"Mas, Mas Edwin! Buka pintu kamarnya, ada makhluk aneh di bawah sana. Buka pintunya, Mas!" Teriak Intan sambil menggedor pintu dengan kencang.
Berulang kali pintu kamar itu diketuk. Sayangnya, penghuni kamar belum juga menyahut.
"Mas! Buka pintunya, tolong aku! Mas Edwin!" Teriak Intan. Bahkan, nafasnya tersengal-sengal dan berkeringat. Sekali lagi dia berteriak memanggil suaminya. "Mas, buka pintunya, tolong aku!"
Kemudian, sosok aneh itu muncul di hadapan Intan. Jaraknya sekitar sepuluh langkah darinya. Makhluk itu memiliki perawakan sangat putih seperti asap dan wajahnya sangat hitam. Lalu, dia berjalan mendekat tanpa menapaki lantai.
Akhirnya, pintu kamar terbuka. Intan pun langsung memeluk suaminya.
"Mas, tolong!"
"Intan, ada apa ini? Ngapain kamu malam-malam ada di sini? Ini tengah malam, harusnya kamu tidur," protes Edwin.
"Aku barusan ke dapur mau ambil air minum, tapi dicegat sama makhluk aneh, dia ada di sini barusan," ucap Intan melirih.
Edwin melirik sekitar ruangan lantai dua, sejauh mata memandang yang terlihat hanya ruangan gelap. Dia lantas menyalakan lampu kristal, dan ternyata salah satu bandulnya bergerak, mengayun seperti ada yang sedang mengoyakkan.
"Mas, rumah ini aneh, mendingan besok kita cari rumah kontrakan lain, aku gak mau tinggal di sini," rengek Intan.
Edwin memeluk Intan dengan erat sambil memperhatikan bandul lampu kristal yang terus mengayun.
"Jadi istriku memang harus sabar. Kita tidur sekarang, besok rumah ini mau kedatangan grup arisan Mama Rani," ucapnya.
"Harus sabar gimana, Mas?" Tanya Intan.
Edwin tercekat mendapati pertanyaan tersebut. Dia tidak menjelaskan lebih detail dan memilih untuk mengajak istrinya kembali ke kamar.
"Kenapa kamu gak mau jelasin semuanya? Kamu gemar ngajak tidur tapi belum ngasih nafkah batin buat aku. Katanya kamu cinta, tapi aku di sini kayak istri pajangan, apa niat kamu, Mas Edwin!"
Edwin tak menghiraukan, dia lanjut merebahkan badan di atas ranjang.
Enam bulan yang lalu, Edwin Kusumadinata adalah seorang wirausaha muda yang selalu dipercaya untuk menghadiri sebuah seminar di beberapa kampus. Parasnya yang gagah, berwibawa dan tampan selalu mencuri perhatian kaum hawa.
Namun, ada satu yang membuat dia terkesima yaitu ketika menyaksikan seorang gadis yang mahir memainkan piano di acara pembukaan seminar. Edwin sangat tertarik dengan alunan musik yang mendayu-dayu, apalagi melihat gadis itu berwajah manis dan anggun sangat membuatnya penasaran.
Usai mengisi pembukaan seminar itu, Edwin lantas ke belakang panggung. Dia memanggil si gadis pemain piano dengan lantang. "Hei, kamu! Tunggu!"
"Maaf, siapa ya?"
"Nama kamu siapa? Saya Edwin, saya tertarik sama alunan musik yang barusan kamu mainkan. Boleh saya minta nomor telepon kamu, ya biar nanti saya undang kamu ke pesta keluarga saya," pinta Edwin.
"Saya Intan Kharisma. Sebenarnya bukan ahli main musik, saya kan di sini dosen di fakultas kesenian, itu juga kontrak, lima bulan lagi harus sudah selesai ngajar di sini," ungkap dia.
Intan memberikan nomor teleponnya. Saat itu Edwin tersenyum lebar dan sumringah.
"Pak Edwin mirip aktor Fachri Albar deh! Ganteng," puji Intan padanya.
Edwin mengedipkan matanya dan kembali tersenyum merekah. Intan pun merespon senyuman hangat pria itu dengan tertawa sambil menutup mulut. Sampai teguran seorang wanita membuyarkannya.
"Aduh, aduh! Intan, kenapa masih di sini! Kan masih banyak tugas buat menyambut tamu lain! Ke ruang ganti sekarang juga, kamu harus ganti baju dengan seragam resmi, masih ada pengusaha muda yang harus disambut!" Tegas dosen wanita yang geram.
"Maaf, saya permisi dulu," pamit Intan. Tanpa berkata-kata lagi, dia berlalu dari hadapan Edwin.
Setelah adanya perkenalan itu, Edwin tak lantas melupakan keanggunan gadis yang baru saja dikenalnya. Dia jadi sering mengintip Intan yang selalu berlatih piano di kampus.
Edwin juga selalu bertanya-tanya kepada rekan kerja Intan tentang keseharian dan karakternya. Selain itu, Edwin kadang membuat kejutan kecil seperti memberi bunga mawar merah dan cokelat mahal di atas meja kerja milik Intan.
Hingga suatu hari, Edwin mengundang Intan untuk mengisi acara di pesta ulang tahun pernikahan orang tuanya di hotel mewah. Namun, keluarga Edwin tidak menyambut dengan baik, mereka tidak menorehkan senyuman hangat.
"Mumpung ada di pesta, saya mau mengatakan sesuatu sama kamu, jujur belum bisa lupa, apalagi alunan piano yang selalu terngiang-ngiang di telinga ini. Boleh saya bilang sesuatu sama kamu?" Tanya Edwin.
"Memang mau bilang apa? Kayak serius begitu," jawab Intan keheranan.
"Saya suka dan tertarik sama kamu. Kamu mau jadi calon istri saya?" Pinta Edwin.
Sontak, Intan terkejut, ia malah menghindari Edwin dan hendak keluar ruang pesta.
"Intan, tunggu! Saya serius sama kamu, ini bukan bohongan," tukas Edwin. Ia lantas menarik tangan Intan untuk menghentikan langkahnya.
"Pak, maaf. Kita bukan level, Pak Edwin orang kaya. Anda belum tahu sisi gelap keluarga aku, kalau harus jujur sebenarnya aku masih punya tunggakkan hutang ke bank juga ke kampus bekas kuliah aku dulu," ungkap Intan dengan mata berkaca-kaca.
"Tapi ini bukan soal hutang, ini soal ketulusan hati buat kamu. Percaya sama saya. Intan, saya ingin menikah karena butuh teman juga buat hidup, bukan buat dijadikan pembantu. Intan, kamu mau kan terima rasa cinta ini?" Tanya Edwin.
Edwin menggenggam tangan Intan dengan erat. Sayangnya, Intan menolak.
"Maaf, kita temenan saja," pinta Intan.
"Intan, percaya sama saya. Kalau kita nikah, saya siap melunasi hutang kamu yang banyak, kamu tinggal jadi ibu rumah tangga, terima setoran uang bulanan juga. Banyak wanita yang tergiur menjadi istri saya, tapi saya memilih kamu," terang Edwin dengan nada tegas dan jantan.
"Kasih waktu buat berpikir ya," pinta Intan. "Sabar, semua ada waktunya."
Edwin mengangguk pelan.
Setelah diberi waktu untuk berpikir, akhirnya Edwin mendapatkan jawaban dari Intan. Gadis itu memintanya agar bertemu di sebuah taman.
Sebelum berkata-kata, Intan menitikkan air matanya terlebih dahulu. Isak tangisnya begitu lirih, terisak-isak sampai menghela nafas seperti merintih menahan rasa sakit.
"Aku ini anak yatim piatu, tinggal dengan nenek yang sudah tua. Mungkin kalau gajiku utuh semua hutang bisa terlunasi. Tapi, tanteku yang suka nuntut separuh gajiku, jadi ya mau bagaimana lagi. Aku gak mau jadi beban buat Pak Edwin," terang Intan.
"Mungkin itu penyebab kamu belum laku, ya? Kasihan juga, sudah yatim piatu, korban pemerasan lagi. Gak usah khawatir, saya pasti bela kamu. Sekarang, kamu ikut saya ke rumah," pinta Edwin.
Tanpa pikir panjang, Intan bergegas mengikuti Edwin ke rumah mewahnya. Ketika Intan menginjakkan kakinya di lantai marmer yang mengkilat, tampak seorang wanita dewasa berambut pendek sedang duduk di sofa sendirian, dia tampak terkejut lalu mendekat tapi tidak menyunggingkan senyuman.
"Selamat siang," ucap Intan.
"Ini gadis pemain piano yang kemarin di pesta itu, ya?" Tanya dia.
"Intan, kenalkan, ini ibu saya, nama beliau Rani Kusumadinata," ungkap Edwin.Intan menyunggingkan bibirnya lebar-lebar, menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat, lalu berkata," Senang bertemu dengan Anda."Rani, sang nyonya rumah itu melengos begitu saja sambil berkata," Papa kamu masih sakit, kedua adik kamu sore nanti mau pulang, mereka gak jadi ke Aussie, terus kamu malah bawa perempuan asing."Edwin menghela nafas dalam-dalam. "Kayaknya dia gak suka aku," ucap Intan."Ssssttt! Saya cuma mau kenalin kamu ke Papa Erik, sini ikut saya," ajak Edwin. Pria itu membawanya ke lantai dua, menelusuri koridor ruangan yang megah hingga akhirnya tiba di sebuah balkon. Ada dua orang pelayan wanita muda yang sedang menjaga seorang pria lumpuh, duduk di kursi roda dengan leher sedikit menengadah ke atas. "Papa," sapa Edwin. "Saya mau mengenalkan seseorang buat Papa, ini dia."Edwin meraih tangan Intan. Kemudian, mereka berdua bertekuk lutut di hadapan orang tua itu."Selamat siang," ucap I
Intan beranjak lagi dari tidurnya, ia meraba-raba tenggorokan dan berkata," Mau tidur malah haus."Pintu toilet terbuka, tampaklah Edwin yang keluar dalam kondisi tanpa busana. Hanya pakaian dalam saja yang dia kenakan di badan kekarnya."Mas, mau ganti baju?""Iya, kamu belum tidur juga?""Aku haus, mau ke dapur dulu."Intan lanjut menyambangi dapur ke lantai utama. Baru saja kakinya menuruni tangga, ia melihat sang mertua sedang duduk di sofa yang ruang tamu."Mama, belum tidur?" Tanya Intan menghampirinya."Saya gak butuh tidur. Oh iya, kamu betah jadi istri Edwin? Kalau gak betah ya tinggal bilang," ucap Rani. "Tapi, hati-hati lo, kalau bisa jangan buka pintu tengah malam ya? Suka ada apa-apanya di sini.""Baru beberapa jam jadi istri Mas Edwin, belum kerasa indahnya," ucap Intan. Rani, sang mertua itu melengos dan duduk kembali di sofa.Sementara itu, Intan lanjut ke dapur. Dia lantas meneguk segelas air hangat dan membawa sisanya ke dalam gelas khusus.Bruk!Sebuah wadah terjat
Intan melarikan diri keluar rumah dan Edwin menyusulnya. "Intan, tunggu!" Teriak Edwin. Sekuat tenaga dia meraih tangan istrinya. "Jelaskan semuanya, Mas! Kalian punya tujuan apa? Aku mau terlibat apa!" Gerutu Intan. Edwin memeluk Intan dan berusaha membuatnya tenang. "Saya bisa jelaskan semuanya sama kamu. Tapi, saya benar-benar minta maaf, saya sayang sama kamu dan saya gak mau kamu jadi korban berikutnya. Ini soal tradisi keluarga, tapi saya sudah muak, benar-benar muak!""Tradisi apa? Jujur saja, kita sudah syah jadi suami istri, gak perlu ada yang ditutupi lagi," protes Intan. Karena Edwin tak mau banyak menjelaskan, Intan pun melengos tanpa mempedulikan apa-apa lagi. Begitu masuk rumah, dia berpapasan dengan Rani, mertuanya."Nitip Papa Erik, ya? Mama mau pesta dulu sama teman arisan," pinta Rani. Intan tak sudi menyahut. Dia lantas ke kamarnya dan langsung membuka lemari. Mengobrak-abrik semua pakaian hingga berjatuhan."Pelayan udah kerja keras buat beresin lemari kamu,
Nala dan Amel terkejut sampai menghentikan perkejaannya. "Ada apa? Butuh bantuan?" Tanya Nala. "Nyonya pasti lelah ya, wajar sih kan pengantin baru.""Barusan ada dia, pelayan yang rambutnya dikuncir kayak ekor kuda itu, dia di sini," ucap Intan. "Kok, kaki aku lemes gemetar begini, ya? Apa saking paniknya ketemu dia?""Itu hantu," tukas Amel."Di sini gak ada hantu!" Tegas Nala. "Sssstttt! Jangan nakutin! Dan ART yang dikuncir itu sebenarnya gak ada. Itu cuma halusinasi Nyonya Intan saja."Kemudian, Edwin muncul. Matanya terbelalak mendapati masakan yang tengah diproses di atas wajan. Meskipun masih proses dimasak namun aroma dan tampilannya sungguh menggoda. "Istriku pandai masak juga," ucap Edwin.Tak berselang lama, muncul Erwin dan Elsa. Mereka menyambangi dapur dalam kondisi masih mengenakan pakaian tidur. "Pagi, tumben pengantin baru udah eksis di dapur?" Tanya Erwin. Lalu, matanya melirik Intan. "Eh, kok rambutnya gak basah? Harusnya basah tuh!""Apaan sih! Jail banget lo j
"Makhluk apa? Jadi penasaran," sahut Elsa. Nenek Diah duduk terlebih dahulu di kursi dekat pintu. Tatapan matanya memandang fokus ke arah Edwin. "Sebenarnya makhluk itu harus diusir, jangan sampai ada di rumah ini. Kalian mesti nyari orang pintar buat bantuin, nenek gak mau kalian jadi korban. Sudah lama nenek menyimpan rahasia ini dari kalian," terangnya."Rahasia?" Edwin mengerutkan keningnya lalu mendekati Nenek Diah. Tiba-tiba saja wanita tua itu membuang wajah dari tatapan Edwin. "Rahasia apa? Soal tumbal pengantin itu, ya?" Tanya Edwin."Bukan! Bukan! Enggak ada tumbal pengantin di keluarga ini! Kusumadinata itu nama kakek kalian, kami terhormat dan sama sekali gak pernah main licik!" Gerutunya. Edwin, Elsa, dan Erwin saling bertatapan. Kemudian, mereka memeluk neneknya sambil menyeka air mata di pipi yang sudah bergelambir itu. "Saya mau Intan selamat. Tapi, bilang sama saya, apa dulu Papa sempat menikah dengan wanita pertama? Maksud saya apa Papa punya istri pertama yang
"Aarrrghhhh!"Suara teriakan itu terdengar menggema sampai seisi rumah terbangun. Edwin beranjak lebih dulu. Tanpa pikir panjang dia berlari menuju kamar Nenek Diah. "Nenek, buka pintunya!" Teriak Edwin sambil menggedor pintu."Mas, barusan ada suara menjerit ya?" Tanya Elsa yang baru saja muncul."Mas, ada apa malam-malam begini, berisik tau!" Protes Erwin."Bantuin buka pintu ini, yang teriak barusan nenek kita," sahutnya. "Ayo, buka, bantuin!""Ada apa ini? Malam begini bikin keributan," protes Rani. "Mama, barusan nenek teriak, kita takut kenapa-kenapa," sahut Elsa. "Kita mau bongkar pintu kamarnya."Rani mengambil kunci serep dari kamarnya, dia berikan pada Edwin. Setelah berhasil membuka pintu, pemandangan mengerikan pun tampak. Sesepuh yang mereka hormati sudah terkapar mengenaskan, mulutnya mengeluarkan darah bercampur belatung dan matanya melotot, bagian hitamnya melirik ke atas."Nenek, kenapa begini?" Gumam Edwin. Perlahan-lahan dia mendekati neneknya yang sudah tak berg
Kemudian Elsa terisak-isak, menutup wajahnya sambil meringis hingga air matanya mengalir melakui celah-celah jarinya."Aku belum sanggup kehilangan nenek," ucapnya lirih. "Kenapa dia pergi secepat itu! Padahal waktu tiba di rumah dia baik-baik saja, kan? Dia sehat, Mas! Nenek kita itu sehat!"Intan memeluk adik iparnya untuk sekedar menenangkan hatinya. "Mas, punya firasat buruk mengenai keluarga ini? Kata dokter setelah nenek meninggal katanya mengeluarkan belatung kecil dari mulutnya? Kalau menurut mitos di Indonesia kan itu santet kiriman orang. Belum lagi kematian Rumi dulu, sekarang kamu udah nikah lagi, bisa juga Intan jadi korban berikutnya, atau gue dan Elsa," terang Erwin. "Sudah cukup! Kita lagi berkabung!" Gertak Edwin. "Gak usah bahas santet segala.""Apa gara-gara setan itu! Mestinya kita usir, kita nyari orang pintar buat usir dia," ucap Elsa. Erwin menatap adiknya dengan pandangan sayu, sambil mengerutkan keningnya ia berkata," Kamu udah pernah lihat dia, ya?""Kan k
Duk! Duk!Suara hentakan terdengar nyaring, bunyi dentumnya membuat mereka tercekat."Itu dari kamar nenek," ucap Edwin. Mereka bergegas menyambangi kamar bekas neneknya yang kini sudah kosong. Sengaja, Edwin membuka pintu lebar-lebar. Dan ternyata kondisi di dalam sudah berantakan. Benda hiasan berupa asbak kayu dan lantai sudah berlumur debu."Siapa pelakunya?" Tanya Intan. "Kamar ini kosong. Kayak udah diterjang badai.""Lihat itu!" Seru Elsa sambil menunjuk ke atap.Atap kamar sudah basah, membentuk lingkaran dan berwarna coklat tua. Tampak retak-retak dan hampir roboh."Bau apa ini, bau banget," keluh Intan sambil menutup hidungnya.Lambat laun noda di atap yang berbentuk lingkaran itu berubah semakin basah dan berwarna hitam. Lalu, Edwin bergegas mengambil sebuah sapu. Dia mendobrak atap itu melalui gagangnya sampai atap itu hancur.Tiba-tiba saja sesuatu yang menjijikkan terjatuh setelah atap itu bolong dan rusak."Ya ampun! Kenapa ada yang beginian!" Elsa terkejut.Sesuatu y