Share

TUMBAL PENGANTIN
TUMBAL PENGANTIN
Author: Kirana Senja

Bab 1. Makhluk Aneh Dan Kronologi Tumbuhnya Cinta

"Mas, Mas Edwin! Buka pintu kamarnya, ada makhluk aneh di bawah sana. Buka pintunya, Mas!" Teriak Intan sambil menggedor pintu dengan kencang. 

Berulang kali pintu kamar itu diketuk. Sayangnya, penghuni kamar belum juga menyahut. 

"Mas! Buka pintunya, tolong aku! Mas Edwin!" Teriak Intan. Bahkan, nafasnya tersengal-sengal dan berkeringat. Sekali lagi dia berteriak memanggil suaminya. "Mas, buka pintunya, tolong aku!"

Kemudian, sosok aneh itu muncul di hadapan Intan. Jaraknya sekitar sepuluh langkah darinya. Makhluk itu memiliki perawakan sangat putih seperti asap dan wajahnya sangat hitam. Lalu, dia berjalan mendekat tanpa menapaki lantai. 

Akhirnya, pintu kamar terbuka. Intan pun langsung memeluk suaminya.

"Mas, tolong!"

"Intan, ada apa ini? Ngapain kamu malam-malam ada di sini? Ini tengah malam, harusnya kamu tidur," protes Edwin.

"Aku barusan ke dapur mau ambil air minum, tapi dicegat sama makhluk aneh, dia ada di sini barusan," ucap Intan melirih. 

Edwin melirik sekitar ruangan lantai dua, sejauh mata memandang yang terlihat hanya ruangan gelap. Dia lantas menyalakan lampu kristal, dan ternyata salah satu bandulnya bergerak, mengayun seperti ada yang sedang mengoyakkan.

"Mas, rumah ini aneh, mendingan besok kita cari rumah kontrakan lain, aku gak mau tinggal di sini," rengek Intan. 

Edwin memeluk Intan dengan erat sambil memperhatikan bandul lampu kristal yang terus mengayun. 

"Jadi istriku memang harus sabar. Kita tidur sekarang, besok rumah ini mau kedatangan grup arisan Mama Rani," ucapnya. 

"Harus sabar gimana, Mas?" Tanya Intan.

Edwin tercekat mendapati pertanyaan tersebut. Dia tidak menjelaskan lebih detail dan memilih untuk mengajak istrinya kembali ke kamar. 

"Kenapa kamu gak mau jelasin semuanya? Kamu gemar ngajak tidur tapi belum ngasih nafkah batin buat aku. Katanya kamu cinta, tapi aku di sini kayak istri pajangan, apa niat kamu, Mas Edwin!"

Edwin tak menghiraukan, dia lanjut merebahkan badan di atas ranjang. 

Enam bulan yang lalu, Edwin Kusumadinata adalah seorang wirausaha muda yang selalu dipercaya untuk menghadiri sebuah seminar di beberapa kampus. Parasnya yang gagah, berwibawa dan tampan selalu mencuri perhatian kaum hawa. 

Namun, ada satu yang membuat dia terkesima yaitu ketika menyaksikan seorang gadis yang mahir memainkan piano di acara pembukaan seminar. Edwin sangat tertarik dengan alunan musik yang mendayu-dayu, apalagi melihat gadis itu berwajah manis dan anggun sangat membuatnya penasaran.

Usai mengisi pembukaan seminar itu, Edwin lantas ke belakang panggung. Dia memanggil si gadis pemain piano dengan lantang. "Hei, kamu! Tunggu!"

"Maaf, siapa ya?"

"Nama kamu siapa? Saya Edwin, saya tertarik sama alunan musik yang barusan kamu mainkan. Boleh saya minta nomor telepon kamu, ya biar nanti saya undang kamu ke pesta keluarga saya," pinta Edwin.

"Saya Intan Kharisma. Sebenarnya bukan ahli main musik, saya kan di sini dosen di fakultas kesenian, itu juga kontrak, lima bulan lagi harus sudah selesai ngajar di sini," ungkap dia. 

Intan memberikan nomor teleponnya. Saat itu Edwin tersenyum lebar dan sumringah.

"Pak Edwin mirip aktor Fachri Albar deh! Ganteng," puji Intan padanya.

Edwin mengedipkan matanya dan kembali tersenyum merekah. Intan pun merespon senyuman hangat pria itu dengan tertawa sambil menutup mulut. Sampai teguran seorang wanita membuyarkannya. 

"Aduh, aduh! Intan, kenapa masih di sini! Kan masih banyak tugas buat menyambut tamu lain! Ke ruang ganti sekarang juga, kamu harus ganti baju dengan seragam resmi, masih ada pengusaha muda yang harus disambut!" Tegas dosen wanita yang geram.

"Maaf, saya permisi dulu," pamit Intan. Tanpa berkata-kata lagi, dia berlalu dari hadapan Edwin.

Setelah adanya perkenalan itu, Edwin tak lantas melupakan keanggunan gadis yang baru saja dikenalnya. Dia jadi sering mengintip Intan yang selalu berlatih piano di kampus. 

Edwin juga selalu bertanya-tanya kepada rekan kerja Intan tentang keseharian dan karakternya. Selain itu, Edwin kadang membuat kejutan kecil seperti memberi bunga mawar merah dan cokelat mahal di atas meja kerja milik Intan.

Hingga suatu hari, Edwin mengundang Intan untuk mengisi acara di pesta ulang tahun pernikahan orang tuanya di hotel mewah. Namun, keluarga Edwin tidak menyambut dengan baik, mereka tidak menorehkan senyuman hangat.

"Mumpung ada di pesta, saya mau mengatakan sesuatu sama kamu, jujur belum bisa lupa, apalagi alunan piano yang selalu terngiang-ngiang di telinga ini. Boleh saya bilang sesuatu sama kamu?" Tanya Edwin.

"Memang mau bilang apa? Kayak serius begitu," jawab Intan keheranan.

"Saya suka dan tertarik sama kamu. Kamu mau jadi calon istri saya?" Pinta Edwin. 

Sontak, Intan terkejut, ia malah menghindari Edwin dan hendak keluar ruang pesta.

"Intan, tunggu! Saya serius sama kamu, ini bukan bohongan," tukas Edwin. Ia lantas menarik tangan Intan untuk menghentikan langkahnya.

"Pak, maaf. Kita bukan level, Pak Edwin orang kaya. Anda belum tahu sisi gelap keluarga aku, kalau harus jujur sebenarnya aku masih punya tunggakkan hutang ke bank juga ke kampus bekas kuliah aku dulu," ungkap Intan dengan mata berkaca-kaca. 

"Tapi ini bukan soal hutang, ini soal ketulusan hati buat kamu. Percaya sama saya. Intan, saya ingin menikah karena butuh teman juga buat hidup, bukan buat dijadikan pembantu. Intan, kamu mau kan terima rasa cinta ini?" Tanya Edwin. 

Edwin menggenggam tangan Intan dengan erat. Sayangnya, Intan menolak. 

"Maaf, kita temenan saja," pinta Intan.

"Intan, percaya sama saya. Kalau kita nikah, saya siap melunasi hutang kamu yang banyak, kamu tinggal jadi ibu rumah tangga, terima setoran uang bulanan juga. Banyak wanita yang tergiur menjadi istri saya, tapi saya memilih kamu," terang Edwin dengan nada tegas dan jantan.

"Kasih waktu buat berpikir ya," pinta Intan. "Sabar, semua ada waktunya."

Edwin mengangguk pelan. 

Setelah diberi waktu untuk berpikir, akhirnya Edwin mendapatkan jawaban dari Intan. Gadis itu memintanya agar bertemu di sebuah taman. 

Sebelum berkata-kata, Intan menitikkan air matanya terlebih dahulu. Isak tangisnya begitu lirih, terisak-isak sampai menghela nafas seperti merintih menahan rasa sakit.

"Aku ini anak yatim piatu, tinggal dengan nenek yang sudah tua. Mungkin kalau gajiku utuh semua hutang bisa terlunasi. Tapi, tanteku yang suka nuntut separuh gajiku, jadi ya mau bagaimana lagi. Aku gak mau jadi beban buat Pak Edwin," terang Intan.

"Mungkin itu penyebab kamu belum laku, ya? Kasihan juga, sudah yatim piatu, korban pemerasan lagi. Gak usah khawatir, saya pasti bela kamu. Sekarang, kamu ikut saya ke rumah," pinta Edwin. 

Tanpa pikir panjang, Intan bergegas mengikuti Edwin ke rumah mewahnya. Ketika Intan menginjakkan kakinya di lantai marmer yang mengkilat, tampak seorang wanita dewasa berambut pendek sedang duduk di sofa sendirian, dia tampak terkejut lalu mendekat tapi tidak menyunggingkan senyuman.

"Selamat siang," ucap Intan. 

"Ini gadis pemain piano yang kemarin di pesta itu, ya?" Tanya dia.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status