah lawannya bukan karena nafsu, tetapi karena keterkejutan. Ia baru menyadari bahwa sosok yang beradu Dao dengannya... adalah seorang wanita muda. Wajahnya tampak terlalu lembut untuk perang. Terlalu tenang untuk seorang pembunuh. Dan itu membingungkan. Namun bagi wanita itu, tatapan Xu Ming terasa berbeda. Ia mengira itu adalah tatapan lain dari banyak pria yang hanya melihat tubuhnya, bukan dirinya.Belum sempat teknik Dao diluncurkan, suara keras membentak di dalam kesadaran Xu Ming. “Cepatlah bertindak, Nak! Jangan banyak bermain!”Itu Bin
Udara malam masih bergema oleh sisa ledakan Dao sebelumnya. Debu-debu belum sempat turun ketika Xu Ming, masih memegang kotak akar roh seratus tahun, melangkah perlahan ke depan. Matanya tetap tertuju pada sosok berjubah hitam di seberang yang kini menegang, dikelilingi aura api hitam yang terus bergolak.Di sampingnya, Lin Hu terpaku. Matanya membesar, menatap Xu Ming seakan melihatnya untuk pertama kali. Pemuda yang sehari lalu hanya meminta diantar ke Padang Rumput Seribu Li… ternyata seorang kultivator. Gemetar dan kagum, Lin Hu memberanikan diri. Ia melangkah pelan, lalu menyentuh punggung Xu Ming, tepat di bahu kanannya.“Xu Ming… kau…”Xu Ming tak menoleh. Wajahnya tetap dingin, matanya tajam seperti ujung bilah yang belum pernah digunakan. Tangannya menggenggam kotak giok itu lebih erat. Suaranya pelan, namun tak terbantahkan.“Serahkan sisanya padaku.”Lin Hu menelan ludah. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya. Ia hanya mengangguk kecil, lalu mundur beberapa langkah, menjau
"Malam ini... padang rumput ini akan dibasuh dengan darah para semut rendahan seperti kalian."Suara itu berat dan dingin, menggema bagai guruh di langit yang kosong. Di atas udara malam yang membeku, sosok berjubah hitam melayang tanpa suara, jubahnya berkibar seperti bayangan kematian. Angin berhenti. Nyala api unggun mendadak padam, seolah takut akan kehadiran kekuatan yang turun dari langit. Keheningan jatuh, menggantung seperti sabit di tenggorokan semua orang yang ada di sana.Dalam satu napas, aura Dao merah tua meledak dari tubuh sosok itu, menyapu area perkemahan seperti pusaran angin darah. Tanah bergetar hebat, rerumputan kering terbakar di tempat, dan kuda-kuda meringkik liar sebelum melarikan diri dalam panik. Aroma darah dan tanah hangus perlahan memenuhi udara.Para pengawal bayaran keluarga Hu tersentak. Beberapa mundur setengah langkah, wajah mereka memucat. Tubuh mereka menggigil, bukan karena dingin, melainkan tekanan spiritual yang begitu dalam, menusuk hingga ke s
“Kau ingin sepotong daging kelinci ini? Makanlah, dan bergabunglah dengan yang lain.” Lin Hu menyodorkan tusukan daging panggang ke arah Xu Ming, senyumnya lebar meski napasnya masih tersengal usai memanggang di dekat api.Xu Ming hanya melirik sekilas, lalu menggeleng pelan. “Tidak perlu.”“Ah, kau ini…” Lin Hu mendecak, kemudian duduk di tanah sambil menggigit dagingnya sendiri. “Kau terlalu serius. Lihat itu, semua orang tertawa. Mereka bukan orang jahat, hanya pengawal bayaran. Tidak perlu selalu menatap gelap.”Xu Ming tetap diam, pandangannya menatap gelapnya padang yang tak berujung, seolah mencari sesuatu di balik malam. Api unggun membias redup di matanya.Tak jauh dari mereka, di lingkaran api, para pengawal bayaran duduk saling berdekatan. Suara tawa pelan terdengar, berseling dengan obrolan santai dan bunyi kendi arak beras yang berpindah tangan.“Oi, Lin Hu! Kau takkan kenyang kalau cuma makan itu! Kemarilah!” seru salah satu pengawal sambil menepuk lututnya.Lin Hu melir
Langit siang perlahan memudar menjadi jingga pucat ketika Xu Ming dan Lin Hu menapaki jalan tanah menuju Padang Rumput Seribu Li. Hembusan angin membawa aroma tanah kering dan rumput liar, membuat debu-debu kecil berputar mengikuti langkah mereka."Jalan ini akan membawa kita ke perbatasan padang," kata Lin Hu sambil menunjuk ke arah dataran yang mulai terbuka. "Dari sana, tinggal lurus… sampai tak ada lagi pohon yang menemani."Xu Ming hanya mengangguk, matanya menatap lurus ke depan, menembus horizon.Namun suara derap langkah kuda dari belakang memecah keheningan. Lin Hu menoleh cepat. “Ada karavan… besar… mendekat,” gumamnya.Dari balik debu jalan, muncullah deretan kereta kayu besar, ditarik oleh kuda-kuda kokoh. Di sekelilingnya, para pengawal bersenjata menunggangi kuda, wajah mereka keras dan penuh kewaspadaan. Suara gemerincing logam dan derap kaki kuda menggetarkan tanah.“Jangan terlihat mencurigakan…” bisik Lin Hu, menunduk pelan.Namun terlambat. Salah satu pengawal di de