Home / Romansa / TWELVE / Bab 1

Share

TWELVE
TWELVE
Author: Evia Nuravianti

Bab 1

last update Last Updated: 2024-02-11 14:49:27

Kehidupan merupakan sebuah misteri yang tak dapat kita ketahui bagaimana skenario yang akan dijalani. Kita hanya bisa berencana dan berdoa. Berharap mendapatkan yang terbaik untuk diri kita.

Dua bulan yang lalu.

Angin malam yang dingin terasa begitu menusuk kulit. Kueratkan jaket yang membungkus tubuh, sembari terus melangkah secepat yang aku bisa, karena beban yang cukup berat dari ransel besar di punggung memperlambat langkahku. Jalanan yang tampak sunyi, membuat suara sepatuku yang beradu dengan aspal menjadi satu-satunya suara yang mendominasi. Aku tidak berani memandang sekitar, lebih memilih menundukkan kepala dan terus berjalan dengan terburu-buru menuju rumah.

Ditengah perjalanan pundak mulai merinding terasa seperti ada yang mengikuti. Dalam keadaan menunduk seperti ini aku bisa melihat bayangan seseorang yang terus mengikuti. Bayangan itu terus mengikuti setiap langkahku. Jantung berdetak sangat keras. Keringat dingin mulai bercucuran diseluruh tubuh. Bayangan

itu terlihat semakin mendekati. Aku mempercepat langkah berusaha menjauh dari bayangan itu.

Tiba – tiba dering ponsel terdengar.

“Hallo!”

“Fi, udah sampai rumah?”

Suara langkah seseorang yang terdengar mendekat. Refleks mataku terbuka lebar. Aku memberanikan diri untuk menoleh. Tidak ada siapa pun yang mengikuti.

Aku menelan ludah dan meneruskan langkah,, “Sebentar lagi nyampe, Mi.”

Kubuat suara setenang mungkin walaupun melampiaskan pada ngengaman ponsel menahan getaran tubuhku. Jantungku kembali berdetak dengan kencang.

“Syukur deh, ya udah aku tutup teleponnya udah nyampe rumah nih.”

“Mi…Ismi..”

Sambungan telepon terputus. Aku menghela nafas gusar memasukan ponsel ke dalam saku jeans dengan terus mempercepat langkah.

“Akhirnya,” seketika aku tersenyum lebar dan benar-benar merasa lega melihat rumah bercat abu- abu, tepat berada di depan mata.

Aku melangkah lebar membuka pagar  dan  berniat untuk menguncinnya. Namun, suara langkah seseorang kembali terdengar.

‘Dia masih mengikutiku.’ Tanganku bergetar dengan hebat sehingga kesulitan untuk menguncikan gembok.

‘Tap..Tap..Tap’

 Suara langkah seseorang yang terdengar mendekati. Jantung kembali berdetak dengan kencang membuat nafasku memburu seakan baru menyelesaikan lari marathon. Jantung seakan berhenti berdetak, saat mataku menemukan bayangan hitam itu sudah berdiri tepat di hadapanku. Aku tidak berani mengangkat wajah, hanya bisa menatap bayangan di bawah pagar dengan nanar. Aku menelan ludah, mencoba membasahi tenggorokan yang kering dan terus berusaha mengembok pagar dengan tangan yang bergetar. Di dalam  hati aku terus berdoa agar bayangan itu pergi. Aku merutuki ketakutan yang menyelimuti hingga membuat tangan berkeringat dan bergetar dengan hebat.

‘Klik’ suara pertanda gembok sudah berhasil terkunci dengan baik membuatku bernafas lega. Aku membalikan tubuh. Namun, ‘Deg.’ Jantungku berhenti berdetak dalam hitungan detik saat mersakan tangan seseorang mencekal lenganku dari arah luar pagar. Tangan itu terasa digin seperti es sehingga aku berasumsi hantu yang melakukannya. Aku membalikan badan perlahan setelah dirasa lenganku tidak terasa cekalannya.

Dengan perlahan mengedarkan pandanganku, namun sepi tidak ada seorang pun di sini. Aku memeriksa waktu yang tertera pada jam tangan, pukul 00.00. Asumsi tentang hantu yang menggengam tanganku semakin menguat dalam diri. Sekali lagi aku memastikan gembok sudah terpasang dengan benar sebelum masuk ke dalam rumah. Bulu kuduk berdiri, aku mengusap leher bagian belakang untuk mengurangi rasa merinding yang semakin menjadi. Aku mencoba tidak menghiraukan keanehan tadi dan berjalan menuju pintu.

******

Dengan tubuhku yang berbobot 45 dapat berjalan cepat menuju jalur angkutan kota tanpa kesulitan. Kulirik jam yang melingkar pada pergelangan pukul delapan tepat, yang artinya aku sudah terlambat ke kampus. Aku terus merutuki kebodohanku yang telat bangun hingga harus terburu- buru. Papah tidak ada di rumah, dan motor dibengkel. Mau bagaimana lagi terpaksa aku naik angkutan kota. Ponsel berdering, ternyata pesan dari Ismi.

Ismi Ifsani : Dimana Fi ?

Fidela Rawnies : Di jalan

Fidela Rawnies : Udah ada dosen?

Seketika mataku berbinar menemukan Angkutan Kota telah tiba. Aku berhasil masuk ke dalam Angkot lalu duduk di belakang supir.

Ismi Ifsani : Belum, jangan sampe telat lagi, Fi.

Fidela Rawnies : Oke

Walaupun aku tidak yakin akan itu. Karena waktu sudah menunjukan jam masuk kuliah dan aku masih di perjalanan.

Sengah jam kemudian, aku telah tiba di depan kampus tercinta. Aku berlari pelan memasuki perkarangan kampus. Aku harus cepat!

Bruukkk!!

Tubuhku menabrak seseorang dan terdengar suara benda jatuh. Mataku melotot sempurna saat menemukan kamera DSLR terjatuh dan hancur di hadapanku.

Astaga Fidela! Aku mengigit bibir, sambil memungut setiap kamera yang sudah tampak hancur itu bagian depan kamera dengan cemas. Kamera model terbaru ini mahal, aduh Fi! 

Aku mengangkat wajah sembari menyerahkan kepingan kamera itu kepada seseorang di hadapanku. “Ma… maaf,” ucapku terbata - bata karena panik.

Mataku langsung tertuju pada iris hitam teduh milik laki- laki di depanku. Dapat diperkirakan tinggi laki- laki itu kurang lebih sekitar 180 cm. Karena aku harus mendongkak cukup tinggi dengan tinggi badanku yang hanya 150. Laki- laki itu memliki warna kulit putih mulus seperti bayi. Wajahnya tanpa ekspersi, datar.

“Maaf. aku bener-bener nggak sengaja,” ucapku tulus.

Wajahnya masih  datar saat aku mengutarakan permintaan maaf untuk kedua kalinya. Laki- laki berkemeja hitam itu hanya menatapku tajam. Dia beralih pada kameranya yang berada di tanganku.

Dia meraih kamera beserta kepingan yang hancur dari tanganku. Mata teduh itu tertuju pada kameranya yang tampak mengenaskan, memperhatikan kameranya yang hancur karena ulahku. Aku meringis saat mata teduh itu memandang ke arahku tajam.

“Mangkanya kalau jalan hati- hati! Saya minta ganti rugi!!” ucapnya dengan rendah, tapi menusuk ke hati.

 Astaga! Masalah lagi, aduh bagaimana ini? Mana Aku sudah sangat terlambat untuk menuju kelas. Lengkap sudah penderitaanku! Hari apa ini? Aku akan mengingatnya dengan jelas, bahwa hari ini hari tersialku.

“Oke… oke…  Aku pasti ganti,” kataku lantang walaupun hati menciut. Tenang… Fidela tenang. Aku menghela nafas.

Ekspresinya berubah tidak begitu marah, setidaknya itu lebih baik.

“Mana identitasmu?” tanyanya dengan lengan menegadah tangannya ke arahku.

Aku mengerutkan kening.

“Niat manusia nggak tau kan. Bisa aja kamu berniat melarikan diri, dan saya sudah tau segalanya tentangmu.” Jelas laki-laki itu.

Aku mendengus. Kemudian mencari identitas kampus di dalam tas, lalu memberikannya pada laki- laki itu. Dia meraihnya. menatap kartu identitasku dan sesekali melirik ke arahku.

“Fidela Rawnies. Mahasiswi arsitektur,” gumamnya pelan.

“Nomor ponsel?” tanyanya datar.

Aku melotot. “Apa?”  Aku tidak dapat menyembunyikan keterkejutan pada wajahku.

Laki- laki itu membungkuk. Aroma parfum yang di pakai menyeruak menusuk hidungku. Wangi!

“Semisal kamu berniat melarikan diri. Saya sudah mengetahui segalanya tentangmu.” Mata teduh itu menatap tajam ke dalam manik mataku. Pesona mata itu seakan menghipnotisku untuk terus menatap matanya. Aku mengalihkan tatapan begitu sadar ada masalah lain yang harus dhadapi. Kulirik jam di pergelangan tangan. Pukul Sembilan tiga puluh. Mati aku!

Tanpa berfikir panjang lagi. Aku segera mencatat nomor ponselku di atas secarik kertas yang kusobek secara asal. Aku memberikan kertas berisi nomor ponselku pada laki- laki itu.  Setelah itu, aku berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan laki- laki bermata teduh yang tengah memperhatikan kertas yang kuberikan. Setelah cukup jauh berjalan. Aku mendengar laki- laki itu berteriak meminta ganti rugi dan entah apa lagi yang dia katakan. Aku tidak peduli. Aku terus berlari tanpa menghiraukannya, yang kupikirkan saat ini adalah aku dalam masalah lagi!                                     

******

Tanganku mulai lelah membuat desain rumah yang tidak sepenuhnya selesai. Ini adalah hukuman yang diberikan Dosen akibat keterlambatanku tadi pagi. Angin malam berhembus dari luar jendela, memberi kesegaran pada otakku yang semakin memanas mengerjakan tugas.

Suara ponsel berdering mengalihkan fokus dari kegiatan menikmati kesejukan angin malam. Pada layar ponsel tertera urutan nomor yang tidak kukenal.

“Ya ampun, siapa yang menelepon malam- malam?“ Aku mengeser ikon pada layar ponsel, berniat untuk menerima panggilan itu.

“Hallo!”

Apa kamu mengenal suaraku?” Aku mengerutkan kening saat mendengar pertanyaannya. Suara seorang laki- laki terdengar dari seberang sana dan aku tidak mengenal suara itu.

******

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TWELVE   Bab 19

    Reiki berdiri menarik kursinya lebih dekat denganku, tanpa menatap sekeliling kafe yang menatap ke meja kamu penasaran.“Aku pastikan dulu, perempuan yang mana yang kamu maksud?” Reiki menatapku serius.Aku balik menatapnya, “Perempuan yang di rumah sakit, saat aku masih menjadi asisten pribadimu dan kamu mendapat telepon dari rumah sakit. Dan di situ aku melihatmu mesra bersama dengan perempuan itu, siapa dia?”Reiki tersenyum geli, apa yang lucu? Kenapa ekspresinya seperti itu?“Jadi, kamu nguntit?” Tatap Reiki selidik masih tersenyum geli menghiasi bibirnya.Pelayan datang membawa pesanan kami berdua, aku menghela nafas menyiapkan jawabnku. “Nggak, aku mau jawaban bukan pertanyaan.” Aku mulai menyesap minuman untuk menyembunyikan nada salah tingkah, kenapa dia malah menyerangku? Apa salahnya dia jawab tidak perlu berbelit- belit seperti itu.Reiki mengangkat tangan yang terdapat jam tangan, lalu menatapku lagi. Kali ini wajah tersenyum gelinya hilang. “Sekarang kita harus ke kan

  • TWELVE   Bab 18

    2 tahun kemudian“Fidela!” teriakan Mama mengema di setiap penjuru rumah. Ini sudah ke sekian kalinya mama berteriak.“Iya, Ma sebentar,” teriakku. Supaya mama mendengar dan tidak berteriak lagi. Dengan kedua tangan membereskan berkas yang harus di bawa ke kantor. Setelah aku di nyatakan sembuh, aku bangkit dengan bantuan orang terdekatku sebagai pil semangat untukku. Aku mencoba melamar ke berbagai perusahaan dan akhirnya aku mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan di Bandung. Jelas aku bahagia.“Cepat, Reiki udah nunggu tuh,” suara Mama bersamaan tubuhnya masuk ke dalam kamarku.Kami mulai dekat kembali, Reiki selalu mengantarku pergi ke kantor yang sama dengannya. Itu kebetulan yang menyenangkan, ternyata Reiki bekerja di sana sebagai senior Arsitektur. Setelah keluar dari pekerjaannya di Jakarta Reiki cuti untuk mencariku kembali, dan tanpa di duga kami bertemu di halaman kampus menyebabkan kameranya hancur. Itu alasan dia menerima tawaran pamannya yang meminta tolong menga

  • TWELVE   Bab 17

    Aku membuka mata begitu merasakan guncangan pada tubuh semakin kencang. Hal pertama yang aku lihat adalah kegelapan yang menyelimutiku. Aku buru- buru bangun dari posisi tidur untuk duduk dan melihat sekitar. Namun, rasa pening menyerang. Kenapa aku ada di dalam mobil ? Aku berusaha mengingat kejadian sebelumnya dan kilasan kejadian yang terjadi di rumahku terus bermunculan. Satu yang aku ingat sebelum aku tak sadarkan diri adalah aku di bawa oleh Azka.“Azka!”Aku mencari keberadaan Azka. Namun, tak ada siapapun disini. Yang ada hanya pepohonan yang rindang tanpa cahaya satu pun. Gelap.Aku meraba saku jeans, mengambil ponsel. Menyalakannya. Puluhan pesan dan panggilan tak terjawab menyerbu.Ismi : Fidela kamu dimana?Reiki : Dela, tolong angkat teleponnyaMama : Kamu dimana sayang?Papa : Fidela, telepon papa, NakDan banyak lagi pesan – pesan yang muncul. Aku pun tidak tahu ini dimana, kalau pun Azka membawaku. Mengapa tidak membawa ke rumah sakit seperti ucapannya? Suara langkah s

  • TWELVE   Bab 16

    Setelah Azka megantarku pulang, aku tidak masuk kedalam rumah melainkan kakiku melangkah menuju garasi mengeluarkan motor matic yang sudah setia menemaniku kemanapun. Aku berniat untuk ke sebuah taman yang berada di sekolah SD ku untuk mencari ketenangan dan mengenang kembali kenang bersamanya. Satu jam kemudian aku telah berada di halaman sekolah memarkirkan motorku di sini yang menjadi tempat favorit beberapa tahun silam saat aku mengunjungi sekolah ini.“Neng Fidela!” Sapa seorang lelaki paruh baya yang telah berdiri di sampingku dengan senyum menghiasi wajahnya. Aku membalas senyumnya sembari menjabat tangannya.“Mang Ujang, bagaimana kabarnya?” Mang Ujang adalah penjaga sekolahku selama ini sejak aku masih duduk di bangku SD beliau masih setia mengabdi pada sekolah ini, walaupun sekarang sudah tidak muda lagi. Tapi, pekerjaannya dapat diandalkan sekolah ini selalu terlihat bersih apa lagi tamannnya.“Alhamdulilah baik, kalau mang Ujang bagaimana?” jawabku, melemparkan pertanyaan

  • TWELVE   Bab 15

    ‘Pranngg!!!!!’ Aku terperat menghentikan langkahku yang tinggal beberapa langkah lagi menuju pintu masuk. Seperti suara benda terjatuh, tapi aku sama sekali tidak melihat benda apapun yang terjatuh di sini. Aku terlambat untuk pulang hari ini banyak sekali tugas yang harus aku kerjakan di kampus.Aku memberanikan diri untuk membalikan tubuhku, aku menyapu pandanganku ke berbagai arah, tetapi tidak menemukan seorangpun di sana. Tanpa menghiraukannya, aku kembali melangkahkan kakiku dan memutar handle pintu. Pintu di hadapanku belum terbuka dengan sempurna, tetapi suara benda terjatuh kembali terdengar dan membuat pikiranku memikirkan hal yang macam- macam. Aku menarik nafas, mencoba menghilangkan ketakutan yang semakin menyelimutiku. Aku kembali membalikkan tubuhku, tanpa disangka mataku kembali menemukan bayangan hitam itu. Astaga bayangan itu kembali, tanpa berkata-kata lagi aku membuka pintu, lalu menguncinya. Aku menyandarkan punggungku pada pintu yang telah tertutup rapat, aku m

  • TWELVE   Bab 14

    Kuatur nafas bersamaan dengan gerakan kedua tangan bergerak dalam hitungan kedelapan, kuganti gerakan lainnya sampai semua pemanasan selesai. Setelah itu kulangkahkan kaki dengan gerakan pelan mengelilingi taman komplek, jogging pagi hari ini tubuhku terasa kaku. Semenjak menjadi asisiten dosen itu aku jadi jarang melakukan olahraga di minggu pagi seperti saat ini. Berhubung dosen pemaksa tidak ada aku manfaatkan untuk olahraga seperti biasa, tapi setelah menerima telepon dan ternyata dia ke rumah sakit. Dia tidak masuk beberapa hari kemana dia, kenapa dia? Ah mungkin dia mengurusi pacarnya. Entah mengapa kenyataan itu membuat aku sesak. Apakah itu cinta? Tidak mungkin, akua tidak mungkin menyukai dosen pemaksa itu. Bukannya itu bagus, aku bisa tenang tanpa kehadirannya.“Dela!” Langkah kakiku terdiam seketika, mataku terbelalak, bukannya orang yang selalu memanggiku dengan ‘Dela’ hanya…“Fidela!” Kali ini kubalikan tubuh memperhatikan seseorang yang tengah berjalan ke arahku dengan s

  • TWELVE   Bab 13

    Bangunan bercat putih dihiasi gambar bunga berwarna warni toko ‘beautiful flower’, begitu mendorong pintu kaca memasuki ruangan itu perpaduan harum berbagai bunga menyambut kedatanganku ke toko ini. Sampaan ramah dari penjaga toko pun menyambutku. Namun saat aku menanyakan sesuatu yyang membawaku ke toko ini terdengar derit pintu kaca yang di dorong. Mataku terbelalak seketika melihat siapa yang datang ke toko. Segera aku menyembunyikan diri di balik berbagai bunga yang di jejer rapi. Kemeja tosca yang tadi pagi dia pakai, masih melekat pada tubuhnya dengan sedikit terlihat kerutan di bajunya karena banyaknya pergerakan yang dia timbulkan, tapi tetap terlihat rapi.“Mbak, saya pesan bunga seperti biasa ya,” ucap Reiki pada mbak penjaga toko yang tadi menyapaku. Saat penjaga toko itu pergi memnuhi pesanannya, sedangkan lelaki itu mengambil ponselnya menghubungi seseorang. Aku bersyukur ada tempat yang tidak terlihat dan jarak dengan lelaki itu cukup dekat hingga dapat mendengar percaka

  • TWELVE   Bab 12

    Kukibaskan kertas sketsa pada wajahku hingga menimbulkan angin yang sedikit membuatku tidak terlalu gerah sembari menyembunyikan tubuhku di pos satpam. Kota Bandung tengah hari seperti ini cukup panas, ingin rasanya meminum es campur, segar. Terdengar seorang memanggil namaku, aku mendapati laki- laki putih memakai baju abu- abu panjang hingga terlihat otot bisepnya. Pantas saja Ismi memuja Azka, lelaki ini memang terlihat keren. “Fi, kali ini tolong dengarkan aku.” Kupalingkan wajah menatap kearah lain, cukup melihat kesedihan Ismi hanya sekarang dan tidak lagi menambah sakit hatinya.“Gue ngomong sesuatu sebelum terlambat.” Aku bergeming tidak peduli.“Ini tentang hidupmu.” Lanjutnya tidak menyerah, Aku menoleh menatap matanya terlihat bersungguh- sungguh.Kuhela nafas sebelum berkata, “Oke, katakan Azka.” Senyumnya muncul di wajahnya, terlihat bahagia aku mempercayainya lagi, tapi aku tidak mempercayainya hanya ingin tahu apa yang membuatnya gigih walaupun aku mengacuhkannya beb

  • TWELVE   Bab 11

    Satu bulan sudah Ismi marah padaku entahlah dengan cara apa lagi aku harus meyakinkannya, bahwa aku sama sekali tidak menghianatinya. Aku mendesah, menggelengkan kepala menghapus kesedihankku mulai fokus pada benda yang ada dihadapanku.“Pensil, pengaris, tabung, binder, sketchbook A3, penghapus, parut/cutter, drawing pen, pensil warna, rapido, dan pensil mekanik.” Aku mengabsen keperluan yang harus dibawa hari ini. Aku tidak pernah berfikir akan mempunyai masalah seperti ini dengan sahabatku selama bertahun-tahun.Ketukan pada pintu mengalihkan tatapanku pada tas berisi penuh dengan peralatan, mbok surti hanya menyembulkan kepalanya, sebagian tubuhnya bersembunyi di balik pintu. “Non, sarapan sudah siap.”“sebentar lagi aku ke bawah mbok.” Kembali menatap tas memasukan sebagian peralatan ke dalamnya.“ya sudah mbok ke bawah dulu.” Aku menganguk sebagai jawabannya. Sebuah suara berdebam pintu pertanda mbok telah menjauh dari kamar. Hari ini aku sengaja bangun agak pagi, memngingat ada

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status