"Saya mau lihat orangnya, Pak. Saya mohon," pinta Edwin. Sayangnya, Polisi mencegahnya untuk masuk sampai Edwin naik pitam. "Pak! Bisa kasih kesempatan buat saya, rumah ini milik kerabat almarhum istri saya dulu," desaknya. "Sebaiknya Anda keluar, ini urusan Polisi, kami sedang mencari pelakunya," tegas Polisi itu. "Lantas, kenapa Anda bersikeras mau melihat dia? Bisa-bisa saya jadikan Anda saksi." "Silahkan, Pak. Kemarin saya ke rumah ini dan ketemu tante-tante itu," tegas Edwin. Akhirnya, Polisi itu mengizinkan Edwin untuk memasuki rumah. Baru saja membuka pintu, terlihat ada seonggok badan wanita yang terkapar di lantai disertai darah yang sudah mengental berceceran dan sudah berbau menyengat. Seonggok badan wanita itu telah ditutup kain hitam dengan posisi kaki yang mengangkang. "Wanita ini belum diketahui penyebab kematiannya," ucap Polisi. Seraya membukakan kain hitam itu dan tampaklah wajahnya yang sudah lebam. "Apa yang buat dia kehilangan banyak darah sampai bekas
Sore hari yang redup, rasa semangat Nala dan Amel masih berkobar meski suasana sedang gerimis disertai angin sepoi-sepoi yang terasa dingin. Sebentar-sebentar mereka melirik ke ruangan makan yang sudah dihadiri oleh tuan rumah. "Mel, aku mau beresin dulu meja makannya, ya. Aku mau menata hidangan," pinta Nala. "Sayur bayam ini khusus saya bikin buat nyonya kesayangan." "Ya udah. Tuh! Pak Erik udah siap-siap buat makan tapi Mang Jajang ke mana, ya? Masa sibuk nyuci mobil terus. Ini udah sore," gerutu Amel. "Masa kita yang nyuapin." Nala hanya tersenyum tipis, seraya langsung menyambangi meja makan. Namun, langkahnya terhenti ketika mendapati Pak Erik sudah duduk di salah satu kursinya. "Pak, mau makan, ya? Sebentar ya, saya panggil dulu Mang Jajang buat nyuapin," ucap Nala. Di saat Nala menata hidangan, muncul Edwin dan Intan yang baru saja tiba. Mereka berdua lantas menyambangi meja makan dan duduk di kursi masing-masing. "Mama udah pulang, Pah?" Tanya Edwin. Erik geleng-gelen
Nafas mereka tersengal-sengal menyaksikan penampakan makhluk itu. Perlahan-lahan mendekat, menunjukkan wajahnya yang pucat."Apa benar dia dikirim orang buat menghancurkan keluarga kita?" Bisik Edwin. "Setan berupa asap itu baru-baru ini menakuti penghuni rumah."Kemudian, makhluk itu berubah menjadi seperti asap putih dan melayang-layang ke arah kamar milik Nenek Diah."Kita ikutin, Mas!" Seru Intan.Terlihat, hantu itu menelusup ke celah-celah lubang udara di atas pintu. Saking kesalnya, sampai Edwin membuka pintu kencang-kencang. Begitu terbuka sosok itu berubah seperti gulungan berwarna hitam lalu masuk ke atap."Dia di sana," gumamnya. "Atapnya masih bolong, katanya mau direnovasi," ucap Intan. "Di kamar nenek jadi panas begini, apa karena AC-nya mati?"Tiba-tiba beberapa ekor kumbang hitam keluar dari atap dan terbang ke luar kamar. "Mungkin target utama si pelaku adalah nenek, karena nenek yang tahu rahasia kelam keluarga Kusumadinata," ucap Edwin. "Ya udah, besok saya panggi
Siang hari yang cerah, Intan baru tiba di rumah neneknya. Masih banyak orang berlalu lalang untuk melayat dan berkerumun di rumah dua lantai yang cukup elit, tempat tinggalnya sewaktu kecil hingga remaja. "Ini rumah orang tuaku. Mereka gak ninggalin surat warisan, ya ujungnya tante yang mengusai semuanya," ungkap Intan. "Ayo, kita masuk saja." Baru saja melangkah, ada seorang lelaki tua menyapa. "Neng Intan, gimana kabarnya?" "Pak Dadang, Alhamdulillah baik," jawab Intan. "Saya merasa bersalah karena gak bisa menemani nenek, padahal beliau nenek yang ngurus saya." "Nenek kamu sudah dimakamkan di tempat pemakaman umum, tante kamu juga masih ada di sana," ucap Pak Dadang. Tanpa pikir panjang, mereka bergegas mengunjungi pemakaman sang nenek. Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit saja menuju lokasi. Sampai di sana, tampaklah seorang wanita yang sedang memeluk gundukan tanah segar sambil meringis. "Tante," sapa Intan. Wanita itu menoleh. Dia menjawab," Kamu, kenapa baru pulang, g
Malam yang sunyi, tak biasanya di jam sepuluh malam suasana rumah sudah sepi, semua penghuni telah mendekam di kamar tidur masing-masing. Sementara Edwin masih sibuk membaca artikel tentang keluarganya. Keningnya mengerut. Ia berkata," Ternyata Kusumadinata sudah terkenal di instansi pemerintah, jadi yang melakukan pemujaan iblis itu adalah kakek, tapi kenapa nenek selalu saja menyangkal? Apa maksudnya?" Edwin malah melemparkan koran itu ke meja rias milik istrinya sampai beberapa botol kosmetik berjatuhan. "Mas, belum tidur? Barusan apa yang jatuh?" Tanya Intan yang terbangunkan oleh suara hentakan. "Intan," sapa Edwin. "Kenapa? Aku lagi kurang mood, Mas!" "Sssttt! Saya gak mau kamu jadi tumbal pengantin, tradisi keluarga ini." Lima belas menit kemudian, Edwin memeluk Intan kemudian mengecup berkali-kali hingga gairahnya membuncah dan terpancing, aliran darah membuatnya panas dingin menjalar di sekujur tubuh. "Ini yang kamu tunggu-tunggu, kan?" Bisik Edwin. Awalnya, Intan
Edwin dan Erwin melirik-lirik ke atap dapur. Selain itu tercium bau busuk yang menyeruak sampai mereka menutup hidung karena tak tahan dengan aroma busuknya. Bahkan, suara kumbang berdenging dan bising, sampai Edwin menoleh ke arah kanan di mana ada tempat sampah yang selalu tertutup."Di sana," gumamnya."Mas, itu dia lubangnya!" Seru Erwin menunjuk ke atap yang sejajar dengan pintu dapur."Erwin, kita buka dulu tempat sampah ini," pintanya. Dia tergesa-gesa membuka tempat pembuangan yang berbentuk bulat.Apa yang terjadi setelah Edwin membuka tempat sampah itu?Sekelompok Kumbang hitam sedang mengerumuni daging sapi yang sudah membusuk. Spontan, Pak Haji mengambil air minum lalu dia menyemburkannya pada serangga menjijikan itu.Seketika, kumbang itu terbang bertebaran dan masuk ke atap yang berlubang, seperti sarang yang baru."Nak Edwin, bisa saja daging ini buat makanan serangga itu. Ada yang ngasih, ya seperti diternak," ungkap Pak haji."Hah! Di rumah gue ada yang ternak serang
Intan menghindar, menolak penjelasan suaminya. Wanita itu menuruni tangga dengan cepat. Sampai di lantai utama tiba-tiba langkahnya berhenti karena menyaksikan seseorang yang tidak disukainya. "Bu Intan, ada tamu, ini tantenya mau nengok," ucap Mang Jajang. "Tante, kenapa datang ke rumah suami aku, gak bilang-bilang dulu," protes Intan yang masih kaget akan kedatangan sosok tantenya yang ketus. Tante Nena mengenakan pakaian glamor, berkacamata hitam dan kalung emas menjuntai hingga perutnya. Setelah menghadap keponakan, ia baru membuka kacamatanya. "Tante cuma pengen tahu kondisi kamu, kan satu-satunya anggota keluarga tante cuma kamu di sini," ucapnya. "Boleh kan, nginep sehari saja di sini, tidur di kolong ranjang juga gak masalah." "Tante bisa tidur di kamar tamu dekat kamar ART," sahut Edwin. "Tapi, istri saya udah kelelahan, saya gak mau dia capek terus, makanya saya mau suruh dia buat istirahat." Edwin tampak tidak suka akan kehadiran Tante Nena di rumahnya, apalagi tanpa
Mang Jajang tertunduk malu. Lalu, wajahnya berubah menjadi merah karena menahan tangis. "Maafkan saya, Bu juragan. Saya gak nyakitin dia, cuma salah faham sedikit," ungkapnya. "Kalau terbukti bersalah, saya siap masuk jeruji besi." "Sebagai hukumannya kamu dapat tugas dari saya nanti sore," tukas Rani. "Bagaimanapun juga wanita itu kan tantenya Intan, mantu saya! Jangan lancang lagi!" Mang Jajang mengangguk pelan, ia meringis setelah Rani berlalu dari hadapannya. "Udah, gak apa-apa, Mang Jajang makan siang dulu gih," pinta Intan. "Urusan Mama biar saya yang beresin." Intan masuk ke rumah lebih dulu. Setelah menyaksikan Tante Nena hengkang, yang lain pun kembali masuk ke rumah. Erwin dan Edwin menyambangi dapur lagi dan langsung mengambil dua buah cangkir kopi. "Mas, mau kopi bikinan gue?" Tanya Erwin. "Kita lupakan sejenak masalah keluarga ini." "Boleh," sahut Edwin singkat. Sembari menuangkan bubuk kopi dan air panas, tiba-tiba saja Nala melintas di depan mereka. ART itu me