Share

Ta'aruf Before Married #2

Aku sangat menyukai Jepang. Ayahku merupakan lulusan S1 dari Jepang, dan ketika aku masih kecil, beliau sering menceritakan padaku betapa menakjubkannya negeri bunga sakura itu. 

Bukan berarti aku tidak suka Indonesia, ya! Suasana Bromo yang menyejukkan, ramainya Malioboro dan indahnya pulau Pahawang pun punya tempat tersendiri di hati. Tapi jika aku menemukan lampu ajaib yang bisa membawaku ke tiga negara lain untuk berlibur, sudah pasti Jepang berada di nomor urut satu dua dan tiga.

Lucunya, saat aku SMA malah tak pernah sama sekali aku menonton anime ataupun membaca manga. Walaupun sebenarnya sahabatku di sekolah adalah dua orang pendiri eskul Jepang ilegal, tapi mereka tidak pernah berhasil menjadikanku bagian dari sekte mereka. Jadinya, ketika kuliah mereka tahu aku suka hal-hal berbau Jepang, mereka menyebut itu dengan "Kutukan yang tertunda". Tapi, serius! Semua yang ada di Jepang itu lucu dan unik.

Aku juga belajar bahasa Jepang. Kalau mengikuti standar Negara Jepang, mungkin aku masih di tingkat N5 Japanese Language Proficiency Test, atau yang disingkat JLPT. Mungkin belum setara dengan penduduk asli disana, tapi setidaknya aku tidak melulu mengucapkan “Arigatou” ketika suatu saat pergi ke Jepang. Berbicara santai dengan Nobita asli jepang adalah salah satu dari keinginanku bila lulus beasiswa nanti.

Aku sangat berharap untuk lulus dari beasiswa ini. Saking inginnya, aku sampai mencari dosen yang mau membimbingku langsung. Dipertemukanlah aku dengan Pak Tirta, dosen mata kuliah Psikolinguistik. Beliau memang agak galak, apalagi saat aku berulang kali melakukan kesalahan yang sama. Tapi arahan dan penjelasan beliau benar-benar jelas. Beliau juga kritis dan mengerti dengan keinginan mahasiswanya. Saat aku bercerita ingin mengikuti beasiswa ini pun, ia tidak segan-segan ikut belajar tentang Jepang, mencari tahu identitas kampus yang mengadakan, dan segala aspek yang melingkupi penelitianku.

Tapi kali ini, beliau benar-benar akan marah padaku. Sangat marah. Itu semua karena kejadian dua hari lalu membuat kepalaku nge-blank. Seorang ustadzah kondang dengan akun I* centang biru menghubungiku lewat Enstigram. Beliau bertanya, “Apakah aku siap menikah?”

Dua hari berlalu, dan aku belum memberi jawaban apapun kepada Ustadzah Fisha. Terakhir aku hanya menjawab, “Aduh, Ustadzah, maaf. Sinyalnya gangguan. Nanti saya kabarin lagi, yaa.” Ia lantas menjawab dengan pertanyaan, “Kan ini pesan, Dek, bukan telpon.” Setelah itu, tak ada lagi jawaban dariku untuk beliau.

Aku bingung. Sangat bingung. Kenapa beliau menanyakan hal itu padaku. Reina berpendapat jika saat itu aku bilang iya, maka Ustadzah Fisha akan mengenalkanku kepada seorang pria. Tapi aku ragu untuk menjawab. Untuk menikah saja aku belum tahu apa aku sudah siap. Hal ini pun belum kuceritakan ke ayah dan ibu. Pasti mereka akan lebih kaget anak semata wayangnya dilamar orang.

“Tenanglah, Kira! Kalau memang kamu belum siap, kamu tinggal tolak aja, kan?” ujar Reina.

“Tapi kalau ternyata bener ini penjodohan dan aku dijodohin sama Hafidz Qur’an, atau pangeran yang Sholeh, gimana?” Jawabku.

“Yaudah kalau gitu terima,”

“Tapi emang aku udah bisa jadi istri-able, apa?” Reina mengernyitkan dahinya, lalu melempar bantal ke arahku seraya berkata, “Duh, dasar jones ribet!”

Setelah kejadian itu, aku tambah amalan-amalan dan doa-doa untuk meminta petunjuk, tentang langkah apa yang harus kuambil. Kutambah rakaat tahajud dan dhuha-ku. Kutambah sedekah pagiku meskipun hanya 500 perak. Semua demi jawaban terbaik yang bisa kupilih. Karena pernikahan bagiku bukan hanya sekedar menjalin hubungan dengan orang lain. Ada banyak aspek, seperti: sunnah, keluarga besar, tujuan dan masih banyak lagi. Karena berumah tangga berarti membangun kehidupan baru dengan menggabungkan dua keluarga besar. Aku harus benar-benar siap!

“Hmm, ke kafe Radit aja, yok! Mikirin ginian di kamar malah bikin kamu gila sendiri,” saran Reina. Mungkin Reina benar, aku butuh sedikit udara segar dan segelas jus alpukat. Aku juga harus kembali mengerjakan penelitianku yang tenggat waktunya akhir bulan depan. Kuambil tas dan laptop, berdua kami berangkat ke tempat biasa kami mendapat makanan gratis, Kafenya Radit.

 --------------------------------------------------------

Hidangan telah tiba, diantarkan langsung oleh pemiliknya. Satu pempek selam jumbo dengan ice lemon tea milik Reina, sedangkan ayam geprek dan jus alpukat untukku.

Aneh memang. Aku lebih sering pesan ayam gepreknya dibanding pempek. Kalo kata ayah, “Orang Indonesia itu belum makan kalo nggak pake nasi!” serunya berapi-api.

“Nggak ada gratisannya, nih?” sahut Reina.

“Minta gratis mulu!”

“Eh, kan gue udah jadi pencicip rasa bersertifikat kafe ini. Inget ya, Dit, sekali gue kasih lu review jelek, ancur bisnis lu,” ancam Reina, yang lebih terdengar seperti kutukan.

“Iya aja, deh…” Radit beranjak dari tempatnya duduk ke arah kasir, mengambil sepiring penuh pempek beserta cukanya. Mata Reina berbinar-binar seketika melihat piring penuh itu. Aku heran, dengan nafsu makan yang besar itu, kemana semua larinya. Tapi aku tidak berani  bertanya. Takut perang dunia ke-3 terjadi. Bisa gawat.

“Jadi, kenapa tiba-tiba kesini,” tanya Radit, mengambil kursi dan duduk di tengah-tengah kami.

“Oh, ini, si jomblo mau kawin katanya,”

“Reina, kenapa kamu bilang-bilang, sih?” kataku, sambil sedikit mencubit lengan Reina.

“Ya, nggak papa, sih, Kira. Eh, saat-saat kayak gini, ada baiknya lu cari pendapat ke orang-orang biar dapet sudut pandang lain. Kali aja nemu solusi.”

“Emang mau kawin kapan?” tanya Radit polos.

“Bukan kawin, Dit, belum!” jawabku.

“Berarti mau, kan, haha!” sahut Reina, yang kemudian kucubit dia di daerah pinggangnya seraya berbisik, “kucubit ginjalmu!” Dengan suara lirih ia menjawab, “Ampun, Bu.”

“Hmm, kalo kamu nggak keberatan cerita, Kira, mungkin aku bisa bantu kasih saran,” ucap Radit.

“Apaan, nih, tiba-tiba ‘Aku-Kamuan’?” tanya Reina.

“Diem, lu!” dibalas Radit ketus.

Entah apa yang merasukiku, tanpa kusadari, aku menceritakan apa yang terjadi padaku ke Radit. Dalam pikiranku mungkin memang menginginkan jawaban yang tegas dan solutif. Karena kalau ke Reina, yang ada dia bakal terus menjahiliku.

“Kalo begitu, apa salahnya kamu kasih tahu ini ke orangtuamu dulu,” saran Radit. “Ibarat kata, mereka yang paling paham kamu dan yang paling tahu yang terbaik untukmu. Selain itu, masa-masa seperti ini bukankah mereka pernah lewati sebelumnya?”

“Jika mendengar dari cerita kamu dulu waktu kita lomba drama, orangtuamu juga bertemu lewat jalur Ta’aruf, ‘kan?”

Tunggu, pantas saja perasaan ini seperti Déjà vu. Aku yang tanpa sadar bercerita seperti ini ke Radit adalah aku yang dulu pernah melakukan hal yang sama di saat kami satu tim di lomba drama. Waktu itu, tanpa sadar aku bercerita bagaimana kedua orangtuaku dipersatukan lewat cara ta’aruf. Arghh, aku benar-benar merasa malu saat ini. Mungkin sosoknya yang bisa diandalkan itulah yang membuatku seolah percaya apabila bercerita padanya.

“Coba saja diskusikan dulu, aku yakin mereka akan merespon dengan baik.”

Sebuah jawaban yang menenangkan, seolah membuat perasaan takut dan raguku sebelumnya mengalir keluar dari hati ini.

“Yaudah, gue balik dulu, ya, bye!

Aku berterima kasih pada Radit atas sarannya. Setelah pulang, aku pun mengirim pesan WadApp kepada ibu. Aku bilang, “Bu, malem ini aku Video call, ya.” Pesanku pun dibalas dengan kata, “Oke”. Sembari menunggu matahari berganti bulan, aku lanjut menulis penelitian beasiswaku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status