Share

Ta'aruf Before Married #4

Alarm ponselku berdering menunjuk pukul 4 pagi. Waktu sholat subuh sebentar lagi tiba. Aku membangunkan Reina yang sudah tak karuan posisi tidurnya.

“Rei, bangun, subuh,” ucapku.

“Bentar lagi, Mbok. Masih ngantuk,” Apa? Mbok? Bahkan saat tidur saja dia masih sempat mengejekku. Kuambil air di dalam gayung, lalu kucipratkan ke wajahnya. Tapi apa daya, orang bilang cukup sulit membangunkan kerbau yang sudah tertidur pulas. Aku pun beranjak dari kamar dan pergi mengambil wudhu.

Sambil menunggu adzan, aku membuka Al Qur’an dan mengulang hafalanku. Saat ini, aku sudah hafal lima juz. Masya Allah, ‘kan!

Adzan berkumandang. Aku mengambil dua rakaat sunnah, yang diikuti dengan dua rakaat subuh. Setelah selesai, aku mengangkat kedua tanganku seraya berdoa meminta semua yang kusemogakan terwujud.

“Aamiinn,”

Kulepas mukenaku, lalu kuambil ponsel yang dari semalam kutinggal cas. Aku melihat satu notifikasi balasan dari Ustadzah Fisha yang semalam belum kubuka.

Semalam kami kembali mengobrol lewat Enstigram, setelah aku selesai video call dengan ayah dan ibu. Aku buka obrolan dengan ucapan salam seperti biasa. Setelah itu, yang kita bahas semalaman hanyalah tentang pertanyaan pernikahan.

Aku bilang pada beliau, bahwa saat ini, fokusku adalah kuliah dan beasiswa yang saat ini sedang kukerjakan. Aku berpikir bahwa untuk menikah belum pernah menjadi rencanaku dalam waktu dekat. Beliau merespon dengan baik keputusanku saat itu.

“Ustadzah paham, Kira. Insya Allah akan Ustadzah sampaikan apa yang menjadi keputusan kamu ke orang yang meminta saya menghubungi kamu,” balas beliau ketika selesai mendengar keputusanku.

“Tapi, Ustadzah…,” balasku cepat sebelum beliau mengakhir diskusi ini dengan salam.

“Tidak bisa dipungkiri bahwa, saya merasa mendapat kesempatan ta’aruf yang langsung diwakilkan oleh Ustadzah merupakan sesuatu yang tidak pernah saya duga sebelumnya. Saya pikir meskipun lelaki ini meminta kepada Ustadzah untuk dikenalkan kepada saya, tidak mungkin Ustadzah menerima penawaran itu kalau lelaki ini memiliki citra yang buruk. Saya yakin Ustadzah punya pandangan bahwa lelaki ini layak untuk dijodohkan. Yaa, meskipun aku juga nggak tahu apakah aku layak buat dia juga, sih, hehe.” Aku mengirim pesan ini, setelah lima kali kuhapus tulis.

Malam itu, beliau tidak langsung menjawab. Mungkin sudah tertidur. Dan pagi ini, aku melihat notifikasi balasan dari beliau.

“KIRA!!! Kok nggak bangunin aku!!!” teriak Reina melihat jam sudah menunjuk pukul setengah enam pagi. Dia pun mengendap-endap ke toilet dapur mengambil air wudhu karena takut dimarah oleh mama karena baru bangun jam segini.

Aku yang masih kesal dengan kata “Mbok” tadi pun kepikiran untuk membalasnya. Aku pun sedikit keluar dari kamar, lalu berteriak, “Ma, Reina belum sholat Subuh. Dia kesiangan.”

“Astaghfirullah, Reina Nur Fitriyaniiiii!!! Ngapain aja kamu semalam baru bangun jam segini?” Mama berteriak, membawa sapu lidi dan bersiap di depan pintu kamar mandi. Agar nanti ketika Reina keluar, satu dua pukulan lidi dapat mengenainya.

“Ampuuuunn, Mam….” Aku tertawa tanpa rasa bersalah mendengar Reina berteriak minta ampun.

---------------------------------------------------------------------

“Dah, Kira!” Reina meninggalkanku.

Meski kami satu kelas, kami akan berpisah jika itu kelas perminatan. Di sastra Inggris ada dua bidang perminatan, yaitu linguistik dan sastra. Fokus perminatanku saat ini adalah linguistik. Itu sebabnya isi penelitianku tentang psikolinguistik. Sedangkan Reina, dia mengambil perminatan sastra. Bukan karena ia suka berpuisi atau membaca cerpen, tapi karena dosen sastra enak-enak, berbeda dengan linguistik yang terkenal killer-killer.

Aku menengok kembali layar inbox-ku dengan Ustadzah Fisha. Terakhir beliau membalas, “Mau coba lihat profil prianya?” yang kujawab dengan, “Boleh, Ustadzah.” Namun, sampai siang ini, beliau belum mengirimkan apapun.

Kelas perminatan telah usai. Setelah membujuk dan meminta maaf pada Pak Tirta, syukurlah beliau mau mengadakan konsultasi terkait penelitianku. Kami janjian di perpustakaan kampus jam 3 sore. Aku berpisah dengan Reina yang hendak pulang duluan. Katanya, mau melanjutkan drama India yang semalam ia tonton.

“Hmm… bagaimana, Pak?” tanyaku kepada Pak Tirta yang saat ini sedang membaca penelitianku.

“Kalau Bapak lihat, masih belum ada unsur spesifik yang dapat menguatkan argumen kamu. ‘Kenapa judul berita bisa menjadi pengaruh buruk kepada masyarakat?’ atau ‘Bagaimana kemudian hoax bisa menjadi alasan masyarakat tidak lagi harus percaya pada pemerintahan?’ pertanyaan seperti ini harus kamu jawab dengan argumen yang kuat sehingga tidak memunculkan makna yang terkesan ambigu.” Seperti biasa, beliau begitu kritis dengan penilaiannya.

“Penarikan kesimpulanmu sebenarnya sudah cukup bagus, hanya saja butuh lebih banyak referensi dari jurnal-jurnal lain. Paham?”

Konsultasi selesai dengan penuh ketegangan dalam hatiku. Terutama saat beliau mengungkit tentang aku yang seperti kabur ketika waktu konsultasi harusnya dilakukan.

“Bapak sebenarnya nggak peduli kamu ada urusan keluarga, kek, atau sakit, kek. Tapi dengan tidak memberikan alasan yang jelas ke orang yang kamu ambil waktunya adalah kesalahan yang fatal.”

“Maaf, Pak, nggak mungkin saat itu aku bilang ke bapak kalau aku lagi galau,” ucapku dalam hati.

“Yang perlu kamu ketahui adalah bahwa yang kamu pegang saat ini itu kepercayaan saya yang kamu minta untuk membimbing kamu. Jangan sampai karena kamunikasi yang kurang baik, kamu kehilangan semua kepercayaan itu Kira. Cita-cita kamu ini besar, dan Bapak bangga kamu pilih sebagai pembimbingmu. Tapi kalau hal ini terjadi lagi, sepertinya kamu harus mengoreksi dan bertanya lagi ke diri kamu, sebenarnya apa mimpi kamu.” Kalimatnya tajam menyayat hatiku yang kecil dan mungil ini.

Ping!

Notifikasi ponselku berbunyi. Sebuah dokumen P*F dikirim Ustadzah Fisha.

“Ini, ya, CV si doi. Harusnya kamu sudah kenal sedikit tentang dia. Tapi dari CV ini, mungkin kamu akan mengetahui lebih detail tentang dirinya. Bukanya jangan lupa Basmalah, yaa.” Isi pesan dari Ustadzah Fisha.

Bismillah…,” gumamku mengikuti saran dari Ustadzah.

Kubuka dokumen dengan judul “CV Lamaran” itu. Ia tak menyisipkan namanya di judul. Bahkan di halaman depan pun isinya latar belakang, tujuan, dan hal-hal pendukung lainnya. Jumlahnya 10 halaman. Daripada menyebut ini sebuah CV, malah terkesan seperti proposal perlombaan bagiku.

Aku baca dari halaman pertama (Karena di halaman awal mintanya begitu). Ia menuliskannya dengan lengkap dan detail.

Aku dibuat penasaran dengan kata-kata Ustadzah yang bilang kalau aku sudah mengenal dia sebelumnya. Padahal, aku belum pernah mendengar cerita di dalam CV ini dimana pun.

Dia berasal dari Malang dan merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Keluarganya broken home dua tahun lalu karena masalah ekonomi dan ibunya ketahuan selingkuh. Perselingkuhan itu terjadi karena bisnis yang ayahnya kelola bangkrut dan berhutang ratusan juta. Itu bahkan membuat dia terancam putus kuliah.

Dia punya adik perempuan yang saat ini sekolah di Australia dengan beasiswa. Di perjalanan  pulang setelah pengumuman beasiswa si adik, terlihat sebuah mobil mewah berwarna hitam yang tak mereka kenali terparkir di depan rumah. Saat mereka masuk ke rumah, di sana, kedua orangtua mereka sedang bertengkar hebat.

Saat orangtua mereka menyadari kehadiran mereka, sang ibu bergegas pergi meninggalkan rumah menuju mobil mewah yang mereka lihat di depan. Bahkan tertulis sang ibu sekalipun tidak melirik ke arah mereka. Adiknya menangis begitu kuat. Adiknya pikir, beasiswa yang didapatnya dapat meringankan beban keluarga mereka. Tapi ternyata, beasiswa itu hanya sebuah kesia-siaan (Itu yang dipikirkannya waktu itu).

Ayah mereka menghampiri dua bersaudara itu. Memeluk mereka erat dan meminta maaf. Maaf kalau ayah belum bisa memberikan hangatnya keluarga terbaik untuk mereka. Satu malam itu dipenuhi tangisan. Begitu pula aku, saat selesai membaca tulisan tersebut.

Aku tak bisa membayangkan perasaan mereka. Aku pikir, bahwa hanya laki-laki saja yang bisa sejahat itu. Ternyata aku salah. Semua manusia berpotensi menjadi jahat ketika nafsu dan ego yang mereka kedepankan. “Astaghfirullah,” ucapku dalam hati. Semoga aku senantiasa terlindungi dari sifat-sifat buruk yang menjerumuskan.

Setelah mengusap air mata, aku lanjut membaca halaman-halaman lain. Dari profilnya ternyata dia sudah hafal sepuluh jus. “Masya Allah,” pikirku. Dia pun memiliki bisnis yang Ia kelola sendiri. Dibimbing langsung oleh ayahnya yang pernah gagal, sampai akhirnya bisnisnya berkembang. Ia pun berhasil lepas dari potensi putus kuliah.

Setelah kupikir-pikir, cerita ia membangun bisnis mirip dengan cerita Radit. Yaa, mungkin memang banyak orang di dunia ini yang berhasil merubah takdirnya. Meskipun prosesnya panjang dan melelahkan, tidak mustahil untuk mereka yang mau berusaha dan percaya kepada Yang Maha Pencipta.

Aku masih belum menyadari kejanggalan yang ada. Sampai akhirnya, aku menyentuh halaman terakhir, halaman CV.

“Namanya Raditya? Hmm, kayak pernah denger, deh. Tapi nama Radit juga pasaran, si—, eh? Eh! EH!!!” Suaraku cukup keras, membuat beberapa orang yang sedang berjalan menatapku.

“Ini bukan Radit yang Radit, kan?” pikirku panik.

Aku makin panik ketika melihat sebuah foto tertempel di CV tersebut.

Astaghfirullah…!” Aku kehabisan kata saat melihat foto Radit, Founder Pempek Curhat, teman satu jurusanku, adalah orang yang melamarku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status