Alina siswi SMA pindahan dari Bandung yang kini harus tinggal di Jakarta ikut orang tuanya. Di sekolah baru nya ia mengagumi seorang kapten basket bernama Kevin. Sosok kapten yang dingin, tampan, dan gagah juga disegani para siswa juga selalu diperhatikan oleh setiap siswi. Ikuti terus cerita Alina mengejar cinta sang kapten..
View MoreLangit Jakarta siang itu sedikit mendung, namun tetap terasa panas dan gerah bagi Alina. Ia menghela napas pelan saat berjalan menyusuri koridor sekolah barunya. Gedung yang besar dan megah ini jelas berbeda dari sekolah lamanya di Bandung. Semua terasa asing, aroma cat tembok baru, lantai yang mengkilap, serta wajah-wajah siswa yang belum dikenalnya.
“Ini lapangan basketnya,” ujar Seruni sambil menunjuk ke arah kiri. Gadis berambut pendek itu tampak semangat memperkenalkan sekolahnya pada Alina, meski mereka baru kenal pagi tadi. “Biasanya tiap sore rame banget. Apalagi kalau yang latihan tim inti. Apalagi kalau kaptennya main.” Alina menoleh, penasaran. “Kapten?” “Kevin. Kevin Mahendra. Kelas 12 IPA. Katanya sih dia pernah ikut turnamen nasional. Semua cewek di sini pasti kenal dia,” jelas Seruni sambil tertawa kecil. Mereka berdua mendekati pagar pembatas lapangan. Beberapa siswa tengah melakukan latihan, terdengar suara sepatu menjejak lantai dan dentuman bola basket yang memantul cepat. Di antara mereka, seorang cowok bertubuh tinggi dan berseragam olahraga biru tua tampak mencolok. Wajahnya serius, matanya fokus pada arah pantulan bola. “Itu Kevin?” tanya Alina pelan. Seruni mengangguk cepat. “Iya, itu dia. Dingin banget orangnya. Tapi keren sih.” Alina mengangguk-angguk, memperhatikan lebih saksama. Sosok itu memang karismatik, tinggi, gagah, dan tampak dingin juga tenang. Ia tampak dewasa dibanding siswa lain. Ada aura kepemimpinan dalam cara dia berdiri dan mengarahkan timnya. Saat Alina baru saja ingin melangkah lebih dekat untuk melihat, tiba-tiba.... DUGGG! GUBRAK!! Alina tumbang dan tergeletak hampir tak sadar. Sebuah bola basket meluncur cepat dan menghantam kepala Alina dengan keras. “Alina!” Seruni berteriak panik. Alina sempat menyentuh dahinya, matanya kabur, lalu tubuhnya limbung dan jatuh ke tanah. Beberapa siswa langsung mendekat. Dari lapangan, Kevin dengan cepat berlari, wajahnya berubah tegang. “Maaf! Tadi saya lempar, tapi bola melenceng!” katanya cepat sambil ikut berlutut di samping tubuh Alina. “Dia pingsan! Panggil PMR!” Seruni menjerit panik. Tak lama kemudian, dua siswa dari PMR datang dengan tandu lipat. Kevin ikut membantu mengangkat tubuh Alina, membopongnya hati-hati menuju ruang UKS. Di dalam ruang UKS yang sejuk dan tenang, Alina terbaring di ranjang kecil dengan kain kompres di dahinya. Kevin berdiri di sisi ranjang, sedikit gelisah. “Aku yang salah. Nggak sengaja, tapi tetap aja…” gumamnya. Beberapa menit kemudian, Alina mengerjap pelan, matanya terbuka perlahan. Pandangannya masih kabur, namun ia melihat siluet seseorang berdiri di dekatnya. Saat fokusnya kembali, mata mereka bertemu. Cowok itu. Kapten basket yang tadi ia lihat di lapangan. Wajahnya teduh, alisnya tegas, dan sorot matanya tajam tapi hangat. Alina diam terpaku beberapa detik, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. “Lo udah sadar?” tanya Kevin singkat. Alina mengangguk pelan. “Aku… di mana?” “UKS. Tadi lo kena bola,” jawab Kevin. Alina meraba dahinya. “Oh…” Ia sedikit tersipu, apalagi saat menyadari Kevin masih berdiri di situ, memperhatikannya. “Maaf ya, tadi gue yang nggak sengaja lempar bola. Gue nggak lihat lo berdiri di situ.” Alina mengangguk. “Nggak apa-apa… Terima kasih udah nolongin.” Kevin mengangguk singkat lalu menoleh ke arah pintu. “Kalau udah mendingan, gue balik dulu ke lapangan. Istirahat aja dulu.” Alina menatap punggungnya yang menjauh, lalu menatap ke langit-langit ruangan. Ia baru saja pindah ke sekolah ini. Belum genap sehari. Tapi hatinya seperti sudah menemukan pusat gravitasi baru. Namanya Kevin, ya? *** Beberapa Hari Sebelumnya di Bandung Hujan rintik menyambut pagi itu di halaman sekolah SMA Cendana di Bandung. Suasana murung terasa begitu kental di antara sekumpulan siswa yang berkumpul di depan gerbang sekolah. “Kita bakal kangen banget sama kamu, Lin…” ujar Nabila, teman sebangku Alina, sambil memeluknya erat. Alina tersenyum pilu. “Aku juga bakal kangen kalian semua. Terutama bangku pojok jendela itu.” Mereka tertawa di tengah isak tangis kecil. Beberapa guru juga datang menghampiri, memberikan pelukan dan doa. “Jakarta bukan tempat yang mudah, tapi kamu anak kuat, Alina. Tetap jadi diri sendiri, ya,” ujar Bu Winda, wali kelasnya. Alina mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. “Terima kasih, Bu. Doain aku betah di sana.” Setelah berpamitan, Alina masuk ke dalam mobil sedan yang telah siap membawa keluarganya menuju Jakarta. Ia menatap keluar jendela, melihat gedung sekolahnya semakin menjauh, lalu hilang dari pandangan. Di dalam hati, ada kekosongan yang ia rasakan. Meninggalkan semua kenangan masa putih abu-abu yang hangat di Bandung bukan hal yang mudah. Tapi ia tahu, hidup selalu mengalir ke depan. Dan siapa sangka, hari pertamanya di Jakarta justru membawanya pada pertemuan tak terduga dengan seorang kapten basket. Kembali ke Jakarta - Malam Harinya Alina duduk di meja belajarnya di kamar baru sambil memegang kepalanya yang masih sedikit pusing akibat bola basket yang membentur kepalanya tadi siang. Dinding kamarnya masih kosong, belum ada poster atau kenangan yang menempel. Ia membuka buku hariannya dan mulai menulis: "Hari pertama sekolah di Jakarta. Dipukul bola basket dan pingsan. Lucunya, aku malah bertemu cowok yang bikin jantungku deg-degan. Namanya Kevin. Dia seperti sosok dalam film yang pernah aku tonton. Tampan, dingin, dan... entah kenapa aku ingin mengenalnya lebih jauh." Alina menutup bukunya dan merebahkan tubuh di kasur. Jakarta masih asing, tapi mungkin tak selama-lamanya. Apalagi jika ada seseorang yang membuat segalanya terasa lebih hidup.Hari berlibur keluarga Alina nampaknya telah usai. Senja di Puncak perlahan memudar, menyisakan cahaya jingga di balik perkebunan teh yang terhampar luas. Mobil keluarga Alina meluncur pelan melewati jalan menurun yang berliku, sesekali terjebak macet panjang. Klakson bersahut-sahutan, lampu-lampu kendaraan menyalakan jalur gelap yang makin sesak.Di kursi belakang, Alina duduk bersandar di jendela dengan earphone terpasang, tapi lagu yang ia putar sama sekali tak menenangkan hatinya. Pikirannya masih penuh dengan satu wajah yaitu Kevin. Sosok itu muncul berkali-kali, silih berganti dengan bayangan Kevin yang tersenyum sambil merangkul seorang perempuan di pinggir lapangan basket, sebagaimana ia lihat di story WhatsApp senior OSIS kemarin.“Lin, kamu lapar? Mau kita cari makan dulu sebelum sampai Jakarta?” suara ayahnya terdengar dari kursi depan, memecah lamunan.Alina melepas salah satu earphone-nya. “Nggak, Yah. Alina nggak lapar,” jawabnya singkat.Ibu nya yang duduk di samping ay
Udara siang di Puncak terasa segar, semilir angin membawa aroma daun teh yang baru dipetik. Alina berjalan di samping ibunya, sementara ayahnya sibuk mengambil foto pemandangan dengan ponselnya. Mereka bertiga menapaki jalan setapak di antara kebun teh, matahari condong menyinari lembah hijau yang seakan tak berujung.“Indah banget ya, Yah,” kata Alina sambil menatap hamparan daun hijau yang berbaris rapi.“Iya, Lin. Ini tempat yang paling Ayah suka kalau mau menenangkan pikiran,” jawab ayahnya, senyum lega menghiasi wajahnya.Setelah cukup jauh berjalan, mereka menemukan sebuah saung kayu kecil di pinggir kebun. Mereka duduk berteduh di sana, menikmati hembusan angin yang menyejukkan. Ibunya mengeluarkan bekal camilan, sementara ayahnya merebahkan diri sambil menutup mata.Alina duduk sedikit menjauh, ponsel di tangannya ia nyalakan. Awalnya ia hanya berniat membuka pesan, mungkin ada balasan dari Kevin. Rindu yang ia tahan sejak berangkat liburan kini semakin sulit ia kendalikan.Na
Setelah makan malam selesai dan meja dirapikan, Kevin berdiri sambil membawa tas ranselnya.“Om, Tante, terima kasih banyak sudah mengizinkan saya makan malam di sini. Maaf merepotkan.” Ia menunduk dengan sopan.Ibunya Alina tersenyum ramah.“Ah, nggak usah sungkan begitu, Vin. Datang lagi aja kapan-kapan, rumah ini selalu terbuka buat kamu.”Kevin mengangguk. “Siap, Tante.”Alina yang berdiri di sampingnya, hanya bisa menatap canggung. Pipinya masih merah, apalagi sejak tadi Kevin terus mendapat pujian dari ayahnya.Kevin lalu menyalami ayah Alina.“Terima kasih juga, Om.”Ayah Alina menggenggam tangan Kevin erat, sambil menatapnya serius.“Vin… saya seneng ada teman yang bisa nemenin Alina. Jaga dia baik-baik ya, kalau lagi di luar.”Kevin sempat terkejut dengan tatapan ayahnya yang hangat tapi tegas. Ia mengangguk mantap.“Siap, Om. Saya akan jaga Alina.”Mendengar itu, Alina hampir tersedak napasnya sendiri.“Yaah! Ayah…” protesnya dengan wajah memerah, tangannya mencubit lengan a
Sore itu motor Kevin berhenti tepat di depan rumah Alina. Suara mesin yang pelan membuat ibunya Alina keluar dari teras, beliau tersenyum ramah begitu melihat siapa yang datang. “Eh, Kevin… pulang bareng lagi sama Alina?” sapa ibu dengan nada hangat. Kevin segera turun dari motor, melepas helm dan sedikit membungkukkan badan. “Iya, Tante. Habis latihan basket, saya ngajak Alina nonton sebentar. Semoga nggak apa-apa ya, Tan.” Alina langsung menyela dengan wajah setengah kesal. “Mama, jangan terlalu percaya. Dia itu sebenarnya ngajak aku ke suatu kantin yang rame banget. Masa disebut nonton?” Ibunya tertawa kecil. “Ya namanya juga anak muda, Lin. Jalan bareng itu udah bikin hati seneng kan?” Alina mendengus sambil masuk ke rumah, meninggalkan Kevin dan ibunya di teras. Kevin berdiri kikuk sejenak, tapi ibunya menepuk bahunya dengan lembut. “Kevin, masuk dulu yuk. Kamu kan pasti capek habis main. Minum dulu di dalam ya.” “Wah, boleh banget Tante. Makasih ya.” Kevin pun
Di hari berikutnya pagi itu, udara Jakarta masih terasa segar meski matahari sudah mulai meninggi. Kevin datang ke rumah Alina dengan motor vesmet nya. Ia terlihat berbeda dengan seragam basket biru-putih melekat di tubuhnya, ransel di punggung, dan senyum semangat terpancar.“Lin!” panggil Kevin sambil menyalakan klakson pelan.Alina baru saja selesai sarapan dan masih merapikan rambutnya. Begitu keluar, ia sempat menatap Kevin dari kepala sampai kaki.“Wah… pagi-pagi udah full gear gini. Mau kemana?” tanyanya sambil sedikit mengerutkan dahi.Kevin menepuk ranselnya. “Hari ini ada tanding basket. Kamu ikut yuk? Temenin aku.”Awalnya Alina kaget. “Aku? Serius?”“Ya serius lah. Masa aku mau ngajak siapa lagi,” jawab Kevin, matanya menatap penuh harap.Alina tersenyum kecil, sedikit menahan rasa deg-degan. “Yaudah, tunggu sebentar. Aku ambil jaket dulu.”Tak lama kemudian mereka melaju bersama, Alina di bonceng di belakang Kevin. Jalanan kota masih ramai, tapi perjalanan terasa singkat
Di hari berikutnya Kevin tak ada kabar, padahal Alina menunggu kedatangan nya kembali. Alina berinisiatif menanyakan kabar nya pagi hari itu.Pagi menjelang siang, udara liburan masih segar. Alina baru saja selesai sarapan ketika ponselnya bergetar di meja.Pesan dari Kevin.“Maaf kemarin nggak datang kerumahmu, aku lagi pusing banget, Lin.”Alina mengerutkan kening. Pusing? Dia ingat, Kevin bukan tipe orang yang gampang mengeluh.Ia mengetik cepat.Alina: “Kenapa? kamu sakit?”Kevin: “Bukan, ini tentang masalah keluarga.”Alina: “Cerita aja Kev. Mungkin aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku mau mendengarkanmu.”Butuh beberapa menit sebelum balasan.Kevin: “Pamanku mau jual rumah kami. Rumah ini peninggalan almarhum ayah dan ibu, tentunya aku sama kakakku nggak mau.”Alina seketika tertegun. Tangannya berhenti mengetik di atas layar ponsel. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Kevin.Tak sampai lima menit kemudian, Alina meneleponnya.“Kev, ini beneran serius?” suara Alina l
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments