Share

Ta'aruf Before Married #3

“Selamat malam, Pak. Boleh saya minta waktu Bapak sebentar besok terkait konsultasi penelitian saya, Pak? Terima kasih.” Begitulah isi pesanku ke Pak Tirta, selaku dosen pembimbing penelitianku. Kalian tahu jawaban beliau apa?

“G” balasnya singkat.

“Mati aku,” pikirku. Meskipun tenggat waktu pengumpulan masih lama, tapi aku sangat butuh konsultasi dengan beliau. Ini semua karena pertanyaan Ustadzah Fisha waktu itu. Ya, walaupun aku juga tidak tahu arah pertanyaannya, sih. Huft, padahal belum tentu juga aku akan dijodohkan, tapi aku malah kabur dari Ustadzah Fisha dan membuat masalah ke Pak Tirta. Payahnya aku!

Aku menjatuhkan badanku ke kasur, dengan kaki masih menggantung di lantai. Suara ponsel berbunyi dengan nama kontak “Ibu” di layar. “Oh, udah jam 8, ya?” Aku merapikan dudukku, lalu mengangkat video call dari seseorang malaikat cantik yang kupanggil dengan sebutan “Ibu”.

Assalam mualaikum, Ibu!” sapaku dengan senyum.

W* alaikum salam, anak Ibu, Reina!”

“Heh?” Aku yang tadinya tersenyum lebar, sekarang cemberut pahit. “Ibu! Sejak kapan anak Ibu jadi Reina!” ujarku.

“Haha, becanda-becanda, Sayang,” jawabnya dengan tawa.

“Ada apa, nih, tumben minta video call? Biasanya telpon biasa aja.”

“Hmm, nggak papa. Kangen aja,” jawabku.

“Oh, beneran kangen doang? Bukan karena mau minta uang jajan, nih?”

“Hehe, itu juga kayaknya.” Aku mengobrol basa-basi mengulur waktu, karena masih ada sedikit keraguan dalam hatiku untuk bicara. Aku benar-benar tidak punya petunjuk tentang seperti apa reaksi mereka nanti. Yaa, bukan berarti aku bakal langsung disuruh pulang, sih.

“Oh, iya, Neng Reina nggak lagi sama kamu, kah?”

“Nggak, Bu, tadi dia sama Mama pergi belanja bulanan.” Ibu juga sudah mengenal Reina. Saat libur semester enam kemarin, aku pulang ke Bekasi membawa Reina. Kata ibu ingin mengenal teman yang sering membantuku di Malang. Dan saat kuajak Reina ke Bekasi, ibu dan Reina jadi saling mengenal dan sangat dekat hingga sekarang.

“Iya, ya. Sudah mau awal bulan aja. Gimana penelitian kamu yang ke Jepang itu? Aman?”

“Aman, kok, Bu. Sudah setengah jadi. Akhir bulan depan mungkin udah bisa Kira kumpul.”

“Hayo, kebiasaan kamu, tuh! Jangan suka mepet-mepet, loh, yaa. Ada baiknya waktu yang tersiksa dipake buat me-review pekerjaan saja. Biar makin bagus hasilnya dan minim kesalahan.”

Ibu adalah alumni Universitas Indonesia jurusan Psikologi. Beliau sering kali memberikan saran-saran yang berguna di saat-saat seperti ini. Berbeda dengan ayahku, beliau cenderung lebih emosional. Mungkin kalian pernah dengar istilah, “Laki-laki lebih dominan logika, sedangkan perempuan lebih menggunakan perasaan.” Faktanya, orangtuaku terbalik. Ibuku lebih menggunakan logikanya, sedangkan ayahku penuh dengan perasaan. Unik, bukan?

“Bu, ada Ayah? Kira mau ngomong sesuatu….” Aku menarik napas dalam-dalam, memberanikan diriku mengungkapkan seluruh isi pikiran dan apa yang terjadi denganku belakangan ini. Ayah yang melihatku seperti itu pun jadi ikut panik.

“Heh… heh… kamu kenapa, Nak? Tumben begitu? Kamu nggak lagi sedih, kan? Atau jangan-jangan kamu HAM—,“

“Ayah!” Ibu mencubit Ayah. “Jangan mikir yang aneh-aneh, deh! Kan bisa aja Kira mau cerita tentang penelitiannya.” Kulihat Ayah menggeliat kesakitan karena cubitan Ibu. Saat melihat itu pun, aku jadi tertawa kecil. Mungkin aku terlalu khawatir dan memikirkannya terlalu berlebihan.

“Apa? Jadi kamu tiba-tiba di-inbox sama Ustadzah Fisha? Masya Allah,” ucap Ibu dengan mata yang berbinar-binar.

“Iya, Bu,”

“Wah, mintain lah, nomor telpon beliau! Nanti Ibu masukin ke grup arisan Ibu,” serunya.

“Nggak mungkin lah, Bu. Emang Ibu, tukang gosip, haha,”

“Bener, tuh, Kira! Kasih tahu Ibu kamu biar nggak sering-sering ngegosip,” sahut Ayah.

“Terus-terus, beliau ngomong apa aja?” Aku pun menjelaskan hal-hal remeh terlebih dahulu. Seperti saat Ustadzah menanyakan kabar atau alasan milih Sastra Inggris.

“Oh, gitu doang? Kirain ada yang lebih seru. Kurang kerjaan juga ustadzah itu inbox kamu kayak gitu, haha!”

Sudah kuduga Ibu akan menganggap ceritaku aneh. Pasalnya, tidak mungkin ada ustadzah tersohor yang tiba-tiba inbox anak kuliahan nanya kabar random. Aku pun mempersiapkan diri mengungkapkan semuanya.

“Gini, Bu… sebenernya, Kira…,” ucapku sambil menunduk. Yang benar saja! Suaraku tidak mau keluar.

“Hei, Kira, lihat ke Ayah coba.” Aku mengangkat kepalaku, melihat ke layar. Saat itu, jari tangan Ayah yang besar membentuk tanda “OK” dan bergerak seperti orang yang sedang ingin menyentil.

Takk! Kena, deh,” Ayah menyentilku secara online, membuatku tersenyum.

“Apaan, sih, Yah. Nggak ada rasanya, haha,” balasku.

“Kamu ingat, ‘kan, Kira? Biasanya tiap kali kamu ragu, Ayah selalu sentil jidat kamu kayak tadi. Terus Ayah ceramahin kamu, kayak bilang ‘kamu pasti bisa’ atau ‘semangat!’. Waktu kompetisi pidato kamu SMP atau saat kamu dipaksa mencalonkan jadi ketua paduan suara. Kamu selalu ragu di awal. Sama seperti sekarang.”

Jika mengingat masa-masa itu, yang terbayang hanyalah betapa hangatnya kasih sayang kedua orangtuaku. Bahkan hingga aku sudah sebesar ini pun.

“Jadi angkat kepalamu, dan katakanlah. Jangan pernah ragu lagi, ya, Kira.”

Jujur, aku tak pernah menyangka bisa berada di titik ini. Yoshh!!! Keberanianku mulai terisi. Dengan semangat, akupun mengatakan hal yang sedari tadi ingin kuucapkan.

“Ayah… Ibu… kemarin, sebenarnya, Ustadzah Fisha bertanya apakah Kira sudah siap untuk menikah. Jadi malam ini Kira mau tanya, boleh, nggak, Kira nikah?”

“He?” Serentak, mereka mengatakan hal yang sama dengan ekspresi wajah yang berubah drastis.

“Ayah? Ibu? Kok diem?” tanyaku.

“APAAAAA??????” Teriakan mereka memekakkan telingaku yang sedang menggunakan headset.

 -------------------------------------------------------------

“Oh, jadi begitu,” ucap Ibu saat aku selesai menceritakan semuanya.

“Tapi tetap saja, kita nggak tahu itu cowok yang mau dijodohin sama kamu itu bibit bobotnya kayak gimana. Kita nggak bisa langsung percaya sama orang gitu, Kira!” Sambung Ayah. Memang kata-kata ayah ada benarnya. Apalagi aku belum bertanya apapun.

“Tapi kalau soal ta’aruf, memang harus rahasia di awal, kan? Biar antara kamu dan dia juga nggak terlalu terikat perasaan. Jadi kalau ta’aruf-nya gagal, kalian nggak terlena dengan syaitan dan patah hati,” balas Ibu.

“Menurut Ibu, langkah dari laki-laki yang mau melamar kamu ini sudah benar. Dia bertanya dulu apakah kamu sudah siap untuk menikah atau belum, sehingga nggak akan membebani kamu atau dirinya nantinya,” lanjut Ibu.

Ibu bilang mungkin laki-laki yang meminta Ustadzah Fisha ini ingin tahu apa yang menjadi prioritasku saat ini. Apakah pendidikan, karir, atau malah sudah punya pandangan untuk berumah tangga, sehingga nantinya dia bisa melihat ke arah mana ta’aruf ini akan berjalan. Apakah berlanjut atau harus berhenti di awal.

“Hmm, jadi Kira harus pilih apa, Bu?” tanyaku.

“Ya, kalau itu sih, terserah kamu. Toh suatu hari nanti kamu pasti akan nikah, kan? Ya, dong? Ibu kan pengen gendong dedek bayi.” Aku hanya mengangguk saat Ibu bilang semua pilihan terserah padaku.

“Apa yang menjadi pertimbangan kamu sekarang, coba jelasin ke kami!” sahut Ayah.

“Jujur, Kira belum kepikiran apapun tentang pernikahan. Menjadi seorang istri, nyiapin kebutuhan suami, atau bahkan menjadi seorang ibu. Tapi, ceramah Ustadzah Fisha waktu itu bikin Kira berpikir, ‘kayaknya kalau menikah dengan orang yang tepat akan sangat membahagiakan.’ Kesempatan di inbox dengan Ustadzah Fisha pun seperti membuka jalan Kira pada pemikiran itu. ‘Kalau Ustadzah yang jodohkan, mungkin orangnya adalah orang yang shaleh, yang dapat menuntunku dengan agama.’ Itu yang menjadi pertimbangan Kira sebenarnya, Bu, Yah.”

“Tapi di sisi lain, Kira juga masih kuliah, bahkan saat ini sedang ngejar beasiswa. Ini juga penting buat Kira. Dan pertanyaan apakah Kira sudah siap berumah tangga pun kian menghantui Kira. Jadi bingung harus gimana.”

Wajar saja kalau aku bingung. Aku belum pernah merasa seperti ini sebelumnya. Di SMA-ku dulu memang terbilang banyak yang mendekatiku, tapi aku tidak hiraukan. Karena saat itu fokusku memang untuk belajar. Ayah juga bilang kalau aku tidak boleh pacaran. Alasannya pun masuk akal, jadi aku tak pernah membalas setiap chat laki-laki yang masuk ke ponselku.

“Kalau Ibu, sih, coba dulu saja. Tanya-tanya dulu, siapa tahu dapet CV cowoknya. Jadi kamu juga bisa menganalisa dengan benar dia cocok atau tidak. Tapi balik lagi, semua pilihan ada di kamu.”

Lega rasanya membicarakan semuanya ke ibu dan ayah. Aku merasa tidak menghadapi ini sendirian. Dalam pikirku, mungkin aku akan mencobanya. Setidaknya sampai aku tahu profil laki-laki tersebut.

“Oh iya, boleh Ibu minta satu hal jika kamu memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan ini ke Ustadzah Fisha?” tanya Ibu.

“Apa itu, Bu?”

“Kalau bisa, seluruh proses ini kamu jangan kasih tahu siapa-siapa, ya. Rahasiain aja. Termasuk dengan Reina. Bisa?”

Tunggu dulu! Rahasia? Kenapa? Kenapa aku harus merahasiakan keputusanku lanjut ke Reina? Kalaupun alasannya logis, gimana caranya aku menyembunyikan sesuatu dari orang yang kuanggap kakak dan sekamar denganku.

Detik itu, rasa lega yang menghampiriku sejenak, berubah menjadi perasaan bingung lagi seketika.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status