Share

Bab 2. Rumah Yang Aneh

"Intan, kenalkan, ini ibu saya, nama beliau Rani Kusumadinata," ungkap Edwin.

Intan menyunggingkan bibirnya lebar-lebar, menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat, lalu berkata," Senang bertemu dengan Anda."

Rani, sang nyonya rumah itu melengos begitu saja sambil berkata," Papa kamu masih sakit, kedua adik kamu sore nanti mau pulang, mereka gak jadi ke Aussie, terus kamu malah bawa perempuan asing."

Edwin menghela nafas dalam-dalam. 

"Kayaknya dia gak suka aku," ucap Intan.

"Ssssttt! Saya cuma mau kenalin kamu ke Papa Erik, sini ikut saya," ajak Edwin. 

Pria itu membawanya ke lantai dua, menelusuri koridor ruangan yang megah hingga akhirnya tiba di sebuah balkon. 

Ada dua orang pelayan wanita muda yang sedang menjaga seorang pria lumpuh, duduk di kursi roda dengan leher sedikit menengadah ke atas. 

"Papa," sapa Edwin. "Saya mau mengenalkan seseorang buat Papa, ini dia."

Edwin meraih tangan Intan. Kemudian, mereka berdua bertekuk lutut di hadapan orang tua itu.

"Selamat siang," ucap Intan.

"Papa lumpuh, stroke dan alzheimer," ungkap Edwin. "Tapi, kami masih sangat menyayangi beliau."

Edwin menundukkan kepala di depan orang tuanya. Tiba-tiba saja berurai air mata, terisak-isak lalu menggenggam tangan sang ayah dan berkata," Papa, ini calon istriku, saya cuma mau minta restu. Mohon, restui kami berdua."

"Ternyata ayahmu lumpuh dan bisu, ya? Aku kira beliau orang yang dingin," gumam Intan. 

Intan mengusap bahu Edwin ketika masih terisak-isak. Seraya berkata," Sudah, gak usah nangis, semua aku serahkan sama yang kuasa. Kita berjodoh atau enggak ya tergantung keputusan orang tua."

Tiba-tiba saja ayah kandung Edwin berkata," Pa-pa, res-tu-i--"

Perlahan-lahan tangan yang sudah keriput itu bergerak lalu menggenggam tangan Edwin. 

Seketika tangis Edwin membuncah di hadapan pria yang telah menghadirkannya ke dunia ini. 

Selama enam bulan Edwin dan Intan mengenal satu sama lain. Akhirnya, mereka melangsungkan pernikahan di sebuah hotel mewah. Wajah Edwin tampak sumringah dan tak henti-hentinya tertawa ketika para tamu memberikan ucapan selamat. 

Tapi, tidak dengan Intan. Dia hanya menyunggingkan senyuman tipis-tipis di depan para tamu.

"Jujur saja, hatiku masih berat. Kalau bukan karena hutang dan cengkraman tante, mungkin aku tolak pernikahan ini," gumam Intan.

Setelah pernikahan itu terjadi, Edwin lantas memboyong Intan ke rumah mewahnya. Yang menyambut hanya para pelayan dan seorang lelaki muda. 

"Yeaaaayyy, selamat datang, kakak ipar, kenalin aku Erwin, adiknya Mas Edwin," ucap dia. 

Kemudian, muncul seorang gadis cantik berambut gelombang dan hitam. Dia berkata," Aku Elsa, si bungsu di rumah ini. Mudah-mudahan kamu betah ya hidup sama kakakku yang usil ini."

"Makasih buat sambutannya, ya. Mudah-mudahan kalian gak keberatan sama kehadiran aku di sini," ucap Intan. Seraya menggenggam tangan Edwin. 

Kemudian, Edwin menepuk-nepuk tangan sebanyak tiga kali. Tak lama kemudian, dua orang pelayan wanita menyambangi sambil menundukkan kepala.

"Antar istri saya ke kamar, ganti semua sprei, perlengkapan mandi, rapikan semua baju di lemari dan jangan lupa semprotkan parfum aroma teh hijau," pinta Edwin. 

"Tapi, masa aku sendirian ke kamar? Harusnya sama kamu, Mas," protes Intan.

"Iya, Sayang. Saya nyusul ya, biasa ada diskusi penting sama orang tua dan adik-adik yang usil ini," ucap Edwin, seraya mencium kening istrinya terlebih dahulu.

Lalu, dua pelayan itu menggandeng tangan Intan untuk bertandang ke kamar pengantin. Baru saja pintu kamar dibuka, tercium aroma segar teh hijau. Intan sampai terbelalak melihat kamar baru yang mewah. 

"Ranjangnya gede banget," gumamnya. Dia menekan-nekan kasur hingga merebahkan badannya dan berkata. "Empuk banget."

"Permisi, saya mau gantikan sprei dulu," pinta pelayan itu.

"Pasti mahal ya? Spreinya mengkilat, kayaknya enak dipake tidur," ucap Intan. "Oh iya, aku mau buka lemari dulu."

Tanpa pikir panjang, Intan membuka lemari yang berukuran besar. Spontan, beberapa lembar pakaian menggeser dan menimpa badannya. 

Bruk!

"Nyonya, hati-hati, biar kami saja yang rapikan bajunya, tugas nyonya tinggal menunggu atau bisa menjelajahi rumah ini," ucap salah satu pelayan. "Tapi, lingerie mana yang mau dipakai malam ini? Buat malam pertama sama Pak Edwin."

Terlihat, sebuah lingerie merah berbentuk gaun dan baju dalamnya hanya pakaian dalamnya saja.

"Yang merah saja," pinta Intan. "Tapi, ini kamar Pak Edwin, kan? Kenapa ada pakaian wanita di lemari dia?"

"Se--sebelum beliau menikahi nyonya, dia sudah menyiapkan semuanya," ungkap pelayan itu.

Hari sudah berubah menjadi gelap dan sepi, Intan berhias sedemikian rupa. Rambutnya tergerai, badannya sudah dibalut lingerie merah, menyemprotkan parfum dan duduk selonjoran di atas ranjang. Dia menunggu kedatangan suaminya dan siap menyambut.

Duk! Duk!

Suara ketukan pintu terdengar nyaring. 

"Mas, itu kamu? Ini baru jam sembilan malam, masuk saja pintunya gak dikunci," ucap Intan. 

Duk! Duk! Duk!

Intan naik pitam. Seraya membuka pintunya. Tapi, di luar kamar tidak ada siapapun. 

"Siapa yang barusan ngetuk pintu? Masa ada hantu, gak mungkin," gumamnya. 

Intan kembali menutup pintu. Dia lantas duduk di ranjangnya.

Duk! Duk!

"Siapa sih!"

Intan bergegas membuka pintunya lagi. Tapi, tapi tidak ada siapapun.

"Siapa sih yang ngetuk pintu!" Teriak Intan.

"Sayang," sahut Edwin di sebelah kanan. 

"Aarrghhhh! Mas, kirain siapa. Dari tadi aku nunggu kamu. Aku kesepian di sini," keluh Intan. "Dari mana saja?"

Edwin memeluknya dengan erat. Ia masuk kamar dan mengunci pintu rapat-rapat.

"Kamu sudah makan?"

"Enggak, aku kekenyangan tadi siang, gak ada kamu aku gak nafsu makan, Mas."

Kemudian, Intan menggelar selimut, dia juga membuka area tubuhnya yang memancing hasrat agar suaminya semakin tergoda. 

Ketika itu, Intan berinsiatif menggoda Edwin yang sedang duduk di atas ranjang sambil memainkan smartphone miliknya. 

"Mas, aku sudah siap jadi milik kamu seutuhnya," ucap Intan.

Edwin terbelalak melihat badan indah dan mulus istrinya. Seketika deru nafasnya meningkat, tapi dia membuang tatapannya dari Intan.

"Mas." Intan menyentuh tangan Edwin.

"Tunggu, Sayang. Begini, sebenarnya saya belum diskusi soal hal sensitif. Maaf, saya harus katakan ini," ucap Edwin.

Intan terdiam sejenak. 

"Ini malam pertama kita," ucapnya.

Edwin membelakangi Intan. Sambil menundukkan kepala, ia berkata," Maaf, saya belum bisa melakukannya malam ini. Tapi, saya berharap bisa melakukannya nanti kalau--"

"Ya sudah kalau gak siap," potong Intan. "Aku mau tidur saja. Makasih sudah mau menikahi aku. Tapi, barusan di luar kamar ada yang ngetuk pintu, itu siapa ya?"

"Hah! Dia ada?" Edwin terkejut.

"Itu kamu ya, Mas? Atau adik kamu?"

"Sebenarnya, kalau ada yang ngetuk pintu jangan dulu dibuka ya, apalagi kalau tengah malam. Ya sudah, kamu tidur duluan ya, saya mau ke toilet dulu."

Intan menyelimuti badannya lebih dulu. Ada udara dingin menerpa tubuhnya hingga bulu remangnya merinding.

"Malam pertama kenapa bisa jadi begini? Aku ragu sama ketulusan dan cinta kamu, Mas Edwin. Apa tujuannya kamu nikahi aku?" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status