"Sepertinya Nenek belum pulang. Lebih baik aku bermeditasi kembali."Xu Ming duduk di tikar usang dalam pondok kayu, menggenggam liontin es yang sejak kecil menggantung di lehernya. Tak ada kata istirahat untuknya. Anak-anak lain seusianya masih tertawa-tawa, mengejar ikan atau mencari katak monster di sungai belakang lembah. Mere`ka sudah mencapai Taraf 1 dan merasa itu cukup. Tapi bagi Ming'er, ini tak cukup!Ia menutup mata, berusaha menstabilkan aliran Qi. Tapi tepat saat energi Dao mulai mengalir dari Dantian ke meridian, sebuah suara dingin muncul, menggema dari dalam liontin.“Teteskan darahmu. Alirkan Dao Qi ke liontin. Sekarang!”Xu Ming terlonjak, membuka mata lebar-lebar. “Siapa itu?!”“Jangan banyak tanya. Kau ingin menjadi kuat bukan? Lakukan!” titah suara misterius ituSuara itu dingin. Tegas. Tak memberi ruang penolakan. Darahnya berdesir. Dan entah kenapa, ia patuh. Tanpa ragu, ia menggigit jari, meneteskan darah ke liontin biru es di dadanya. Dalam sekejap, seluruh ru
Langkah kaki tua yang tertatih memasuki rumah kecil yang porak-poranda. Pintu yang tergantung miring berderit saat Nenek Hua mendorongnya perlahan, dan pandangannya langsung tertumbuk pada kekacauan yang tidak biasa.“Ming’er…?” suara seraknya pelan, tapi cukup menusuk ke dalam kesunyian sore itu.Dari balik pintu, sosok pemuda kurus tampak duduk bersila, tubuhnya bergetar lemah. Wajahnya pucat pasi, dan setitik darah segar menetes dari sudut bibirnya.Nenek Hua terdiam sejenak, lalu tersenyum sangat tipis. “Jadi kau… berhasil membentuk Dao Qi-mu sendiri…”Xu Ming hanya mengangguk lemah. Dengan satu gerakan cekatan, Nenek Hua mengeluarkan kuali tembaga dari cincin penyimpannya, dan dalam sekejap, nyala api berwarna ungu-merah muda menari dari telapak tangannya.“Lihat baik-baik, Nak. Ini bukan api biasa. Ini Api Kalajengking Sutra,” katanya, suaranya kini berubah tenang namun penuh kekuatan. “Dulu, ayahku hampir tewas karena racunnya, tapi dari sanalah api ini ditaklukkan dan diwarisk
Xu Ming akhirnya menggenggam Benih Api di tangannya. Aroma hangat bercampur manis dari cahaya merah gelap itu menelusup ke paru-parunya, menenangkan namun juga memberi tekanan tak kasat mata ke setiap pori-porinya. Ia mengangguk pelan ke arah Nenek Hua.“Aku akan melakukannya… Nenek.”Wajah tua itu mengendurkan ketegangan, meski matanya tetap waspada. “Baiklah, tapi dengarkan baik-baik. Meski kau telah menerobos Taraf Kedua dan lautan jiwamu telah terbentuk, menjadi seorang Dan Shi bukan sekadar memiliki api. Kau harus menstabilkan semuanya dari awal.”Ia menepuk bahu Xu Ming, lalu mulai mengatur formasi pelindung di sekeliling mereka. “Pertama, lautan jiwamu. Kau telah membentuknya, tapi belum menstabilkannya. Arus spiritualmu masih liar. Tanpa kestabilan itu, kau bisa mati terbakar hanya dengan niat menyentuh Benih Api.”Xu Ming menarik napas. Ia duduk bersila, perlahan mulai memusatkan kesadarannya ke dalam. T
"Sudah tiga hari, anak nakal itu tak datang ke tempat latihan!" Gerutu Kakek Mo menggema di antara jalur setapak berbatu Desa Kayu. "Apa dia sedang mengalami kebuntuan? Atau jatuh sakit? Hatiku gelisah sekali rasanya..."Langkahnya mantap tapi disertai ketidaksabaran yang tak biasa. Tongkat kayu tua menghantam bebatuan kecil di sepanjang jalan sempit yang jaraknya hanya lima menit dari pondoknya. Kabut pagi masih menggantung rendah di atas pucuk bambu, dan aroma tanah basah membumbung samar setelah hujan malam sebelumnya. Tapi bukan udara yang mengganggu batinnya, melainkan rasa cemas yang menancap di dada seorang tetua yang terlalu menyayangi cucu didiknya."Hua! Huaaa!" teriaknya lantang saat mendekati pekarangan pondok. “Apa ada masa—”Ucapannya terputus begitu kaki tuanya menyentuh lantai pekarangan yang berembun. Matanya membelalak. Mulutnya sedikit menganga.“Ming’er...? Dia... sedang mencoba memurnikan pil?”
“Han Su... HAN SU! Kemarilah! Dan lihatlah ini! Keponakanmu ini sangatlah jenius! Kau lihat pil ini!”Teriakan keras itu membuat para burung di pohon-pohon bambu berterbangan. Han Su, yang sedang berdiri di tengah lapangan latihan sambil mengawasi putranya dan beberapa anak muda lain yang berlatih Teknik Dao Taraf Pertama, langsung menoleh dengan dahi mengernyit.Ia menyipitkan mata, menatap ke arah dua sosok yang berlari turun dari arah pondok Nenek Hua. Salah satunya tentu saja Pak Tua Mo dengan tongkat kayunya, dan yang satunya lagi Xu Ming yang tampak sedikit kewalahan diseret-seret oleh semangat tua yang luar biasa pagi itu.“Eh? Kau tidak seperti biasanya, Pak Tua,” gumam Han Su, setengah heran, setengah menggoda. Suaranya makin lantang. “Kenapa heboh sekali teriak-teriak pagi-pagi begini? Apa kau baru saja bertemu seorang wanita muda yang ingin menikahimu, hah?”Plak! Tanpa pikir panjang, tongkat bambu Pak Tua Mo
"Paman! Izinkan aku ikut berburu!"Suara Xu Ming melesat cepat, tajam, dan terlalu lantang untuk dianggap guyonan. Han Su yang sedang tertawa kecil bersama Pak Tua Mo mendadak terdiam. Senyumnya perlahan meredup, digantikan pandangan yang menusuk.Beberapa detik mereka saling pandang. Tak ada yang bicara. Lalu, Han Su perlahan memutar wajahnya ke samping, menatap Pak Tua Mo seolah ingin bertanya, "Apa ini kau izinkan?"Pak Mo mengetuk ujung tongkatnya ke tanah dua kali. Tok. Tok. Matanya menatap cucunya lama. Wajahnya datar, tapi pandangannya mengandung sesuatu berat, mencurigai, tapi tidak menolak. Seolah ia tahu, kata-kata selanjutnya adalah pintu yang tidak bisa ditutup kembali.Akhirnya, ia bicara. "Pergilah."Xu Ming menegakkan punggung. Namun sebelum senyum sempat tumbuh, suara Pak Mo menyusul dengan lebih keras:"Sebelum tengah hari, kau siapkan dulu dua hal, pil anti racun dan pil pemulihan Dao Qi. Ambil tombak di gudang Selatan yang
"Jangan biarkan formasi pecah!" bentak Han Su, pedangnya menebas satu Serigala Bulan Perak yang menerjang dari kiri. Darah perak terciprat di udara, tapi tak sampai mengendorkan serangan kawanan itu."Mereka terlalu cepat!" seru Qi Bao, sabit gandanya berputar membentuk lingkaran pertahanan."Jaga Ming'er!" teriak Liang Fei, tubuhnya menangkis dua serigala sekaligus dengan gerakan gesit.Xu Ming di tengah formasi, tombaknya menegang di tangan. Matanya tak berkedip, keringat dingin membasahi pelipis."Jangan bergerak sendiri! Tetap dekat denganku!" Han Su melirik keras padanya.Namun kawanan itu tidak memberi jeda. Serigala Bulan Perak menyerbu dari segala arah, seperti badai putih yang tak pernah lelah. Mereka tak hanya banyak, tapi bergerak bagai bayangan, menghilang dan muncul lagi di antara kabut.Breegghh! Duan Wu terseret mundur setelah diterkam dari samping. Liang Fei berteriak dan membantu, tapi itu membuka celah. Dalam satu momen itu
"Teknik Manifestasi Dao: RAUNGAN HARIMAU KUMBANG!"Raungan menggelegar membelah langit. Sosok raksasa Harimau Kumbang setinggi seratus kaki muncul di belakang Han Su. Mata emasnya bersinar tajam, cakar hitam berkilauan, dan setiap gerakannya membuat bumi di bawah kaki mereka bergetar. Kawanan Serigala Bulan Perak yang semula menggempur tanpa henti kini terdiam membeku. Naluri mereka berteriak bahaya. Beberapa serigala yang lebih kecil mundur instingtif, ekor mereka menekuk di antara kaki.Han Su melangkah maju. Aura Dao Qi miliknya meledak seolah badai. Setiap langkah yang ia ambil, tanah retak dan udara mendesir liar. Dengan satu teriakan keras, Han Su mengayunkan tombaknya."Mundur, makhluk rendahan!"BRUAAAAK! Cakar Harimau Kumbang raksasa itu menghantam tanah, menciptakan gelombang kejut berbentuk setengah lingkaran. Puluhan Serigala Bulan Perak terlempar seperti daun kering, tubuh mereka membentur pohon, batu, dan tanah keras dengan suara patah yang
“Hnghh... ada yang aneh... aliran Dao di tubuhmu meningkat?” suara serak Liang Fei terdengar memecah keheningan senja. Matanya menyipit, mengamati Xu Ming yang duduk bersila di atas batu datar.Aura hangat dan gemuruh halus mengalir dari tubuh pemuda itu, seperti suara sungai kecil yang baru menemukan jalur alirannya. Daun-daun kering bergetar lembut di sekelilingnya, digerakkan oleh hembusan angin tipis bercampur esensi Dao yang tersebar di udara.Xu Ming membuka matanya perlahan. Sorot matanya kini jauh lebih dalam, seperti cermin yang baru diasah kembali. Kilau cahaya senja terpantul samar di pupilnya. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya pelan. Seberkas cahaya tipis melapisi energi Dao yang berkilat di kulitnya sebelum menghilang, meninggalkan jejak keheningan yang sarat makna.“Aku menembus Taraf Dua tingkat menengah,” ujarnya pelan, seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri. “Sepertinya... karena pertarungan bert
Liang Fei menggosok tengkuknya, lalu mendesah pelan. “Itu... benar-benar lebih parah dari yang kuperkirakan.”Ia melirik sejenak ke arah tangan kanannya, mengencangkan kepalan, memastikan semuanya masih utuh. Kulit di beberapa ruas jarinya masih memerah, tapi rasa nyeri yang tersisa seperti pengingat: bahwa ia telah melewati sesuatu yang nyaris tak mungkin.Lei Shan, yang duduk bersandar di batang pohon tua tak jauh darinya, hanya mengangguk sambil membenarkan ikat kepalanya yang longgar. “Tapi syukurlah, Kakak Kedua. Setelah kau berhasil, kita berempat akhirnya resmi menjadi pendekar Taraf Empat.”Suasana diam sejenak, seperti membiarkan kalimat itu mendarat di dada masing-masing. Pelan, Duan Wu berdiri, meregangkan bahu yang masih terasa kaku. Sendi bahunya berbunyi pelan saat diputar.“Hampir saja...,” gumamnya. “Tak terasa, genap enam puluh lima hari kita berkutat di sini.” Ia melirik ke arah Qi Bao yang
Perburuan seratus esensi monster dihentikan sementara waktu, Desa kayu hari ini Tengah menghadapi kejadian besar yang akan dilakukan. Terobosan para anggota tim pemburu, akan dimulai hari ini. Di sisi lapangan, Han Su berdiri dengan tangan bertolak pinggang, tatapannya penuh semangat. Ia melirik ke empat sahabatnya yang duduk santai di atas batu besar."Bagaimana kondisi kalian?" serunya sambil merangkul bahu Liang Fei. "Sudah siap melakukan terobosan, bukan?"Liang Fei, yang wajahnya sedikit tegang hanya menyeringai dan menepuk dada berpura-pura seperti pria kuat. "Siap kapan saja, Kakak Han! Tubuh ini sudah gatal ingin meledak."Lei Shan, yang duduk tak jauh, tertawa mengejek, "Hmph, jangan membual. Kakak Kedua ini semalaman tak bisa tidur! Istrinya sampai menggerutu di depan rumahku. Katanya, 'Suamiku grasak-grusuk kayak anak kecil, muter-muter terus, gak mau tidur!'"Suara cekikikan kecil terdengar. Qi Bao hanya menahan tawanya sambil mengangguk setuj
"T-Tim pemburu kembali!" teriak seorang anak kecil dari menara kayu di utara desa.Teriakan itu langsung menggema ke seluruh penjuru Desa Kayu. Dalam hitungan detik, penduduk yang sedang memperbaiki pagar, menambal atap, atau mengolah ladang, semua berlarian menuju lapangan tengah. Di tengah riuh itu, Xu Ming yang masih bersandar di ranjang pondok, menggenggam tongkat kayu di sisinya. Wajahnya pucat, tapi matanya bersinar penuh semangat."Nenek Hua... tolong tuntun aku ke sana," pintanya, suaranya lirih namun tegas.Nenek Hua mendengus seolah ingin memarahinya, tapi pada akhirnya ia hanya menghela napas panjang. Dengan sabar, ia memapah Xu Ming berdiri, membiarkannya bersandar di tongkat, dan bersama-sama mereka berjalan menuju kerumunan yang semakin padat.Saat mereka tiba, pemandangan yang menghangatkan hati terbentang di hadapan mereka. Liang Fei, Qi Bao, Lei Shan, dan Duan Wu seluruh anggota Tim Pemburu tengah berdiri gagah, meskipun tubuh mereka lusu
Suasana di pondok Nenek Hua membeku dalam ketegangan. Kata-kata tentang "seratus monster taraf tiga" bergema dalam pikiran semua orang, menimbulkan rasa takut yang mencekik. Namun Xu Ming, yang masih bersandar lemah di ranjang, perlahan menggenggam erat selimutnya. Tatapan matanya yang buram kini mulai menunjukkan kilatan tekad."Aku... akan bertarung," bisiknya.Nenek Hua membungkuk, wajahnya penuh kekhawatiran. "Ming'er, kau bahkan berdiri saja belum kuat. Bagaimana mungkin…"Han Su maju selangkah, wajahnya serius. "Tidak. Kali ini kami yang berburu." Ia menghela napas berat sebelum melanjutkan, "Tapi kami tak bisa berjanji seberapa lama waktu yang kami butuhkan untuk menyelesaikan pemburuan seratus esensi monster taraf tiga. Kami hanya bisa menjanjikan, paling banyak dua esensi dalam sehari, dan paling sedikit satu."Xu Ming terdiam. Di matanya tergambar konflik batin yang dalam. Ia tahu, setiap hari yang berlalu adalah taruhan pada harapan tipi
Suasana dalam pondok kecil Nenek Hua yang sederhana itu terasa hening dan berat. Aroma ramuan pahit dan asap dupa memenuhi udara, membuat napas terasa berat. Di ranjang kayu besar di tengah ruangan, Xu Ming, pahlawan kecil Desa Kayu, masih terbaring dengan wajah pucat pasi. Tubuhnya lemah, namun nafasnya perlahan mulai stabil setelah seminggu penuh dalam ketidaksadaran.Di sisi tempat tidur, Kakek Mozi duduk berjaga. Matanya yang tua namun tajam mengawasi Xu Ming dengan penuh kekhawatiran. Ia belum meninggalkan sisi ranjang itu sejak Xu Ming ambruk pasca pertempuran berdarah oleh organisasi bandit taring serigala yang membantai seluruh desa itu.Tiba-tiba, jari Xu Ming yang kurus bergerak sedikit. Kelopak matanya bergetar... lalu perlahan terbuka. Kakek Mozi, yang hampir tertidur, langsung melonjak berdiri, matanya membelalak penuh kegembiraan. Suaranya pecah, penuh emosi."Hua! Ming'er! Xu Ming terbangun! Hua, cepat kemari! Dia bangun!" teriaknya keras.
"Bing'er... Aku mohon... tolong aku..."Kabut darah menggantung di atas Desa Kayu. Tubuh Xu Ming terkapar, hampir tanpa nyawa. Dunia berputar di sekelilingnya suara teriakan, benturan senjata, semua memudar menjadi dengung sepi. Dalam kehampaan itu, sebuah suara lembut menggema dari dalam dirinya. Seperti bisikan hangat di musim dingin.“Istirahatlah, Nak. Serahkan sisanya pada yang mulia ini…”Seperti petir dalam keheningan, energi es meledak dari tubuh Xu Ming. Pilar cahaya biru keperakan menghantam langit. Angin menderu. Butiran salju pertama jatuh di musim panas yang membara ini. Xu Ming melayang perlahan, tubuhnya diselimuti kabut es yang bergolak. Luka-lukanya berhenti berdarah. Aura es membekukan udara di sekelilingnya.Matanya membuka, seluruhnya putih, bersinar seperti bintang beku. Sebuah suara, bukan suara Xu Ming, menggema dari bibirnya, berat, penuh wibawa.“Berani sekali kalian para tikus seperti kalian menyen
"Habisi setiap kepala yang ada di desa ini! Basuh pedang kalian dengan darah segar ini! Yang membunuh paling banyak akan mendapatkan arak segar paling banyak!!"Suara raungan penuh haus darah itu mengguncang langit pagi. Dari balik kabut hutan, ratusan sosok bandit berjubah kulit, bertaring serigala di dada mereka, menerjang dengan senjata berkilat. Panji Taring Serigala berkibar hitam, mengotori udara yang sebelumnya damai.Desa Kayu, tempat sederhana di sudut dunia, kini dibanjiri tawa kejam, jeritan ketakutan, dan denting senjata yang bersimbah darah. Para warga, meski minim latihan bertarung, mengangkat senjata seadanya. Pisau, cangkul, tongkat. Tubuh-tubuh kecil bertarung dengan gigi terkatup dan darah mendidih. Tua, muda, pria, wanita, semua mempertaruhkan hidup mereka.Dari pusat desa, Pak Tua Mozi melangkah maju. Wajah keriputnya dipenuhi guratan waktu, namun matanya bersinar tajam. Ia menghentakkan tongkat bambunya ke tanah."Lindungi desa kayu k
"Teknik Manifestasi Dao: RAUNGAN HARIMAU KUMBANG!"Raungan menggelegar membelah langit. Sosok raksasa Harimau Kumbang setinggi seratus kaki muncul di belakang Han Su. Mata emasnya bersinar tajam, cakar hitam berkilauan, dan setiap gerakannya membuat bumi di bawah kaki mereka bergetar. Kawanan Serigala Bulan Perak yang semula menggempur tanpa henti kini terdiam membeku. Naluri mereka berteriak bahaya. Beberapa serigala yang lebih kecil mundur instingtif, ekor mereka menekuk di antara kaki.Han Su melangkah maju. Aura Dao Qi miliknya meledak seolah badai. Setiap langkah yang ia ambil, tanah retak dan udara mendesir liar. Dengan satu teriakan keras, Han Su mengayunkan tombaknya."Mundur, makhluk rendahan!"BRUAAAAK! Cakar Harimau Kumbang raksasa itu menghantam tanah, menciptakan gelombang kejut berbentuk setengah lingkaran. Puluhan Serigala Bulan Perak terlempar seperti daun kering, tubuh mereka membentur pohon, batu, dan tanah keras dengan suara patah yang